Bagaimana awal Perkembangan Hukum Laut Indonesia?

Perkembangan Hukum Laut Indonesia

Bagaimana awal Perkembangan Hukum Laut Indonesia ?

Indonesia adalah negara kepulauan yang terdiri dari beribu-ribu pulau yang terbentang dari sabang sampai merauke, sebelum adanya Deklarasi Djuanda yang menyatakan bahwa laut Indonesia termasuk laut sekitar di antara dan di dalam kepulauan Indonesia menjadi satu kesatuan wilayah NKRI,Indonesia yang merupakan negara bekas jajahan Belanda tersebut, wilayah Indonesia mengacu pada Ordonasi Hindia Belanda 1939 ( Territoriale Zee en Maritime Kringen Ordonantie 1939) (TZMKO 1939) tercantum dalam Staatsblad 1939 No. 442 dan mulai berlaku pada tanggal 25 September 1939.

Mengenai laut wilayah, pasal 1 Ordonasi tersebut antara lain menyatakan bahwa :

Lebar laut wilayah Indonesia adalah 3 mil laut, diukur dari garis air rendah dari pulau-pulau yang termasuk dalam daerah Indonesia.

Ketentuan yang dilahirkan di zaman penjajahan ini masih tetap kita pakai sampai tahun 1957, walaupun lama sebelumnya sudah terasa bahwa ketentuan tersebut tidak sesuai lagi dengan kepentingankepentingan pokok Indonesia, baik di bidang ekonomi, politik maupun di bidang pertahanan dan keamanan. Penentuan batas laut yang demikian sudah terasa tidak cocok lagi dengan perkembangan zaman, tidak sesuai dengan kepentingan rakyat banyak, karena sifat khusus Indonesia yang merupakan negara kepulauan serta letaknya yang strategis. Kalau kita teruskan menganut dan melaksanakan ketentuan-ketentuan lama ini maka akibatnya akan sangat merugikan kepentingan-kepentingan nasional kita. Bila cara pengukuran yang lama tetap dipakai yaitu lebar laut wilayah yang diukur dari garis pangkal air rendah maka sebagian besar dari pulau-pulau atau kelompok pulau-pulau kita akan mempunyai laut wilayahnya sendiri-sendiri dan sebagai akibatnya di antara laut-laut wilayah tersebut terdapat pula bagian-bagian laut lepas. Walaupun di antara ribuan pulau-pulau tersebut masih banyak terdapat pulau-pulau yang jaraknya satu sama lain kurang dari 6 mil, jadi hanya akan merupakan kelompok pulau-pulau, tetapi masih tetap terdapat kelompok pulau-pulau atau pulau-pulau yang mempunyai laut wilayahnya sendirisendiri karena jaraknya satu sama lain lebih dari 6 mil dan dengan demikian mempunyai kantong-kantong laut lepas.

Diterimanya dan berlakunya konsepsi laut teritorial 12 mil adalah pada Konsepsi Hukum Laut Internasional I (UNCLOS I) pada tahun 1958, bahwa laut teritorial ditetapkan sampai mil dari garis air surut pantai. Di Indonesia sendiri ketentuan laut teritorial 12 mil berlaku sejak adanya Deklarasi Djuanda dan UU No. 4/prp.Tahun 1960 UU. No. IV/prp Tahun 1960. Mis, menyatakan bahwa laut wilayah ( territorial ) lebarnya 12 mil diukur dari garis pangkal lurus ( straigt base ) dan bahwa semua kepulauan dan laut yang terletak diantaranya harus dianggap sebagai kesatuan yang bulat.

Pada tanggal 13 desember 1957 Pemerintah Indonesia mengeluarkan suatu pernyataan mengenai wilayah Perairan Indonesia. Isi dari Deklarasi Juanda yang ditulis pada 13 Desember 1957, menyatakan:

Bahwa segala perairan di sekitar, di antara dan yang menghubungkan pulau-pulau atau bagian pulau-pulau yang termasuk daratan Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan tidak memandang luas atau lebarnya adalah bagian-bagian yang wajar dari pada wilayah daratan Negara Republik Indonesia dan dengan demikian merupakan bagian perairan nasional yang berada di bawah kedaulatan mutlak dari Negara Republik Indonesia. Lalu lintas damai di perairan pedalaman ini bagi kapal asing terjamin selama dan sekadar tidak bertentangan dengan kedaulatan dan keselamatan Negara Indonesia. Penentuan batas laut teritorial yang lebarnya 12 mil yang diukur dari garis-garis yang menghubungkan titik-titik yang terluar pada pulau-pulau Negara Republik Indonesia akan ditentukan dengan Undang-Undang.

Pada saat Deklarasi mengenai wilayah perairan Indonesia, negara Indonesia sedang menghadapi berbagai ancaman atau bahaya baik dari luar maupun dari dalam. Dari dalam negeri saat itu Indonesia di ancam oleh berbagai gerakan separatis di daerah yang kemudian menjelma menjadi pemberontakan-pemberontakan. Sementara dari luar negeri di akibatkan oleh memuncaknya sengketa dengan Belanda mengenai masalah Irian Barat (Irian Jaya) setelah mengalami kegagalan untuk dapat menyelesaikan masalah tersebut dengan jalan damai.

Indonesia sebagai satu kesatuan yang bulat, utuh serta menyeluruh, yang meliputi unsur tanah (darat) dan air (laut) menggambarkan segi politik yang tidak kurang pentingnya. Terlebih lagi dalam suasana yang diancam desintegrasi politik karena adanya gerakangerakan separatisme dan pemberontakan, sehingga pemerintah pada saat itu memerlukan suatu konsep yang secara jelas dan mendasar untuk dapat dijadikan sarana pemersatu bangsa dan negara Indonesia.

Pertimbangan-pertimbangan yang mendorong pemerintah republik Indonesia mengeluarkan pernyataan mengenai wilayah perairan indonesia adalah:

  1. Bahwa bentuk geografi Republik Indonesia sebagai suatu negara kepulauan yang terdiri dari beribu-ribu pulau mempunyai sifat dan corak tersendiri yang memerlukan pengaturan.

  2. Bahwa bagi kesatuan wilayah (teritorial) Negara Republik Indonesia semua kepulauan serta laut yang terletak di antaranya harus dianggap sebagai satu kesatuan yang bulat.

  3. Bahwa penetapan batas-batas laut teritorial yang diwarisi dari pemerintah kolonial sebagaimana termaktub dalam “ Territoriale Zee en Maritime Kringen Ordonnantie 1939” pasal 1 ayat (1) tidak sesuai lagi dengan kepentingan keselamatan dan keamanan Negara Republik Indonesia.

  4. Bahwa setiap negara yang berdaulat berhak dan berkewajiban untuk mengambil tindakan-tindakan yang dipandangnya perlu untuk melindungi keutuhan dan keselamatan negaranya.

Sekarang di Indonesia mulai tanggal 18 februari 1960 berlaku suatu Undang-Undang No. 4 tahun 1960 (Lembaran Negara No. 22 Tahun 1960) yang mengesahkan pengumuman pemerintah tersebut di atas dan mencabut pasal 1 ayat 1 angka 1 sampai 4 dari staatsblad 1939 No. 442.

Untuk memperkuat konsepsi Kepulauan, pemerintah Indonesia sejak tahun 1969 telah mengadakan persetujuan dan perjanjian bilateral dan trilateral dengan negara-negara tetangga (kecuali Filipina dan Vietnam), mengenai garis-garis batas Landas Kontinen dan Laut Teritorial. Hal ini dimaksudkan untuk membentuk hukum kebiasaan ( customary law ) sebelum disetujuinya melalui Konvensi Hukum Laut 1982 ( law making treaties ). Adapun persetujuan dan perjanjian yang telah ditandatangani itu secara berturut-turut adalah sebagai berikut:

  1. Persetujuan RI-Malaysia tentang Garis Batas Landas Kontinen di Selat Malaka dan Laut Cina Selatan yang ditandatangani di Kuala lumpur pada tanggal 27 Oktober 1969

  2. Perjanjian RI-Malaysia tentang Garis Batas Laut Teritorial di Selat Malaka yang ditandatangani di Kuala Lumpur pada tanggal 17 Maret 1970.

  3. Persetujuan RI-Australia tentang Garis Batas dasar Laut Arafuru dan Laut Bagian Utara Irian Jaya, yang ditandatangani di Canberra pada tanggal 18 Mei 1971.

  4. Persetujuan RI-Thailand tentang Garis Batas Landas Kontinen di Selat Malaka Utara dan Laut Andaman yang ditandatangani di Bangkok pada tanggal 17 Desember 1971.

  5. Persetujuan RI-Malaysia-Thailand tentang Garis Batas Landas Kontinen di Selat Malaka Utara yang ditandatangani di Kuala Lumpur pada tanggal 21 Desember 1971.

  6. Perjanjian RI-Australia mengenai Garis Batas Laut Teritorial antara RI-Papua Nugini di Bagian Selatan Irian Jaya yang ditandatangani di Jakarta pada tanggal 12 Februari 1973.

  7. Perjanjian RI-Singapura tentang Garis Batas Laut Teritorial di Selat Singapura yang ditandatangani di Jakarta pada tanggal 25 Mei 1973.

Semua perjanjian dan persetujuan dengan negara-negara tetangga itu ternyata sangat mendukung posisi delegasi RI di bawah pimpinan Mochtar Kusumaatmadja dan Hasyim Djalal selama Konferensi Hukum Laut III berlangsung dari tahun 1974 hingga menghasilkan Konvensi Hukum Laut 1982, yang dinyatakan berlaku sejak tahun 1995 karena sudah ditandatangani oleh seratus dari 125 negara peserta Konferensi. Keberhasilan itu terlihat dengan diterimanya hampir seluruh Konsepsi Negara Kepulauan yang disusun Indonesia dalam Bab IV Konvensi tentang Negara Kepulauan. Karena dapat dikatakan bahwa perjuanagan diplomasi konsepsi kepulauan merupakan prestasi bangsa Indonesia terbesar setelah diplomasi perjuangan kemerdekaan.

Baru-baru ini Undang-Undang Kelautan telah disahkan, yakni UU No. 1 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas UU No. 27 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.

Dengan disahkannya UU ini, semakin ada penegasan bahwa Indonesia negara kepulauan berciri Nusantara dan maritim. Dengan demikian, upaya menempatkan kelautan sebagai orientasi baru pembangunan semakin kuat. Karena itu, laut harus dikelola secara terpadu dan mandat untuk mendorong peningkatan pemanfaatan potensi laut secara berkelanjutan semakin jelas. Melalui pengesahan UU Kelautan ini, sejumlah kekosongan regulasi di laut kini mulai diisi. Pertama, tentang penataan ruang laut dalam kerangka perlindungan dan pemanfaatan potensi sember daya. Saat ini penataan ruang laut di wilayah kurang dari 12 mil masih diatur oleh Undang-undang No 27 Tahun 2007 yang direvisi jadi UU No 1/2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (PWP2K). Sementara itu, selama ini dasar hukum penataan ruang laut di atas 12 mil belum ada. Dengan UU Kelautan ini (khususnya Pasal 42), tata ruang laut di atas 12 mil diatur dan pemerintah memiliki kewajiban menyusun rencana tata ruang laut nasional dan juga perencanaan zonasi kawasan laut. Ini penting sekali untuk mengatasi masalah yang selama ini berkembang, seperti semrawutnya letak pemasangan pipa dan kabel bawah laut serta konflik pemanfaatan ruang laut antar sektor.