Bagaimana aturan jangka waktu dan luas wilayah usaha pertambangan di Indonesia ?

Hukum pertambangan

Bagaimana aturan jangka waktu dan luas wilayah usaha pertambangan di Indonesia ?

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 Tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan membagi usaha pertambangan berdasarkan penggolongan bahan galian, yaitu:

  • golongan bahan galian strategis;
  • golongan bahan galian vital;
  • golongan bahan galian yang tidak termasuk dalam golongan a atau b.

Penggolongan tersebut memberikan konsekuensi pada (i) ijin yang diterbitkan sebagai dasar aktivitas pertambangan dan (ii) kewenangan pemberi ijin, dimana setiap usaha pertambangan bahan galian yang termasuk dalam golongan bahan galian strategis dan golongan bahan galian vital baru dapat dilaksanakan apabila terlebih dahulu telah mendapatkan Kuasa Pertambangan dari Menteri, Gubernur, Bupati/Walikota sesuai dengan kewenangannya. Sedangkan, untuk usaha pertambangan atas bahan galian non strategis nonvital, kewenangan pemberian Surat Ijin Pertambangan Daerah (SIPD) diserahkan kepada Pemerintah Daerah Tingkat I tempat terdapatnya bahan galian itu.

Usaha pertambangan bahan-bahan galian meliputi penyelidikan umum, eksplorasi, eksploitasi, pengolahan dan pemurnian, pengangkutan, dan penjualan, dimana usaha tersebut dapat dilakukan apabila telah memperoleh kuasa pertambangan.

Dari hal tersebut, Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1969 Pelaksanaan Undang Undang No. 11 Tahun 1969 Tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertambangan mengatur bahwa kuasa pertambangan yang diberikan dapat berupa:

  • Kuasa Pertambangan Penyelidikan Umum, yang diberikan Menteri, Gubernur, Bupati/Walikota sesuai dengan kewenangannya untuk jangka waktu 1 tahun atas permintaan yang bersangkutan, dan dapat diperpanjang 1 tahun lagi atas permintaan yang bersangkutan (Pasal 8 ayat (2) dan (3));

  • Kuasa Pertambangan Eksplorasi, yang diberikan oleh Menteri, Gubernur, Bupati/Walikota sesuai dengan kewenangannya untuk jangka waktu 3 tahun atas permintaan yang bersangkutan, dan dapat diperpanjang 2 kali, setiap kalinya untuk jangka waktu 1 tahun atas permintaan yang bersangkutan (Pasal 9 ayat (2) dan (3);

  • Kuasa Pertambangan Eksploitasi, yang diberikan Menteri, Gubernur, Bupati/Walikota sesuai dengan kewenangannya untuk jangka waktu 30 tahun atas permintaan yang bersangkutan, dan dapat diperpanjang 2 kali, setiap kalinya untuk jangka waktu 10 tahun atas permintaan yang bersangkutan (Pasal 10 ayat (2) dan (3));

  • Kuasa Pertambangan Pengolahan dan Pemurnian, yang diberikan oleh Menteri, Gubernur, Bupati/Walikota sesuai dengan kewenangannya untuk jangka waktu 30 tahun atas permintaan yang bersangkutan, dan dapat diperpanjang setiap kalinya untuk jangka waktu 10 tahun atas permintaan yang bersangkutan (Pasal 11 ayat (2) dan (3);

  • Kuasa Pertambangan Pengangkutan dan Penjualan, yang diberikan oleh Menteri, Gubernur, Bupati/Walikota sesuai dengan kewenangannya untuk jangka waktu 10 tahun atas permintaan yang bersangkutan, dan dapat diperpanjang setiap kalinya untuk jangka waktu 5 tahun atas permintaan yang bersangkutan (Pasal 12 ayat (2) dan (3)

Dalam pengaturan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 Tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan, jangka waktu atas setiap KP serta luas atas wilayah KP Penyelidikan Umum, KP Eksplorasi, KP Eksploitasi, tidak dipengaruhi oleh jenis bahan galian. Sedangkan untuk usaha pertambangan melalui mekanisme Kontrak Karya (KK) atau Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B), jangka waktu langsung diberikan sekaligus tidak dibagi seperti yang terjadi pada mekanisme Kuasa Pertambangan (KP).

Hal ini dapat dilihat dari Kontrak Karya (KK) Generasi ke-VII yang menyatakan bahwa jangka waktu KK secara keseluruhan adalah 37 tahun yang dapat dibagi menjadi beberapa periode yaitu sebagai berikut:11

  1. periode penyelidikan umum (general survey) selama 1 tahun;
  2. periode eksplorasi selama 2 tahun;
  3. periode studi kelayakan (feasibility study) selama 1 tahun;
  4. periode konstruksi selama 3 tahun; dan
  5. periode operasi/eksploitasi selama 30 tahun.

Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 Tentang Pertambangan Mineral dan Batubara mengatur bahwa usaha pertambangan dikelompokkan atas pertambangan mineral dan pertambangan batubara. Pertambangan mineral sendiri digolongkan lagi menjadi:

  • pertambangan mineral radioaktif;
  • pertambangan mineral logam;
  • pertambangan mineral bukan logam; dan
  • pertambangan batuan.

Usaha pertambangan tersebut diatas dilaksanakan dalam bentuk Izin Usaha Pertambangan (IUP), Izin Pertambangan Rakyat (IPR), dan Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK). Namun yang akan dijelaskan dibawah hanya Izin Usaha Pertambangan (IUP) dan Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK).

Izin Usaha Pertambangan


Izin Usaha Pertambangan (IUP) dibagi menjadi IUP Eksplorasi yang meliputi kegiatan eksplorasi, dan studi kelayakan serta IUP Operasi Produksi meliputi kegiatan konstruksi, penambangan, pengolahan dan pemurnian, serta pengangkutan dan penjualan. Pembagian atas usaha pertambangan diatas memberikan konsekuensi hukum pada jangka waktu dan luas dari wilayah IUP.

Jangka waktu atas IUP Eksplorasi dijabarkan dalam pasal 42 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 Tentang Pertambangan Mineral dan Batubara sebagai berikut:

  1. Untuk pertambangan mineral logam paling lama 8 tahun;
  2. Untuk pertambangan mineral bukan logam paling lama 3 tahun;
  3. Untuk pertambanagn mineral bukan logam jenis tertentu paling lama 7 tahun;
  4. Untuk pertambangan batuan paling lama 3 tahun;
  5. Untuk pertambangan batubara paling lama 7 tahun.

Apabila dalam kegiatan eksplorasi dan kegiatan studi kelayakan tersebut pemegang IUP mendapatkan mineral atau batubara yang tergali wajib melaporkan pada pemberi IUP, dan apabila pemegang IUP tersebut ingin menjual mineral atau batubara yang tergali tersebut wajib mengajukan izin sementara untuk melakukan pengangkutan dan penjualan.

Sedangkan, jangka waktu atas IUP Operasi Produksi dijabarkan dalam pasal 47 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 Tentang Pertambangan Mineral dan Batubara sebagai berikut:

  1. Untuk pertambangan mineral logam paling lama 20 tahun, dan dapat diperpanjang 2 kali masing-masing 10 tahun;

  2. Untuk pertambangan mineral bukan logam paling lama 10 tahun, dan dapat diperpanjang 2 kali masing-masing 5 tahun;

  3. Untuk pertambangan mineral bukan logam jenis tertentu paling lama 20 tahun, dan dapat diperpanjang 2 kali masing-masing 10 tahun;

  4. Untuk pertambangan batuan : paling lama 5 tahun, dan dapat diperpanjang 2 kali masing-masing 5 tahun;

  5. Untuk pertambangan batubara paling lama 20 tahun, dan dapat diperpanjang 2 kali masing-masing 10 tahun.

Untuk besarnya luas wilayah dari seluruh jenis penggolongan pertambangan adalah sebagai berikut:

  1. Pertambangan Mineral Logam adalah pemegang IUP Eksplorasi mineral logam diberi WIUP minimal 5000 hektar dan paling banyak 100.000 hektar dan Pemegang IUP Produksi mineral logam diberi WIUP dengan luas paling banyak 25.000 hektar.

  2. Ketentuan dalam Pertambangan Bukan Mineral Logam adalah pemegang IUP Eksplorasi mineral logam diberi WIUP minimal 500 hektar dan paling banyak 25.000 hektar dan Pemegang IUP Produksi mineral logam diberi WIUP dengan luas paling banyak 5.000 hektar.

  3. Ketentuan dalam Pertambangan Batuan adalah pemegang IUP Eksplorasi mineral logam diberi WIUP minimal 5 hektar dan paling banyak 5.000 hektar dan Pemegang IUP Produksi mineral logam diberi WIUP dengan luas paling banyak 1.000 hektar.

  4. Ketentuan dalam Pertambangan Batubara adalah pemegang IUP Eksplorasi mineral logam diberi WIUP minimal 5000 hektar dan paling banyak 50.000 hektar dan Pemegang IUP Produksi mineral logam diberi WIUP dengan luas paling banyak 15.000 hektar.

Izin Usaha Pertambangan Khusus


Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) juga dibagi menjadi IUPK Eksplorasi yang meliputi kegiatan eksplorasi, dan studi kelayakan serta IUPK Operasi Produksi meliputi kegiatan konstruksi, penambangan, pengolahan dan pemurnian, serta pengangkutan dan penjualan. Pembagian atas usaha pertambangan diatas memberikan konsekuensi hukum pada jangka waktu dan luas dari wilayah IUP.

Mengenai luas WIUPK dan jangka waktu IUPK mineral logam dan batubara dijabarkan dalam pasal 83 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 Tentang Pertambangan Mineral dan Batubara sebagai berikut;

  1. Mineral Logam

    • Luas 1 WIUPK untuk kegiatan Eksplorasi maksimal 100.000 hektar;
    • Luas 1 WIUPK untuk kegiatan Operasi Produksi maksimal 25.000 hektar;
    • Jangka waktu IUPK Eksplorasi maksimal 8 tahun;
    • Jangka waktu IUPK Operasi Produksi maksimal 20 tahundan dapat diperpanjang 2 kali masing-masing 10 tahun.
  2. Batubara

    • Luas 1 WIUPK untuk kegiatan Eksplorasi maksimal 50.000 hektar;
    • Luas 1 WIUPK untuk kegiatan Operasi Produksi maksimal 15.000 hektar;
    • Jangka waktu IUPK Eksplorasi maksimal 7 tahun;
    • Jangka waktu IUPK Operasi Produksi maksimal 20 tahundan dapat diperpanjang 2 kali masing-masing 10 tahun.

Sebenarnya perbedaan antara jangka waktu dalam Undang Undang No. 11 Tahun 1967 Tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertambangan dengan jangka waktu dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral Batubara tidak berbeda dan tidak berdampak luas terhadap perkembangan investasi di Indonesia. Namun, perbedaan luas wilayah dalam pengusahaan pertambangan sangat berbeda antara ketentuan dalam Kuasa Pertambangan (KP), Kontrak Karya (KK) dan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) dengan ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral Batubara.

Sesuai dengan Pasal 21 ayat (1) Peraturan Pemerintah No. 75 Tahun 2001 dan Keputusan Menteri Pertambangan dan Energi No. 134.K/201/M.PE/1996. Persyaratan wilayah yang diperbolehkan bagi pengusahaan pertambangan :

  1. Kontrak Karya (KK), luas wilayah tidak boleh melebihi 250.000 hektar;

  2. Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B), luas wilayah tidak boleh melebihi 100.000 hektar;

  3. Kuasa Pertambangan (KP) Penyelidikan Umum, luas wilayah tidak boleh melebihi 25.000 hektar;

  4. Kuasa Pertambangan (KP) Eksplorasi, luas wilayah tidak boleh melebihi
    10.000 hektar;

  5. Kuasa Pertambangan (KP) Eksploitasi, luas wilayah tidak boleh melebihi
    5.000 hektar.

Dari penjelasan di atas, dapat dilihat bahwa untuk luas wilayah Kontrak Karya (KK) tidak boleh melebihi 250.000 hektar sedangkan pengaturan luas wilayah dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral Batubara hanya diperbolehkan maksimal 100.000 hektar.

Luas wilayah Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) tidak boleh melebihi 100.000 hektar sedangkan dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral Batubara hanya diperbolehkan maksimal 50.000 hektar. Jadi untuk luas wilayah terhadap dari Kontrak Karya (KK) dan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) mengalami pengurangan luas wilayah dalam Izin Usaha Pertambangan (IUP).

Luas wilayah ini sebenarnya terkait dengan Wilayah Pertambangan dimana keberadaan dan besarnya deposit yang terdapat dalam wilayah tersebut. Pemerintah dapat membuat kavling-kavling untuk deposit batubara yang penyebaran mendatarnya hampir seragam di wilayah yang cukup luas. Besarnya wilayah untuk kegiatan eksplorasi dan eksploitasi tentu berbeda sesuai dengan ketelitian hasil eksplorasi. Dalam industri pertambangan dibutuhkan wilayah dengan luasan yang cukup untuk menjamin keselamatan kerja dan sistem pertambangan yang benar. Luas wilayah yang cukup juga diperlukan untuk memberikan jaminan bagi investasi yang akan ditanamkan. Priyo Pribadi Soemarno menganggap bahwa ketetapan tentang luas wilayah pertambangan yang baru bermanfaat untuk mengurangi tingkat degradasi lingkungan apabila dibuat luas yang kecil-kecil seperti wilayah KP batubara pada saat ini.

Beliau juga berpendapat bahwa diperlukan luas wilayah yang cukup untuk tetap menjaga keseimbangan lingkungan, dimana konsep pertambangan tidak membolehkan operasi pertambangan pada seluruh wilayah pertambangannya, tetap harus ada wilayah ijin yang menjadi daerah penyangga. Jadi, untuk investasi asing yang mengalami pengurangan luas wilayah, ketentuan-ketentuan yang baru tidak akan mengurangi aspek komersil dari suatu usaha pertambangan.

Referensi :

  • Erman Radjagukguk, Indonesianisasi Saham, (Jakarta: Bina Aksara, 1985)
  • Ann Soekatrie S. Sosrokoesoemo, Segi-Segi Hukum Pengusahaan Pertambangan Umum, Seminat Peraturan Perundang-undangan Pengusahaan Pertambangan Umum (Mineral Legislation Meeting), Jakarta, 8-9 Februari 1993.