Bagaimana Aturan Didalam Ajaran Agama Islam Terkait Dengan Anak Angkat?

Berdasarkan UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, definisi anak angkat adalah anak yang haknya dialihkan dari lingkungan kekuasaan keluarga orangtua, wali yang sah, atau orang lain yang bertanggungjawab atas perawatan, pendidikan, dan membesarkan anak tersebut, ke dalam lingkungan keluarga orang tua angkatnya berdasarkan putusan atau penetapan pengadilan. Apakah dalam Islam terdapat pembatasan-pembatasan bagi menerima anak angkat ?

Mengasuh dan mengangkat anak yang tak memiliki pelindung atau para pelindungnya tidak mampu membiayainya dan mereka memberikan anaknya dalam tanggung jawab orang lain dengan kerelaan sepenuhnya, dalam pandangan syar’i tidak ada masalah, bahkan persoalan seperti ini merupakan perbuatan yang sangat terpuji dalam agama Islam.
Sedemikian hingga mengenai orang yang mengambil tanggung jawab pengasuhan anak yatim, Rasulullah Saw bersabda,

Orang yang seperti ini akan bersamaku di surga.

Dengan memperhatikan kondisi anak yang saat itu tidak memiliki kewenangan penuh atas dirinya, negara-negara telah menetapkan aturan-aturan tertentu untuk masalah ini, dimana sebagian dari aturan ini (seperti kemandulan pasangan yang ingin mengambil tanggung jawab mengasuh anak) ditentukan karena alasan ini, dan jika tidak, secara syar’i, pasangan yang memiliki anak pun bisa menerima anak lain sebagai anak angkat.

Tentunya dalam hukum Islam, anak angkat tidak sama dengan anak kandung, bahkan al-Quran mengisyarahkan

Dan Allah tidak menjadikan anak-anak angkatmu sebagai anak kandungmu (sendiri). Yang demikian itu hanyalah perkataanmu di mulutmu saja. Dan Allah mengatakan yang sebenarnya dan Dia menunjukkan jalan (yang benar)” (QS al-Ahzaab: 4).

Demikian penjelasannya,

Pada masa jahiliyyah, menjadi hal yang biasa bagi masyarakat waktu itu untuk memilih sebagian anak sebagai anak mereka, dan mereka akan menyebut anak ini sebagai anak lelakinya, selanjutnya, setelah memberikan nama, mereka juga akan memberikan seluruh hukum-hukum yang dimiliki oleh anak laki-laki dari ayahnya, seperti, ia akan menjadi pewaris ayah angkatnya, ayah angkat juga akan menjadi pewarisnya, hukum haram abadi menikahi istri ayah angkat atau istri anak angkat juga berlaku dalam masalah ini.

Agama Islam, menolak keras aturan yang tak logis dan khurafat ini, dan bahkan Rasulullah Saw sendiri, untuk menghapus tradisi salah ini telah menikahi istri anak angkatnya Zaid bin Harits setelah ia bercerai dari Zaid.

Salah satu dari bahasan mengenai anak angkat adalah masalah pembatasan hubungan dengan orang-orang di sekitarnya, dan pertanyaan yang banyak diutarakan adalah bagaimana anak angkat bisa bermahram dengan ayah dan ibu angkatnya?

Sebagian dari fukaha dalam kaitannya dengan masalah ini menyampaikan berbagai cara, di antaranya:

  • Jika anak angkat tersebut adalah seorang anak perempuan yang masih menyusu, dan ia menyusu dari salah satu dari orang-orang berikut (dengan syarat-syarat yang telah ditentukan sekaitan dengan hal ini) maka antara ia dengan lelaki (ayah angkatnya) akan tercipta hubungan kemahraman, dan mereka ini adalah: istri, ibu, saudara perempuan, anak perempuan dari saudara perempuan, istri saudara laki-laki, anak peremuan dari saudara laki-laki, dimana dalam seluruh keadaan ini ia akan menjadi mahram dengan ayah angkatnya secara ridhâ’î (sepersusuan).

  • Jika anak perempuan tersebut bukan anak yang masih menyusu, atau jika masih menyusu akan tetapi tidak ada orang-orang yang dimaksudkan di atas, maka melalui shighah nikah muwakkat antara anak tersebut dengan ayah lelaki (ayahnya ayah angkatnya), yaitu kakek angkatnya, maka akan tercipta kemahraman. Dimana dalam keadaan ini, anak angkat ini akan menjadi istri ayahnya (ayahnya ayah angkat), akan tetapi harus diingat, jika anak ini masih belum baligh, pernikahan di atas harus dilakukan dengan izin dari wali syar’inya, dan jika tidak ada wali, harus dengan meminta izin dari mujtahid yang memenuhi syarat. Bagaimanapun, shighah mahramiah ini tidak boleh membawa keburukan bagi anak perempuan ini, melainkan dilakukan karena mempedulikan kebaikannya.

  • Jika anak angkat adalah anak laki-laki yang masih menyusu, dan ia menyusu dari salah satu orang-orang di bawah ini (dengan syarat-syarat yang berkaitan) maka antara dia dan ibu angkatnya akan tercipta kemahraman, dan mereka ini adalah: dia sendiri (ibu angkat), ibu, saudara perempuan, anak saudara perempuan, istri saudara laki-laki dan anak perempuan dari saudara laki-lakinya, dimana dalam keseluruhan kondisi ini, ibu angkat, secara ridhâ’î akan bermahram dengannya.

  • Jika anak angkat laki-laki bukan anak yang menyusu, atau orang-orang yang telah tersebut untuk menyusui tidak ada, jika perempuan dan suaminya memiliki anak perempuan, maka anak perempuan ini bisa dinikahkan secara daim atau sementara dengan anak angkat aki-laki, dimana dalam keadaan ini ibu angkat, akan menjadi mertuanya, dan setelah pisah dengan anak perempuannya, ia masih akan bermahram dengan ibu angkatnya. Atau jika ayahnya anak angkat ini masih hidup, ayah angkat bisa mentalak istrinya, dan setelah habis masa iddahnya, ia (istri) menikah secara sementara dengan ayah kandung anak angkatnya (kendati dengan syarat tidak ada penetrasi), dan setelah lewat waktu, ayah angkat kembali akad dengan mantan istrinya. Dengan cara ini, anak lelaki tersebut telah bermahram dengan ibu angkatnya, karena ia pernah menikah dengan ayah kandungnya, akan tetapi anak perempuan kandung dari ibu angkat ini tidak bisa bermahram dengan anak laki-laki ini.

Selain hal ini, tidak ada cara untuk membuat kemahraman anak angkat laki-laki.
Terakhir, perlu untuk disebutkan bahwa kendati anak angkat, dari segi fikih dan hak, tidak memiliki hukum seperti anak kandung, akan tetapi hal ini tidak berarti bahwa pemeliharaan dan pertanggungjawaban terhadap anak angkat, bersyarat pada kemahramannya atau seluruh hukum-hukum khusus anak, melainkan masalah ini bisa diselesaikan dengan cara-cara syari dan akhlaki. Demikian juga dengan memberikan informasi kepada anak angkatnya bahwa ia bukan anak kandung. Tentunya jelas bahwa masalah ini jangan disampaikan dengan cara yang bisa mengguncangkan mental anak, ada baiknya untuk bermusyawarah dengan penasehat-penasehat keluarga sebelum melakukan hal ini.