Bagaimana asas-asas Umum dalam Hukum Perjanjian Internasional?

Perjanjian internasional adalah instrumen yuridis yang menampung kehendak dan persetujuan negara atau subjek hukum internasional lainnya untuk mencapai tujuan bersama, yang mana pembuatannya diatur oleh hukum internasional dan menimbulkan akibat hukum yang mengikat bagi para pihak yang membuatnya.

Bagaimana asas-asas Umum dalam Hukum Perjanjian Internasional ?

Eksistensi sebuah perjanjian internasional tidak dapat dilepaskan dari asas- asas dan/atau prinsip-prinsip hukum internasional, baik asas-asas umum maupun asas-asas yang terdapat di dalam tubuh hukum perjanjian itu sendiri. Asas-asas umum yang ada dewasa ini bisa dikatakan tumbuh akibat perkembangan hukum internasional sendiri dan pengaruh perjanjian-perjanjian internasional beberapa dekade ke belakang, tidak lupa akibat pengaruh hukum kebiasaan-kebiasaan internasional. Bahkan, prinsip jus cogens sebagai prinsip yang sifatnya sangat kuat atau imperatif (a peremptory norm of general international law) belum memiliki bentuk pasti prinsip-prinsip apa yang termasuk di dalamnya.

Walau belum ada pengertian yang diterima luas untuk menjelaskan apa yang dimaksud dengan prinsip-prinsip umum dalam hukum internasional, sebagai salah satu sumber hukum, peranannya di yakini lahir baik dari sistem hukum nasional maupun hukum internasional.

Sumber hukum ini akan mulai berfungsi ketika hukum perjanjian (internasional) dan hukum kebiasaan internasional tidak memberi jawaban atas sesuatu persoalan. Oleh karena itu, prinsip-prinsip hukum umum hukum internasional ini dipandang sebagai sumber hukum penting dalam upaya mengembangkan hukum.

Sebelum membahas mengenai asas hukum internasional lebih dalam lagi, penting adanya untuk mengetahui apa yang dimaksud sebagai asas hukum terlebih dahulu. Beberapa ahli mengungkapkan pendapatnya mengenai pengertian dari asas hukum sebagai berikut:

  1. Bellefroid berpendapat bahwa asas hukum adalah norma dasar yang dijabarkan dari hukum positif dan yang oleh ilmu hukum tidak dianggap bersal dari aturan-aturan yang umum, melainkan merupakan pengendapan hukum positif dalam suatu masyarakat;

  2. Van Eikema Hommes menyatakan bahwa asas hukum perlu dipandang sebagai dasars-dasar umum atau petunjuk-petunjuk bagi hukum yang berlaku di mana pembentukan hukum praktis perlu berorientasi pada asas- asas hukum tersebut;

  3. Menurut P. Scholten asas hukum adalah kecenderungan-kecenderungan yang disyaratkan oleh pandangan kesusilaan kita pada hukum, merupakan sifat-sifat umum dengan segala keterbatasannya sebagai pembawaan yang umum itu, tetapi yang tidak boleh tidak harus ada;

  4. Sudikno Mertokusumo menyimpulkan bahwa asas hukum merupakan pikiran dasar yang umum sifatnya atau merupakan latar belakang dari peraturan yang konkret yang terdapat dalam dan di belakang setiap sistem hukum yang terjelma dalam peraturan perundang-undangan dan putusan hakim yang merupakan hukum positif dan dapat diketemukan dengan mencari sifat umum dalam peraturan konkret tersebut.

Berdasarkan pengertian-pengertian yang telah dijabarkan oleh para ahli di atas, dapat disimpulkan bahwa hukum bukanlah kaidah hukum yang konkret, namun merupakan latar belakang peraturan yang konkret dan bersifat umum serta abstrak, yang dapat ditemukan berdasarkan sifat-sifat umum dalam suatu kaidah atau peraturan yang konkret.

Asas-asas hukum sendiri dapat berupa yang tersirat (ada di dalam suatu peraturan positif) ataupun yang tidak tersirat (tidak dituangkan dalam aturan hukum mana pun).

Asas hukum juga terdiri dari asas hukum yang umum (berhubungan dengan seluruh bidang hukum) dan yang khusus (berfungsi dalam bidang hukum yang lebih sempit).

Beberapa asas-asas hukum umum yang ada adalah:

  1. Asas lex superior derogat legi inferior yang artinya peraturan yang lebih tinggi mengesampingkan yang rendah atau merupakan asas hierarki. Di Indonesia asas ini dituangkan dalam Pasal 7 Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan;

  2. Asas Lex specialis derogat legi generali adalah asas penafsiran hukum yang menyatakan bahwa hukum yang bersifat khusus (lex specialis) mengesampingkan hukum yang bersifat umum (lex generalis);

  3. Asas Lex Posterior Derogat Legi Priori yaitu pada peraturan yang sederajat, peraturan yang paling baru melumpuhkan peraturan yang lama. Jadi peraturan yang telah diganti dengan peraturan yang baru, secara otomatis dengan asas ini peraturan yang lama tidak berlaku lagi. Biasanya dalam peraturan perundangan-undangan ditegaskan secara eksplisit yang mencerminkan asas ini.

Asas-asas hukum internasional yang di maksud – selain yang telah disebutkan yaitu jus cogens – antara lain asas teritorial, asas kebangsaan, asas kepentingan, ne bis in idem, Pacta sunt servanda, Inviolability dan Immunity.

  1. Asas Teritorial berkaitan erat dengan kedaulatan teritorial, yang berarti kedaulatan yang dimiliki oleh suatu negara dalam melaksanakan yurisdiksi eksklusif di wilayahnya, sehingga negara mempunyai hak untuk menerapkan hukum yang berlaku di wilayahnya terhadap semua orang dengan sepenuh- penuhnya tanpa tekanan kekuasaan dari negara lain.

    Negara tidak dapat diakui keberadaannya apabila tidak memiliki kedaulatan atas wilayahnya, kedaulatan atas wilayah atau teritorialnya menunjukkan negara tersebut merdeka yang sekaligus juga merupakan fungsi dari suatu negara.

  2. Asas Kebangsaan didasarkan pada kekuasaan negara untuk warga negaranya. Artinya, hukum itu berlaku bagi warga negaranya di mana pun berada walaupun perbuatan melawan hukum yang dilakukan di luar negeri atau di negara lain.

  3. Asas Kepentingan Umum bermakna bahwa maksud hukum internasional diciptakan ialah untuk kehidupan atau kepentingan bersama, bukan hanya untuk negara besar atau kaya saja, tetapi juga harus benar-benar mengabdi pada kepentingan umum masyarakat internasional.

  4. Ne Bis In Idem, merupakan salah satu asas dalam hukum pidana internasional yang maksudnya adalah:

    1. Tidak seorang pun dapat diadili sehubungan dengan perbuatan. Kejahatan untuk itu yang bersangkutan telah diputus bersalah atau di bebaskan, kecuali apabila dalam statuta karena keadaan tertentu ada ketentuan yang memungkinkan untuk itu;

    2. Tidak seorang pun dapat diadili di pengadilan lain untuk kejahatan yang dirumuskan dalam Pasal 5 di mana orang tersebut telah dihukum atau dibebaskan oleh pengadilan pidana internasional;

    3. Tidak seorang pun yang telah diadili oleh suatu pengadilan di suatu negara mengenai perbuatan yang dilarang berdasarkan Pasal 6, Pasal 7, dan Pasal 8 boleh diadili berkenaan dengan perbuatan yang sama, kecuali kalau proses perkara dalam pengadilan oleh negara tertentu:

      (a) Adalah dengan tujuan untuk melindungi orang yang bersangkutan dari pertanggungjawaban pidana untuk kejahatan yang berbeda di dalam yurisdiksi Mahkamah Pidana Internasional (Internasional Criminal Court);

      (b) Perbuatan tidak dilakukan mandiri dan dilakukan dengan cara yang tidak sesuai dengan alasan diajukannya yang bersangkutan ke depan pengadilan dan tidak selaras dengan kaidah hukum internasional (Pasal 20).

    Selain itu, Konvensi Wina 1969 di dalam konsideransnya menyebutkan bahwa prinsip konsensualitas (the principles of free consent), itikad baik (good faith) dan pacta sunt servanda harus diakui keberadaannya.

    Ketiga prinsip tersebut menjadi asas utama pembentukan suatu perjanjian internasional dan dalam melakukan hubungan diplomatik dengan negara-negara di dunia yang harus dihormati. Komisi Hukum Internasional bahkan melihat bahwa perumusan Pasal 26 konvensi yang mengandung prinsip free consent, good faith serta pacta sunt servanda telah memperoleh pengakuan secara universal. Ketiganya merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan.

  5. Asas Pacta Sunt Servanda, yang Indonesia kenali di antaranya dalam Pasal 1338 Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUH Perdata) dan pasal 4 ayat (1) UU PI,127 merupakan prinsip yang mendasar bagi negara yang menjadi pihak terkait dalam perjanjian dan harus melaksanakan kewajiban-kewajiban sesuai dengan kewajiban yang dipikulnya.

    Black’s Law Dictionary mengartikan prinsip ini sebagai “… Agreements must be kept. The rule that agreements and stipulation, esp. Those contained must be observed.” Atau yang pada dasarnya merupakan perjanjian harus ditepati.

    Penerapan prinsip ini dapat dilihat dalam Konvensi 1902 yang mengatur mengenai perwakilan anak di bawah umur (Belanda Vs Swiss). Hakim Mahkamah Internasional dari Mexico, Cordova dalam pendapatnya yang berbeda pada tahun 1958 telah menunjuk pada aturan sebagai “prinsip dasar yang dihormati sepanjang zaman”.

    Mengingat pentingnya asas ini, di dalam konvensi kemudian di muat ketentuan tersendiri yakni dalam Pasal 26 yang berbunyi “every treaty in force is binding upon the parties to it and must be performed by them in good faith.”

    Prinsip good faith merupakan persyaratan moral yang menjadi pemicu agar perjanjian dapat dilakukan dengan sungguh-sungguh. Mukadimah Piagam PBB secara implisit membahas mengenai prinsip ini yang menyatakan bahwa PBB bertekad atau menciptakan suasana keadilan dan menghormati kewajiban yang timbul baik dari perjanjian maupun sumber hukum internasional lainnya dapat dilaksanakan.

    Dalam Pasal 2 ayat (2) Piagam PBB bahkan dinyatakan secara jelas bahwa “… semua anggota agar dapat terjamin hak dan kewajiban yang diakibatkan dari keanggotaan mereka itu, harus melaksanakan dengan itikad baik kewajiban-kewajiban yang diberikan kepada mereka sesuai dengan piagam.”

    Pasal 26 konvensi tentang Pacta Sunt Servanda bahkan menyebutkan pentingnya penerapan prinsip ini. Pasal 4 ayat (1) UU Perjanjian Internasional yang berbunyi:
    “Pemerintah Republik Indonesia membuat perjanjian internasional dengan satu negara atau lebih, organisasi internasional, atau subjek hukum internasional lain berdasarkan kesepakatan, dan para pihak berkewajiban untuk melaksanakan perjanjian tersebut dengan itikad baik.

    Berdasarkan bagian yang dicetak tebal, dapat dilihat bahwa prinsip ini tidak kalah pentingnya dengan prinsip sebelumnya. Suatu hubungan antar negara harus diawali dengan itikad baik dan menghasilkan hal yang baik pula.

    Selain itu, dalam Pasal 34 konvensi juga dapat ditemukan asas pacta tertiis nec nocent nec prosunt, yang mengandung makna bahwa suatu perjanjian internasional memberikan hak dan membebani kewajiban terhadap para pihak yang terikat pada perjanjian itu, atau dengan kata lain, suatu perjanjian internasional tidak memberikan hak maupun membebani kewajiban kepada pihak ketiga, kecuali jika pihak ketiga itu menyetujuinya.

Pasal 28 Konvensi Wina 199 menerangkan mengenai asas non-retroactive, yang bermakna bahwa suatu kaidah hukum pada umumnya tidak berlaku surut. Dalam hal ini suatu perjanjian internasional pun pada dasarnya tidak berlaku surut. Sifat ini tidak absolut, karena masih terdapat kemungkinan suatu perjanjian internasional dapat berlaku surut jika diatur demikian.

Lebih lanjut, Konvensi Wina 1969 menegaskan bahwa suatu perjanjian internasional adalah batal (void) apabila substansi perjanjian bertentangan degan suatu kaidah hukum internasional umum yang tergolong jus cogens.133 Pasal 53 Konvensi Wina 1969 memuat penjelasan sebagai berikut:

“… a peremptory norm of general international law is a norm accepted and recognized by the international community of States as a whole as a norm from which no derogation is permitted and which can be modified only by a subsequent norm of general international law having the same character.”

Pasal tersebut menjelaskan bahwa jus cogens adalah suatu kaidah yang diterima dan diakui oleh seluruh masyarakat internasional (negara-negara) sebagai suatu kaidah yang tidak boleh dikesampingkan dan yang hanya dapat diubah oleh kaidah hukum internasional umum yang muncul belakangan yang memiliki sifat atau karakter yang sama.

International Law Commission selanjutnya disebut sebagai ILC menyatakan bahwa yang paling banyak disebutkan termasuk ke dalam prinsip jus cogens adalah:

  1. The prohibition of aggressive use of force;
  2. The right to self-defence;
  3. The prohibition of genocide;
  4. The prohibition of torture;
  5. Crimes against humanity;
  6. The prohibition of slavery and slave trade;
  7. The prohibition of piracy;
  8. The prohibition of racial discrimination and apartheid;
  9. The prohibition of hostilities directed at a civilian population (‘basic rules of international humanitarian law’).

ILC menyebutkan bahwa setidaknya ada sembilan tindakan yang termasuk ke dalam pelanggaran terhadap jus cogens, tindakan-tindakan tersebut adalah penggunaan kekerasan (dalam penyelesaian sengketa, seperti agresi dan penggunaan senjata tingkat tinggi), pengabaian atas hak untuk membela diri (atas negara lain), genosida, penyiksaan, kejahatan kemanusiaan, perbudakan, pembajakan, diskriminasi ras dan warna kulit serta kekerasan langsung terhadap penduduk sipil.

Jus cogens dipercaya sebagai ‘a higher order norms’ yang terbentuk di masa lampau dan tidak dapat diganggu gugat oleh hukum manusia, di mana hak-hak non- derogable (tidak dapat dihilangkan) dari diri manusia merupakan tempat yang paling tepat untuk mulai menelaah yang mana jus cogens atau bukan. Prinsip-prinsip yang termasuk ke dalam jus cogens juga merupakan prinsip-prinsip yang merupakan kewajiban umum negara (erga omnes) untuk ditegakkan.