Bagaimana Asal Usul Resolusi Parlemen Eropa tentang Palm Oil and Deforestation of Rainforests?

Asal Usul Resolusi Parlemen Eropa tentang Palm Oil and Deforestation of Rainforests

Beragam cara dilakukan Uni Eropa demi menekan tindak perusakan alam serta mengatasi krisis energi dan lingkungan. Salah satunya dengan mengenalkan perubahan cara berkebun tanaman Kelapa Sawit.

Bagaimana Asal Usul Resolusi Parlemen Eropa tentang Palm Oil and Deforestation of Rainforests ?

Asal Usul Resolusi Parlemen Eropa tentang Palm Oil and Deforestation of Rainforests

Produk olahan Kelapa Sawit berupa CPO dan turunan lainnya asal Indonesia kian diminati oleh masyarakat dunia. Importir terbesar Kelapa Sawit asal Indonesia ialah India, Uni Eropa, dan Cina. Uni Eropa saat ini menempati urutan tiga besar importir produk Kelapa Sawit asal Indonesia. Selain menggunakan produk olahan Kelapa Sawit sebagai bahan baku makanan dan kosmetik, Uni Eropa mengimpor Kelapa Sawit sebagai bahan baku energi alternatif pengganti energi fosil, yakni Biofuel/ biodiesel.

Pertambahan penduduk dunia diiringi dengan melonjaknya permintaan terhadap produk Kelapa Sawit membuat para pengusaha memaksimalkan produksi, termasuk dengan cara manambah luas lahan perkebunan. Namun, hal itu ternyata dianggap memberi dampak negatif terhadap lingkungan. Hal ini disebabkan karena penebangan hutan untuk pembukaan lahan dapat mengakibatkan kehilangan keanekaragaman hayati sekaligus menjadi penyebab perubahan iklim.

Pembukaan lahan digolongkan pula sebagai tindak deforestasi. Deforestasi diartikan sebagai konversi area perhutanan untuk dijadikan lahan non-hutan, seperti penggunaan perkotaan, area bekas tebangan, atau lahan kosong. Deforestasi dapat terjadi karena banyak faktor. Di antaranya karena penebangan tutupan hutan (kanopi) atau bagian paling atas dari pepohonan yang secara sengaja dialihfungsikan untuk dijadikan lahan pertanian atau perkotaan, aktivitas penggembalaan, serta terjadinya kebakaran hutan di daerah kering.

Sebagai salah satu pemimpin inisiatif penghijauan dan promotor konsep pembangunan berkelanjutan, Uni Eropa merasa perlu memperhatikan apa yang terjadi di kawasannya, termasuk perannya dalam mengonsumsi minyak nabati yang berimbas pada aktivitas perusakan lingkungan. Beragam cara dilakukan Uni Eropa demi menekan tindak perusakan alam serta mengatasi krisis energi dan lingkungan. Salah satunya dengan mengenalkan perubahan cara berkebun tanaman Kelapa Sawit, yang hingga saat ini dikenal sebagai sumber deforestasi, konversi lahan gambut, dan berdampak pada perubahan iklim. Selain itu, Uni Eropa juga membuat berbagai peraturan tentang standar lingkungan, termasuk salah satu yang terbaru ialah Resolusi tentang Kelapa Sawit dan Deforestasi Hutan Hujan ( Resolution on Palm Oil and Deforestation of Rainforests ) yang dikeluarkan Parlemen Eropa pada April 2017.

Resolusi tentang Palm Oil and Deforestation of Rainforests ini merupakan proses lanjutan dari perbaikan Kebijakan RED Uni Eropa tahun 2016 tentang strategi energi terbarukan untuk bahan bakar transportasi. Energi terbarukan yang disebut dalam RED memuat minyak nabati seperti Kelapa Sawit, Minyak Kedelai, Minyak Rapeseed, Minyak Bunga Matahari, dan minyak nabati lain yang digunakan sebagai bahan baku pembuatan biofuel atau biodiesel berpotensi dalam tindak perusakan lingkungan. Namun, sektor Kelapa Sawit mendapat perhatian dunia ketika terjadi kebakaran hutan besar yang melanda kawasan hutan Indonesia dan Malaysia pada 2015, yang mana sebesar 25 persen kebakaran terjadi di atas perkebunan Kelapa Sawit.

Kasus kebakaran tersebut menjadi perhatian Uni Eropa, khususnya oleh Parlemen Eropa hingga menyebut industri Kelapa Sawit menerapkan praktik yang tidak berkelanjutan dan mengeluarkan Minyak Kelapa Sawit sebagai salah satu energi terbarukan yang disebut dalam EU RED Directive . Dalam revisi kebijakan tersebut, pada 2021 Kelapa Sawit tidak dimasukkan dalam daftar energi terbarukan yang digunakan dalam biofuel. Atas rancangan kebijakan tersebut, Parlemen Eropa memasukkannya ke dalam resolusi tentang Palm Oil and Deforestation of Rainforests yang dijadwalkan melakukan voting pada 4 April 2017. Pada pelarangan penggunaan minyak nabati itu, Kelapa Sawit disebutkan sebagai salah satu produk yang dilarang karena sebagian besar impor Kelapa Sawit yang masuk ke Uni Eropa digunakan sebagai bahan baku biofuel dan diproduksi secara tidak berkelanjutan.

Sesaat setelah resolusi tersebut keluar, beragam reaksi datang dari negara-negara produsen Kelapa Sawit. Negara-negara produsen termasuk Indonesia kaget dan kecewa atas resolusi yang dikeluarkan Parlemen Eropa tersebut. Meski terdapat protes dari negara-negara produsen Kelapa Sawit, Parlemen Eropa tidak menahan proses voting terhadap resolusi tersebut. Meskipun Uni Eropa telah melakukan voting terhadap resolusi, Uni Eropa masih menunda pelaksanaan peraturan ini dan memberi kesempatan hingga tahun 2030 agar negara-negara produsen produk Kelapa Sawit dapat memperbaiki tata kelola industri Kelapa Sawit agar berkelanjutan.

Permintaan yang besar akan bahan baku biofuel membuat Uni Eropa turut menyumbang aktivitas deforestasi yang digunakan untuk memproduksi Minyak Kelapa Sawit. Jika hal ini terus dibiarkan, maka diestimasikan menurut Mandat biofuel Uni Eropa tahun 2020, total pengalihan lahan hutan yang dikonversi untuk kebutuhan bahan baku Biofuel adalah 8,8 juta hektar, di mana sebesar 2,1 juta hektar dikonversi dari hutan tropis dan lahan gambut hutan-hutan dari Asia Tenggara.

Deforestasi dihubungkan dengan pertumbuhan Industri Kelapa Sawit semenjak komoditi tersebut mulai dikenal sejak tahun 2005. Dalam kurun waktu 2005-2015, Kelapa Sawit menjadi penyebab utama deforestasi di Pulau Kalimantan yakni terhitung sebesar 50 persen (4,2 Mha) lahan hutan yang hilang. Indonesia disebut selama kurun waktu 2010-2015 telah kehilangan sekitar 700.000 hektar hutan per tahun dikarenakan penambahan lahan perkebunan serta Malaysia kehilangan sekitar 80.000 hektar pertahun.

Dugaan aktivitas deforestasi dibantah oleh Indonesia. Indonesia berpendapat bahwa terjadi perbedaan penafsiran terhadap pengertian deforestasi antara negara-negara barat dan Indonesia. Uni Eropa menafsirkan deforestasi sebagai konversi permanen terhadap lahan hutan yang digunakan untuk fungsi lain. Indonesia menganggap bahwa konversi lahan hutan untuk dijadikan sebagai hutan sekunder atau perkebunan bukanlah tindak deforestasi. Hal ini turut diperkuat fakta bahwa perkebunan karet, bambu, dan Kelapa Sawit masih dikategorikan sebagai hutan.

Dari total 43 negara yang memproduksi Minyak Kelapa Sawit , Indonesia dan Malaysia berperan sebagai produsen Minyak Kelapa Sawit terbesar di dunia dengan total perkebunan sebesar 85 persen . Selain Indonesia dan Malaysia, Kelapa Sawit juga dihasilkan oleh negara-negara beriklim tropis seperti Kolombia, Ekuador, Nigeria, Papua Nugini, dan beberapa negara lainnya.

Selain dituding sebagai faktor penyebab deforestasi, sektor Kelapa Sawit diduga bertanggung jawab atas rusaknya hutan dan hilangnya keanekaragaman hayati dunia. Meskipun Kelapa Sawit tidak secara spesifik dinyatakan sebagai ancaman utama penyebab kepunahan berbagai spesies flora dan fauna, berdasarkan jurnal IUCN ( International Union of Nature and Natural Resources ) Red List Catagories , terdapat 405 spesies yang terdapat di hutan yang terkonversi sebagai lahan Kelapa Sawit, yang mana 193 spesies di antaranya dinyatakan terancam punah. Hewan- hewan seperti Harimau, Badak Jawa, dan Gajah Asia terkena dampak akibat hutan tropis di Pulau Sumatera dan Kalimantan yang dikonversi sebagai lahan perkebunan Kelapa Sawit.

Masalah lain yang disebut dalam resolusi Parlemen Eropa tentang Palm Oil and Deforestation of Rainforests ialah pembukaan lahan perkebunan Kelapa Sawit di atas lahan gambut. Menurut Hooijer, Asia Tenggara memiliki lahan gambut sekitar 27,1 juta hektar, dan 22,5 juta hektar di antaranya terdapat di Indonesia. Hal ini menjadi masalah ketika lahan gambut ini terbakar dan mengeluarkan gas Karbon Dioksida yang lebih besar dibandingkan proses drainase lahan gambut. Besarnya kadar Karbon Dioksida yang dilepaskan ke udara kemudian menimbulkan penyakit pernapasan yang menyerang penduduk. Indonesia dinyatakan sebagai salah satu penyumbang pemanasan global terbesar di dunia setelah terjadi kebakaran besar sebesar 30- 50 persen kebakaran terjadi di atas lahan gambut pada 2015.

Selain menyebabkan masalah-masalah lingkungan, konversi hutan menjadi perkebunan Kelapa Sawit juga menyebabkan beragam masalah sosial. Di antaranya ialah dugaan pengusiran paksa, kekerasan bersenjata, pekerja anak, atau diskriminasi terhadap hak masyarakat adat. Hal inilah yang kemudian menjadi alasan-alasan Uni Eropa melalui Parlemen Eropa mengeluarkan Resolusi Palm Oil and Deforestation of Rainforests , yang juga digunakan untuk menekan penggunaan atau konsumsi minyak Kelapa Sawit tak bersertifikasi di Uni Eropa dan menekan isu-isu yang disebutkan di atas.

Pertimbangan lain Uni Eropa mengeluarkan Resolusi tersebut juga untuk menghormati komitmen yang telah dibuat Uni Eropa terhadap banyak perjanjian internasional, seperti dalam United Nations Sustainable Development Goals 2015-2030 (UN SDGs), Paris Agreement dan Conference of Parties ke-21 (COP-21), laporan Komisi Eropa tentang The Impact of EU Consuption of Deforestation, Amsterdam Declaration, The New York Declaration on Forest, UN Declaration on the Rights of Indigenous Peoples (UNDRIP), dan beberapa kesepakatan internasional lainnya yang berkaitan dengan perlindungan alam dan penanggulangan perubahan iklim. Seluruh penyebab umum dan beberapa rekomendasi hasil dari kesepakatan internasional tersebut kemudian menjadi pertimbangan bagi Parlemen Eropa untuk mengeluarkan resolusi tentang Palm Oil and Deforestation of Rainforests tersebut.

Resolusi ini diduga tidak hanya berpengaruh terhadap kelestarian lingkungan. Tetapi juga akan berpengaruh pada perdagangan sektor Kelapa Sawit dan minyak nabati lainnya secara keseluruhan. Oleh karena itu, Parlemen Eropa meminta pertimbangan dan opini kepada beberapa bagian dari badan Uni Eropa, seperti Committee on Development, Committee on International Trade, Committee on Agriculture and Rural Development , serta melakukan voting terkait resolusi tersebut. Hasil voting menyatakan resolusi Parlemen Eropa tentang Palm Oil and Deforestation of Rainforests berhasil dimenangkan dengan 640 suara setuju dan melewati 18 suara yang tidak setuju serta 28 anggota yang abstain. Resolusi tersebut juga telah melewati 27 observasi, 25 petimbangan, serta memperhatikan 54 rekomendasi sebelum disahkan menjadi resolusi pada 4 April 2017 lalu.