Bagaimana asal-usul pertentangan pemikiran antara Soekarno dan Hatta?

Negara Indonesia lahir dan diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945 oleh dwitunggal Soekarno-Hatta atas nama Bangsa Indonesia. Sebagaimana diketahui kedua tokoh inilah yang mengangkat Indonesia dalam percaturan politik Internasional, baik itu ketika masih dalam cengkraman kolonialisme Belanda maupun ketika masa pendudukan Jepang.

UUD 1945 memang segera diberlakukan sehari setelah proklamasi kemerdekaan RI tanggal 17 Agustus 1945. Namun beberapa keputusan yang dibuat oleh PPKI ternyata tidak bisa berjalan sempurna terutama ide pembuatan partai tunggal yaitu Partai Nasional Indonesia (PNI), hal ini disebabkan karena kurangnya dukungan dari elit politik nasional pada waktu itu (Kahin 1970). Kemudian dikeluarkan Maklumat pemerintah tanggal 4 Nopember 1945 tentang pembentukan partai-partai politik. PPKI diubah menjadi KNIP (Komite Nasional Indonesia Pusat) yang merupakan lembaga pembantu presiden sesuai dengan Aturan Peralihan Pasal IV UUD 1945, presiden Soekarno menjalankan kekuasaan MPR, DPR, dan DPA sebelum lembaga-lembaga tersebut terbentuk (Manan, 2003)

Ternyata ketentuan tersebut di atas tidak dapat disetujui oleh sebagian elit politik republik baru tersebut karena mencerminkan kekuasaan presiden yang bersifat absolut dan otoriter. Perbedaan persepsi tentang kekuasaan presiden ini adalah pertentangan politik pertama yang paling nyata dikalangan elit politik.

Puncak dari adanya pertentangan tersebut muncul ketika dikeluarkannya Maklumat Wakil Presiden no. X pada tanggal 16 Oktober 1945 yang bertujuan mengurangi kekuasaan presiden dan mengubah ketentuan yang diberikan oleh Aturan Peralihan Pasal IV tersebut. Maklumat Wakil Presiden no. X menetapkan bahwa kabinet presidensil yang diatur oleh UUD 1945 diubah menjadi kabinet parlementer. Kabinet bertanggung jawab kepada KNIP yang berfungsi sebagai DPR (Rauf, 2000).

Soekarno-Hatta telah banyak melalui perjalanan panjang menuju Indonesia Merdeka, tentu bukan hal mudah dilakukan oleh kedua tokoh diatas. Banyak hal-hal yang belum diketahui oleh kalangan sejarawan manakala mereka ternyata terlibat dalam pertentangan pendapat dalam segala kehidupan berbangsa dan bernegara (Alam, 2003). Pententangan ini telah ada semenjak mereka aktif dalam organisasi pergerakan pemuda menentang kolonialisme Belanda hingga akhirnya Bung Hatta mengundurkan diri dari pemerintahan pada tanggal 1 Desember 1956, pengunduran ini beralasan untuk mengakhiri pertentangan antar keduanya (Rauf , 2000)

Menurut Herbert Feith (2001:10-11), Soekarno adalah seorang solidarity maker yaitu seorang pemimpin yang pandai menarik simpati massa dan menggerakkan mereka untuk tujuan tertentu, sedangkan Hatta adalah seorang administrator yang ahli dalam penyelenggaraan negara namun tidak terampil dalam menghadapi massa.

Soekarno tidak mendapatkan pendidikan di Luar Negeri (Barat) sehingga menganggap nilai-nilai budaya Barat tidak berpengaruh baginya dan tidak dianggap penting. Berbeda dengan Hatta yang memeroleh pendidikannya di Belanda yang menyebabkannya bersimpati terhadap nilai-nilai budaya Barat, seperti demokrasi Barat. Lebih dalam lagi kita lihat latar belakang Soekarno yang merupakan orang Jawa sedangkan Hatta adalah orang Minang, dilihat dari pribadinya sangat jelas terbaca akan adanya potensi yang besar untuk terjadinya konflik/pertentangan (Rauf, 2000). Kedua tokoh ini mempunyai perbedaan pandangan satu sama lain, terutama strategi dan orientasi politik keduanya. Disatu sisi Bung Karno ingin melanggengkan dominasinya meneruskan perjuangan revolusi, pada sisi lainnya Bung Hatta telah berfikir maju untuk segera mengakhiri Revolusi menuju kearah pembangunan manusia Indonesia seutuhnya (Nasution, 1995)