Bagaimana asal-usul para Walisongo di tanah Jawa ?

Walisongo atau Walisanga dikenal sebagai penyebar agama Islam di tanah Jawa pada abad ke 14. Mereka tinggal di tiga wilayah penting pantai utara Pulau Jawa, yaitu Surabaya-Gresik-Lamongan-Tuban di Jawa Timur, Demak-Kudus-Muria di Jawa Tengah, dan Cirebon di Jawa Barat.

Era Walisongo adalah era berakhirnya dominasi Hindu-Budha dalam budaya Nusantara untuk digantikan dengan kebudayaan Islam. Mereka adalah simbol penyebaran Islam di Indonesia, khususnya di Jawa. Tentu banyak tokoh lain yang juga berperan. Namun peranan mereka yang sangat besar dalam mendirikan Kerajaan Islam di Jawa, juga pengaruhnya terhadap kebudayaan masyarakat secara luas serta dakwah secara langsung, membuat para Walisongo ini lebih banyak disebut dibanding yang lain.

Bagaimana asal-usul para Wali di tanah Jawa ?

Sunan Gresik (Maulana Malik Ibrahim)


Maulana Malik Ibrahim adalah keturunan ke-22 dari Nabi Muhammad. Ia disebut juga Sunan Gresik, atau Sunan Tandhes, atau Mursyid Akbar Thariqat Wali Songo . Nasab As-Sayyid Maulana Malik Ibrahim Nasab Maulana Malik Ibrahim menurut catatan Dari As-Sayyid Bahruddin Ba’alawi Al-Husaini yang kumpulan catatannya kemudian dibukukan dalam Ensiklopedi Nasab Ahlul Bait yang terdiri dari beberapa volume (jilid).

Dalam Catatan itu tertulis: As-Sayyid Maulana Malik Ibrahim bin As-Sayyid Barakat Zainal Alam bin As-Sayyid Husain Jamaluddin bin As-Sayyid Ahmad Jalaluddin bin As-Sayyid Abdullah bin As-Sayyid Abdul Malik Azmatkhan bin As-Sayyid Alwi Ammil Faqih bin As-Sayyid Muhammad Shahib Mirbath bin As-Sayyid Ali Khali’ Qasam bin As-Sayyid Alwi bin As-Sayyid Muhammad bin As-Sayyid Alwi bin As-Sayyid Ubaidillah bin Al-Imam Ahmad Al-Muhajir bin Al-Imam Isa bin Al-Imam Muhammad bin Al-Imam Ali Al-Uraidhi bin Al-Imam Ja’far Shadiq bin Al-Imam Muhammad Al-Baqir bin Al-Imam Ali Zainal Abidin bin Al-Imam Al-Husain bin Sayyidah Fathimah Az-Zahra/Ali bin Abi Thalib, binti Nabi Muhammad Rasulullah

Ia diperkirakan lahir di Samarkand di Asia Tengah, pada paruh awal abad ke-14. Babad Tanah Jawi versi Meinsma menyebutnya Asmarakandi, mengikuti pengucapan lidah orang Jawa terhadap As-Samarqandy. Dalam cerita rakyat, ada yang memanggilnya Kakek Bantal.

Maulana Malik Ibrahim memiliki, 3 isteri bernama:

  1. Siti Fathimah binti Ali Nurul Alam Maulana Israil (Raja Champa Dinasti Azmatkhan 1), memiliki 2 anak, bernama: Maulana Moqfaroh dan Syarifah Sarah

  2. Siti Maryam binti Syaikh Subakir, memiliki 4 anak, yaitu: Abdullah, Ibrahim, Abdul Ghafur, dan Ahmad

  3. Wan Jamilah binti Ibrahim Zainuddin Al-Akbar Asmaraqandi, memiliki 2 anak yaitu: Abbas dan Yusuf.

Selanjutnya Sharifah Sarah binti Maulana Malik Ibrahim dinikahkan dengan Sayyid Fadhal Ali Murtadha [Sunan Santri/ Raden Santri] dan melahirkan dua putera yaitu Haji Utsman (Sunan Manyuran) dan Utsman Haji (Sunan Ngudung). Selanjutnya Sayyid Utsman Haji (Sunan Ngudung) berputera Sayyid Ja’far Shadiq [Sunan Kudus].

Maulana Malik Ibrahim umumnya dianggap sebagai wali pertama yang mendakwahkan Islam di Jawa. Ia mengajarkan cara-cara baru bercocok tanam dan banyak merangkul rakyat kebanyakan, yaitu golongan masyarakat Jawa yang tersisihkan akhir kekuasaan Majapahit. Malik Ibrahim berusaha menarik hati masyarakat, yang tengah dilanda krisis ekonomi dan perang saudara. Ia membangun pondokan tempat belajar agama di Leran, Gresik. Ia juga membangun masjid sebagai tempat peribadatan pertama di tanah Jawa, yang sampai sekarang masjid tersebut menjadi masjid Jami’ Gresik. Pada tahun 1419, Malik Ibrahim wafat. Makamnya terdapat di desa Gapura Wetan, Gresik, Jawa Timur.

Sunan Ampel (Raden Rahmat)


Sunan Ampel bernama asli Raden Rahmat, keturunan ke-19 dari Nabi Muhammad, menurut riwayat ia adalah putra Ibrahim Zainuddin Al-Akbar dan seorang putri Champa yang bernama Dewi Condro Wulan binti Raja Champa Terakhir Dari Dinasti Ming.

Nasab lengkapnya sebagai berikut: Sunan Ampel bin Sayyid Ibrahim Zainuddin Al-Akbar bin Sayyid Jamaluddin Al-Husain bin Sayyid Ahmad Jalaluddin bin Sayyid Abdullah bin Sayyid Abdul Malik Azmatkhan bin Sayyid Alwi Ammil Faqih bin Sayyid Muhammad Shahib Mirbath bin Sayyid Ali Khali’ Qasam bin Sayyid Alwi bin Sayyid Muhammad bin Sayyid Alwi bin Sayyid Ubaidillah bin Sayyid Ahmad Al-Muhajir bin Sayyid Isa bin Sayyid Muhammad bin Sayyid Ali Al-Uraidhi bin Imam Ja’far Shadiq bin Imam Muhammad Al-Baqir bin Imam Ali Zainal Abidin bin Imam Al-Husain bin Sayyidah Fathimah Az-Zahra binti Nabi Muhammad Rasulullah.

Sunan Ampel umumnya dianggap sebagai sesepuh oleh para wali lainnya. Pesantrennya bertempat di Ampel Denta, Surabaya, dan merupakan salah satu pusat penyebaran agama Islam tertua di Jawa. Ia menikah dengan Dewi Condrowati yang bergelar Nyai Ageng Manila, putri adipati Tuban bernama Arya Teja dan menikah juga dengan Dewi Karimah binti Ki Kembang Kuning. Pernikahan Sunan Ampel dengan Dewi Condrowati alias Nyai Ageng Manila binti Aryo Tejo, berputera: Sunan Bonang,Siti Syari’ah,Sunan Derajat,Sunan Sedayu,Siti Muthmainnah dan Siti Hafsah. Pernikahan Sunan Ampel dengan Dewi Karimah binti Ki Kembang Kuning, berputera: Dewi Murtasiyah,Asyiqah,Raden Husamuddin (Sunan Lamongan,Raden Zainal Abidin (Sunan Demak),Pangeran Tumapel dan Raden Faqih

Sunan Bonang (Makhdum Ibrahim)


Sunan Bonang adalah putra Sunan Ampel, dan merupakan keturunan ke-23 dari Nabi Muhammad. Ia adalah putra Sunan Ampel dengan Nyai Ageng Manila, putri adipati Tuban bernama Arya Teja. Sunan Bonang banyak berdakwah melalui kesenian untuk menarik penduduk Jawa agar memeluk agama Islam. Ia dikatakan sebagai penggubah suluk Wijil dan tembang Tombo Ati, yang masih sering dinyanyikan orang. Pembaharuannya pada gamelan Jawa ialah dengan memasukkan rebab dan bonang, yang sering dihubungkan dengan namanya. Universitas Leiden menyimpan sebuah karya sastra bahasa Jawa bernama Het Boek van Bonang atau Buku Bonang. Menurut G.W.J. Drewes, itu bukan karya Sunan Bonang namun mungkin saja mengandung ajarannya. Sunan Bonang diperkirakan wafat pada tahun 1525. Ia dimakamkan di daerah Tuban, Jawa Timur.

Sunan Drajat


Sunan Drajat adalah putra Sunan Ampel, dan merupakan keturunan ke-23 dari Nabi Muhammad. Nama asli dari sunan drajat adalah masih munat. Masih munat nantinya terkenal dengan nama sunan drajat. Nama sewaktu masih kecil adalah Raden Qasim. Sunan drajat terkenal juga dengan kegiatan sosialnya. Dialah wali yang memelopori penyatuan anak-anak yatim dan orang sakit. Ia adalah putra Sunan Ampel dengan Nyai Ageng Manila, putri adipati Tuban bernama Arya Teja.

Sunan Drajat banyak berdakwah kepada masyarakat kebanyakan. Ia menekankan kedermawanan, kerja keras, dan peningkatan kemakmuran masyarakat, sebagai pengamalan dari agama Islam. Pesantren Sunan Drajat dijalankan secara mandiri sebagai wilayah perdikan, bertempat di Desa Drajat, Kecamatan Paciran, Lamongan. Tembang macapat Pangkur disebutkan sebagai ciptaannya. Gamelan Singomengkok peninggalannya terdapat di Musium Daerah Sunan Drajat, Lamongan. Sunan Drajat diperkirakan wafat pada 1522.

Sunan Kudus


Sunan Kudus adalah putra Sunan Ngudung atau Raden Usman Haji, dengan Syarifah Ruhil atau Dewi Ruhil yang bergelar Nyai Anom Manyuran binti Nyai Ageng Melaka binti Sunan Ampel. Sunan Kudus adalah keturunan ke-24 dari Nabi Muhammad.

Sunan Kudus bin Sunan Ngudung bin Fadhal Ali Murtadha bin Ibrahim Zainuddin Al-Akbar bin Jamaluddin Al-Husain bin Ahmad Jalaluddin bin Abdillah bin Abdul Malik Azmatkhan bin Alwi Ammil Faqih bin Muhammad Shahib Mirbath bin Ali Khali’ Qasam bin Alwi bin Muhammad bin Alwi bin Ubaidillah bin Ahmad Al-Muhajir bin Isa bin Muhammad bin Ali Al-Uraidhi bin Ja’far Shadiq bin Muhammad Al-Baqir bin Ali Zainal Abidin bin Al-Husain bin Sayyidah Fathimah Az-Zahra binti Nabi Muhammad Rasulullah.

Sebagai seorang wali, Sunan Kudus memiliki peran yang besar dalam pemerintahan Kesultanan Demak, yaitu sebagai panglima perang, penasihat Sultan Demak, Mursyid Thariqah dan hakim peradilan negara. Ia banyak berdakwah di kalangan kaum penguasa dan priyayi Jawa. Di antara yang pernah menjadi muridnya, ialah Sunan Prawoto penguasa Demak, dan Arya Penangsang adipati Jipang Panolan. Salah satu peninggalannya yang terkenal ialah Mesjid Menara Kudus, yang arsitekturnya bergaya campuran Hindu dan Islam. Sunan Kudus diperkirakan wafat pada tahun 1550.

Sunan Giri


Sunan Giri adalah putra Maulana Ishaq. Sunan Giri adalah keturunan ke-23 dari Nabi Muhammad, merupakan murid dari Sunan Ampel dan saudara seperguruan dari Sunan Bonang. Ia mendirikan pemerintahan mandiri di Giri Kedaton, Gresik; yang selanjutnya berperan sebagai pusat dakwah Islam di wilayah Jawa dan Indonesia timur, bahkan sampai ke kepulauan Maluku. Salah satu keturunannya yang terkenal ialah Sunan Giri Prapen, yang menyebarkan agama Islam ke wilayah Lombok dan Bima.

Sunan Kalijaga


Sunan Kalijaga adalah putra adipati Tuban yang bernama Tumenggung Wilatikta atau Raden Sahur atau Sayyid Ahmad bin Mansur (Syekh Subakir). Ia adalah murid Sunan Bonang. Sunan Kalijaga menggunakan kesenian dan kebudayaan sebagai sarana untuk berdakwah, antara lain kesenian wayang kulit dan tembang suluk. Tembang suluk lir-Ilir dan Gundul-Gundul Pacul umumnya dianggap sebagai hasil karyanya. Dalam satu riwayat, Sunan Kalijaga disebutkan menikah dengan Dewi Saroh binti Maulana Ishaq, menikahi juga Syarifah Zainab binti Syekh Siti Jenar dan Ratu Kano Kediri binti Raja Kediri.

Sunan Muria (Raden Umar Said)


Sunan Muria atau Raden Umar Said adalah putra Sunan Kalijaga. Ia adalah putra dari Sunan Kalijaga dari isterinya yang bernama Dewi Sarah binti Maulana Ishaq. Sunan Muria menikah dengan Dewi Sujinah, putri Sunan Ngudung. Jadi Sunan Muria adalah adik ipar dari Sunan Kudus.

Sunan Gunung Jati (Syarif Hidayatullah)


Sunan Gunung Jati atau Syarif Hidayatullah adalah putra Syarif Abdullah Umdatuddin putra Ali Nurul Alam putra Syekh Husain Jamaluddin Akbar. Dari pihak ibu, ia masih keturunan keraton Pajajaran melalui Nyai Rara Santang, yaitu anak dari Sri Baduga Maharaja. Sunan Gunung Jati mengembangkan Cirebon sebagai pusat dakwah dan pemerintahannya, yang sesudahnya kemudian menjadi Kesultanan Cirebon. Anaknya yang bernama Maulana Hasanuddin, juga berhasil mengembangkan kekuasaan dan menyebarkan agama Islam di Banten, sehingga kemudian menjadi cikal-bakal berdirinya Kesultanan Banten.

Syekh Jumadil Qubro


Syekh Jumadil Qubro adalah Maulana Ahmad Jumadil Kubra / Husain Jamaluddin al akbar bin Ahmad Jalaluddin bin Abdillah bin Abdul Malik Azmatkhan bin Alwi Ammil Faqih bin Muhammad Shahib Mirbath bin Ali Khali’ Qasam bin Alwi bin Muhammad bin Alwi bin Ubaidillah bin Ahmad Al-Muhajir bin Isa bin Muhammad bin Ali Al-Uraidhi bin Ja’far Shadiq bin Muhammad Al-Baqir bin Ali Zainal Abidin bin Al-Husain bin Sayyidah Fathimah Az-Zahra binti Nabi Muhammad Rasulullah

Syekh Jumadil Qubro adalah putra Husain Jamaluddin dari isterinya yang bernama Puteri Selindung Bulan (Putri Saadong II/ Putri Kelantan Tua). Tokoh ini sering disebutkan dalam berbagai babad dan cerita rakyat sebagai salah seorang pelopor penyebaran Islam di tanah Jawa.

Makamnya terdapat di beberapa tempat yaitu di Semarang, Trowulan, atau di desa Turgo (dekat Pelawangan), Yogyakarta. Belum diketahui yang mana yang betul-betul merupakan kuburnya.

Asal usul Walisongo

Teori keturunan Hadramaut

Walaupun masih ada pendapat yang menyebut Walisongo adalah keturunan Samarkand (Asia Tengah), Champa atau tempat lainnya, namun tampaknya tempat-tampat tersebut lebih merupakan jalur penyebaran para mubaligh daripada merupakan asal-muasal mereka yang sebagian besar adalah kaum Sayyid atau Syarif. Beberapa argumentasi yang diberikan oleh Muhammad Al Baqir, dalam bukunya Thariqah Menuju Kebahagiaan, mendukung bahwa Walisongo adalah keturunan Hadramaut (Yaman):

L.W.C van den Berg, Islamolog dan ahli hukum Belanda yang mengadakan riset pada 1884-1886, dalam bukunya Le Hadhramout et les colonies arabes dans l’archipel Indien (1886) mengatakan:

”Adapun hasil nyata dalam penyiaran agama Islam (ke Indonesia) adalah dari orang-orang Sayyid Syarif. Dengan perantaraan mereka agama Islam tersiar di antara raja-raja Hindu di Jawa dan lainnya. Selain dari mereka ini, walaupun ada juga suku-suku lain Hadramaut (yang bukan golongan Sayyid Syarif), tetapi mereka ini tidak meninggalkan pengaruh sebesar itu. Hal ini disebabkan mereka (kaum Sayyid Syarif) adalah keturunan dari tokoh pembawa Islam (Nabi Muhammad SAW).”

van den Berg juga menulis dalam buku yang sama (hal 192-204):

”Pada abad ke-15, di Jawa sudah terdapat penduduk bangsa Arab atau keturunannya, yaitu sesudah masa kerajaan Majapahit yang kuat itu. Orang-orang Arab bercampur-gaul dengan penduduk, dan sebagian mereka mempunyai jabatan-jabatan tinggi. Mereka terikat dengan pergaulan dan kekeluargaan tingkat atasan. Rupanya pembesar-pembesar Hindu di kepulauan Hindia telah terpengaruh oleh sifat-sifat keahlian Arab, oleh karena sebagian besar mereka berketurunan pendiri Islam (Nabi Muhammad SAW). Orang-orang Arab Hadramawt (Hadramaut) membawa kepada orang-orang Hindu pikiran baru yang diteruskan oleh peranakan-peranakan Arab, mengikuti jejak nenek moyangnya."

Pernyataan van den Berg spesifik menyebut abad ke-15, yang merupakan abad spesifik kedatangan atau kelahiran sebagian besar Walisongo di pulau Jawa. Abad ke-15 ini jauh lebih awal dari abad ke-18 yang merupakan saat kedatangan gelombang berikutnya, yaitu kaum Hadramaut yang bermarga Assegaf, Al Habsyi, Al Hadad, Alaydrus, Alatas, Al Jufri, Syihab, Syahab dan banyak marga Hadramaut lainnya.

Hingga saat ini umat Islam di Hadramaut sebagian besar bermadzhab Syafi’i, sama seperti mayoritas di Srilangka, pesisir India Barat (Gujarat dan Malabar), Malaysia dan Indonesia. Bandingkan dengan umat Islam di Uzbekistan dan seluruh Asia Tengah, Pakistan dan India pedalaman (non-pesisir) yang sebagian besar bermadzhab Hanafi.

Kesamaan dalam pengamalan madzhab Syafi’i bercorak tasawuf dan mengutamakan Ahlul Bait; seperti mengadakan Maulid, membaca Diba & Barzanji, beragam Shalawat Nabi, doa Nur Nubuwwah dan banyak amalan lainnya hanya terdapat di Hadramaut, Mesir, Gujarat, Malabar, Srilangka, Sulu & Mindanao, Malaysia dan Indonesia. Kitab fiqh Syafi’i Fathul Muin yang populer di Indonesia dikarang oleh Zainuddin Al Malabary dari Malabar, isinya memasukkan pendapat-pendapat baik kaum Fuqaha maupun kaum Sufi. Hal tersebut mengindikasikan kesamaan sumber yaitu Hadramaut, karena Hadramaut adalah sumber pertama dalam sejarah Islam yang menggabungkan fiqh Syafi’i dengan pengamalan tasawuf dan pengutamaan Ahlul Bait.

Pada abad ke-15, raja-raja Jawa yang berkerabat dengan Walisongo seperti Raden Patah dan Pati Unus sama-sama menggunakan gelar Alam Akbar. Gelar tersebut juga merupakan gelar yang sering dikenakan oleh keluarga besar Jamaluddin Akbar di Gujarat pada abad ke-14, yaitu cucu keluarga besar Azhamat Khan (atau Abdullah Khan) bin Abdul Malik bin Alwi, seorang anak dari Muhammad Shahib Mirbath ulama besar Hadramaut abad ke-13. Keluarga besar ini terkenal sebagai mubaligh musafir yang berdakwah jauh hingga pelosok Asia Tenggara, dan mempunyai putra-putra dan cucu-cucu yang banyak menggunakan nama Akbar, seperti Zainal Akbar, Ibrahim Akbar, Ali Akbar, Nuralam Akbar dan banyak lainnya.

Teori keturunan Cina (Hui)

Sejarawan Slamet Muljana mengundang kontroversi dalam buku Runtuhnya Kerajaan Hindu Jawa (1968), dengan menyatakan bahwa Walisongo adalah keturunan Tionghoa Muslim. Pendapat tersebut mengundang reaksi keras masyarakat yang berpendapat bahwa Walisongo adalah keturunan Arab-Indonesia. Pemerintah Orde Baru sempat melarang terbitnya buku tersebut.

Referensi-referensi yang menyatakan dugaan bahwa Walisongo berasal dari atau keturunan Tionghoa sampai saat ini masih merupakan hal yang kontroversial. Referensi yang dimaksud hanya dapat diuji melalui sumber akademik yang berasal dari Slamet Muljana, yang merujuk kepada tulisan Mangaraja Onggang Parlindungan, yang kemudian merujuk kepada seseorang yang bernama Resident Poortman. Namun, Resident Poortman hingga sekarang belum bisa diketahui identitasnya serta kredibilitasnya sebagai sejarawan, misalnya bila dibandingkan dengan Snouck Hurgronje dan L.W.C van den Berg. Sejarawan Belanda masa kini yang banyak mengkaji sejarah Islam di Indonesia yaitu Martin van Bruinessen, bahkan tak pernah sekalipun menyebut nama Poortman dalam buku-bukunya yang diakui sangat detail dan banyak dijadikan referensi.

Salah satu ulasan atas tulisan H.J. de Graaf, Th.G.Th. Pigeaud, M.C. Ricklefs berjudul Chinese Muslims in Java in the 15th and 16th Centuries adalah yang ditulis oleh Russell Jones. Di sana, ia meragukan pula tentang keberadaan seorang Poortman. Bila orang itu ada dan bukan bernama lain, seharusnya dapat dengan mudah dibuktikan mengingat ceritanya yang cukup lengkap dalam tulisan Parlindungan

Sumber : wikipedia

Masuknya Islam ke Indonesia dimulai dari daerah pesisir seperti Pasai, Gresik, Goa, talo, Cirebon, Banten dan Demak. Hal ini terjadi karena pelabuhan sebagai pusat perdagangan dan interaksi antar kawasan realitas ini mencerminkan bahwa masyarakat Islam periode awal adalah masyarakat kosmopolit.

Sebagaimana Islam didaerah lain, Islam di Jawa juga berangkat dari daerah pesisir. Proses pergeseran menuju pedalaman, ditengarai oleh Kuntowijoyo sebagai pergeseran Islam kosmopolit menuju Islam agraris dan Islam yang mistik (Kuntowijoyo, 1995).

Sebagai pendapat Azra, ada empat hal disampaikan histiografi tradisional, yaitu :

  1. Pertama, Islam di Nusantara dibawa langsung dari Tanah Arab.
  2. Kedua, Islam diperkenalkan oleh para guru atau juru dakwah profesional.
  3. Ketiga, orang-orang yang pertama kali masuk Islam adalah penguasa.
  4. Keempat, sebagaian besar para juru dakwah profesional datang di Nusantara pada abad ke-12 dan ke-13 (Azra, 2002)

Perlu dibedakan pula antara kedatangan Islam, penyebaran Islam dan pelembagaan Islam. Menurut Graaf (Graaf, 1989), berdasarkan atas studinya terhadap cerita cerita-cerita diseputar Islamisasi di Nusantara dapat dibedakan bahwa ada tiga metode penyebaran Islam, yaitu pedagang muslim, oleh para da’i dan orang suci (wali) yang datang dari India atau Arab yang sengaja bertujuan mengislamkan orang-orang kafir dan meningkatkan pengetahuan mereka yang telah beriman.

Masa penyebaran Islam yang paling dominan adalah pendapat yang menyatakan bahwa Islam disebarkan melalui perdagangan. Pendapat seperti ini diangkat oleh para sarjana Barat khususnya Belanda, diantaranya adalah Wertheim.

Melihat proses masuknya Islam di Indonesia dari perspektif perkembangan nampaknya dapat dikompromikan bahwa Islam di Jawa mengalami tiga tahap.

  1. Pertama, masa awal masuknya Islam ke Wilayah Indonesia terjadi pada abad VII M.
  2. Kedua, masa penyebaran keberbagai pelosok dilaksanakan pada abad VII sampai XIII M.
  3. Ketiga, masa perkembangan yang terjadi mulai abad XIII M dan seterusnya. Sedangkan sejarah Jawa akhir abad ke 15 hingga awal abad ke 16 mempunyai arti penting bagi perkembangan Islam. Setidaknya hal ini bisa dilihat dari dua sisi.
  • Pertama, sebagai masa peralihan dari sistem politik Hindu- Budha yang berpusat dipedalaman Jawa Timur ke sistem sosial politik Islam yang berpusat di pesisir utara Jawa tengah.
  • Kedua, sebagai puncak islamisasi di Jawa yang dilakukan oleh para wali.

Walisanga pada masa pelembagaan Islam menggunakan beberapa tahapan, yaitu pertama mendirikan masjid. Dalam proses penyebaran Islam masjid tidak hanya berfungsi untuk tempat beribadah tetapi juga tempat pengajian, dan dari masjid lah proses penyebaran Islam di mulai. Masa-masa awal proses islamisasi, masjid menjadi tempat ritual, masjid juga sebagai pusat tumbuh dan berkembangnya kebudayaan Islam. Di dalam masjid segala aktifitas pengembangan Islam berlangsung. Banyak masjid yang diyakini sebagai peninggalan Wali dan dinamakan Wali yang bersangkutan. Seperti masjid yang didirikan oleh Raden Rahmat yang diberi nama Laqab sebagaimana tradisi Timur Tengah – Sunan Ampel, sehingga masjidnya dinamakan Masjid Ampel, masjid Giri didirikan oleh Sunan Giri, Masjid Drajat yang didirikan oleh Sunan Drajat dan sebagainya.

Selain nmasjid dalam pembentukan kelembagaan Islam Walisongo dalam penyebaran Islam juga mendirikan pesantren. Didalam khazanah penyebaran Islam, setiap Wali memiliki pesantren yang dinisbahkan dengan nama wali tersebut berada. Seperti pesantren Ampel, pesantren Bangkuning, Pesantren Drajat, pesantren Giri dan sebagainya.

Peranan pesantren sebagai lembaga penyebaran Islam di Jawa telah dibahas secara mendalam oleh ahli 8sejarah, misalnya Soebardi (1976) dan Anthony Jhon, sebagaimana dikutip oleh Dhofier. Lembaga pesantren itulah yang paling menentukan watak keislaman dari kerajaan-kerajaan Islam dan yang memegang peranan paling penting bagi penyebaran Islam sampai pelosok-pelosok. Dari lembaga-lembaga pesantren itulah asal-usul sejumlah manuskrip tentang pengajaran islam di Asia Tenggara, yang tersedia secara terbatas. Untuk dapat betul-betul memahami sejarah Islamisasi diwilayah ini, kita harus mempelajari lembaga-lembaga pesantren tersebut, karena lembaga-lembaga inilah yang menjadi anak panah penyebaran Islam di wilayah ini.

Pesantren menjadi sangat penting tatkala pelembagaan Islam telah berjalan sedemikian rupa. Pada abad ke-20, munculah berbagai pesantren yang menjadi lembaga untuk pengembangan Islam dengan segala sistem pembelajaran dan pengajaran yang khusus yaitu sorogan,wetonan dan bandongan.

Pemilihan Wilayah Dakwah


Ada sembilan Wali (Walisanga) dan Wali lokal dalam tradisi masyarakat muslim di Jawa. Mereka kebanyakan berkedudukan di kota-kota pesisir dan sebagian kecil di daerah pedalaman. Wilayah pengaruhnya terbatas dilingkungan kota yang menjadi basisnya, hanya satu-dua diantaranya yangmempunyai pengaruh jauh melampaui batas daerahnya, misalnya Sunan Bonang dan Sunan Giri.

Keterbatasan daerah tersebut sesuai dengan struktur politik pada waktu itu, yaitu karena adanya penguasa setempat yang lazim disebut Kyai Ageng. Mereka termasuk tuan feodal yang mandiri, dan apabila terpaksa tunduk kepada kekuasaan raja yang berhasil memegang kedaulatan di daerah tertentu, maka biasanya mereka berkedudukan sebagai penguasa.

Para Wali meskipun hidupnya tidak sezaman, tetapi dalam pemilihan dakwahnya tidak sembarangan. Penentuan tempat dakwahnya dipertimbangkan pula dengan faktor strategi yang sesuai dengan kondisi zamannya. Jika kita perhatikan dari kesembilan wali dalam pembagian wilayah kerjanya ternyata mempunyai dasar pertimbangan geostrategis yang mapan. Kesembilan wali tersebut membagi kerjanya dengan rasio 5:3:1.

Jawa Timur mendapat perhatian besar dari para Wali. Disini ditempatkan 5 Wali, dengan pembagian teritorial dakwah yang berbeda. Maulana Malik Ibrahim, sebagai wali perintis, mengambil wilayah dakwah Gresik. Setelah Maulana Malik Ibrahim wafat wilayah ini dikuasai oleh Sunan Giri. Sunan Ampel mengambil posisi dakwahnya di Surabaya. Sunan Bonang sedikit ke Utara di Tuban. Sedangkan Sunan Drajat di Sedayu.

Jika diperhatikan posisi wilayah yang dijadikan basis dakwah kelima Wali tersebut, kesemuanya mengambil tempat kota bandar perdagangan atau pelabuhan. Pengambilan posisi pantai ini adalah ciri Islam sebagai ajaran yang disampaikan oleh para da’i yang mempunyai profesi pedagang. Berkumpulnya lima Wali di Jawa Timur adalah karena kekuasaan politik saat itu berpusat di wilayah ini. Kerajaan Kediri di Kediri dan Majapahit di Mojokerto. Pengambilan posisi di pantai ini, sekaligus melayani atau berhubungan dengan pedagang rempah-rempah di Indonesia Timur. Sekaligus juga berhubungan dengan pedagang beras dan palawija lainnya, yang datang dari pedalaman wilayah kekuasaan Kediri dan Majapahit.

Seperti dikemukakan oleh J.C. Van Leur dalam Indonesia dalam Indonesia: Trade and society, selain Islam telah mulai masuk ke Indonesia sejak abad ke-7, juga dijelaskan bahwa penyebaran Islam di Indonesia tidak mengenal adanya lembaga khusus yang menanganinya. Selanjutnya dijelaskan bahwa setiap Muslim bertindak sebagai da’i nya.

Penyebaran Islam di Indonesia tidak mengenal agresi militer dan agama. Penyebaran lebih banyak dijalankan melalui perdagangan. Dari keterangan ini dapatlah ditarik kesimpulan bahwa pemilihan tempat Wali dalam dakwahnya lebih banyak posisi bandar perdagangan dari pada kota pedalaman.

Seperti di Jawa Timur, para Wali lebih terlihat sebagai penyebar Islam yang berdagang. Artinya tidak seperti digambarkan oleh senetara dongeng yang memberitakan kisah para Wali sebagai tokoh yang menjauhi masyarakat, seperti berlaku sebagai Bhiksu, atau lebih banyak beribadah semacam bertapa di gunung dari pada aktif dibidang perekomonian. Ternyata dinamika kehidupanya lebih rasional seperti halnya yang dicontohkan Rosulullah yang juga pernah berdagang.

Sedangkan di Jawa Tengah para Wali mengambil posisi di Demak, Kudus dan Muria. Sasaran dakwah para Wali yang di Jawa Tengah tentu berbeda yang berada di Jawa Timur. Di Jawa Tengah dapat dikatakan bahwa pusat kekuasaan politik Hindhu dan Budha sudah tidak berperan lagi. Hanya para Wali melihat realitas masyarakat yang masih dipengaruhi oleh budaya yang bersumber dari ajaran Hindhu dan Budha. Saat itu para Wali mengakui wayang sebagai media komunikasi yang mempunyai pengaruh besar terhadap pola pikir masyarakat. Oleh karena itu, wayang perlu dimodifikasi, baik bentuk maupun isi kisahnya perlu diislamkan. Instrumen gong juga perlu diubah, yaitu secara lahiriah tetap seperti biasanya, tetapi makna diislamkan.

Penempatan di ketiga tempat tersebut tidak hanya melayani penyebaran ajaran Islam untuk Jawa Tengah semata, tetapi juga berfungsi sebagai pusat pelayanan Indonesia Tengah. Saat berlangsung aktivitas ketiga Wali tersebut pusat kekuasaan politik dan ekonomi beralih ke Jawa Tengah. Yakni dengan runtuhnya kerajaan Majapahit akibat serangan Kediri (1478). Munculnya kesultanan Demak nantinya melahirkan Kesultanan Pajang dan Mataram II. Perubahan kondisi politik seperti ini, memungkinkan ketiga tempat tersebut mempunyai arti geostrategis yang menentukan.

Proses islamisasinya di daerah Jawa Barat hanya ditangani seorang Wali, Syarif Hidayatullah, yang setelah wafat dikenal dengan Sunan Gunung jati. Adapun pemilihan kota sebagai pusat aktivitas dakwah Sunan Gunung Jati, tidak dapat dilepaskan hubungan dengan jalan perdagangan rempah-rempah sebagai komoditi yang berasal dari Indonesia Timur. Dan Cirebon merupakan pintu perdagangan yang mengarah ke Jawa tengah dan Indonesia Timur, atau pun ke Indonesia Barat. Oleh karena itu pemilihan Cirebon dengan per- timbangan sosial politik dan ekonomi saat itu, memiliki nilai geostrategis, geopolitik, dan geoekonomi yang menentukan keberhasilan penyebaran Islam selanjutnya.

Proses islamisasi di Jawa, Jawa Timur menempati posisi penting dilihat dari banyaknya Wali Allah sebagai penyebar Islam. Seperti Maulana Malik Ibrahim yang mengambil wilayah dakwahnya di Gresik kemudian digantikan oleh Sunan Giri. Sunan Ampel menyebarkan Islam yang berpusat di Surabaya, Sunan Bonang menyebarkan Islam diwilayah Tuban dan Sunan Drajat di wilayah Sedayu.

Kelima Wali tersebut, secara geostategis memanfatkan wilayah pesisir yang memiliki pelabuhan atau kota bandar pelabuhan. Pemilihan wilayah pesisir sebagai basis islamisasi dengan bandar pelabuhannya adalah pesisir menjadi basis pertemuan dengan suku, tradisi dan budaya dari masyarakat lain. Lalu lintas laut lebih mudah pada saat itu dibandingkan daratan, sehingga masyarakat pesisir cenderung lebih terbuka dibandingkan masyarakat pedalaman. Hal tersebut sampai saat ini masih terjadi dimana masyarakat perkotaan dapat diidentikan dengan masyarakat pesisir yang mampu menerima keterbukaan karena keterbiasaan mereka, dan sebaliknya masyarakat pedalaman yang terbiasa dengan ketertutupan untuk menerima berbagai akses yang datanya dari luar.

Referensi

Anita, Dewi E. 2014. Walisongo : Mengislamkan Tanah Jawa (Suatu Kajian Pustaka). Wahana akademika. Vol. 1, No. 2, Oktober 2014.