Kain yang dibuat dengan teknik celup rintang sebenarnya sudah ada sejak dahulu kala dan dikerjakan di berbagai tempat di dunia, seperti misalnya Cina, Jepang, India, Afrika, hingga Amerika Selatan. Dari mana asal mulanya sulit ditentukan. Mungkin saja teknik ini berkembang secara bersamaan di berbagai tempat di dunia (Tirta, 1996). Pada umumnya sebagai bahan perintang warna dipakai berbagai jenis bubur seperti yang terbuat dari gandum, beras ketan, dan parafin, dan sebagai alat melukis dipakai berbagai bentuk alat, antara lain kuas.
Di Indonesia sendiri, dikenal jenis-jenis kain tradisional lain dengan teknik pembuatan celup rintang, seperti misalnya kain simbut masyarakat Baduy di Jawa Barat yang menggunakan bubur nasi sebagai perintang warna dan pewarnaan yang sederhana. Kain ini bahkan sudah ada sebelum batik muncul dan berkembang. Selain itu ada pula kain jumputan, pelangi, dan tritik, kain sarita dan maa dari Toraja, dan kain sasirangan dari Kalimantan.
Seni batik mengalami puncak perkembangan di Indonesia, terutama di Pulau Jawa. Tidak mengherankan bila batik kemudian menjadi identik dengan Indonesia. Bila dibandingkan dengan kain-kain celup rintang yang lain, termasuk yang berasal dari luar, batik disebut sebagai seni tekstil yang unik karena mengandung begitu banyak simbolisme dan makna. Warna, ragam hias, dan coraknya, bagaimana caranya dibuat, dilipat, dan digunakan, semuanya memiliki makna-makna tertentu (Kerlogue, 2004). Batik sarat filosofi dan nilai-nilai budaya masyarakatnya. Nampaknya makna-makna mendalam inilah yang tidak dimiliki oleh bermacam batik buatan negeri lain (Doellah, 2002). Yang juga membedakan batik dari kain-kain celup rintang tersebut adalah bahwa batik menggunakan suatu alat khas untuk melukiskan malam (lilin batik sebagai perintang warna). Alat tersebut adalah canting, alat membatik khas yang hanya digunakan di Indonesia. Canting terbuat dari tembaga dan dipasang pada sebuah gagang yang terbuat dari buluh bambu kecil. Ukuran mulut canting berbeda-beda besarnya, tergantung besar kecilnya garis-garis yang ingin dibuat dan ada pula yang berujung ganda atau lebih. Dengan canting, garis-garis yang dihasilkan halus dan jelas, memungkinkan ragam hias dengan garis yang terang dan halus dan sama pada sisi luar maupun sisi dalam kain (Tirta, 1988).
Setiap daerah penghasil batik pada umumnya mempunyai batik dengan ciri khas masing-masing, yang dipengaruhi oleh beberapa hal (Djoemena, 1990):
- Letak geografis pembuatan
- Sifat dan tata penghidupan daerah yang bersangkutan
- Kepercayaan dan adat istiadat daerah yang bersangkutan
- Keadaan alam sekitar, termasuk flora dan fauna
- Adanya kontak atau hubungan antar daerah pembatikan
Dalam melihat produk batik itu sendiri, ada beberapa hal yang bisa dilihat untuk mengetahui asal batik tersebut, antara lain tatanan warna, isen-isen (pola pengisi bidang) khas daerah tersebut, jenis kain (apakah kain panjang, sarung, dan sebagainya), dan ukuran kain (misalnya, selendang produksi Sumatera biasanya lebih lebar). Namun memang, di masa sekarang ini perbedaan dan ciri-ciri khas ini sudah banyak yang melebur dan saling mempengaruhi, sehingga tidak mudah untuk menentukan batasan daerah asal di mana suatu batik diproduksi.
Batik adalah sehelai wastra yang mengandung dua unsur pokok: teknik celup rintang yang menggunakan lilin sebagai perintang warna, dan pola yang beragam hias khas batik (Doellah, 2002). Namun sekitar satu abad belakangan ini batik mulai memiliki fungsi lain, yaitu pakaian sehari-hari dan fungsi-fungsi selain pakaian, misalnya digunakan untuk taplak meja, korden, sarung bantal, hiasan dinding, dan berbagai peralatan rumah lainnya. Selain itu, belakangan muncul seni lukisan batik, yang menggunakan teknik membatik dalam melukis, dan umumnya sudah tidak mengambil inspirasi dari ragam hias kain batik yang tradisional (Kerlogue, 2004). Lebih lanjut tentang perkembangan batik di Indonesia akan dibahas di bawah, sebagai latar belakang untuk analisis teks media mengenai batik.
Sejarah Batik di Indonesia
Di awal-awal abad ke-20 kemakmuran mulai meningkat di wilayah Hindia Belanda, terutama di Pulau Jawa. Semakin banyak kalangan yang mampu memakai batik, sehingga permintaan akan batik semakin meningkat. Pada saat inilah produksi batik cap semakin banyak demi memenuhi permintaan pasar yang tinggi. Di pusat batik di pesisir utara Jawa seperti Cirebon dan Pekalongan, industri batik semakin berkembang, bukan hanya memenuhi pasar lokal tetapi juga mulai mengekspor ke luar negeri. Mulai digunakannya pewarna sintetis juga membuat desain batik semakin beragam. Berawal dari industri rumahan dan banyak dikerjakan perempuan, lamakelamaan batik menjadi industri yang lebih besar, dihasilkan di pabrik, dan banyak dikerjakan oleh pekerja laki-laki.
Pada masa perang dunia pertama, persediaan bahan kain bahan dasar batik berkurang, sehingga harga batik naik. Krisis ekonomi dunia pada tahun 1920-an juga mempengaruhi industri batik di Indonesia. Permintaan pasar akan batik mengalami fluktuasi. Demikian jugan pada masa perang dunia kedua, persediaan bahan pembuatan batik terganggu. Di masa pendudukan Jepang, rasa anti-Eropa muncul, dan pabrik-pabrik batik milik pengusaha batik Eropa banyak yang tutup dan diambil alih pengusaha Cina. Pada masa inilah di daerah pesisiran (Pekalongan) muncul apa yang disebut dengan batik Jawa Hokokai, yang mengikuti selera ornamental Jepang. Kain ini dibuat dengan model pagi-sore, satu kain dengan dua tampilan, untuk menghemat bahan. Hal ini menunjukkan betapa batik sangat responsif dan dapat menyesuaikan diri terhadap situasi dan keadaan pada saat diproduksinya.
Tahun 1945 Indonesia merdeka, dan ini juga membawa dampak bagi perkembangan batik. Semakin banyak saling mempengaruhi antar gaya batik satu daerah dengan yang lain, semakin umumnya pola-pola larangan, hingga produksi batik yang tidak lagi secara tradisional menggunakan canting. Perkembangan selanjutnya adalah pemakaian bahan sintetis yang digunakan sebagai bahan dasar. Karena meningkatnya permintaan bahan batik untuk kemeja dan kain non-tradisional lainnya, dan dengan semakin tingginya biaya pembuatan batik tulis dan cap, akhirnya mendorong perkembangannya batik sablon dan printing, yang pada hakekatnya bukan merupakan batik dalam arti sebenarnya (Djoemena, 1991).
Setelah kemerdekan Indonesia, mulai muncul usaha untuk kembali mengembangkan batik, bukan hanya sebagai suatu kekuatan ekonomi, tetapi juga menjadikannya simbol identitas kultural bangsa. Dibentuklah Gabungan Koperasi Batik Indonesia (GKBI) yang mengumpulkan pengusaha batik se-Indonesia, juga untuk menghalau persaingan dari luar. Pada masa ini, batik sudah mulai banyak dipandang sebagai kuno, tidak modern. Dalam negara yang mengusung demokrasi, fungsi batik sebagai penanda status tidak dilihat lagi (Kerlogue, 2004).
Pada sekitar tahun 1950-an, Presiden Soekarno mendukung diciptakannya gaya batik tulis baru yang dibuat oleh K. R. T. Hardjonagoro di Solo. Gaya ini memadukan warna-warna cerah khas batik pesisiran dengan ragam hias batik kerajaan khas Jawa Tengah, diikuti pola-pola baru yang terinspirasi ragam hias kain tradisional lainnya di Indonesia. Presiden Soekarno menyebut batik jenis ini ‘Batik Indonesia’. Hal ini disambut baik para pengusaha batik, dan mulai mendominasi pasar sebagai pakaian sehari-hari. Batik ini mengandung makna persatuan Indonesia, dan dimaksudkan berperan sebagai suatu lambang identitas kultural bangsa.
Di tahun 1960-an, mulai diproduksi batik imitasi yang dibuat tanpa melalui proses membatik (celup rintang), melainkan melalui silkscreen printing (batik print). Produksi menjadi lebih cepat dan mudah, sehingga yang dihasilkan lebih banyak. Lama-kelamaan proses printing inipun bahkan mendesak batik cap.
Menjelang tahun 1970-an, kemeja batik diunggulkan jadi pakaian resmi Indonesia oleh Gubernur Jakarta Ali Sadikin. Hal ini didukung pula oleh Presiden Soeharto. Batik yang digunakan untuk kemeja pada saat itu disebut dengan batik Ali Sadikin. Sejak itu, khususnya di kalangan pegawai pemerintah DKI Jakarta, ditetapkan mengenakan kemeja batik lengan panjang pada acara resmi dan lengan pendek untuk pakaian sehari-hari. Tak lama kemudian, batik lengan panjang diakui sebagai pakaian nasional, bersama dengan kebaya yang dikenakan dengan kain panjang.
Di masa orde baru ini, batik semakin sering muncul dan dapat dikatakan menjadi alat hegemoni. Presiden Soeharto sering memakai batik, mulai dari acara-acara keluarga yang disiarkan di televisi nasional (terlihat seluruh keluarganya memakai seragam berbahan batik) hingga ke acara-acara kenegaraan tingkat internasional. Pakaian serupa kemudian menurun menjadi mode dalam sebagian besar acara formal termasuk pernikahan mewah (Dhakidae, 2003). Batik juga ditetapkan menjadi salah satu seragam sekolah dan seragam di institusi seperti bagi pegawai KORPRI dan di universitas (Wahyudi, ed., 2007). Hal ini dapat dimaknai memiliki maksud tertentu. Kewajiban seragam itu dengan sendirinya berhubungan dengan industri tekstil dan konsentrasi modal. Selain untuk kepentingan yang bersifat kapitalis, pakaian seragam juga menjadi salah satu simbol yang dikonstruksikan untuk menjaga disiplin dan normalisasi yang gencar dilakukan di masa itu, seperti halnya penataran P4 hingga ke pelosok-pelosok daerah di mana pesertanya biasanya juga memakai batik (Dhakidae, 2003). Masa orde baru ini identik dengan pembangunan dan kemajuan, dan untuk itu diperlukan stabilitas. Hal-hal seperti penataran dan penyeragaman menjadi semacam alat kontrol pemerintah.