Bagaimana asal mula batik dan sejarahnya di Indonesia?

Batik adalah hal yang tidak asing lagi bagi masyarakat Indonesia. ‘Batik’ pada dasarnya adalah salah satu teknik pembuatan dekorasi pada kain tradisional. Teknik semacam ini disebut teknik celup rintang atau resist-dye. Ragam hias yang diinginkan pertama-tama dilukis pada kain dengan menggunakan bahan perintang warna seperti lilin, kemudian dicelup ke pewarna, sehingga hasilnya ketika lilin diluruhkan, bagian yang tertutup lilin tersebut tidak berubah warna dan terbentuklah pola. Teknik ini diulang berkali-kali sesuai keperluan, sampai didapat hasil akhir yang diinginkan.

Kamus Besar Bahasa Indonesia mendefinisikan batik sebagai: “Corak atau gambar (pada kain) yang pembuatannya secara khusus dengan menerakan malam kemudian pengolahannya diproses dengan cara tertentu.” (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1993). Sementara dalam buku ‘Batik Klasik’ yang memuat berbagai ragam hias batik beserta artinya, batik diartikan sebagai lukisan atau gambar pada kain mori yang dibuat dengan menggunakan alat bernama canting, dan orang yang melakukannya disebut mbatik (=membatik). Membatik menghasilkan batik atau batikan berupa macam-macam motif dan mempunyai sifat-sifat dan arti khusus (Hamzuri, 1989). Batik klasik adalah salah satu perkembangan seni di Jawa, khususnya Jawa Tengah. Buku ini menekankan pada batik klasik, sehingga muncul isu otentisitas karena disebutkan bahwa penggunaan alat yang mempercepat proses pengerjaan seperti cap hanya menghasilkan motif seperti batik, tapi bukan lagi batik dalam arti yang sebenarnya. Namun demikian, dalam perkembangannya batik cap-pun banyak diakui sebagai batik. Sementara Departemen Perindustrian menetapkan batik adalah teknik membuat motif dengan merintang warna memakai malam. Motif batik dapat dibuat dengan cara apa-pun dan berbentuk apa saja (Kompas, 14 Desember 2008).

Bagaimana asal mula batik dan sejarah perkembangannya di Indonesia?

Kain yang dibuat dengan teknik celup rintang sebenarnya sudah ada sejak dahulu kala dan dikerjakan di berbagai tempat di dunia, seperti misalnya Cina, Jepang, India, Afrika, hingga Amerika Selatan. Dari mana asal mulanya sulit ditentukan. Mungkin saja teknik ini berkembang secara bersamaan di berbagai tempat di dunia (Tirta, 1996). Pada umumnya sebagai bahan perintang warna dipakai berbagai jenis bubur seperti yang terbuat dari gandum, beras ketan, dan parafin, dan sebagai alat melukis dipakai berbagai bentuk alat, antara lain kuas.

Di Indonesia sendiri, dikenal jenis-jenis kain tradisional lain dengan teknik pembuatan celup rintang, seperti misalnya kain simbut masyarakat Baduy di Jawa Barat yang menggunakan bubur nasi sebagai perintang warna dan pewarnaan yang sederhana. Kain ini bahkan sudah ada sebelum batik muncul dan berkembang. Selain itu ada pula kain jumputan, pelangi, dan tritik, kain sarita dan maa dari Toraja, dan kain sasirangan dari Kalimantan.

Seni batik mengalami puncak perkembangan di Indonesia, terutama di Pulau Jawa. Tidak mengherankan bila batik kemudian menjadi identik dengan Indonesia. Bila dibandingkan dengan kain-kain celup rintang yang lain, termasuk yang berasal dari luar, batik disebut sebagai seni tekstil yang unik karena mengandung begitu banyak simbolisme dan makna. Warna, ragam hias, dan coraknya, bagaimana caranya dibuat, dilipat, dan digunakan, semuanya memiliki makna-makna tertentu (Kerlogue, 2004). Batik sarat filosofi dan nilai-nilai budaya masyarakatnya. Nampaknya makna-makna mendalam inilah yang tidak dimiliki oleh bermacam batik buatan negeri lain (Doellah, 2002). Yang juga membedakan batik dari kain-kain celup rintang tersebut adalah bahwa batik menggunakan suatu alat khas untuk melukiskan malam (lilin batik sebagai perintang warna). Alat tersebut adalah canting, alat membatik khas yang hanya digunakan di Indonesia. Canting terbuat dari tembaga dan dipasang pada sebuah gagang yang terbuat dari buluh bambu kecil. Ukuran mulut canting berbeda-beda besarnya, tergantung besar kecilnya garis-garis yang ingin dibuat dan ada pula yang berujung ganda atau lebih. Dengan canting, garis-garis yang dihasilkan halus dan jelas, memungkinkan ragam hias dengan garis yang terang dan halus dan sama pada sisi luar maupun sisi dalam kain (Tirta, 1988).

Setiap daerah penghasil batik pada umumnya mempunyai batik dengan ciri khas masing-masing, yang dipengaruhi oleh beberapa hal (Djoemena, 1990):

  • Letak geografis pembuatan
  • Sifat dan tata penghidupan daerah yang bersangkutan
  • Kepercayaan dan adat istiadat daerah yang bersangkutan
  • Keadaan alam sekitar, termasuk flora dan fauna
  • Adanya kontak atau hubungan antar daerah pembatikan

Dalam melihat produk batik itu sendiri, ada beberapa hal yang bisa dilihat untuk mengetahui asal batik tersebut, antara lain tatanan warna, isen-isen (pola pengisi bidang) khas daerah tersebut, jenis kain (apakah kain panjang, sarung, dan sebagainya), dan ukuran kain (misalnya, selendang produksi Sumatera biasanya lebih lebar). Namun memang, di masa sekarang ini perbedaan dan ciri-ciri khas ini sudah banyak yang melebur dan saling mempengaruhi, sehingga tidak mudah untuk menentukan batasan daerah asal di mana suatu batik diproduksi.

Batik adalah sehelai wastra yang mengandung dua unsur pokok: teknik celup rintang yang menggunakan lilin sebagai perintang warna, dan pola yang beragam hias khas batik (Doellah, 2002). Namun sekitar satu abad belakangan ini batik mulai memiliki fungsi lain, yaitu pakaian sehari-hari dan fungsi-fungsi selain pakaian, misalnya digunakan untuk taplak meja, korden, sarung bantal, hiasan dinding, dan berbagai peralatan rumah lainnya. Selain itu, belakangan muncul seni lukisan batik, yang menggunakan teknik membatik dalam melukis, dan umumnya sudah tidak mengambil inspirasi dari ragam hias kain batik yang tradisional (Kerlogue, 2004). Lebih lanjut tentang perkembangan batik di Indonesia akan dibahas di bawah, sebagai latar belakang untuk analisis teks media mengenai batik.

Sejarah Batik di Indonesia

Di awal-awal abad ke-20 kemakmuran mulai meningkat di wilayah Hindia Belanda, terutama di Pulau Jawa. Semakin banyak kalangan yang mampu memakai batik, sehingga permintaan akan batik semakin meningkat. Pada saat inilah produksi batik cap semakin banyak demi memenuhi permintaan pasar yang tinggi. Di pusat batik di pesisir utara Jawa seperti Cirebon dan Pekalongan, industri batik semakin berkembang, bukan hanya memenuhi pasar lokal tetapi juga mulai mengekspor ke luar negeri. Mulai digunakannya pewarna sintetis juga membuat desain batik semakin beragam. Berawal dari industri rumahan dan banyak dikerjakan perempuan, lamakelamaan batik menjadi industri yang lebih besar, dihasilkan di pabrik, dan banyak dikerjakan oleh pekerja laki-laki.

Pada masa perang dunia pertama, persediaan bahan kain bahan dasar batik berkurang, sehingga harga batik naik. Krisis ekonomi dunia pada tahun 1920-an juga mempengaruhi industri batik di Indonesia. Permintaan pasar akan batik mengalami fluktuasi. Demikian jugan pada masa perang dunia kedua, persediaan bahan pembuatan batik terganggu. Di masa pendudukan Jepang, rasa anti-Eropa muncul, dan pabrik-pabrik batik milik pengusaha batik Eropa banyak yang tutup dan diambil alih pengusaha Cina. Pada masa inilah di daerah pesisiran (Pekalongan) muncul apa yang disebut dengan batik Jawa Hokokai, yang mengikuti selera ornamental Jepang. Kain ini dibuat dengan model pagi-sore, satu kain dengan dua tampilan, untuk menghemat bahan. Hal ini menunjukkan betapa batik sangat responsif dan dapat menyesuaikan diri terhadap situasi dan keadaan pada saat diproduksinya.

Tahun 1945 Indonesia merdeka, dan ini juga membawa dampak bagi perkembangan batik. Semakin banyak saling mempengaruhi antar gaya batik satu daerah dengan yang lain, semakin umumnya pola-pola larangan, hingga produksi batik yang tidak lagi secara tradisional menggunakan canting. Perkembangan selanjutnya adalah pemakaian bahan sintetis yang digunakan sebagai bahan dasar. Karena meningkatnya permintaan bahan batik untuk kemeja dan kain non-tradisional lainnya, dan dengan semakin tingginya biaya pembuatan batik tulis dan cap, akhirnya mendorong perkembangannya batik sablon dan printing, yang pada hakekatnya bukan merupakan batik dalam arti sebenarnya (Djoemena, 1991).

Setelah kemerdekan Indonesia, mulai muncul usaha untuk kembali mengembangkan batik, bukan hanya sebagai suatu kekuatan ekonomi, tetapi juga menjadikannya simbol identitas kultural bangsa. Dibentuklah Gabungan Koperasi Batik Indonesia (GKBI) yang mengumpulkan pengusaha batik se-Indonesia, juga untuk menghalau persaingan dari luar. Pada masa ini, batik sudah mulai banyak dipandang sebagai kuno, tidak modern. Dalam negara yang mengusung demokrasi, fungsi batik sebagai penanda status tidak dilihat lagi (Kerlogue, 2004).

Pada sekitar tahun 1950-an, Presiden Soekarno mendukung diciptakannya gaya batik tulis baru yang dibuat oleh K. R. T. Hardjonagoro di Solo. Gaya ini memadukan warna-warna cerah khas batik pesisiran dengan ragam hias batik kerajaan khas Jawa Tengah, diikuti pola-pola baru yang terinspirasi ragam hias kain tradisional lainnya di Indonesia. Presiden Soekarno menyebut batik jenis ini ‘Batik Indonesia’. Hal ini disambut baik para pengusaha batik, dan mulai mendominasi pasar sebagai pakaian sehari-hari. Batik ini mengandung makna persatuan Indonesia, dan dimaksudkan berperan sebagai suatu lambang identitas kultural bangsa.

Di tahun 1960-an, mulai diproduksi batik imitasi yang dibuat tanpa melalui proses membatik (celup rintang), melainkan melalui silkscreen printing (batik print). Produksi menjadi lebih cepat dan mudah, sehingga yang dihasilkan lebih banyak. Lama-kelamaan proses printing inipun bahkan mendesak batik cap.

Menjelang tahun 1970-an, kemeja batik diunggulkan jadi pakaian resmi Indonesia oleh Gubernur Jakarta Ali Sadikin. Hal ini didukung pula oleh Presiden Soeharto. Batik yang digunakan untuk kemeja pada saat itu disebut dengan batik Ali Sadikin. Sejak itu, khususnya di kalangan pegawai pemerintah DKI Jakarta, ditetapkan mengenakan kemeja batik lengan panjang pada acara resmi dan lengan pendek untuk pakaian sehari-hari. Tak lama kemudian, batik lengan panjang diakui sebagai pakaian nasional, bersama dengan kebaya yang dikenakan dengan kain panjang.

Di masa orde baru ini, batik semakin sering muncul dan dapat dikatakan menjadi alat hegemoni. Presiden Soeharto sering memakai batik, mulai dari acara-acara keluarga yang disiarkan di televisi nasional (terlihat seluruh keluarganya memakai seragam berbahan batik) hingga ke acara-acara kenegaraan tingkat internasional. Pakaian serupa kemudian menurun menjadi mode dalam sebagian besar acara formal termasuk pernikahan mewah (Dhakidae, 2003). Batik juga ditetapkan menjadi salah satu seragam sekolah dan seragam di institusi seperti bagi pegawai KORPRI dan di universitas (Wahyudi, ed., 2007). Hal ini dapat dimaknai memiliki maksud tertentu. Kewajiban seragam itu dengan sendirinya berhubungan dengan industri tekstil dan konsentrasi modal. Selain untuk kepentingan yang bersifat kapitalis, pakaian seragam juga menjadi salah satu simbol yang dikonstruksikan untuk menjaga disiplin dan normalisasi yang gencar dilakukan di masa itu, seperti halnya penataran P4 hingga ke pelosok-pelosok daerah di mana pesertanya biasanya juga memakai batik (Dhakidae, 2003). Masa orde baru ini identik dengan pembangunan dan kemajuan, dan untuk itu diperlukan stabilitas. Hal-hal seperti penataran dan penyeragaman menjadi semacam alat kontrol pemerintah.

Batik Masa Kini

Sekitar tahun 1980-an, batik dengan bahan sutra serta pilihan warna yang beragam berkembang pesat. Batik jenis ini banyak digemari sebagai bahan untuk gaun malam untuk pesta. Salah satu desainer batik yang terkemuka adalah Iwan Tirta, yang melakukan banyak inovasi dalam desain ragam hias dan penggunaan batik sebagai pakaian. Batik prada, yang mulanya terbatas bagi kalangan ningrat dan kerajaan, menjadi favorit untuk pakaian pesta/formal kalangan atas (karena harganya yang mahal). Di masa ini pula mulai muncul peragaan busana yang mengedepankan batik, kebanyakan sebagai gaun dan pakaian resmi, bagi laki-laki dan perempuan. Batik sebagai komoditas ekspor juga semakin berkembang ke seluruh dunia. Sepanjang perjalanan waktu, termasuk saat krisis ekonomi tahun 1997, industri batik tetap hidup dan batik tetap berperan sebagai penanda identitas nasional Indonesia.

Batik memang tidak pernah hilang dari peredaran, namun kehadirannya akhir-akhir ini memang sangat terasa, dan kita bisa mengambil tahun 2008 sebagai kerangka waktu yang terukur. Bila sebelumnya asosiasi yang melekat dengan batik adalah kain tradisional, dan pakaian formal, akhir-akhir ini batik nampaknya juga mendapat status sebagai pakaian yang fashionable. Dan hal yang juga tetap muncul adalah pengakuan batik sebagai identitas kultural bangsa Indonesia. Perancang-perancang busana kembali marak mengembangkan dan memakai kain batik sebagai bahan baju-baju rancangannya, dengan desain yang dianggap lebih kreatif dan mengikuti tren mutakhir. Batik kerap muncul di panggung peragaan busana, seperti Fashion Tendance 2007 (28-29 November 2006), acara tahunan Asosiasi Perancang Pengusaha Mode Indonesia yang bertujuan meramalkan tren. Ketua APPMI Taruna Kusmayadi mengatakan bahwa dipilihnya batik adalah untuk kembali mengingatkan bahwa batik merupakan kekayaan Indonesia dan dapat menjadi nilai tambah di dalam desain. Perancang seperti Edward Hutabarat misalnya, di penghujung tahun 2006 menampilkan koleksi busana wanita berbahan dasar batik, terinspirasi dari hasil eksplorasinya ke berbagai wilayah Indonesia. Selain itu, semakin banyak pula perancang yang menggunakan batik dalam rancangannya, membawa batik semakin sering muncul di media dan dengan demikian semakin populer.

Pemerintah juga secara gencar mempromosikan batik, salah satunya dengan cara menggelar berbagai pameran kerajinan batik, seperti Gelar Batik Nusantara yang diadakan di Balai Sidang Senayan pada 19 – 23 September 2007. Pameran ini mengusung tema “Batik is Cool” – jelas ingin mendorong batik ke ranah yang lebih muda dan populer, menjangkau lebih banyak kalangan. Menurut ketua pelaksana pameran, pemilihan tema tersebut bertujuan meningkatkan kepedulian kaum muda Indonesia terhadap batik sebagai aset budaya bangsa yang mempunyai nilai unggul. Sementara hadirnya ibu negara sebagai pembuka resmi pameran menandakan bahwa peristiwa ini berskala penting dan didukung oleh pemerintah. Departemen Perindustrian dan Perdagangan juga sering diberitakan dalam usahanya memajukan perajin batik. Dan salah satu hal yang juga berperan besar adalah diberlakukannya kewajiban memakai batik di kantor-kantor pemerintah dan swasta tertentu.

Semua usaha mempromosikan batik dalam beberapa tahun ini nampaknya semakin mendongkrak popularitas batik. Di tahun 2008, batik masih tetap sangat populer dan menjadi pusat perhatian. Pameran-pameran tetap banyak dilakukan, misalnya Festival Batik Nusantara di pusat perbelanjaan Senayan City pada Desember 2008, yang merupakan hasil kerjasama antara Dinas Pariwisata DKI Jakarta dengan Ikatan Perancang Mode Indonesia (Kompas, 14 Desember 2008). Pameran yang dilaksanakan di sebuah pusat perbelanjaan yang merupakan ruang publik dapat dilihat sebagai semakin beranjaknya batik dari ranah eksklusif ke arah populer. Berbagai pihak, mulai dari kalangan industri, fashion, serta pemerintah, saling bekerjasama dan memiliki peranan dalam mempopulerkan batik. Hal-hal tersebut menjadi beberapa penanda bangkitnya popularitas batik. ‘Batik’ menjadi suatu komoditas budaya massa.

Dengan demikian, nampaknya kita bisa menyebut bahwa memang saat ini batik sedang menjadi tren di masyarakat, utamanya sebagai tren fashion. Tren adalah suatu bagian dari kehidupan sosial masyarakat kontemporer. Sebuah tren yang berlaku di masyarakat tertentu dapat dibaca sebagai sesuatu yang menandakan keadaan masyarakat tersebut pada suatu masa tertentu. Tren datang dan berganti, tidak permanen, dan selalu berubah. Hal ini nampak jelas terutama dalam bidang fashion. Fashion dan perubahannya dapat dilihat sebagai arsip masa lalu dan alat yang mendokumentasikan dan menjelaskan perubahan sosial, ekonomi, dan kultural. Melalui fashion dapat diamati perubahan dalam nilai-nilai dan perilaku manusia (Shaw, 2006). Makna yang melekat pada fashion juga bergantung dari konteks sosialnya. Fashion memegang peranan penting dalam artikulasi identitas etnik dan kultural dalam keseharian; dalam hal ini identitas kultural bersifat non-esensialis, merupakan sesuatu yang cair, yang dapat berubah dalam konteks waktu dan tempat yang berbeda. Fashion adalah salah satu sarana terpenting individu masa kini mengonstruksikan identitas dan memposisikan dirinya dibandingkan dengan orang lain. Salah satu fungsi kultural fashion dalam kehidupan sehari-hari adalah mengkomunikasikan pesan tentang pemakainya - seperti menyatakan simbol status tertentu, dan sebaliknya bisa pula untuk menghindari status tertentu, serta memodifikasi dan menonjolkan identitas tertentu (Bennett, 2006: 115-116).

Dari sekilas pemaparan di atas terlihat bahwa isu batik kontemporer tidak asing bagi kehidupan masyarakat kita. Sepanjang perkembangannya, citra batik dan maknanya tidaklah statis. Terdapat pemaknaan yang berbeda-beda seputar isu batik kontemporer yang sedang marak. Dari sini dapat dilihat wacana tentang batik secara keseluruhan, untuk menjelaskan fenomena tren yang sedang terjadi. Dalam wacana tentang batik yang ada di masyarakat saat ini, terjadi artikulasi antara berbagai aspek – sosial, adat, ekonomi, politik, hingga masalah gaya hidup. Ada berbagai pelaku di dalamnya, yang masing-masing memiliki kepentingan sendiri, mulai dari pemerintah, pengusaha dan perajin, hingga pengguna. Semua ini berproses dan berinteraksi dalam suatu wacana yang menentukan pemaknaan dan pengetahuan. Makna suatu artefak kebudayaan tidaklah muncul secara otomatis dan terkandung dari dalam benda itu sendiri, melainkan hasil konstruksi dari wacana dan praktik sosial yang kompleks. Kita memaknai sesuatu, antara lain melalui representasi. Alat utama representasi adalah bahasa – bahasa (language) dalam arti luas, tidak hanya lisan dan tertulis, tetapi semua sistem representasi yang dapat membawa makna (signify), termasuk tulisan, ujaran, gambar, foto, dan lain sebagainya. (DuGay et al., 2003). Salah satu wadah yang menampilkan berbagai representasi adalah media massa. Dalam hal ini, apa yang sedang menjadi tren dapat diamati melalui berbagai pemberitaan di media massa.

Kebudayaan masa kini adalah kebudayaan yang sudah terbanjiri media. Budaya media telah menjadi bagian penting dari sosialisasi, turut menentukan selera, nilai, dan cara pikir konsumen. Media massa populer seperti surat kabar, majalah, dan televisi telah menjadi aspek sentral dalam kehidupan sehari-hari, menjadi sumber utama informasi serta turut membentuk dan mengarahkan persepsi individu terhadap berbagai hal. Konsumsi media turut membangun konsepsi seseorang dalam hal identitas, pengetahuan, selera, dan gaya hidup. Pandangan dominan mengenai identitas kultural ataupun identitas nasional dalam masyarakat kontemporer, misalnya, sangat dipengaruhi oleh bagaimana hal tersebut direpresentasikan dalam media massa. Namun demikian, bukan berarti konsumen atau audience adalah pasif dan menerima apa yang diberikan media begitu saja. Konsumen bisa memahami pesan-pesan yang mereka dapat dari media melalui proses kontekstualisasi dan kerangka pengetahuan yang mereka miliki. Dengan demikian, media merupakan sebuah sumberdaya yang membentuk sekaligus juga dibentuk oleh pengetahuan dan respon konsumennya. Hal inilah yang memantapkan pandangan bahwa media massa memiliki signifikansi kultural dalam kehidupan masyarakat dewasa ini. (Bennet, 2006)

Apa yang tampil di media telah melalui proses mediasi, yaitu proses di mana suatu teks media merepresentasikan sebuah ide, isu, peristiwa kepada audience-nya (Rayner, Wall, Kruger, 2001: 65). Representasi di media membangun suatu konstruksi, yang dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti ideologi dan wacana dominan yang berlaku. Maka dari itu media amat berperan besar dalam membentuk opini publik. Namun makna suatu teks media tidaklah satu arah, dalam artian selalu sama dengan yang dimaksudkan produsennya. Konsumen dapat memberikan maknamakna masing-masing terhadap teks, sehingga dalam momen konsumsi-pun terjadi proses produksi makna. Oleh karena itu, di balik semua teks media kita dapat melakukan pembacaan untuk menemukan makna-makna tersembunyi yang lebih luas dari kesan deskriptifnya. Dengan bersikap kritis terhadap suatu teks, kita dapat memahami suatu isu lebih mendalam.

Dalam konteks tren batik yang mengambil kerangka waktu tahun 2008 (pembatasan kerangka waktu ini karena masih kini, dan karena dipercaya bahwa batik sedang dalam puncak popularitas), untuk menjelaskan fenomena tren dan apa yang terjadi di dalamnya, kita dapat meneliti wacana tentang batik. Wacana dapat dilihat dalam media massa, karena media massa sebagai alat representasi juga merupakan produsen wacana. Melalui berbagai teks media massa kita bisa mengungkap pemaknaan apa saja yang muncul berkaitan dengan isu batik, dilihat dari representasi yang muncul. Dari sana, selanjutnya dapat dicari wacana tentang batik yang ada saat ini.

Sejarah Batik Indonesia

Sejarah pembatikan di Indonesia berkait erat dengan perkembangan kerajaan Majapahit dan penyebaran ajaran Islam di Tanah Jawa. Dalam beberapa catatan, pengembangan batik banyak dilakukan pada masa-masa kerajaan Mataram, kemudian pada masa kerjaan Solo dan Yogyakarta.

Jadi kesenian batik ini di Indonesia telah dikenal sejak zaman kerjaan Majapahit dan terus berkembang kepada kerajaan dan raja-raja berikutnya. Adapun mulai meluasnya kesenian batik ini menjadi milik rakyat Indonesia dan khususnya suku Jawa ialah setelah akhir abad ke-XVIII atau awal abad ke-XIX. Batik yang dihasilkan ialah semuanya batik tulis sampai awal abad ke-XX dan batik cap dikenal baru setelah perang dunia kesatu habis atau sekitar tahun 1920. Adapun kaitan dengan penyebaran ajaran Islam. Banyak daerah-daerah pusat perbatikan di Jawa adalah daerah-daerah santri dan kemudian Batik menjadi alat perjaungan ekonomi oleh tokoh-tokoh pedangan Muslim melawan perekonomian Belanda.

Kesenian batik adalah kesenian gambar di atas kain untuk pakaian yang menjadi salah satu kebudayaan keluaga raja-raja Indonesia zaman dulu. Awalnya batik dikerjakan hanya terbatas dalam kraton saja dan hasilnya untuk pakaian raja dan keluarga serta para pengikutnya. Oleh karena banyak dari pengikut raja yang tinggal diluar kraton, maka kesenian batik ini dibawa oleh mereka keluar kraton dan dikerjakan ditempatnya masing-masing.

Lama-lama kesenian batik ini ditiru oleh rakyat terdekat dan selanjutnya meluas menjadi pekerjaan kaum wanita dalam rumah tangganya untuk mengisi waktu senggang. Selanjutnya, batik yang tadinya hanya pakaian keluarga kraton, kemudian menjadi pakaian rakyat yang digemari, baik wanita maupun pria. Bahan kain putih yang dipergunakan waktu itu adalah hasil tenunan sendiri.

Sedang bahan-bahan pewarna yang dipakai tediri dari tumbuh-tumbuhan asli Indonesia yang dibuat sendiri antara lain dari: pohon mengkudu, tinggi, soga, nila, dan bahan sodanya dibuat dari soda abu, serta garamnya dibuat dari tanahlumpur.

Jaman Majapahit

Batik yang telah menjadi kebudayaan di kerajaan Majahit, pat ditelusuri di daerah Mojokerto dan Tulung Agung. Mojoketo adalah daerah yang erat hubungannya dengan kerajaan Majapahit semasa dahulu dan asal nama Majokerto ada hubungannya dengan Majapahit. Kaitannya dengan perkembangan batik asal Majapahit berkembang di Tulung Agung adalah riwayat perkembangan pembatikan didaerah ini, dapat digali dari peninggalan di zaman kerajaan Majapahit. Pada waktu itu daerah Tulungagung yang sebagian terdiri dari rawa-rawa dalam sejarah terkenal dengan nama daerah Bonorowo, yang pada saat bekembangnya Majapahit daerah itu dikuasai oleh seorang yang benama Adipati Kalang, dan tidak mau tunduk kepada kerajaan Majapahit.

Diceritakan bahwa dalam aksi polisionil yang dilancarkan oleh Majapahati, Adipati Kalang tewas dalam pertempuran yang konon dikabarkan disekitar desa yang sekarang bernama Kalangbret. Demikianlah maka petugas-petugas tentara dan keluara kerajaan Majapahit yang menetap dan tinggal diwilayah Bonorowo atau yang sekarang bernama Tulungagung antara lain juga membawa kesenian membuat batik asli.

Daerah pembatikan sekarang di Mojokerto terdapat di Kwali, Mojosari, Betero dan Sidomulyo. Diluar daerah Kabupaten Mojokerto ialah di Jombang. Pada akhir abad ke-XIX ada beberapa orang kerajinan batik yang dikenal di Mojokerto, bahan-bahan yang dipakai waktu itu kain putih yang ditenun sendiri dan obat-obat batik dari soga jambal, mengkudu, nila tom, tinggi dan sebagainya.

Obat-obat luar negeri baru dikenal sesudah perang dunia kesatu yang dijual oleh pedagang-pedagang Cina di Mojokerto. Batik cap dikenal bersamaan dengan masuknya obat-obat batik dari luar negeri. Cap dibuat di Bangil dan pengusaha-pengusaha batik Mojokerto dapat membelinya dipasar Porong Sidoarjo, Pasar Porong ini sebelum krisis ekonomi dunia dikenal sebagai pasar yang ramai, dimana hasil-hasil produksi batik Kedungcangkring dan Jetis Sidoarjo banyak dijual. Waktu krisis ekonomi, pengusaha batik Mojoketo ikut lumpuh, karena pengusaha-pengusaha kebanyakan kecil usahanya. Sesudah krisis kegiatan pembatikan timbul kembali sampai Jepang masuk ke Indonesia, dan waktu pendudukan Jepang kegiatan pembatikan lumpuh lagi. Kegiatan pembatikan muncul lagi sesudah revolusi dimana Mojokerto sudah menjadi daerah pendudukan.

Ciri khas dari batik Kalangbret dari Mojokerto adalah hampir sama dengan batik-batik keluaran Yogyakarta, yaitu dasarnya putih dan warna coraknya coklat muda dan biru tua. Yang dikenal sejak lebih dari seabad yang lalu tempat pembatikan didesa Majan dan Simo. Desa ini juga mempunyai riwayat sebagai peninggalan dari zaman peperangan Pangeran Diponegoro tahun 1825.

Meskipun pembatikan dikenal sejak jaman Majapahait namun perkembangan batik mulai menyebar sejak pesat didaerah Jawa Tengah Surakarta dan Yogyakata, pada jaman kerajaan di daerah ini. Hal itu tampak bahwa perkembangan batik di Mojokerto dan Tulung Agung berikutnya lebih dipenagruhi corak batik Solo dan Yogyakarta.

Didalam berkecamuknya clash antara tentara kolonial Belanda dengan pasukan-pasukan pangeran Diponegoro maka sebagian dari pasukan-pasukan Kyai Mojo mengundurkan diri kearah timur dan sampai sekarang bernama Majan. Sejak zaman penjajahan Belanda hingga zaman kemerdekaan ini desa Majan berstatus desa Merdikan (Daerah Istimewa), dan kepala desanya seorang kiyai yang statusnya Uirun-temurun.Pembuatan batik Majan ini merupakan naluri (peninggalan) dari seni membuat batik zaman perang Diponegoro itu.

Warna babaran batik Majan dan Simo adalah unik karena warna babarannya merah menyala (dari kulit mengkudu) dan warna lainnya dari tom. Sebagai batik setra sejak dahulu kala terkenal juga didaerah desa Sembung, yang para pengusaha batik kebanyakan berasal dari Sala yang datang di Tulungagung pada akhir abad ke-XIX. Hanya sekarang masih terdapat beberapa keluarga pembatikan dari Sala yang menetap didaerah Sembung. Selain dari tempat-tempat tesebut juga terdapat daerah pembatikan di Trenggalek dan juga ada beberapa di Kediri, tetapi sifat pembatikan sebagian kerajinan rumah tangga dan babarannya batik tulis.

Jaman Penyebaran Islam

Riwayat pembatikan di daerah Jawa Timur lainnya adalah di Ponorogo, yang kisahnya berkaitan dengan penyebaran ajaran Islam di daerah ini. Riwayat Batik. Disebutkan masalah seni batik didaerah Ponorogo erat hubungannya dengan perkembangan agama Islam dan kerajaan-kerajaan dahulu. Konon, di daerah Batoro Katong, ada seorang keturunan dari kerajaan Majapahit yang namanya Raden Katong adik dari Raden Patah. Batoro Katong inilah yang membawa agama Islam ke Ponorogo dan petilasan yang ada sekarang ialah sebuah mesjid didaerah Patihan Wetan.

Perkembangan selanjutanya, di Ponorogo, di daerah Tegalsari ada sebuah pesantren yang diasuh Kyai Hasan Basri atau yang dikenal dengan sebutan Kyai Agung Tegalsari. Pesantren Tegalsari ini selain mengajarkan agama Islam juga mengajarkan ilmu ketatanegaraan, ilmu perang dan kesusasteraan. Seorang murid yang terkenal dari Tegalsari dibidang sastra ialah Raden Ronggowarsito. Kyai Hasan Basri ini diambil menjadi menantu oleh raja Kraton Solo.

Waktu itu seni batik baru terbatas dalam lingkungan kraton. Oleh karena putri keraton Solo menjadi istri Kyai Hasan Basri maka dibawalah ke Tegalsari dan diikuti oleh pengiring-pengiringnya. disamping itu banyak pula keluarga kraton Solo belajar dipesantren ini. Peristiwa inilah yang membawa seni bafik keluar dari kraton menuju ke Ponorogo. Pemuda-pemudi yang dididik di Tegalsari ini kalau sudah keluar, dalam masyarakat akan menyumbangkan dharma batiknya dalam bidang-bidang kepamongan dan agama.

Daerah perbatikan lama yang bisa kita lihat sekarang ialah daerah Kauman yaitu Kepatihan Wetan sekarang dan dari sini meluas ke desa-desa Ronowijoyo, Mangunsuman, Kertosari, Setono, Cokromenggalan, Kadipaten, Nologaten, Bangunsari, Cekok, Banyudono dan Ngunut. Waktu itu obat-obat yang dipakai dalam pembatikan ialah buatan dalam negeri sendiri dari kayu-kayuan antara lain; pohon tom, mengkudu, kayu tinggi. Sedangkan bahan kainputihnyajugamemakai buatan sendiri dari tenunan gendong. Kain putih import bam dikenal di Indonesia kira-kira akhir abad ke-19.

Pembuatan batik cap di Ponorogo baru dikenal setelah perang dunia pertama yang dibawa oleh seorang Cina bernama Kwee Seng dari Banyumas. Daerah Ponorogo awal abad ke-20 terkenal batiknya dalam pewarnaan nila yang tidak luntur dan itulah sebabnya pengusaha-pengusaha batik dari Banyumas dan Solo banyak memberikan pekerjaan kepada pengusaha-pengusaha batik di Ponorogo. Akibat dikenalnya batik cap maka produksi Ponorogo setelah perang dunia petama sampai pecahnya perang dunia kedua terkenal dengan batik kasarnya yaitu batik cap mori biru. Pasaran batik cap kasar Ponorogo kemudian terkenal seluruh Indonesia.