Bagaimana Asal Mula Bahasa Indonesia?

bahasa indonesia
Bagaimana Asal Mula Bahasa Indonesia?

Manusia dikatakan sebagai makhluk sosial yang tidak dapat hidup sendiri sehingga memerlukan adanya suatu interaksi. Salah satu alat untuk berinteraksi dan berkomunikasi adalah bahasa. Bahasa digunakan untuk mempermudah manusia dalam menyampaikan pikiran, gagasan, ataupun perasaan. Bahasa lahir berbeda-beda sesuai dengan daerahnya sehingga muncul bahasa yang beraneka ragam.

Indonesia merupakan negara yang memiliki lebih dari 300 bahasa daerah. Hal ini dikarenakan kondisi geografis Indonesia yang memiliki banyak pulau, sehingga terdiri atas banyak suku dan adat istiadat. Walaupun memiliki banyak bahasa daerah, Indonesia memiliki bahasa persatuan, yakni bahasa Indonesia. Bahasa Indonesia lahir sebagai identitas bangsa Indonesia.

Namun, pada era Globalisasi ini menyebabkan masuknya bahasa asing dan bahasa pergaulan yang digunakan masyarakat Indonesia saat ini. Tentu hal ini menyimpang dari kaidah bahasa Indonesia yang baik dan benar. Masyarakat lebih memilih menggunakan bahasa pergaulan sebagai alat komunikasi sehari-hari. Dengan demikian lambat laun, penggunaan bahasa baku menjadi berkurang. Untuk itu, kita sebagai masyarakat Indonesia, wajib melestarikan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional. Dalam melestarikan bahasa Indonesia, kita perlu mengetahui sejarah dan asal-usul terbentuknya bahasa Indonesia itu sendiri.

Asal Mula Bahasa Indonesia

Bahasa Indonesia adalah bahasa resmi Negara Kesatuan Republik Indonesia dan bahasa persatuan bangsa Indonesia. Dari sudut pandang linguistik, bahasa Indonesia adalah sebuah variasi dari bahasa Melayu. Dalam hal ini dasar yang dipakai adalah bahasa Melayu Riau, tetapi telah mengalami perkembangan akibat penggunaanya sebagai bahasa kerja dan proses pembakuan pada awal abad ke-20. Sampai saat ini, bahasa Indonesia merupakan bahasa yang hidup dan terus berkembang dengan pengayaan kosakata baru, baik melalui penciptaan maupun melalui penyerapan dari bahasa daerah dan bahasa asing.

Pada zaman Kerajaan Sriwijaya (abad ke-7 Masehi), bahasa Melayu (bahasa Melayu Kuno) dipakai sebagai bahasa kenegaraan. Hal itu dapat diketahui, dari empat prasasti berusia berdekatan yang ditemukan di Sumatra bagian selatan peninggalan kerajaan tersebut. Prasati tersebut di antaranya adalah dengan ditemukannya prasasti di Kedukan Bukit berangka tahun 683 M (Palembang), Talang Tuwo berangka tahun 684 M (Palembang), Kota Kapur berangka tahun 686 M (Bangka Barat), dan Karang Brahi berangka tahun 688 M (Jambi). Prasasti itu bertuliskan huruf Pranagari berbahasa Melayu Kuna. Pada saat itu, bahasa Melayu yang digunakan bercampur kata-kata bahasa Sanskerta. Sebagai penguasa perdagangan, di Kepulauan Nusantara, para pedagangnya membuat orang-orang yang berniaga terpaksa menggunakan bahasa Melayu walaupun dengan cara kurang sempurna. Hal itu melahirkan berbagai varian lokal dan temporal pada bahasa Melayu yang secara umum dinamakan bahasa Melayu Pasar.

Penemuan prasasti berbahasa Melayu Kuno di Jawa Tengah (berangka tahun abad ke-9) dan prasasti di dekat Bogor (Prasasti Bogor) dari abad ke-10 menunjukkan penyebaran penggunaan bahasa itu di Pulau Jawa. Penemuan keping tembaga Laguna di dekat Manila, Pulau Luzon, berangka tahun 900 Masehi juga menunjukkan keterkaitan wilayah tersebut dengan Sriwijaya.

Pada abad ke-15 berkembang bentuk yang dianggap sebagai bentuk resmi bahasa Melayu karena dipakai oleh Kesultanan Malaka, yang kelak disebut sebagai bahasa Melayu Tinggi. Penggunaanya terbatas di kalangan keluarga kerajaan di sekitar Sumatra, Jawa, dan Semenanjung Malaya. Kemudian, Malaka merupakan tempat bertemunya para nelayan dari berbagai negara dan mereka membuat sebuah kota serta mengembangkan bahasa mereka sendiri dengan mengambil kata-kata yang terbaik dari bahasa di sekitar daerah tersebut. Kota Malaka yang posisinya sangat menguntungkan (strategis) menjadi bandar utama di kawasan Asia Tenggara. Bahasa Melayu menjadi bahasa yang paling sopan dan paling tepat di kawasa timur jauh. Ejaan resmi bahasa Melayu pertama kali disusun oleh Ch. A. van Ophuijsen yang dibantu oleh Moehammad Taib Soetan Ibrahim dan Nawawi Soetan Ma’moer yang dimuat dalam kitab Logat Melayu pada tahun 1801.

Proses Pengesahan Bahasa Indonesia sebagai Bahasa Persatuan

Pada zaman penjajahan Belanda pada awal abad-20, Pemerintah Kolonial Hindia Belanda melihat pegawai pribumi memiliki kemampuan memahami bahasa Belanda yang sangat rendah. Hal itu yang menyebabkan pemerintah kolonial Belanda ingin menggunakan bahasa Melayu untuk mempermudah komunikasi, yakni dengan patokan bahasa Melayu Tinggi yang sudah mempunyai kitab-kitab rujukan.

Sarjana Belanda mulai membuat standarisasi bahasa, mereka mulai menyebarkan bahasa Melayu yang mengadopsi ejaan Van Ophusijen dari Kitab Logat Melayu. Penyebaran bahasa Melayu secara lebih luas lagi dengan dibentuknya Commissie voor de Volkslectuur (Komisi Bacaan Rakyat) pada tahun 1908. Pada 1917 namanya diganti menjadi Balai Poestaka. Badan penerbit ini menerbitkan novel-novel, seperti Siti Nurbaya dan Salah Asuhan, buku-buku penuntun bercocok tanam, penuntun memelihara kesehatan, yang membantu penyebaran bahasa Melayu di kalangan masyarakat luas.

Pada 16 Juni 1927, saat sidang Volksraad (Rapat Dewan Rakyat), Jahja Datoek Kajo pertama kalinya menggunakan bahasa Indonesia dalam pidatonya. Di sinilah bahasa Indonesia mulai berkembang. Pada 28 Oktober 1928, Muhammad Yamin mengusulkan bahasa Melayu sebagai bahasa nasional dalam pidatonya pada Kongres Nasional kedua. Bahasa Indonesia secara resmi diakui sebagai “bahasa persatuan bangsa” pada saat Sumpah Pemuda.

Muhammad Yamin berkata, “Jika mengacu pada masa depan bahasa-bahasa yang ada di Indonesia dan kesusastraannya, hanya ada dua bahasa yang bisa diharapkan menjadi bahasa persatuan, yaitu bahasa Jawa dan Melayu. Namun, dari dua bahasa itu, bahasa Melayulah yang lambat laun akan menjadi bahasa pergaulan atau bahasa persatuan.”

Tahun 1933 berdiri sebuah angkatan sastrawan muda yang menamakan dirinya sebagai Pujangga Baru yang dipimpin oleh Sutan Takdir Alisyahbana. Tiga tahun kemudian, Sutan Takdir Alisyahbana menyusun “Tata bahasa Baru Bahasa Indonesia”. Pada tanggal 25-28 Juni 1938 dilangsungkan Kongres Bahasa Indonesia I di Solo. Kongres tersebut menghasilkan bahwa usaha pembinaan dan pengembangan bahasa Indonesia telah dilakukan secara sadar oleh cendekiawan dan budayawan Indonesia saat itu.

Pada 18 Agustus 1945, sehari setelah kemerdekaan, ditandatanganilah Undang-Undang Dasar 1945. Pada Bab XV, Pasal 36, ditetapkan secara sah bahwa bahasa Indonesia adalah bahasa negara.

Sumber:

Bahasa merupakan salah satu unsur identitas suatu bangsa. Begitu pula bahasa Indonesia merupakan salah satu identitas nasional bagi bangsa dan negara Indonesia. Bahasa Indonesia adalah bahasa resmi Republik Indonesia dan bahasa persatuan bangsa Indonesia. Bahasa Indonesia diresmikan penggunaannya satu hari setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, tepatnya pada tanggal 18 Agustus 1945, bersamaan dengan mulai berlakunya Undang-undang Dasar Republik Indonesia 1945.

Dari sudut pandang linguistik, bahasa Indonesia adalah salah satu dari banyak ragam bahasa Melayu. Ragam yang dipakai sebagai dasar bagi bahasa Indonesia adalah bahasa Melayu Riau. Pada Abad ke-19, bahasa Melayu merupakan bahasa penghubung antaretnis dan suku-suku di kepulauan nusantara. Selain menjadi bahasa penghubung antaretnis dan suku-suku, dulu bahasa Melayu juga menjadi bahasa penghubung dalam kegiatan perdagangan internasional di wilayah nusantara.

Trasaksi antarpedagang, baik yang berasal dari pulau-pulau di wilayah nusantara maupun orang asing, menggunakan bahasa pengantar bahasa Melayu. Bahasa melayu kala itu adalah lingua franca (bahasa pengantar dalam pergaulan) antarwarga nusantara dan dengan pendatang dari manca negara. Hal ini merupakan salah satu alasan mengapa bahasa Melayu ditetapkan sebagai dasar bagi bahasa Indonesia.

Alasan lain mengapa bahasa Melayu dipilih menjadi bahasa nasional bagi negara Indonesia adalah karena hal-hal sebagai berikut. Dibandingkan dengan bahasa daerah lain, misalnya bahasa Jawa, sesungguhnya jumlah penutur bahasa Melayu tidak lebih banyak. Dipandang dari jumlah penuturnya, bahasa Jawa jauh lebih besar karena menjadi bahasa ibu bagi sekitar setengah penduduk Indonesia; sedangkan bahasa Melayu dipakai tidak lebih dari sepersepuluh jumlah penduduk Indonesia.

Bahasa Melayu ragam Riau merupakan bahasa yang kurang berarti. Bahasa itu diperkirakan dipakai hanya oleh penduduk kepulauan Riau, Linggau dan penduduk pantai-pantai di Sumatera. Namun di sinilah letak kearifan para pemimpin kita dahulu. Mereka tidak memilih bahasa daerah yang besar sebagai dasar bagi bahasa Indonesia karena dikhawatirkan akan dirasakan sebagai pengistimewaan yang berlebihan.

Alasan kedua, mengapa bahasa Melayu dipilih sebagai dasar bagi bahasa Indonesia adalah karena bahasa itu sederhana sehingga lebih mudah dipelajari dan dikuasai. Bahasa Jawa lebih sulit dipelajari dan dikuasai karena kerumitan strukturnya, tidak hanya secara fonetis dan morfologis tetapi juga secara leksikal. Seperti diketahui, bahasa Jawa memiliki ribuan morfem leksikal dan stuktur gramatikal yang banyak dan rumit.

Penggunaan bahasa Jawa juga dipengaruhi oleh struktur budaya masyarakat Jawa yang cukup rumit. Ketidaksederhaan itulah yang menjadi alasan mengapa bukan bahasa Jawa yang dipilih sebagai dasar bagi bahasa Indonesia. Yang sangat menggembirakan adalah bahwa orang-orang Jawa pun menerima dengan ikhlas kebedaraan bahasa Melayu sebagai dasar bagi bahasa Indonesia, meskipun jumlah orang Jawa jauh lebuih banyak daripada suku-suku lain.

Penggunaan bahasa Melayu sebagai lingua franca atau bahasa pergaulan bagi suku-suku di wilayah nusantara dan orang-orang asing yang datang ke wilayah nusantara dibuktikan dalam berbagai temuan prasasti dan sumber-sumber dokumen. Dari dokumen-dokumen yang ditemukan diketahui bahwa orang-orang Cina, Persia dan Arab, pernah datang ke kerajaan Sriwijaya di Sumatera untuk belajar agama Budha.

Pada sekitar abad ke-7 kerajaan Sriwijaya merupakan pusat internasional pembelajaran agama Budha, dan negara yang terkenal sangat maju perdagangannya. Kala itu, bahasa Melayu merupakan bahasa pengantar dalam pembelajaran agama Budha dan perdagangan di Asia Tenggara. Bukti-bukti yang menyatakan hal itu adalah prasasti-prasasti yang ditemukan di Kedukan Bukit di Palembang (683 M), Talang Tuwo di Palembang (684 M), Kota Kapur (686 M), Karang Birahi di Jambi (688 M). Prasasti-prasasti itu bertuliskan huruf Pranagari dan berbahasa Melayu Kuno.

Bahasa Melayu Kuno ternyata tidak hanya dipakai pada masa kerajaan Sriwijaya saja karena di Jawa Tengah (Ganda Suli) juga ditemuka prasasti berangka tahun 832 M dan di Bogor berangka tahun 942 M yang juga menggunakan bahasa Melayu kuno. Pada masa keemasan kerajaan Sriwijaya, bahasa Melayu juga dipakai sebagai bahasa kebudayaan dan pendidikan. Waktu itu bahasa Melayu dipakai dalam buku-buku pelajaran agama Budha.

Seorang ahli sejarah Cina, I-Tsing yang belajar agama Budha di Sriwijaya, antara lain menyatakan bahwa di Sriwijaya kala itu ada bahasa yang bernama Koen Loen yang berdampingan dengan bahasa Sanskerta. Sebutan Koen-Luen bermakna bahasa perhubungan (lingua franca), yaitu bahasa Melayu (Ali Syahbana, 1971).

Sejarah bahasa Melayu yang telah lama menjadi lingua franca tampak makin jelas dari peninggalan-peninggalan kerajaan Islam, antara lain tulisan pada batu nisan di Minye Tujah, Aceh (tahun 1380 M) dan karya sastra abad 16-17, misalnya syair Hamzah Fansuri yang berisi hikayat raja-raja Pasai dan buku Sejarah Melayu, yaitu Tajussalatin dan Bustanussalatin.

Selanjutnya, bahasa Melayu menyebar ke seluruh pelosok nusantara bersama dengan menyebarnya agama Islam di wilayah. Meskipun dipakai oleh lebih dari 90% warga Indonesia, Bahasa Indonesia bukanlah bahasa ibu bagi kebanyakan penuturnya. Bahasa ibu bagi sebagian besar warga Indonesia adalah salah satu dari 748 bahasa daerah yang ada di Indonesia.

Dalam pemakaian sehari-hari, Bahasa Indonesia kerap dicampuradukkan dengan dialek Melayu lain atau bahasa daerah penuturnya. Meskipun demikian, Bahasa Indonesia digunakan sangat luas di perguruan-perguruan, di media massa, sastra, perangkat lunak, surat-menyurat resmi, dan berbagai forum publik lainnya, sehingga dapatlah dikatakan bahwa Bahasa Indonesia digunakan oleh semua warga Indonesia. Telah disampaikan bahwa Bahasa Indonesia adalah varian bahasa Melayu, sebuah bahasa Austronesia dari cabang bahasa-bahasa Sunda-Sulawesi, yang telah digunakan sebagai lingua franca di Nusantara sejak dulu.

Dari prasasti-prasasti dan peninggalan kuno diketahui bahwa bahasa Melayu telah digunakan sejak jaman kerjaan Sriwijaya, yang kemudian berkembang pesat penggunaannya karena diperkaya dengan kata-kata dan istilah pinjaman dari bahasa Sanskerta, suatu bahasa Indo-Eropa dari cabang Indo-Iran. Jangkauan penggunaan bahasa ini pun cukup luas, karena ditemukan pula dokumen-dokumen dari abad berikutnya di Pulau Jawa dan Pulau Luzon. Kata-kata seperti samudra, istri, raja, putra, kepala, kawin, dan kaca adalah kata-kata pinjaman dari bahasa Sanskerta.

Pada abad XV Masehi, berkembang varian baru bahasa Melayu yang disebut sebagai bahasa Melayu Klasik (classical Malay atau medieval Malay). Bahasa Melayu varian ini digunakan sebagai bahasa pengantar di wilayah Kesultanan Melaka. Pada periode selanjutnya, bahasa Melayu varian ini disebut sebagai bahasa Melayu Tinggi.

Penggunaannya terbatas di kalangan keluarga kerajaan di sekitar Sumatera, Jawa, dan Semenanjung Malaya. Tome Pires, seorang pedagang asal Portugis menyebutkan adanya bahasa yang dipahami oleh semua pedagang di wilayah Sumatera dan Jawa. Pada masa itu bahasa Melayu Tinggi banyak dipengaruhi oleh kosa kata bahasa Arab dan bahasa Parsi, sebagai akibat dari penyebaran agama Islam yang mulai masuk sejak abad ke-12.

Katakata bahasa Arab seperti masjid, kalbu, kitab, kursi, selamat, dan kertas, serta kata-kata Parsi seperti anggur, cambuk, dewan, saudagar, tamasya, dan tembakau masuk pada periode ini. Proses penyerapan dari bahasa Arab terus berlangsung hingga sekarang. Pada masa selanjutnya, para pedagang dari Portugis, Belanda, Spanyol, dan Inggris mulai berdatangan. Mereka kemudian banyak mempengaruhi perkembangan bahasa Melayu.

Bahasa Portugis banyak memperkaya kata-kata yang diambil dari kebiasaan Eropa dalam kehidupan sehari-hari. Bahasa Melayu kemudian mengenal kosa kata baru, seperti gereja, sepatu, sabun, meja, bola, bolu, dan jendela. Bahasa Belanda memperkaya kosa kata bahasa Melayu di bidang administrasi dan kegiatan resmi (misalnya dalam upacara dan kemiliteran), dan teknologi. Kata-kata seperti asbak, polisi, kulkas, knalpot, dan stempel adalah pinjaman dari bahasa itu.

Para pedagang dari Cina juga ikut memperkaya kosa kata bahasa Melayu, terutama yang berkaitan dengan perniagaan dan keperluan sehari-hari. Kata-kata seperti pisau, tauge, tahu, loteng, teko, tauke, dan cukong berasal dari kosa kata bahasa Cina. Jan Huyghen van Linschoten pada abad ke-17 dan Alfred Russel Wallace pada abad ke-19 menyatakan bahwa bahasa orang Melayu/Melaka dianggap sebagai bahasa yang paling penting di “dunia timur”. Luasnya penggunaan bahasa Melayu ini melahirkan berbagai varian lokal dan temporal.

Bahasa perdagangan menggunakan bahasa Melayu di berbagai pelabuhan Nusantara bercampur dengan bahasa Portugis, bahasa Tionghoa, maupun bahasa setempat. Terjadi proses pidginisasi di beberapa kota pelabuhan di kawasan timur Nusantara, misalnya di Manado, Ambon, dan Kupang. Orang-orang Tionghoa di Semarang dan Surabaya juga menggunakan varian bahasa Melayu pidgin. Terdapat pula bahasa Melayu Tionghoa di Batavia.

Varian yang terakhir ini malah dipakai sebagai bahasa pengantar bagi beberapa surat kabar pertama berbahasa Melayu (sejak akhir abad ke-19). Varian-varian lokal ini secara umum dinamakan bahasa Melayu Pasar oleh para peneliti bahasa. Tonggak penting bagi bahasa Melayu terjadi ketika pada pertengahan abad ke-19 Raja Ali Haji dari istana Riau-Johor (pecahan Kesultanan Melaka) menulis kamus bahasa Melayu.

Sejak saat itu kedudukan bahasa Melayu menjadi setara dengan bahasa-bahasa lain di dunia, karena memiliki kaidah dan dokumentasi kata yang terdefinisi dengan jelas. Hingga akhir abad ke-19 dapat dikatakan terdapat paling sedikit dua kelompok bahasa Melayu yang dikenal masyarakat Nusantara: bahasa Melayu Pasar yang kolokial dan tidak baku serta bahasa Melayu Tinggi yang terbatas pemakaiannya tetapi memiliki standar.

Bahasa ini dapat dikatakan sebagai lingua franca, tetapi kebanyakan berstatus sebagai bahasa kedua atau ketiga. Dengan mengamati perkembangannya, pemerintah kolonial Hindia-Belanda menyadari bahwa bahasa Melayu dapat dipakai untuk membantu administrasi bagi kalangan pegawai pribumi karena penguasaan bahasa Belanda para pegawai pribumi dinilai lemah. Dengan menyandarkan diri pada bahasa Melayu Tinggi (karena telah memiliki kitab-kitab rujukan) sejumlah sarjana Belanda mulai terlibat dalam standardisasi bahasa.

Pengenalan bahasa Melayu pun dilakukan di sejumlah institusi pemerintah, seperti sekolah-sekolah dan lembaga pemerintahan. Sastrawan juga mulai menulis karyanya dalam bahasa Melayu. Sebagai dampaknya, terbentuklah cikal-bakal bahasa Indonesia yang secara perlahan mulai terpisah dari asal-usulnya, yaitu bahasa Melayu Riau. Pada awal abad ke-20 perpecahan dalam bentuk baku tulisan bahasa Melayu mulai terlihat.

Di tahun 1901, Indonesia (sebagai Hindia-Belanda) mengadopsi ejaan Van Ophuijsen. Pada tahun 1904 wilayah Persekutuan Tanah Melayu (kelak menjadi bagian dari Malaysia) di bawah jajahan Inggris mengadopsi ejaan Wilkinson. Tahun 1896 dimulai penyusunan ejaan Van Ophuysen yang diawali penyusunan Kitab Logat Melayu (dimulai tahun 1896) oleh van Ophuijsen, dibantu oleh Nawawi Soetan Ma’moer dan Moehammad Taib Soetan Ibrahim. Menyadari akan pentingnya kedudukan bahasa Melayu, campur tangan pemerintah semakin kuat.

Pada tahun 1908 pemerintah kolonial membentuk Commissie voor de Volkslectuur atau “Komisi Bacaan Rakyat” (KBR). Lembaga ini merupakan embrio Balai Poestaka. komisi ini. Di bawah pimpinan D.A. Rinkes, pada tahun 1910 KBR melancarkan program Taman Poestaka dengan membentuk perpustakaan kecil di berbagai sekolah pribumi dan beberapa instansi pemerintah.

Perkembangan program ini sangat pesat, dalam dua tahun telah terbentuk sekitar 700 perpustakaan. Cara ini ditempuh oleh pemerintah kolonial Belanda karena melihat kelenturan bahasa Melayu Pasar yang dapat mengancam eksistensi jajahanannya. Pemerintah kolonial Belanda berusaha meredamnya dengan mempromosikan bahasa Melayu Tinggi, diantaranya dengan penerbitan karya sastra dalam Bahasa Melayu Tinggi oleh Balai Pustaka. Namun, bahasa Melayu Pasar sudah telanjur berkembang dan digunakan oleh banyak pedagang dalam berkomunikasi.

Pada tahun 1917 pemerintah kolonial belanda mengubah KBR menjadi Balai Pustaka. Badan penerbit ini menerbitkan novel-novel, seperti Siti Nurbaya dan Salah Asuhan, buku-buku penuntun bercocok tanam, penuntun memelihara kesehatan, yang tidak sedikit membantu penyebaran bahasa Melayu di kalangan masyarakat luas.

Seperti yang kita ketahui, Bahasa Melayu merupakan akar dari bahasa Indonesia. Ketika Belanda singgah di Indonesia, bahasa Melayu pun digunakan sebagai bahasa resmi kedua dalam korespondensi dengan orang lokal. Akhirnya, bahasa Melayu dan bahasa Belanda bersaing semakin ketat.

Walaupun Gubernur Jenderal Roshussen telah mengusulkan bahasa Melayu untuk menjadi bahasa pengantar di sekolah-sekolah rakyat, ada pihak-pihak yang gigih menolak bahasa Melayu di Indonesia. Van der Chijs, seorang berkebangsaan Belanda, menyarankan supaya sekolah memfasilitasi ajaran bahasa Belanda. JH Abendanon yang merupakan Direktur Departemen Pengajaran juga berhasil memasukkan bahasa Belanda ke dalam mata pelajaran wajib di sekolah rakyat dan sekolah pendidikan guru pada 1900.

Akhirnya, persaingan bahasa ini dimenangkan oleh bahasa Melayu. Kemudian di Kongres Pemuda I tahun 1926, bahasa Melayu menjadi wacana untuk dikembangkan sebagai bahasa dan sastra Indonesia. Lalu pada Kongres Pemuda II 1928, Sumpah Pemuda mengikrakan bahwa bahasa Indonesia merupakan bahasa persatuan Indonesia.

Sebenarnya, bahasa Indonesia ini terbentuk dari beraneka ragam bahasa asing. Pada tahun 1999, Pusat Bahasa menerbitkan buku “Senarai Kata Serapan dalam Bahasa Indonesia’ dan menyatakan bahwa terdapat 10 donor bahasa Indonesia, yakni Belanda, Inggris, Arab, Sanskerta-Jawa Kuna, China, Portugis, Tamil, Parsi/Persia, dan Hindi.

Bahasa Sanskerta dipercaya menjadi donor bahasa Indonesia karena telah ditemukan sebuah prasasti di Kutai (Kaltim) pada abad ke-5 menggunakan bahasa Sanskerta (Prasasti Mulawarman). Telah diperkirakan sejak abad ke-9 SM bahwa bahasa Sanskerta sudah daa di Sumatera, Jawa, Bali, dan Kalimantan karena tersebarnya agama Hindu di Indonesia. Misalnya, kata Asmara dalam bahasa Indonesia merupakan serapan dari kata Āśrama ; dan kata Sederhana merupakan serapan dari kata Sādhāraṇa .

Bahasa Arab dipercaya menjadi donor bahasa Indonesia karena Islamisasi di Nusantara, yakni Arab. Conto dari Bahasa Arab adalah Akal merupakan serapan dari ʿaql dan kata Kabar merupakan serapan dari kata Khabar . Ketiga, Bahasa Parsi , bahasa yang berasal dari kawasan yang sekarang disebut Iran dan sekitarnya. Contoh dari kata bahasa Parsi adalah Anggur dari kata Angūr .

Selanjutnya adalah Bahasa Hindi , bahasa resmi kedua di rumahnya sendiri, India. Contohnya adalah kata Ayah yang berasal dari Āyā , dan Roti dari kata Roṭī . Kelima, Bahasa Tamil. Bahasa ini berasal dari India Selatan dan dikategorikan rumpun Dravida dan telah bersinggungan dengan bahasa Melayu. Bahasa ini juga digunakan di Negara Jiran seperti Malaysia dan Singapura. Contohnya adalah kata Andai berasal dari kata Aṇṭai dan Keledai dari kata Kaṭalai .

Keenam adalah Bahasa Cina . Bukti awal eksistensinya adalah adanya prasasti Jawa Kuno (abad ke-10). Bahasa Cina yang berkunjung ke Nusantara pun diambil dari dialek Hokyan. Kata-kata yang merupakan diambel dari Bahasa Cina contohnya adalah Apa dari 阿爸 a pà, Angpau, Bakso, dan Bakwan. Selanjutnya adalah Bahasa Portugis . Bangsa Portugis masuk ke Melaka dan timur Nusantara untuk berdagang. Contoh dari bahasa serapannya adalah Bendera dari kata Bandeira , Boneka dari kata Boneca , Algojo dari kata Algoz .

Selanjutnya adalah Bahasa Belanda . Bahasa ini merupakan donor terbanyak ke dalam Bahasa Indonesia namun tidak menjadikan bahasa itu sebagai lingua franca , atau bahasa pergaulan karena tergeser oleh bahasa Malaysia. Beberapa kata Bahasa Indonesia dari bahasa Belanda yakni Aktivitas dari kata Activitiet , Bando dari kata Bandeau , Harmonis dari kata Harmonisch , Losmen dari kata Logement dan kata Indekos dari kata in de kost . Lalu, bahasa Inggris. Contohnya adalah kata Analisis dari Analysis , Bisnis dari kata Business , dan sebagainya.

Terakhir adalah bahasa Jepang . Bahasa ini sudah masuk Nusantara sejak tahun 1942. Di antara yang tetap bertahan muncul di KBBI edisi ke-IV adalah keibodan , kamikaze , dan jibaku . Selain itu, ada pula kata Kimono .