Bagaimana ancaman kekeringan di Ethiopia?

Etiopia adalah sebuah negara yang terletak di benua Afrika, tepatnya di Afrika Timur. Etiopia merupakan negara yang terkurung oleh daratan, yaitu negara yang tidak memiliki wilayah laut dengan luas wilayahnya sebesar 1.104.300 km2. Secara astronomis, Etiopia terletak di antara 3°LU – 15°LU dan 33°BT – 45°BT. Ethiopia merupakan negara yang sedang berkembang yang mempunyai beberapa permasalahan. Salah satu permasalahan yang dialami oleh Ethiopia adalah masalah kekerigan. Bagaimana terjadinya ancaman kekeringan di Ethiopia?

Etiopia memiliki iklim yang bervariasi dan berubah-ubah sejak masa lampau. Rata-rata curah hujan bulanan untuk Etiopia dari tahun 1991-2015 sangat bervariasi. Etiopia setiap bulannya memperoleh tingkat curah hujan paling sedikit yaitu 13.7 mm di bulan Januari, serta tingkat curah hujan paling tinggi mencapai 142.2 mm di bulan Agustus. Variasi curah hujan yang spasial dan temporal beserta kurangnya fasilitas penyimpanan air di Etiopia menyebabkan air terkadang menjadi tidak tersedia dimanapun dan kapanpun dibutuhkan (Awulachew et.al, 2007).

Etiopia memiliki kelimpahan sumber daya air yang berjumlah sekitar 123 miliar kubik air dengan resapan air tanah tahunan sebesar 28 milyar kubik air (Ministry of Water and Energy, 2014). Namun, tercatat hanya sekitar 5,6 milyar kubik air dan 290,000 ha lahan yang dimanfaatkan hingga tahun 2015. Selain itu, Etiopia yang mengaliri 86% air di Sungai Nil dari Anak Sungai Nil Biru, hanya bisa menikmati beberapa persen air Sungai Nil yang tersisa (Swain, 1997). Disisi lain, Etiopia menjadi salah satu negara hulu yang memiliki tingkat populasi tinggi serta berbanding lurus dengan peningkatan permintaan air demi memenuhi kebutuhan konsumsi rumah tangga, agrikultur dan industri. Oleh karenanya, minimnya hak akses penggunaan air Sungai Nil telah mengakibatkan serangkaian peristiwa kekeringan berulang, krisis pangan, hingga kematian yang terjadi secara masif di Etiopia.

Etiopia mengalami kekeringan sejak tahun 1981 (Rahman, 2012; Arsano, 2007). Selama lebih dari dua dekade, Etiopia mengalami beberapa kali kekeringan yang memengaruhi sebagian besar penduduknya. Data mengungkapkan bahwa Etiopia sangat rentan terhadap kekeringan dan perubahan iklim. Etiopia memiliki distribusi yang tidak bisa diprediksi akibat curah hujan tidak menentu. Mengistu, seorang petani di Etiopia dikutip dari Thomson (2005), mengatakan bahwa tidak adanya air menyebabkan kesulitan bagi orang - orang di desanya. Kekeringan tercatat masih terus terjadi dari tahun 2005 yang merupakan tahun dengan tingkat curah hujan terendah. Pada tahun 2017, berjuta orang termasuk anak-anak, ibu hamil di Etiopia membutuhkan intervensi penyelamatan hidup (Independent, 2017; Martin et.al,
2016).

Intervensi dibutuhkan masyarakat Etiopia karena kekeringan parah dan banjir besar yang telah menghancurkan ternak dan tanaman pangan (Fortin, 2015). Jose Graziano Da Silva dilansir dari FAO (2016) menyebutkan bahwa kekeringan yang terjadi merupakan dampak dari perubahan iklim yaitu El Nino.

Etiopia menjadi salah satu negara yang menderita kondisi water-stressed akibat dari adanya dampak perubahan iklim (Rahman, 2012). Studi yang dilakukan oleh Conway dan Schipper (2011) dalam tulisan Simane et.al (2016) mengungkapkan bahwa Etiopia telah mengalami periode kekeringan atau kebasahan disertai pemanasan suhu dalam 50 tahun terakhir. Disisi lain, Etiopia menyalahkan Mesir sebagai penyebab kekeringan.

Negara-negara hulu telah lama mendorong adanya sebuah perjanjian adil dan menuntut adanya rezim air yang baru di Sungai Nil. Selain itu, peningkatan populasi, kekeringan yang sering terjadi, serta kelangkaan sumber daya, mendorong negara-negara hulu seperti Etiopia untuk mulai menuntut pemerataan hak akses air (Tesfaye, 2011). El-Fadel (2003) menganggap negara-negara hulu di sepanjang Sungai Nil tersebut perlahan mulai menentang perjanjian yang secara historis telah memberikan semua akses air Sungai Nil kepada Mesir.