Bagaimana pendapat anda tentang puisi "Padamu Jua" karya Amir Hamzah dan puisi "Doa" karya Chairil Anwar?

Puisi memiliki hubungan yang erat sekali dengan filsafat dan agama. Aminnuddin (1987) menulis bahwa sebagai hasil kreasi manusia, puisi mampu memaparkan realitas di luar dirinya. Puisi sebagai karya sastra adalah semacam cermin yang menjadi representasi dari realitas itu sendiri. Tegasnya, puisi akan mengandung empat masalah yang berhubungan dengan:

  1. kehidupan
  2. kemanusiaan
  3. kematian
  4. ke-Tuhanan

Berdasarkan pengertian itu, maka pada dasarnya puisi itu juga menggambarkan problema manusia yang bersifat universal, yakni tentang hakekat hidup, hakekat manusia, kematian, dan ketuhanan. Puisi “Padamu Jua” (karya Amir Hamzah, Angkatan Pujangga Baru) dan puisi “Doa” (karya Chairil Anwar, Angkatan 1945) terasa mengandung problema manusia tersebut terutama kemanusiaan dan ketuhanan.

Kedua puisi yang menjadi objek diskusi ini memiliki nilai religius dan mengandung semangat profetik.

PADAMU JUA
(Amir Hamzah)

Habis kikis
Segala cintaku hilang terbang
Pulang kembali aku padamu
Seperti dahulu

Kaulah kandil kemerlap
Pelita jendela di malam gelap
Melambai pulang perlahan
Sabar, setia, selalu

Satu kasihku
Aku manusia
Rindu rasa
Rindu rupa

Di mana engkau
Rupa tiada
Suara sayup
Hanya kata merangkai hati

Engkau cemburu
Engkau ganas
Mangsa aku dalam cakarmu
Bertukar tangkap dengan lepas

Nanar aku, gila sasar
Sayang berulang padamu jua
Engkau pelik menarik ingin
Serupa darah dibalik tirai

Kasihku sunyi
Menunggu seorang diri
Lalu waktu—bukan giliranku
Mati hari—bukan kawanku

DOA
(Chairil Anwar)

kepada pemeluk teguh

Tuhanku
Dalam termenung
Aku masih menyebut nama-Mu

Biar susah sungguh
Mengingat Kau penuh seluruh

Caya-Mu panas suci
Tinggal kerlip lilin di kelam sunyi

Tuhanku

Aku hilang bentuk
Remuk

Tuhanku

Aku mengembara di negeri asing

Tuhanku
Di Pintu-Mu aku mengetuk
Aku tidak bisa berpaling

Bagaimana analisis interteks dari kedua puisi tersebut?

Berdasarkan prinsip dan konsep intertekstualitas yang telah dipaparkan di atas, dianalisis secara intertekstual puisi “Padamu Jua” dengan puisi “Doa”. Analisis intertekstual ini didasarkan pada teori yang diajukan Riffaterre (1978), yaitu teori penerapan hipogram yang meliputi (1) Ekspansi dan (2) Konversi.

Ekspansi yakni mengubah unsur-unsur pokok matrik kalimat menjadi bentuk yang lebih kompleks. Dalam kebanyakan kasus, ekspansi lebih dari sekadar repetisi, tetapi juga mencakup perubahan gramatikal, misalnya perubahan jenis kata (Riffaterre, 1978). Ekspansi dapat diartikan sebagai perluasan atau pengembangan. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa ekspansi merupakan perluasan atau pengembangan hipogram. Ini berarti, bahwa ekspansi dapat ditelusuri pada bentuk dasarnya.

Kedua sajak itu yakni “Padamu Jua” (selanjutnya disebut sajak pertama) dan sajak “Doa” (selanjutnya disebut sajak kedua) secara bertahap dianalisis dari segi struktur, simbol, kemudian tema. Sekilas kedua sajak ini dapat dilihat adanya persamaan struktur. Masing-masing sajak atas tujuh bait. Pada sajak pertama tiap bait terdiri atas empat baris dengan kalimat pendek-pendek. Pada sajak kedua, tiap bait maksimal terdiri atas tiga baris (bait pertama dan terakhir), bahkan ada yang satu bait hanya berupa satu kata sekaligus satu baris (baris keempat). Selebihnya satu bait terdiri atas dua baris kalimat (bait kedua, ketiga, kelima dan keenam), semuanya dengan kalimat yang pendek, maksimal enam kata (hanya bait ketiga). Adapun bait 7 sajak pertama dapat ditemkan pula strukturnya pada bait 7 sajak kedua. Jelas sekali betapa struktur kedua sajak itu bermiripan, walaupun jumlah baris tiap baitnya tidak sama. Dengan demikian, dalam hal struktur sajak “Doa” mengalami konversi dari sajak “Padamu Jua”.

Nuansa dan maksud masing-masing bait juga dapat dihubungkan. Nuansa pada bait 1, 2, dan 3 sajak pertama dapat dihubungkan dengan bait, 1, 2, dan 3 sajak kedua. Begitu pun nuansa pada bait 4, 5, dan 6 sajak kedua. Adapun nuansa pada bait 7 sajak pertama dapat ditemukan pula pada bait 7 sajak kedua.

Selanjutnya, nuansa makna bait demi bait juga dapat dirasakan kesepadanannya. Bait 1, 2, dan 3, kedua sajak sama- sama mengungkapkan kesedihan, kekecewaan, nestapa dan kegelapan. Tiga bait pertama itu jelas menggambarkan kekosongan, kehampaan, dan ketidakbermaknanya hidup. Dalam keadaan demikian, keduanya “berdzikir”, mengingat kembali, ber-taqarrub, menghadap dan mendekat kepada Tuhan, tentu dengan tataran penghayatan yang berbeda antara kedua penyair itu.

Terkesan Amir Hamzah dalam ungkapannya “lebih dewasa”, lebih kontemplatif. Pada Chairil Anwar terasa sedikit kurang intens dalam mengingat Tuhan. Tuhan dalam pandangan Amir Hamzah dilukiskan dengan /Kaulah kandil kemerlap/Pelita jendela di malam gelap. Adapun Tuhan di mata Chairil Anwar adalah “tinggal kerlip lilin di kelam sunyi”. Keduanya memang serupa dalam pengungkapannya, tetapi tidak sama makna hakikatnya.

Bagi Amir Hamzah, duka nestapa dan kehampaan itu karena “Segala cintaku hilang terang”, sedangkankan Chairil Anwar tidak menjelaskan mengapa berduka nestapa, hanya dia /susah sungguh/. Amir Hamzah menganggap hilangnya cinta (mistik) adalah sentral dalam penghayatannya. Adapun bagi Chairil Anwar kesedihannya terasa eksplisit, kurang mendalam.

Keterkaitan keduanya juga tampak pada ungkapan kerinduan kepada Tuhan, juga dalam tataran yang tidak sama. Kerinduan Amir Hamzah kepada Tuhan begitu mendalam di lubuk kalbu hingga dia menyatakan //Kaulah kandil kemerlap/Pelita jendela di malam gelap/Melambai pulang/Sabar, setia selalu//. Adapun Chairil Anwar cukup menyatakan /cayaMU panas suci/ tinggal kerdip lilin di kelam sunyi// tidak dilanjutkan lagi ungkapan kerinduannya kepada Tuhan. Di sini dapat dirasakan bagaimana tataran intensitas penghayatan Chairil Anwar kepada Tuhannya.

Masih dalam kerinduannya kepada Tuhan, Amir Hamzah menyatakan dengan ungkapan dalam bait berikutnya, //Satu kekasihku/Aku manusia/Rindu rasa/Rindu rupa//. Sebaliknya Chairil Anwar meneruskan kerinduannya dengan sedikit keluhan, //Tuhanku/aku hilang bentuk/remuk//. Keduanya sama-sama mengungkapkan pernyataan kerinduan, tetapi ekspresi simboliknya berbeda. Hal ini tentulah dipengaruhi oleh latar belakang pemahaman keagamaan dan penghayatan religiusitas masing- masing.

Di tengah kehampaan, kesedihan, dan kerinduan, Amir Hamzah merasa tetap menyimpan harapan dengan ungkapannya, //Di mana engkau/Rupa tiada/Suara sayup/Hanya kata merangkai hati//. Bagi Chairil Anwar seolah-olah harapan tinggal sedikit, karen pintu telah tertutup untuknya. Oleh karena itu, terasa dalam sajaknya, Amir Hamzah akrab dan intim sekali dengan Tuhan, sedangkan pada Chairil Anwar seolah ada jarak antara dirinya dengan tuhan, sehingga terkesan tidak akrab.

Pada bait 4,5 dan 6, Amir Hamzah dalam kehampaan dan kerinduan justru merangkap kehadiran Tuhan lewat, /Suara sayup/hanya kata merangkai hati/ kemudian diteruskan /Sayang berulang padamu jua/Engkau pelik menari angin/Serupa dara di balik tirai//. Di sini dapat dirasakan keintiman dan kemesraannya bercengkrama dengan Tuhan, walau dalam kepedihan bagaimanapun. Berbeda dengan Chairil Anwar yang seakan-akan kehilangan harapan dan keseimbangan sehingga dia mencoba berkelana ke negeri asing, akan tetapi akhirnya kembali juga kepada Tuhan dengan ungkapannya, //Tuhanku/aku hilang bentuk/remuk// // Tuhanku/aku mengembara di negeri asing//.

Sebagai orang yang mempunyai pemahaman keilahian dalam taraf yang belum mendalam jika bukan sekuler, Chairil Anwar dikenal sebagai seniman bohemian, Chairil merasakan adanya kesenjangan dirinya dengan Tuhan itu karena ia pergi mengembara ke negeri asing. Adapun Amir Hamzah sebagai orang yang sejak kecil hidup dalam lingkungan keluarga dan masyarakat religius sehingga memiliki pemahaman keilahian yang dalam, memang juga merasakan adanya jarak dirinya antara dengan Tuhan itu karena, /Rupa tiada/Suara sayup/. Akan tetapi baginya, /Hanya kata merangkai hati/.

Akhirnya Amir Hamzah berhasil menekan dan masuk dalam kasih Tuhan, walaupun hanya di balik tirai, karena eksistensinya sebagai makhluk. Chairil Anwar dalam pengembaraannya akhirnya juga sampai di hadapan Tuhan, lalu mengetuk pintu Tuhan, tidak dapat berpaling lagi. Ini sebagai klimaks atas keterasingan dari Tuhan dan pengembaraannya menemukan hakikat Tuhan.

Berdasarkan analisis di atas dapatlah dikemukakan, bahwa kedua sajak itu merupakan karya sastra yang sarat dengan nilai transendental dan kental dengan dimensi keilahian. Dalam konteks sastra sufistik, kedua sajak tersebut yang telah dianalisis hubungan intertekstualnya adalah contoh yang tepat sebagai karya sastra yang berhasil mempertemukan dimensi sastra dan dimensi keagamaan. Atau dalam bahasa Abdulhadi W.M. (1995) karya yang memadukan dua dimensi kemanusiaan dan dimensi transendental atau spiritual, yang merupakan cita tunggal sastra Islam.

Agaknya kedua penyair Amir Hamzah dan Chairul Anwar memiliki pandangan dan latar belakang yang berbeda, sehingga berbeda pula dalam menuangkan atau mengekspresikan ide-ide melalui penggunaan imaji ataupun simbol dalam sajaknya. Namun, sengaja atau tidak, langsung atau tidak langsung, dapat dirasakan adanya hubungan intertekstualitas, jika bukan adanya transformasi sastra dalam kedua sajak tersebut. Hal ini dapat dilihat dalam struktur sajak, penggunaan imaji atau pemilihan simbol dan tematiknya. Dengan demikian, sedikit banyak dalam sajak “Doa” Chairil Anwar terilhami oleh sajak-sajak Amir Hamzah khususnya sajak “Padamu Jua”.