Bagaimana Akibat Hukum Jika Merekayasa Alat Bukti di Persidangan?

image
Apa yang terjadi jika mengajukan alat bukti palsu/merekayasa alat bukti untuk kelengkapan tuntutan di pengadilan?
Terimakasih.

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (“KUHAP”).

Alat bukti yang sah dalam pengadilan pidana terbagi menjadi:

  1. Keterangan saksi

  2. Keterangan ahli

  3. Surat

  4. Petunjuk

  5. Keterangan terdakwa

Dari alat bukti yang sah tersebut, guna menyederhanakan jawaban, kami ambil salah satu contoh saja, yaitu keterangan saksi.

Keterangan saksi adalah salah satu alat bukti dalam perkara pidana yang berupa keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan dia alami sendiri dengan menyebut alasan dari pengetahuannya itu, termasuk pula “orang yang dapat memberikan keterangan dalam rangka penyidikan, penuntutan, dan peradilan suatu tindak pidana yang tidak selalu ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri” (setiap orang yang punya pengetahuan yang terkait langsung terjadinya tindak pidana).

Merekayasa/Memalsukan Keterangan Saksi

Menyorot soal keterangan saksi yang direkayasa atau palsu, berdasarkan yurisprudensi, sebagian saja dari keterangan saksi dinyatakan palsu, cukup alasan menjeratnya dengan Pasal 242 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”). Kuncinya, keyakinan dan ketegasan hakim. Demikian yang dijelaskan dalam artikel Menjerat Saksi Berbohong di Persidangan.

Pasal 242 ayat (1) dan (2) KUHP berbunyi:

(1) Barangsiapa dalam keadaan di mana undang-undang menentukan supaya memberi keterangan di atas sumpah atau mengadakan akibat hukum kepada keterangan yang demikian, dengan sengaja memberi keterangan palsu di atas sumpah, baik dengan lisan ataupun tulisan, secara pribadi maupun oleh kuasanya yang khusus ditunjuk untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun.

(2) Jika keterangan palsu di atas sumpah diberikan dalam perkara pidana dan merugikan terdakwa atau tersangka yang bersalah diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun.

Dari sisi hukum positif Indonesia, berbohong pada umumnya belum dapat dikualifisir sebagai tindak pidana. Begitulah pendapat akademisi Fakultas Hukum Universitas Indonesia Gandjar Laksmana. Menurut Gandjar, berbohong di pengadilan adalah tindak pidana. Lebih lanjut dapat Anda simak artikel Menjerat Saksi Berbohong di Persidangan.

Sumber