Label Batak bagi kedua etnik pendatang dari selatan Tapanuli di Medan sempat menimbulkan sengketa pekuburan Sei Mati, 1922-1925. Etnik Mandailing menolak Batak sementara etnik Angkola mengukuhkan Batak sebagai identitasnya. Kontradiksi label Batak berdampak pada penolakan etnik Mandailing menguburkan jenazah etnik Angkola di pekuburan Islam Sei Mati Medan. Pertikaian ini berdampak pada pembelahan identitas, politis, religius, ekonomi dan kultural di daerah rantau (bona ni ranto).
Menurut Azhari konstruksi label Batak berasal dari etnograf asing guna membedakan masyarakat yang beragama Islam di pesisir dengan masyarakat pagan di pedalaman. Dampak dari pelebelan tersebut merembes dan mengarah pada pembelahan okupasi dan paguyuban etnik. Promosi-promosi identitas baru pasca pertikaian itu dilakukan melalui suratkabar yang dimiliki keduanya, saling lempar wacana berupa pendiskreditan dan penonjolan identitas masing-masing. Menurut Damanik, secara historis asal mula dan konstruksi label Batak muncul pertama kali di literatur sejak abad XIV dari tulisan Tome Pires (Perret, 2010; Reid, 2009). Wilayah dan masyarakat yang dilabeli Batak cenderung bergeser-geser, pada 1515 terletak di pantai timur dan 1539 terletak di pantai barat Sumatra Utara (Reid, 2009), sejak 1883 melebar, terletak dari pantai barat hingga Labuhanbatu kemudian pada 1925 terkonsentrasi di utara Danau Toba (Perret, 2010). Menurutnya, sumber pertikaian pada etnik Mandailing dan Angkola di Medan sejak 1906 adalah pembentukan Karasidenan Tapanuli. Selanjutnya label Batak semakin mengristal karena dikukuhkan oleh pemerintah Kolonial Belanda. Secara etnografis, label Batak di Medan khususnya, merujuk pada masyarakat yang tergabung dalam subetnik Angkola, Mandailing, Karo, Pakpak, Simalungun, dan Toba.
Dalam sejarah etnik Batak, pengukuhan label Batak oleh pemerintah kolonial Belanda merupakan sumber inti pertikaian etnik Mandailing dan Angkola di Medan. Pertikaian tersebut terus berlanjut terkait dengan masalah pendirian Bataks Instituut di Leiden (1908), sengketa di Sjarikat Tapanuli (1920), sengketa pekuburan Sei Mati (1922) dan pendirian Batakraad (1939). Walaupun pertikaian sempat “mereda” pada awal keduanya migrasi ke Medan pada 1880-an, tetapi sejak awal abad XX, keduanya bertikai karena label itu (Perret, 2010).
Pada 23 Oktober 2017, diadakan seminar bertajuk “Mandailing Bukan Batak” dengan narasumber dari kalangan antropolog dan sejarawan. Dari seminar ini, kembali terjadi persengketaan antara kelompok pro-label Batak, seperti terungkap dari komentar mereka di media daring, menuduh bahwa seminar Mandailing Bukan Batak sebagai respon dan ketersinggungan etnik Mandailing terhadap ucapan Joko Widodo yang menyebut: ‘ia akan menjadi bahagian keluarga besar Batak’ . Mereka menyebut seminar bernada politis dan sengaja dilakukan guna memecah kesatuan ‘keluarga besar Batak’. Mereka juga menuduh panitia sengaja memilih narasumber yang tidak representatif karena tidak mengikutsertakan narasumber dari setiap etnik Batak.
Kelompok kontra, anti-Batak tetap kukuh pada pendirian, bahwa label Batak berasal dari luar dengan tujuan merendahkan. Kelompok ini menyebut label Batak sama sekali tidak memiliki benang merah dengan perusahaan Sjarikat Tapanuli yang menerbitkan koran Pewarta Deli . Dari perspektif sosial historis, label Batak berkaitan dengan pertikaian dua etnik pendatang dari selatan Tapanuli sepanjang 1906-1939 di Kota Medan yang disebabkan penamaan Karasidenan Tapanuli (1906). Etnik Mandailing menolak nama Keresidenan Batak dan menganjurkan nama Keresidenan Tapanuli.
Penolakan label Batak berlanjut pada 1920 terkait dengan kepengurusan perusahaan Sjarikat Tapanuli yang menerbitkan koran Pewarta Deli . Sengketa berujung pada pembelahan perusahaan Sjarikat Tapanuli menjadi perusahaan Sjarikat Mandailing dan perusahaan perusahaan Handel-maatschappij Batak . Setelah pecah kongsi perusahaan Sjarikat Mandailing yang sebelumnya menerbitkan Pewarta Deli berganti mencetak koran Soeara Mandailing, sedangkan etnik Angkola mendirikan perusahaan Handel-maatschappij Batak dan mencetak surat kabar Pentjaran Berita.
Kontradiksi label Batak dan bukan Batak, Angkola versus Mandialing, tidak berhenti pada sengketa kepengurusan perusahaan Sjarikat Tapanuli, melainkan berlanjut pada sengketa pekuburan Islam Sei Mati di Medan pada 1922 dan pendirian Batakraad (Dewan Batak) pada 1939. Pada peristiwa sengketa pekuburan Sei Mati, etnik Mandailing menolak jenazah orang Angkola yang mengaku Batak dikuburkan di pemakaman Sei Mati. Sengketa ini mengundang perhatian serius dari zelfbestuur Melayu, Residen Sumatera Timur, Walikota Medan hingga Gubernur Jenderal. Gugatan dilayangkan di Kerapatan Deli dan ke Landraad dan Raad van Justicie (Perret, 2010). Pascaputusan Raad van Justicie , kedua etnik saling lempar wacana melalui surat kabar yang mereka miliki.
Pertikaian serupa berlangsung pada 1930, etnik Mandailing menolak didaftar dengan label Batak Mandailing pada volkstelling pada 1930. Namun, Pemerintah Kolonial tidak mengakomo-dasi permintaan itu dan tetap mendatanya Batak Mandailing. Pertikaian tahun 1939 terkait dengan pembentukan Batakraad (Dewan Batak) di Karasidenan Tapanuli, dimana etnik Mandailing menolak nama Batakraad. Etnik Maindaling menawarkan nama sesuai keresiden-an dan berupaya meniadakan label Batak, sementara etnik Angkola meneguhkan label Batak sebagai identitasnya. Pertikaian label Batak pada kedua etnik mengakibatkan pertikaian dan pembelahan identitas politik, ekonomi, religius dan kultural di Kota Medan.
Secara empirik, penduduk yang dipersatukan pada label Batak yang terdiri subetnik Angkola, Karo, Mandailing, Pakpak, Simalungun dan Toba tidaklah homogen. Keenam subetnik ini berbeda atribut objektif (bahasa dan dialek, genealogi, sejarah, kepercayaan, struktur dan organisasi sosial, atribut kultural, adat istiadat dan kebiasaan), atribut primordial (Shils, 1957; Geertz, 1967) dan identitas subjektif (Royce, 1983). Melalui cara pandang ini, label etnik terus mengalami pengontruksian sebagai cara menegaskan perbedaan antar etnik (Barth, 1969; Hale, 2004). Bila mengacu cara kerja Bruner (1961) yang menetapkan kategori-kategori label Batak maka menurut Kipp dan Kipp (1983) cara demikian sedang menciptakan orang Batak.
Untuk mendapatkan perspektif yang utuh mengenai akar permasalahan yang ada diperlukan pengetahuan mengenai sejarah dari mana asal-usul label Batak dan Bukan Batak ini berasal.