Bagaimana Adab Murid Terhadap Guru?

Adab Murid Terhadap Guru

Murid dan guru adalah satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan dalam proses belajar mengajar. Bagaimana adab yang baik kepada guru menurut Islam ?

Prinsip-prinsip adab atau etika yang seharusnya dimiliki seorang pelajar terhadap guru, menurutt kitab Adāb al-Alim wa al-Muta‟allim, setidaknya ada 12 macam, yaitu :

Kitab Adāb al-Alim wa al-Muta‟allim adalah kitab yang mengajarkan prinsip-prinsip adab atau etika dalam menuntut ilmu.

  1. Dalam memilih figur seorang guru, seorang pelajar hendaknya mempertimbangkan terlebih dahulu dengan memohon petunjuk kepada Allah Swt. Tentang siapa orang yang dianggap paling baik untuk menjadi gurunya dalam menimba ilmu pengetahuan dan yang bisa membimbing terhadap akhlak yang mulia. Jika memungkinkan, hendaknya murid berupaya mencari guru yang benar-benar ahli di bidangnya, memiliki kecakapan dan kredibilitas yang baik, dikenal kehati-hatiannya dalam berpikir dan bertindak, serta tidak sembrono dengan ilmu pengetahuan yang dimiliki.

    Sebagian ulama salaf mengatakan:

    Ilmu adalah agama, maka hendaknya kalian melihat (memertimbangkan terlebih dahulu) kepada siapakah kalian mengambil agama kalian itu (menimba ilmu pengetahuan).

    Ungkapan ulama salaf di atas menganjurkan bahwa seseorang ketika akan mencari ilmu hendaknya diawali dengan memertimbangkan dan memilih guru yang memiliki ilmu pengetahuan sempurna. Dalam hal ini ilmu pengetahuan agama yang sejalan dengan sumber pedoman al-Qur’ān dan as-Sunnah.

  2. Bersungguh-sungguh (berusaha keras) dalam mencari seorang guru yang diyakini memiliki pemahaman ilmu-ilmu syariat (agama Islam) yang mendalam serta diakui keahliannya oleh guru-guru lain. Seorang guru yang baik adalah orang yang banyak melakukan kajian (pembahasan/penelitian), perkumpulan (berdiskusi), serta bukan orang yang memelajari ilmu hanya melalui buku (tanpa bimbingan seorang guru) ataupun dia tidak pernah bargaul dengan guru-guru lain yang lebih cerdas.

    Imam Syafi’i berkata:

    Barang siapa mempelajari ilmu pengetahuan yang hanya melalui buku, maka ia telah menyia-nyiakan hukum.

    Imam Syafi‟i dalam ungkapannya, beliau melarang para penuntut ilmu agar tidak hanya mengandalkan ilmu dari buku saja tanpa adanya bimbingan dari seorang guru. Karena ilmu yang dipelajari tanpa adanya bimbingan dari seorang guru niscaya setan lah yang menjadi gurunya.

    Adapun memilih guru, sebaiknya penuntut ilmu hendaknya memilih guru yang lebih alim dan wira‟i serta lebih tua usianya. Sebagaimana Imam Abu Hanifah di masa belajarnya memilih seorang guru Syekh Hammad bin Abi Sulaiman setelah beliau benar-benar merenung dan berpikir. Beliau memilih guru dari kalangan seorang ulama yang paling alim pada zamannya dan lebih tua usianya serta wira‟i .

  3. Seorang pelajar hendaknya patuh kepada gurunya serta tidak membelot dari pendapat (perintah dan anjuran-anjurannya). Bahkan idealnya, sikap pelajar kepada gurunya adalah laksana sikap seorang pasien kepada seorang dokter ahli yang menangani (penyakit)nya. Oleh karena itu, hendaknya selalu meminta saran terlebih dahulu kepada sang guru atas apapun yang akan ia lakukan serta berusaha mendapatkan restunya. Sesungguhnya kehinaan seorang pelajar di hadapan gurunya justru merupakan suatu kemuliaan. Ketundukannya adalah suatu kebanggaan. Dan kerendahan hati terhadapnya adalah suatu keluhuran.

  4. Memiliki pandangan yang mulia terhadap guru serta meyakini akan derajat kesempurnaan gurunya. Sikap yang demikian ini akan mendekatkan kepada keberhasilan seorang pelajar dalam meraih ilmu pengetahuan yang bermanfaat.
    Diriwayatkan dari Abu Yusuf bahwa sebagian ulama salaf pernah berkata:

    Barang siapa tidak memiliki tekad memuliakan guru, maka ia termasuk orang yang tidak beruntung.

    Sebagai wujud penghormatan seorang pelajar kepada guru, di antaranya, adalah tidak memanggil gurunya dengan panggilan “kamu,” “Anda”, dan lain sebagainya, termasuk panggilan langsung nama gurunya itu. Apabila ia hendak memanggil gurnya, seyogyanya ia memanggil dengan menggunakan sebutan “Ya Sayyidi (wahai Tuanku),” “Ya Ustadzi (wahai Guruku)”, dan sejenisnya. Hal yang demikian itu demi mengagungkan kedudukan seorang guru.

    Kesuksesan cita-cita seseorang disebabkan ia sangat mengagungkan ilmu, ulama dan guru serta memuliakan dan menghormatinya. Sebaliknya kegagalan seseorang dalam belajar itu karena tidak mau mengagungkan, memuliakan dan menghormatinya, bahkan meremehkannya. Sementara ulama mengatakan, bahwa menghormat itu lebih baik daripada taat. Ketahuilah, bahwa manusia tidak akan kufur disebabkan berbuat kemaksiatan. Tapi manusia dapat menjadi kufur lantaran tidak mau menghormat perintah Allah dan larangan-Nya dengan meremehkan dan menganggap ringan serta sepele.

  5. Mengerti akan hak-hak seorang guru serta tidak melupakan keutamaan-keutamaan dan jasa-jasanya. Selain itu, ia juga hendaknya juga selalu mendo’akan gurunya baik ketika masih hidup ataupun telah meninggal dunia (wafat), serta menghormati keluarga dan orang-orang terdekat yang dicintainya.

    Apabila sang guru telah wafat, seorang pelajar hendaknya menyempatkan diri berziarah ke makamnya, memohonkan ampun kepada Allah SWT atasnya, bershadaqah untuknya, serta melestarikan tradisi-tradisi mulia yang pernah dilakukannya menyangkut petunjuk hidup, agama, dan ilmu pengetahuan. Kemudian hendaknya ia juga berakhlak sebagaimana akhlak yang dipedomani oleh gurunya serta tidak membangkang (berkhianat) kepadanya.

  6. Bersabar atas kerasnya sikap atau perilaku yang kurang menyenangkan dari seorang guru. Sikap dan perilaku seorang guru yang semacam itu hendaknya tidak mengurangi sedikitpun penghormatan seorang pelajar terhadapnya apalagi sampai beranggapan bahwa apa yang dilakukan oleh gurunya itu adalah suatu kesalahan.

    Seorang pelajar juga hendaknya membangun anggapan yang positif bahwa seburuk apapun perlakuan guru terhadapnya merupakan suatu nikmat yang dianugerahkan Allah Swt. Kepadanya sebagai wujud perhatian seorang guru terhadap muridnya.

  7. Meminta izin terlebih dahulu setiap kali hendak memasuki ruangan pribadi guru, baik ketika guru sedang sendirian ataupun saat ia sedang bersama orang lain. Apabila sang guru mengetahui kedatangannya namun tidak memersilahkan masuk, maka sebaiknya ia beranjak dari ruangan itu. Adapun jika ia masih belum yakin apakah sang guru telah mengetahui kedatangannya atau belum, maka hendaknya ia mengulangi lagi permintaan izinnya namun dengan catatan tidak lebih dari 3 (tiga) kali.

    Apabila saat berkunjung ia tidak mendapati gurunya berada di tempat (kediaman atau tempat mengajar), maka sebaiknya ia bersabar menunggu (tidak segera pulang) supaya ia tidak ketinggalan suatu pelajaran yang akan disampaikan. Namun demikian, ketika menunggu seorang guru ia tidak diperkenankan melakukan hal-hal kegaduhan yang dapat memancing gurunya agar lekas keluar (menemuinya). Begitupun ketika ia mengetahui gurunya sedang tidur, maka hendaknya ia bersabar menunggu hingga gurunya tersebut bangun dari tidurnya.

    Selain itu, perlu diketahui bahwa setinggi apapun status sosial seorang pelajar, ia tidak sepantasnya meminta waktu khusus kepada gurunya, terkecuali apabila guru itu sendiri yang menyarankannya lantaran mungkin adanya suatu uzur (keterpaksaan) yang menyebabkan pelajar itu tidak dapat berkumpul bersama para pelajar yang lain, atau karena suatu alasan kemaslahatan (kebaikan) yang dapat diterima akal.

    Apabila seorang pelajar duduk di hadapan guru, hendaknya ia duduk dengan penuh sopan santun. Di antara cara duduk yang baik adalah duduk dengan cara bertumpu di atas kedua lutut (bersimpuh), duduk tasyahud (tanpa meletakkan kedua tangan di atas paha), duduk bersila, dan sebagainya. Selain itu hendaknya tidak terlalu sering memalingkan wajahnya (tengak-tengok) di hadapan guru tanpa kepentingan apapun.

    Beberapa anjuran lain yang juga harus diperhatikan oleh seorang pelajar ketika berhadapan dengan gurunya adalah sebagai berikut:

    • Apabila terjadi suatu kegaduhan, hendaknya ia tetap tenang dan tidak ikut ribut dan terprovokasi.

    • Tidak bersedekap (menyedekapkan tangan).

    • Tidak mengangkat atau membuka tangan tinggi-tinggi.

    • Tidak iseng (bermain-main) dengan memainkan tangan, kaki, atau anggota tubuh yang lain.

    • Tidak membuka mulut (membiarkannya menganga).

    • Tidak menggerak-gerakkan gigi (rahang).

    • Tidak terlalu sering “dehem”.

    • Tidak memukul-mukulkan telapak tangan atau jari ke atas tanah (meja, lantai, dsb.).

    • Menutup mulut ketika terpaksa harus menguap.

  8. Berbicara dengan baik dan sopan di hadapan guru.Ketika berbicara dengan guru, seorang pelajar hendaknya tidak melontarkan kata-kata yang bernada terlalu menyelidik (ragu) seperti “mengapa”, “saya tidak menerima”, “siapa yang mengutip/menukil ini”, “di manakah tempatnya”, dan lain sebagainya. Jika memang ia ingin meminta penjelasan lebih lanjut dari gurunya, hendaknya ia mengutarakan maksudnya itu dengan bahasa yang lebih santun.

    Jika misalnya seorang guru melakukan kekeliruan ketika memberikan suatu pernyataan atau saat mengutip suatu dalil, maka hendaknya ia tidak lekas menapakkan wajah tanda ketidaksetujuannyaa. Akan tetapi sebaiknya ia tetap tenang demi menjaga perasaan gurunya. Karena bagaimanapun guru adalah manusia biasa yang tidak luput dari kesalahan dan kekeliruan. Guru juga bukan seorang Nabi atau Rasul yang memiliki sifat ma‟shum (terbebas dari kesalahan).

  9. Ketika seorang murid (pelajar) mendengarkan gurunya tengah menjelaskan suatu keterangan, hikmat (ungkapan/peribahasa), hikayat (cerita), ataupun syair yang telah ia ketahui sebelumnya, ia hendaknya tetap menyimaknya dengan baik seolah-olah ia sama sekali belum pernah mendengar sebelumnya.

    Kemudian, jika suatu saat misalnya murid diminta/ditawari oleh gurunya agar menjelaskan suatu persoalan, sebaiknya ia tidak lekas menjawab “ya” (menyanggupi/bersedia) meskipun mungkin sebenarnya ia mampu. Karena, jawaban semacam itu dapat mengindikasikan bahwa si murid tidak lagi membutuhkan penjelasan dari gurunya. Namun demikian, hendaknya ia tidak segera menjawab “tidak” (tidak mampu) dalam hal-hal yang ia mampu menjelaskannya. Sebab, dengan jawaban seperti itu berarti ia telah berdusta kepada gurunya. Jadi, salah satu jawaban yang paling baik (bijak) adalah dengan mengatakan, “Saya akan lebih senang mendengarkan penjelasan langsung dari guru atas persoalan tersebut.

  10. Tidak mendahului seorang guru dalam menjelaskan suatu persoalan atau menjawab pertanyaan yang diajukan oleh siswa lain. Lebih-lebih dengan maksud menampakkan (pamer) pengetahuan (kepintaran)nya di hadapan guru. Hendaknya ia juga tidak memotong pembicaraan/penjelasan gurunya ataupun mendahului perkataanya.

    Etika lain yang harus dimiliki oleh seorang pelajar adalah selalu berkonsentrasi menghadapi gurunya. Sehingga apabila sang guru memberikan suatu perintah atau memintanya mengerjakan sesuatu ia bisa langsung tanggap dan melaksanakannya tanpa harus sang guru mengulangi perkataannya.

  11. Jika seorang guru memberikan sesuatu (berupa buku/kitab atau bacaan) agar si murid membacakannya di hadapan guru, ia hendaknya meraihnya dengan menggunakan tangan kanan kemudian memegangnya dengan kedua belah tangan. Lalu apabila ia telah selesai membaca, hendaknya ia mengembalikannya lagi kepada guru tanpa meninggalkan sedikitpun lipatan pada setiap lembar halamannya. Demikian juga ketika guru memintanya memberikan suatu kitab atau sejenisnya, ia hendaknya memberikannya dengan terlebih dahulu membuka (menyiapkan) halaman-halaman yang akan dibacakan oleh gurunya itu.

MURID memiliki adab dan tugas (wazhifati) lahiriyah yang banyak terhadap guru, berikut beberapa adab dan tugas murid kepada guru :

Pertama, mendahulukan kesucian jiwa daripada kejelekan akhlaq dan keburukan sifat, karena ilmu adalah ibadahnya hati, shalatnya jiwa, dan peribadatannya batin kepada Allah. Sebagaimana shalat yang merupakan tugas anggota badan yang zhahir, tidak sah kecuali dengan mensucikan yang zhahir itu dari hadats dan najis. Demikian pula ibadah batin dan menyemarakkan hati dengan ilmu tidak sah kecuali setelah kesuciannya dari berbagai kotoran akhlaq dan najis-najis sifat.

Allah berfirman,

“Sesungguhnya orang-orang musyrik itu najis,” (at-Taubah: 28)

mengingatkan kepada akal bahwa kesucian dan kekotoran tidak khusus pada hal-hal yang lahiriah. Seorang musyrik bisa jadi bersih pakaian dan badan tetapi batinnya najis. Najis ialah ungkapan tentang sesuatu yang harus dijauhi dan dihindari. Sedangkan kotoran sifat lebih penting untuk dijauhi karena ia di samping kotor secara langsung juga pada akhirnya menghancurkan.

Kedua, mengurangi keterikatannya dengan kesibukan dunia, karena ikatan-ikatan itu menyibukkan dan memalingkan. Allah berfirman,

“Allah sekali-kali tidak menjadikan bagi seseorang dua buah hati dalam rongganya,” (al-Ahzab: 4)

Jika pikiran terpecah maka tidak akan bisa mengetahui berbagai hakikat. Oleh karena itu dikatakan,

“Ilmu tidak akan memberikan kepadamu sebagiannya sebelum kamu menyerahkan kepadanya seluruh jiwamu. Jika kamu telah memberikan seluruh jiwamu kepadanya tetapi ia baru memberikan sebagiannya kepadamu maka kamu berarti dalam bahaya.”

Pikiran yang terpencar pada berbagai hal yang berserakan adalah seperti sungai kecil yang airnya berpencar kemudian sebagiannya diserap tanah dan sebagian lagi dihisap udara sehingga tidak ada yang terkumpul dan sampai ke ladang tanaman.
Ketiga, tidak bersikap sombong kepada orang yang berilmu dan tidak bertindak sewenang-wenang terhadap guru, bahkan ia harus menyerahkan seluruh urusannya kepadanya dan mematuhi nasehatnya seperti orang sakit yang bodoh mematuhi nasehat dokter yang penuh kasih sayang dan mahir. Hendaklah ia bersikap tawadhu’ kepada gurunya dan mencari pahala dan ganjaran dengan berkhidmat kepadanya.

Asy-Sya’bi berkata,

"Zaid bin Ts-abit menshalatkan jenazah, lalu baghalnya didekatkan kepadanya untuk ditunggangi, kemudian Ibnu Abbas segera mengambil kendali baghal itu dan menuntunnya.

Maka Zaid berkata,

“Lepaskan wahai anak paman Rasulullah!”

Ibnu Abbas menjawab,

“Beginilah kami diperintahkan untuk melakukan kepada para ulama’ dan tokoh.”

Kemudian Zaid bin Tsabit mencium tangannya seraya berkata,

“Beginilah kami diperintahkan untuk melakukan kepada kerabat Nabi kami saw.”

Oleh karena itu, penuntut ilmu tidak boleh bersikap sombong terhadap guru. Di antara bentuk kesombongannya terhadap guru ialah sikap tidak mau mengambil manfaat (ilmu) kecuali dari orang-orang besar yang terkenal; padahal sikap ini merupakan kebodohan. Karena ilmu merupakan faktor penyebab keselamatan dan kebahagiaan. Siapa yang mencari tempat pelarian dari binatang buas yang berbahaya maka ia tidak akan membeda-bedakan antara diberitahukan oleh orang yang terkenal ataukah orang yang tidak tenar. Ilmu pengetahuan adalah barang milik kaum Muslimin yang hilang, ia harus memungutnya dimana saja ditemukan, dan merasa berutang budi kepada orang yang membawanya kepada dirinya siapapun orangnya. Oleh sebab itu dikatakan:

“Ilmu enggan terhadap pemuda yang congkak. Seperti banjir enggan terhadap tempat yang tinggi.”

Ilmu tidak bisa didapat kecuali dengan tawadhu’ dan menggunakan pendengaran (berkonsentrasi). Allah berfirman,

“Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat peringatan bagi orang-orang yang mempunyai akal atau yang menggunakan pendengarannya, sedang dia menyaksikannya.” (Qaaf: 37)

Arti “mempunyai akal” ialah menerima ilmu dengan faham, kemudian kemampuan memahami itu tidak akan bisa membantunya sebelum ia “menggunakan pendengarannya sedang ia menyaksikan” dengan hati yang sepenuhnya hadir untuk menerima setiap hal yang disampaikan kepadanya dengan konsentrasi yang baik, tawadhu’, syukur, memberi dan menerima karunia.

Hendaklah murid bersikap kepada gurunya seperti tanah gembur yang menerima hujan deras kemudian menyerap semua bagian-bagiannya dan tunduk sepenuhnya untuk menerimanya. Betapapun cara mengajar yang diterapkan seorang guru maka hendaklah ia mengikutinya dan meninggalkan pendapat pribadinya karena kesalahan pembimbingnya lebih bermanfaat baginya ketimbang kebenaran dirinya sendiri. Karena pengalaman memberitahukan hal-hal yang detil dan rumit yang kedengarannya aneh tetapi sangat besar manfaatnya.

Ali ra berkata,

“Di antara hak seorang guru ialah kamu tidak banyak bertanya kepadanya, tidak merepotkannya dalam memberi jawaban, tidak mendesaknya apabila ia malas, tidak memegangi kainnya apabila ia bangkit, tidak menyebarkan rahasianya, tidak menggunjing seseorang di hadapannya, dan tidak mencari-cari kesalahannya; jika ia tergelincir maka kamu terima alasannya. Kamu juga harus menghormatinya dan memulia- kannya karena Allah ta’ala selama ia tetap menjaga perintah Allah, dan tidak duduk di hadapannya sekalipun kamu ingin mendahului orang dalam berkhidmat memenuhi keperluannya.”

Keempat, orang yang menekuni ilmu pada tahap awal harus menjaga diri dari mendengarkan perselisihan di antara manusia, baik apa yang ditekuninya itu termasuk ilmu dunia ataupun ilmu akhirat. Karena hal itu akan membingungkan akal dan pikirannya, dan membuatnya putus asa dari melakukan pengkajian dan tela’ah mendalam, bahkan pertama-kali ia harus menguasai satu jalan yang terpuji dan memuaskan kemudian setelah itu baru mendengarkan berbagai madzhab (pendapat).

Kelima, seorang penuntut ilmu tidak boleh meninggalkan suatu cabang ilmu yang terpuji, atau salah satu jenis ilmu, kecuali ia harus mempertim- bangkan matang-matang dan memperhatikan tujuan dan maksudnya. Kemudian jika usianya mendukung maka ia berusaha mendalaminya, tetapi jika tidak maka ia harus menekuni yang paling penting di antaranya dan mencukupkan diri dengannya. Karena ilmu pengetahuan saling mendukung dan saling terkait antara yang satu dengan yang lainnya. Ia juga harus berusaha dengan segera untuk tidak memusuhi ilmu tersebut dikarenakan kebodohannya, sebab manusia memusuhi apa yang tidak diketahuinya. Allah berfirman,

"Dan karena mereka tidak mendapat petunjuk dengannya maka mereka akan berkata: ‘Ini adalah dusta yang lama.’ (al-Ahqaf: 11)

Seorang penyair berkata:

“Orang bermulut pahit dan sakit. Merasakan pahit air yang segar.”

Ilmu-ilmu “syar’iyah” dengan berbagai tingkatannya bisa membawa hamba berjalan kepada Allah atau membantu perjalanannya dalam batas tertentu. Ilmu-ilmu ini memiliki beberapa mamilah (tingkatan) yang tersusun sesuai dengan jauh dan dekatnya dari tujuan. Para pelaksana dan penegaknya (quwwam) merupakan para penjaga “syari’ah” tak ubahnya seperti para penjaga perbatasan dan pos-pos medan pertempuran. Masing-masing memiliki tingkatan tertentu dan mendapatkan, sesuai dengan tingkatannya tersebut, pahala di akhirat, apabila dimaksudkan untuk mencari ridha Allah.

Keenam, tidak menekuni semua bidang ilmu secara sekaligus tetapi menjaga urutan dan dimulai dengan yang paling penting. Karena apabila usia. pada ghalibnya, tidak memadai untuk mendapatkan semua ilmu maka seyogyanya ia mengambil yang terbaik dari segala sesuatu dan mencurahkan segenap kekuatannya pada ilmu yang mudah dipelajari sampai menyempurna- kan ilmu yang paling mulia yaitu ilmu akhirat. Ilmu yang saya maksudkan ini bukanlah keyakinan yang biasa ditelan begitu saja oleh orang awam, juga bukan retorika dan perdebatan yang menjadi tujuan ahli ilmu kalam (teologi), tetapi suatu bentuk keyakinan yang merupakan hasil cahaya yang dihunjamkan Allah ke dalam hati seorang hamba yang telah mensucikan batinnya, melalui mujahadah, dari berbagai kotoran, hingga mencapai tingkatan iman Abu Bakar ra yang jika ditimbang dengan iman segenap manusia niscaya iman Abu Bakar akan lebih berat sebagaimana kesaksian yang diberikan Umar dalam sebuah riwayat yang shahih.

Secara umum, ilmu yang paling mulia dan puncaknya ialah pengenalan Allah (ma’rifatullah) 'azza wa jalla. Ia adalah lautan yang tidak diketahui kedalamannya, dan puncak derajat manusia dalam hal itu adalah tingkatan para nabi kemudian para wali kemudian orang-orang yang di bawah mereka.

Ketujuh, hendaklah tidak memasuki suatu cabang ilmu sebelum menguasai cabang ilmu yang sebelumnya; karena ilmu tersusun secara berurut, sebagiannya merupakan jalan bagi sebagian yang lain. Orang yang mendapat taufiq ialah orang yang menjaga urutan dan pentahapan tersebut. Hendaklah tujuannya dalam setiap ilmu yang dicarinya adalah peningkatan kepada apa yang berada di atasnya. Oleh sebab itu, ia tidak boleh menilai tidak benar suatu ilmu karena adanya penyimpangan di kalangan orang-orang yang menekuninya, atau karena kesalahan salah seorang atau beberapa orang di dalam ilmu itu, atau karena pelanggaran mereka terhadap konsekwensi amaliah dari ilmu mereka. Sehingga ada sekelompok orang yang tidak mau melakukan kajian dalam masalah 'aqliyah dan fighiyah dengan alasan seandainya punya dasar niscaya sudah dicapai oleh para ahlinya. Ada juga sekelompok orang yang meyakini kebatilan ilmu kedokteran hanya karena mereka pernah menyaksikan kesalahan yang dilakukan oleh seorang dokter.

Ada pula kelompok yang meyakini kebenaran ramalan perbintangan (perdukunan) hanya karena adanya kesesuaian yang pernah dibuktikan oleh seseorang. Semua kelompok tersebut tidak benar, tetapi ia harus mengenali sesuatu itu sendiri, bukan melalui orang yang menekuninya. Karena tidak setiap orang bisa menguasai ilmu dengan baik.

Oleh sebab itu, Ali ra berkata,

“Janganlah kamu mengenali kebenaran melalui orang tetapi kenalilah kebenaran pasti kamu akan mengetahui orangnya.”

Kedelapan, hendaklah mengetahui faktor penyebab yang dengannya ia bisa mengetahui ilmu yang paling mulia. Apa yang dimaksudkannya adalah dua hal; pertama kemuliaan hasil; dan kedua kekokohan dan kekuatan dalil. Hal ini seperti ilmu agama dan ilmu kedokteran. Hasil dari ilmu agama adalah kehidupan yang abadi sedangkan hasil ilmu kedokteran adalah kehidupan yang fana. Dengan demikian, ilmu agama lebih mulia.

Atau seperti ilmu hisab dan ilmu ramalan perbintangan. Ilmu hisab lebih mulia karena kekokohan dan kekuatan dalilnya. Jika ilmu hisab dibandingkan dengan ilmu kedokteran maka ia lebih mulia. Dengan demikian jelas bahwa ilmu yang paling mulia adalah ilmu tentang Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, Rasulul-rasul-Nya, dan ilmu tentang jalan yang mengantarkan kepada ilmu-ilmu ini.

Kesembilan, hendaklah tujuan murid di dunia adalah untuk menghias dan mempercantik batinnya dengan keutamaan, dan di akhirat adalah untuk mendekatkan diri kepada Allah dan meningkatkan diri untuk bisa berdekatan dengan makhluk tertinggi dari kalangan malaikat dan orang-orang yang didekatkan (muqarrabiri). Hendaklah murid tidak bertujuan untuk mendapatkan kekuasaan, harta, dan pangkat, atau untuk mengelabui orang-orang bodoh dan membanggakan diri kepada sesama orang yang berilmu. Di samping itu, ia tidak boleh meremehkan semua ilmu, yakni ilmu fatwa, ilmu nahwu dan bahasa yang berkaitan dengan al-Qur’an, as-Sunnah dan ilmu-ilmu lainnya yang merupakan fardhu kifayah.

Janganlah sekali-kali Anda memahami dari sanjungan kami yang berlebih-lebihan kepada ilmu akhirat ini sebagai pelecehan terhadap ilmu-ilmu yang lainnya. Karena orang-orang yang bertugas menekuni ilmu-ilmu tersebut sama seperti orang-orang yang bertugas menjaga front perbatasan (Darul Islam) dan orang-orang yang berjihad dijalan Allah. Di antara mereka ada yang bertugas sebagai petempur, ada yang menjaga pertahanan, ada yang bertugas mengurusi perbekalan air, ada yang menjaga binatang-binatang tunggangan dan lain sebagainya. Setiap orang dari mereka mendapatkan pahala, jika tujuannya untuk meninggikan kalimat Allah bukan untuk mendapatkan harta rampasan. Demikian pula para ulama’. Allah berfirman,

“Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antara kamu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (al-Mujadilah: 11)

Allah berfirman,

“(Kedudukan) mereka itu bertingkat-tingkat di sisi Allah.” (Ali Imran: 163)

Keutamaan tersebut bersifat nisbi. Janganlah Anda mengira bahwa derajat di bawah tingkatan yang paling tinggi itu jatuh nilainya, karena tingkatan tertinggi adalah tingkatan para nabi kemudian para wali, kemudian para ulama’ yang mendalam ilmunya, kemudian orang-orang yang shalih dengan segala perbedaan derajat mereka. Secara umum

“Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrahpun, niscaya dia akan akan melihat (balasan)nya. Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan seberat dzarrah pun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya pula.” (az-Zalzalah: 7-8)

Dan barangsiapa dengan ilmunya, ilmu apa saja, bermaksud mencari ridha Allah maka pasti ilmu itu akan bermanfaat baginya dan mengangkat derajatnya.

Kesepuluh, hendaklah mengetahui kaitan ilmu dengan tujuan agar supaya mengutamakan yang tinggi lagi dekat darpada yang jauh, dan yang penting daripada yang lainnya. Arti ‘yang penting’ ialah apa yang menjadi kepentingan Anda -tidak ada yang menjadi kepentingan Anda kecuali urusan dunia dan akhirat.
Jika Anda tidak bisa menghimpun antara kesenangan dunia dan keni’matan akhirat, sebagaimana ditegaskan al-Qur’an dan diberi kesaksian oleh cahaya bashirah. maka yang lebih penting adalah apa yang tetap ada selama-lamanya; sehingga pada saat itu dunia menjadi tempat singgah, jasad menjadi kendaraan, dan amal perbuatan menjadi upaya menuju tujuan yang tidak lain adalah perjumpaan dengan Allah yang merupakan ni’mat terbesar, sekalipun hanya sedikit di dunia ini orang yang mengetahui nilainya.

Renungkanlah hal ini terlebih dahulu dan terimalah nasehat gratis dari orang yang telah mendapatkan pengalaman berharga tersebut dan tidak berhasil mencapainya kecuali setelah usaha keras dan keberanian yang sepenuhnya untuk menentang orang-orang awam dan khusus dalam menghentikan taqlid mereka semata-mata karena syahwat.

Sumber : Sa’id Hawa, 1998, Intisari Ihya Ulumuddin Al Ghazali : Mensucikan Jiwa, Konsep Tazkiyatun nafs Terpadu, Robbani Press