Bagaimana Adab Manusia Kepada Allah SWT?

Allah swt

Kita ada, kita mampu, kita berhasil adalah karena Allah swt, karena Allah maha Kuasa atas segala sesuatunya dan pada hakikatnya kita semua adalah milik Allah swt. Dari pemahaman seperti itu, bagaimana semestinya adab kita kepada Allah swt ?

Al-Imam Ibnu Athaillah Askandary dalam kitab Al Hikam menyatakan,

Sangatlah jahil dan bodoh orang yang menginginkan terjadinya sesuatu di luar waktu yang dikehendaki oleh Allah swt

Apabila Allah telah menentukan pada seseorang hambaNya suatu ketentuan yang tidak bertentangan dengan ajaran-ajaran Nya, maka wajib
atas hambaNya tersebut memelihara adab-nya terhadap Allah.

Misalnya Allah s.w.t. telah memberikan keberkahan kepada kita atas usaha dagang kita, apakah sifatnya kecil-kecilan atau sifatnya perdagangan besar, maka dalam pekerjaan kita berdagang itu, tindak-tanduk kita seharusnya tidak bertentangan dengan syariat agama, dan karena usaha kita itu dikehendaki oleh Allah, maka wajib atas kita berusaha agar pekerjaan itu menjadi sukses dan selalu dalam keridhaan Allah.

Menjaga dan berusaha ke arah tersebut mempunyai arti bahwa kita melakukan adab sopan santun kepada Allah yang Maha Pemurah.

Berkata Abu Usman r.a.:

Sejak 40 tahun yang lalu tidak ada sesuatu yang ditentukan oleh Allah s.w.t. padaku yang aku tidak sukai (bahkan aku menerimanya dengan ridha). Dan tidak ada sesuatu di mana Allah s.w.t. telah memindahkan aku dari satu keadaan kepada keadaan yang lain yang aku salahi (dan tidak aku ridhai, bahkan semuanya aku terima dengan baik).

Perkataan Abu Usman r.a. ini menggambarkan pada kita tentang keadaan
beliau sejak 40 tahun yang lalu bahwa apa saja yang diberikan Allah kepadanya tidak bertentangan dengan ajaran agama dan diberkahi pula oleh Allah, maka beliau tidak berpindah kepada pekerjaan lain, kecuali apabila Allah s.w.t. telah memindahkannya.

Apabila aqidah kita dan pendirian kita sudah sampai ke taraf ini, yakni selalu menjaga adab sopan santun pada Allah s.w.t., maka derajat kita sudah meningkat atau sudah diangkat oleh Allah pada taraf mengenal-Nya dan mengetahui kehendak ketuhanan yang Maha Berkuasa dan Berkehendak.

Tetapi apabila keadaan kita tidak sesuai dengan ajaran agama kita, maka kita wajib berusaha untuk tidak melakukan hal keadaan itu. Berusaha untuk itu adalah adab kepada Allah s.w.t. dan jika dia terus bergelimang atau berkecimpung dalam hal-hal yang tidak diridhai oleh Allah, maka orang ini adalah orang bodoh dan berlaku kurang ajar kepada Maha Penciptanya yakni Allah s.w.t.

Tidak menerima ketentuan yang telah ditakdirkan oleh Allah atau yang telah diberikanNya kepada kita berarti menentang “Hukum Waktu” yang telah diciptakan oleh Allah s.w.t.

Menentang “Hukum Waktu” atau “Hukum Zaman” mempunyai makna tidak mau menerima ketentuan-ketentuan Allah.

Hal tersebut adalah dosa yang paling besar di sisi hamba-hambaNya yang telah berserah diri kepadaNya. Atau dengan kata lain, dosa yang paling besar di kalangan ahli Tasawuf.

Menyerah diri kepada hukum Allah adalah sopan santun kehambaan diri kita terhadap Allah. Dan apabila kita tidak menyerahkan diri kita kepada Allah, maka kita telah berlaku biadab kepada Allah di samping bodoh dan jahil kepada Tuhan Maha Agung dan Suci.

Ketentuan Allah dalam waktu dan zaman, menurut istilah ahli Tasawuf, adalah salah satu arti dari kata “Al-Waqtu”.

Kita jangan sampai salah bahwa seolah-olah pengertian Al-Waqtu di atas artinya menyerah tanpa ikhtiar dan tidak berbuat sesuatu yang dianggap baik oleh Agama. Pengertian Al-Waqtu yang begini tidak sejalan dengan ajaran agama Islam.

Kita wajib menyerah kepada hukum Allah dalam waktu-Nya dan zaman-Nya, tetapi kita wajib berusaha pada mengerjakan kebaikan pada ketentuan Allah yang telah ditakdirkannya kepada kita.

Menurut Al-Ustaz Abu Qasim Al-Qusyairy, sebagian ahli Tasawuf berkata:

“Al-Waqtu Saifun“ artinya “Waktu itu adalah pedang”.

Artinya sebagaimana pedang memutuskan, maka demikian pulalah Al-Waqtu dengan kehendak-kehendak Allah (ketentuan-ketentuanNya) yang berlaku pada waktu (tertentu) adalah merupakan hakim (yang menentukan keputusan dan ketentuanNya).

Jadi maksudnya sebagaimana mata pedang dapat memutuskan sesuatu, maka demikian pulalah kehendak dan ketentuan Allah adalah menjadi hakim atas segala-galanya.

Karena itu agar diri kita selamat, tidak ada jalan selain kita harus pandai menerima ketentuan-ketentuan Allah dengan ridha dan bijaksana. Apabila kita tidak pandai, maka kita akan digilas oleh perputaran waktu, sehingga ketentuan-ketentuan Allah dalam setiap waktu tidak dapat kita ambil manfaatnya untuk kebaikan dan keselamatan diri kita.

Seperti perkataan Hukama:

“Sentuhan pedang adalah lembut, lagi ketajamannya (dapat) memutuskan,
maka barangsiapa yang berlembut-lembut dengan pedang ia akan selamat, dan
barangsiapa yang berlaku kasar pada pedang ia pasti putus (karenanya).”

Pengertian perkataan ini ialah apabila kita menyerah (dengan pengertian di atas) kepada Hukum Al-Waqtu yakni Hukum Allah, maka kita selalu selamat dan lepas dari bahaya, sama seperti pedang, apabila kita mempergunakan dengan baik, kita akan selamat.

Apabila kita menentang Hukum Allah, yakni tidak ridha atasnya, maka kita akan celaka dan usaha kita akan sia-sia belaka. Inilah kiasannya apabila kita tidak pandai mempergunakan pedang yang tajam, maka kita akan luka terkena pedang.

Dari penjelasan di atas dapat kita pahami, bahwa siapa saja yang menentang waktu adalah sangat bodoh dan tolol, atau dengan kata lain tidak mau mengerti pada Hukum Allah. Oleh karena telah tertutup pintu ilmu pada orang itu sehingga ia tidak tolol dan bodoh. Hukum waktu terbagi kepada 3 macam, yaitu:

  • Jalan Ilmu yang bersifat ‘Aqli (Al-’Aqliyaatu)
    Jalan Ilmu yang bersifat ‘Aqli ini kita harus mengetahui bahwa sesuatu yang terjadi atau pasti akan terjadi, tidak mungkin dibatalkan. Dan sesuatu yang tidak mungkin terjadi pasti tidak akan terjadi. Tetapi apabila kita ingin “membatalkan” sesuatu yang telah terjadi atau yang pasti akan terjadi, atau ingin melaksanakan sesuatu yang tidak mungkin terjadi, menunjukkan bahwa kita adalah orang yang paling bodoh dan tolol.

  • Jalan ilmu yang bersifat Syar’iy (Asy-Syar’iyaatu)
    Jalan ilmu dalam sifat ini adalah kita mengetahui bahwa ketentuan-ketentuan Allah harus diterima dan apa yang telah ditentukan Allah terhadap kita seperti menjadi pedagang, petani, tukang, supir, pegawai dan lain-lain terimalah itu dengan ridha dan peliharalah dengan ikhlas sesuai dengan ketentuan-ketentuan ajaran Islam. Hal ini wajib kita ketahui. Tetapi apabila kebalikannya, tidak mau menerima ketentuan-ketentuan Allah dan kehendakNya, menunjukkan bahwa kita adalah seorang yang paling bodoh dan tolol.

  • Jalan Ilmu yang bersifat adat atau kebiasaan (Al-’Aadiyaatu)
    Jalan ilmu dalam hal ini yaitu menurut adat kebiasaan, bahwa kejadian yang selalu terjadi adalah di luar kehendak kita, di luar rencana kita, dan kadang-kadang tiba sewaktu-waktu. Ini harus dijadikan ilmu oleh kita bahwa itu adalah sudah menjadi ketetapan pada hamba Nya, bahwa itu adalah hikmah-hikmah Allah yang di luar ilmu hamba-hambaNya.

Berkata Hukama:

“Barangsiapa yang mencari sesuatu yang belum diciptakan, berarti ia telah meletihkan dirinya sendiri dan tidak mendapat rezeki apa-apa (dari usahanya).”

Mudah-mudahan kita dijadikan Allah s.w.t. sebagai hamba-hambaNya yang diridhai olehNya. Dan semoga pula kita selalu dipimpin Allah, selamat dari marabahaya dan malapetaka, selalu mendapat kurniaNya dan nikmat-nikmatNya untuk kebahagiaan kita dunia dan akhirat. Amin!

Referensi : Abuya Syeikh Prof. Dr. Tgk, Chiek. H. dan Muhibbuddin Muhammad Waly Al-Khalidy, 2017, Al-Hikam Hakikat Hikmah Tauhid dan Tasawuf Jilid 1, Al-Waliyah Publishing

Al-Imam Ibnu Athaillah Askandary dalam kitab Al Hikam menyatakan,

Jangan meminta kepada Allah supaya Dia menguruskanmu dari suatu keadaan ke keadaan yang lain, maka tentulah Dia akan memasukanmu tanpa mengeluarkanmu dari keadaan yang sebelumnya

Kita dianjurkan supaya tetap istiqamah pada ketentuan-ketentuan yang telah dikurniakan Allah Ta’ala kepada kita. Kita dianjurkan demikian karena ada tiga pandangan yang harus kita fikirkan sedalam-dalamnya:

  • Hendaklah kita menyerahkan diri kita kepada Allah s.w.t. pada segala kehendak yang dikehendaki oleh Nya. Dengan demikian maka hati tenang dan kita tidak lelah memikirkan segala sesuatu di luar ketentuan yang telah diberikan Allah s.w.t. kepada kita. Jasmaniah kita tenang dan tidak lelah, jiwa kita juga tidak gelisah dari segala macam perubahan-perubahan dunia dan kesukaran-kesukaran mengatur segala sesuatu yang kita hadapi. Karena itu semakin mendalam tawakkal kita kepada Allah dan penyerahan kita kepada yang Maha Kuasa, maka segala kesulitan di dalam hidup dan kehidupan ini, Insya Allah Subhanahu wa Ta’ala dapat kiranya kita atasi.

  • Kita harus melaksanakan hak ‘ubudiyah atau hak kehambaan kita kepada Allah dengan jalan ridha pada segala ketentuan-ketentuan yang tidak bertentangan dengan ajaran-ajaranNya. Kita selaku hamba Allah yang kebetulan ditentukan Allah sebagai pedagang misalnya, ketentuan Allah ini harus kita terima dengan ridha, yakni kita senang menerimanya, dan kita jalankan pekerjaan kita dengan ajaran-ajaran agama demi melaksanakan hak kehambaan kita kepadaNya.

  • Istiqamah pada ketentuan yang diberikan oleh Allah kepada kita, adalah menjaga diri kita supaya kita tidak memikirkan hal yang lain di luar apa yang sedang kita hadapi. Karena apabila kita tidak istiqamah dan menghendaki ketentuan lain dari ketentuan yang telah diberikan Allah kepada kita, maka andainya jika Allah memberikan ketentuan lain dari yang telah kita kehendaki, jasmaniah kita tidak sehat atau jiwa kita tidak tenteram. Jadi kita tetap saja dengan istiqamah pada apa yang telah diberikan Allah Ta’ala kepada kita, asal saja tidak bertentangan dengan ajaran agamaNya demi kesehatan dan keselamatan jiwa kita.

Hal keadaan di atas dapat dilihat pada contoh kejadian yang telah terjadi pada seorang laki-laki zaman dahulu. Dia memohon kepada Allah s.w.t. dengan permohonan jikalau aku meninggalkan semua pekerjaan dan diberikan kepadaku setiap hari dua buah roti, maka aku akan dapat melepaskan diriku dari keletihan pekerjaan-pekerjaan, dan tentulah aku akan semata-mata mengerjakan amal ibadah.

Kemudian tiba-tiba dia ditahan oleh Polisi dan dimasukkan ke dalam penjara. Maka di dalam penjara, dia diberikan setiap hari dua buah roti. Sebulan dua bulan ia dalam penjara, ia pun berfikir tentang keadaan selanjutnya, tiba-tiba kemudian ia mendengar suara yang tersembunyi dalam penjara itu berkata:

“Sesungguhnya engkau telah memohon kepada Kami supaya diberikan setiap hari dua buah roti, tetapi engkau tidak memohon kepada Kami kesehatan, karena itu permohonanmu Kami perkenankan sesuai dengan apa yang kamu mohonkan.”

Setelah mendengar suara itu ia pun taubat pada Allah, memohon keampunanNya. Tiba-tiba dengan takdir Allah, pintu penjara dibuka dan dia dikeluarkan dari dalamnya.

Dari kejadian ini kita ambil pengertian, bahwa kita hendaknya berlaku adab dan sopan santun kepada Allah s.w.t. Jangan kita bermohon kepada Allah supaya Allah mengeluarkan kita dari sesuatu yang telah ditentukanNya.

Kita harus bersabar pada apa yang telah diberikan Allah Ta’ala pada kita. Karena apabila kita tidak sabar dan Tuhan mengabulkan apa yang kita kehendaki, tetapi rupanya hal tersebut membuat kita menjadi lebih celaka dan mendapat kesukaran di sana-sini, sehingga mengganggu kesehatan fisik kita dan ketenteraman jiwa kita, maka tentulah keadaan ini tidak kita kehendaki.

Apabila keadaan kita pada apa yang kita hadapi di dalam kehidupan kita, tidak sesuai dengan ajaran agama Islam, maka wajib atas kita untu keluar dengan cepat dari hal keadaan yang bertentangan dengan agama Islam, di samping bermohon kepada Allah s.w.t. supaya usaha kita itu berhasil dan kita betul-bctul dikeluarkan oleh Allah dengan izinNya dari ketentuan yang tidak baik itu sesuai dengan keridhaanNya.

Dalam hal ini pada hakikatnya kita tidak menentang hukum waktu tetapi kita menjalankan perintah Allah pada menjauhkan laranganNya bahkan terhindar sama sekali segala sesuatu yang tidak dibolehkan oleh agama Islam.

Jangan lupa bermohon pada Allah supaya Allah mengeluarkan kita dari hal-hal yang tidak baik dan masuk pada hal-hal yang baik.

Kita tidak boleh mendikte Allah, tetapi kita harus adab kepadaNya dengan mendahulukan keridhaanNya atas kehendak kita sebagai hambaNya. Dengan demikian kemungkinan besar Allah s.w.t. akan memberikan jalan keluar yang baik menurut kehendakNya, dan kita tetap pada ketentuan Allah yang telah diberikan pada kita sesuai dengan keridhaanNya dan tidak menyalahi ajaran agamaNya.

Apabila kita menyerahkan segala sesuatunya kepada Allah dengan menerima secara ikhlas dan ridha pada ketentuan yang telah diberikan olehNya, kepada kita; lnsya Allah Dia akan memberikan manfaat-manfaat padanya dan juga nikmat, di mana kita mendapatkan kebahagiaan.

Apabila kita berada di maqam asbab, yakni keadaan di mana kita harus berusaha dalam menghadapi kehidupan, maka di samping status ini, kita pun diberikan pula oleh Allah s.w.t. nikmat tajrid, yakni karunia Allah yang diberikan semata-mata olehNya tanpa usaha.

Demikian pula sebaliknya, yaitu apabila kita diletakkan Allah di maqam tajrid, yakni pada keadaan di mana pada umumnya segala sesuatu dimudahkan Allah kepada kita tanpa memikirkan usaha-usaha untuk memperolehnya, tetapi di samping, Allah s.w.t. juga memudahkan pula maqam asbab pada kita; hal keadaan ini tidak lain adalah laksana bunga-bunga saja di dalam kehidupan duniawi ini.

Seorang alim sufi yang bernama Sahl bin Abdullah Tastury r. a. berkata:

“Tatkala saya bekerja di suatu kantor, maka saya pun bekerja sesuai dengan pekerjaan-pekerjaan yang telah diserahkan kepada saya. Ketika saya mengerjakan tugas terjadilah kontradiksi antara hati dan pekerjaan saya. Apabila hati saya muraqabah kepada Allah s.w.t. (melihat Allah dalam maqam ihsan), maka terjadilah kesalahan-kesalahan pada pekerjaan saya. Dan jika saya menjuruskan perhatian saya pada pekerjaan, maka sia-sialah hati saya (karena lupa pada Allah s.w.t.).

Kemudian saya mohon kepada Allah s.w.t. supaya Allah mengumpulkan antara keduanya pada diri saya, yakni hati tidak lalai pada Allah sedangkan pekerjaan dapat dilaksanakan dengan sebaik-baiknya. Kemudian Allah memperkenankan permohonan saya dan lantas terkumpullah keduanya."

Kesimpulannya adalah apa yang telah ditentukan Allah s.w.t. atas kita, asal sesuai dengan ajaran agama kita, apakah sifatnya dunia atau agama maka patuhilah itu. Dan jangan ada ragu-ragu dalam hati, seolah-olah yang lain itu adalah lebih baik dan lebih sempurna.

Apabila ragu-ragu bahkan memutuskan bahwa yang lain adalah lebih baik, berarti kita mendikte Allah s.w.t. dan ini adalah tidak sopan dan tidak beradab kepada Tuhan yang Maha Bijaksana.

Apabila keadaan kita itu tidak sejalan dengan ajaran agama, maka wajib kita keluar daripadanya di samping bermohon pada Allah supaya Allah mengeluarkan dan memindahkan kita pada ketentuan-ketentuan yang baik.

Tetap sajalah menjaga dan memelihara ketentuan Allah yang tidak bertentangan dengan agama. Apabila hal ini kita jaga dengan baik, dan kita memelihara dengan sebaik-baiknya sambil bertawakkal dan ikhlas yang sempurna pada Allah s.w.t., maka segala kesempitan-kesempitan yang kita hadapi di dalamnya, Insya Allah Tuhan yang Maha Bijaksana akan memberikan jalan keluar dari kesempitan yang kita hadapi tanpa mengeluarkan kita dari ketentuan yang telah ditentukan olehNya pada kita.

Mudah-mudahan kita benar-benar dapat menjadi hambaNya yang beradab dan sopan kepada Allah s.w.t. Tuhan kita yang Maha Esa dan Maha Bijaksana. Amin.

Referensi : Abuya Syeikh Prof. Dr. Tgk, Chiek. H. dan Muhibbuddin Muhammad Waly Al-Khalidy, 2017, Al-Hikam Hakikat Hikmah Tauhid dan Tasawuf Jilid 1, Al-Waliyah Publishing