Bagaimana 21st Century Statecraft sebagai Kebijakan Departemen Luar Negeri Amerika Serikat?

21st Century Statecraft sebagai Kebijakan Departemen Luar Negeri Amerika Serikat

Dimulainya kebijakan 21st Century Statecraft terutama dipicu oleh revolusi teknologi informasi dan komunikasi yang terjadi.

Bagaimana 21st Century Statecraft sebagai Kebijakan Departemen Luar Negeri Amerika Serikat?

21st Century Statecraft sebagai Kebijakan Departemen Luar Negeri Amerika Serikat


Dimulainya kebijakan 21st Century Statecraft terutama dipicu oleh revolusi teknologi informasi dan komunikasi yang terjadi. Menurut Kishan Rana, revolusi ini telah berdampak secara signifikan pada sistem diplomatik yang ada dan menjembatani masalah jarak yang selama ini mendominasi jaringan diplomasi. Dengan adanya Internet, akan lebih mudah bagi pemerintahan suatu negara untuk menjangkau masyarakat yang lebih luas, baik di dalam negeri maupun secara internasional. Perubahan yang terjadi di berbagai negara menunjukkan bahwa kehadiran Web 2.0 telah menyediakan kesempatan bagi departemen luar negeri untuk mengeksplor hal-hal yang disediakan oleh Internet yang dapat membantu kinerja mereka dalam menjalankan kebijakan luar negeri suatu negara, baik itu dengan pengembangan situs Web bagi para kedutaan besar, pembentukan intranet (virtual private network) yang dapat menjadi media pertukaran tertutup antara kedutaan-kedutaan besar dengan pemerintahan, maupun melalui blog dan alat social networking lainnya, di mana diplomat dapat berinteraksi dengan satu sama lain maupun dengan publik di negara mana mereka ditempatkan dengan lebih mudah.

Kemajuan teknologi ini kemudian juga dibarengi dengan serangkaian hal lain yang membuat Hillary Clinton dalam jabatannya sebagai Menteri Luar Negeri AS mencoba untuk menggunakan cara-cara kontemporer dalam menjalankan kebijakan luar negeri dengan mengutilisasi teknologi baru dan juga menggunakan sudut pandang berbeda dalam menyelesaikan berbagai permasalahan internasional yang dihadapi oleh AS. Dari sini, muncul kebijakan 21st Century Statecraft, yang akan dijelaskan secara lebih lanjut di bawah.

1. Perubahan Lanskap Politik Internasional sebagai Pemicu Kemunculan 21st Century Statecraft
Di bawah pemerintahan Barack Obama, Departemen Luar Negeri Amerika Serikat berada di bawah kepemimpinan Hillary Clinton, yang pernah menjabat sebagai Senator AS dan menjadi kandidat calon presiden AS dari Partai Demokrat pada pemilihan umum 2008. Dalam menjalankan tugasnya sebagai Menteri Luar Negeri AS, Hillary Clinton menekankan adanya kebutuhan untuk meningkatkan diplomasi dan pembangunan sebagai agenda utama dalam kebijakan luar negeri AS di samping isu pertahanan. Hal ini dilihat sebagai suatu pendekatan smart power untuk memecahkan berbagai masalah global yang beragam: ekstremisme yang penuh kekerasan, resesi global, perubahan iklim, hingga kemiskinan. Untuk mencapai tujuan ini, maka pendekatan yang diambil dalam kebijakan diplomasi AS sekarang adalah penguatan sektor sipil, yang termasuk pegawai Departemen Luar Negeri serta USAID (US Agency for International Development). Hal ini tampak dari penambahan jumlah personel dalam kedua badan tersebut, yang disetujui oleh Kongres AS, untuk memperkuat kapasitas negara ini dalam mencapai kepentingan nasionalnya serta menyebarkan nilainilai Amerika.

Hillary Clinton juga mengeluarkan kebijakan untuk menerbitkan Quadrennial Diplomacy and Development Review (QDDR)—yang dibentuk seperti Quadrennial Defense Review milik Departemen Pertahanan AS—pada bulan Desember 2010, yang merupakan sebuah review bagi Departemen Luar Negeri dan USAID yang berisi rekomendasi untuk mengembangkan kapasitas yang dimiliki untuk mencapai tujuan diplomasi dan pembangunan sekarang. QDDR juga mendefinisikan bagaimana koordinasi antara diplomasi dan pembangunan dapat direalisasikan serta memiliki sifat yang saling komplementer. Dokumen ini juga akan mengulas apa saja hal yang perlu diperbaiki serta pandangan mengenai opsi strategis serta sumber daya yang dibutuhkan pada masa depan.

Di dalam QDDR pertama yang diberi tajuk “Leading Through Civilian Power” itu sendiri, tren-tren yang membentuk konteks global bagi kebijakan luar negeri AS dibahas, yang mencakup hal-hal berikut:

• Tantangan global yang baru
Berbagai tantangan yang dihadapi dunia di abad ke-21 ini makin beragam, termasuk terorisme, proliferasi materi nuklir, resesi global, perubahan iklim, cybersecurity, kejahatan transnasional, serta penyakit pandemik dan menular.

• Lanskap geopolitik dan geoekonomi yang baru
Hal ini dipengaruhi dengan munculnya pemain-pemain baru yang kuat di tataran internasional, seperti China, Brazil, India, dan Rusia, yang menjadi pusat-pusat pengaruh baru yang juga menginginkan suara dan representasi yang lebih besar di arena global.

• Difusi power bagi berbagai aktor non-negara
Bila dahulu, power dalam sistem internasional hanya dijalankan oleh negara secara ekslusif, sekarang hal ini mulai dikuasai pula oleh aktor non-negara—mulai dari NGO, perusahaan multinasional, sampai kelompok teroris—yang memilki cakupan transnasional dan memiliki kemampuan yang besar dalam mempengaruhi dinamika hubungan internasional.

• Biaya yang meningkat dari konflik dan kelemahan negara
Meskipun banyak negara mengalami kemajuan di berbagai bidang pada saat ini, masih signifikan pula jumlah dari weak dan fragile states, yang kebanyakan menjadi sarang konflik. Tingginya konektivitas antarnegara di dunia sekarang membuat konflik dan kelemahan negara menjadi tantangan besar bagi AS dan sekutunya.

• Era informasi yang telah mempercepat pacu hubungan internasional dan memfasilitasi era baru konektivitas

Tren paling penting yang membentuk kembali konteks global bagi kebijakan luar negeri AS adalah kemajuan teknologi yang telah secara signifikan mengubah bagaimana sebuah kebijakan luar negeri dijalankan dan telah mengubah aspek-aspek dari hubungan diplomatik. Di satu sisi, inovasi teknologi informasi dapat memperparah efek dari tantangan lain, namun juga dapat menciptakan kesempatan yang potensial untuk menyelesaikannya. Cepatnya pergerakan informasi membuat pemerintahan AS harus memiliki strategi untuk merespon segala perkembangan ekonomi maupun politik di dunia dengan cepat pula. Selain itu, teknologi baru telah meningkatkan konektivitas antarindividu dari berbagai belahan dunia. Setiap individu sekarang dapat menyuarakan pendapatnya dengan lebih bebas: opini publik sekarang dapat mempengaruhi pemerintahan di negara lain dan membentuk dinamika hubungan internasional.

Dari tren-tren di atas, tren ketiga dan kelima menjadi dasar bagi Departemen Luar Negeri AS untuk menjalankan inisiatif 21st Century Statecraft-nya, di mana diplomasi AS sekarang diarahkan untuk diperluas dari konstituen tradisional dan mulai mendekati aktor-aktor baru, terutama masyarakat sipil (civil society). Hal ini didasarkan pada asumsi bahwa AS tidak bisa menjalin hubungan yang baik dengan suatu negara bila unsur masyarakatnya menentang pemerintahan AS. Arah kebijakan diplomasi yang baru ini akan dijalankan dengan mengutilisasi teknologi terbaru, serta inovator dan pengusaha di baliknya, dan mengintegrasikannya dalam usaha diplomasi dan pmebangunan AS. Diplomasi publik juga akan menjadi misi diplomatik utama dengan membangun hub media regional untuk memastikan AS dapat berpartisipasi dalam berbagai debat publik di negara lain; memulai diplomasi komunitas untuk membangun jaringan yang memiliki kepentingan yang sama; serta memperluas hubungan antarindividu (people-to-people)

2. Inisiatif 21st Century Statecraft sebagai Kebijakan Diplomasi Digital Amerika Serikat
21st Century Statecraft itu sendiri merupakan strategi diplomasi baru yang mulai dijalankan oleh Departemen Luar Negeri AS dalam rangka menjawab tantangan global kontemporer. Pendekatan ini berusaha untuk menggali potensi dari alat dan teknologi baru dan menggunakannya untuk menjalin diplomasi publik dengan audiens yang baru, terutama masyarakat sipil. Revolusi dalam teknologi informasi—yang menghasilkan produk seperti Internet (Twitter, Facebook, dan lain-lain), SMS, media sosial, dan berbagai aplikasi mobile lainnya—memberikan Departemen Luar Negeri AS alat untuk melakukan engagement dengan masyarakat di negara lain dan memperluas paradigma diplomasi yang ada. Teknologi yang menjadi platform untuk komunikasi, kolaborasi, dan perdagangan di abad ke-21 ini dapat menghubungkan individu dengan individu lain, dengan sumber-sumber pengetahuan, dan dengan jaringan global.

Sebagai bagian dari inisiatif ini, Departemen Luar Negeri AS berusaha untuk mendapatkan komitmen dari Presiden Obama untuk mencapai level transparansi yang lebih tinggi dalam pemerintahan dan mendorong pemerintahan negara lain untuk bisa lebih transparan, partisipatif, serta dapat dipertanggungjawabkan (accountable) dalam menjalankan aktivitasnya. Selain itu, pemerintah AS juga membangun koneksi dengan mereka yang berada di balik pengembangan teknologi ini, termasuk para inovator dan pengusaha itu sendiri. Jadi, Departemen Luar Negeri AS berusaha untuk membangun partnership sektor publik dan privat yang menghubungkan pengalaman para diplomat dan ahli pembangunan di lapangan dengan energi dan sumber daya komunitas bisnis yang ada.

Program-program yang dijalankan di bawah heading inisiatif 21st Century Statecraft ini sudah berjumlah banyak dan beragam sifatnya, yang antara lain, adalah sebagai berikut:

  1. Swat Text
    Setelah kekuatan Taliban mengambil alih kontrol Lembah Swat di Pakistan pada Mei 2010, pemerintah AS memberikan US$100 juta sebagai bentuk dukungan kemanusiaan untuk membantu para pengungsi di sana. Namun, Hillary Clinton juga menganjurkan masyarakat AS untuk ikut membantu dengan mengirimkan pesan pendek (SMS) “swat” ke nomor 20222 dari telepon seluler dengan provider apapun sehingga setiap orang yang tinggal di AS dapat secara otomatis menyumbang US$5 untuk UN Refugee Agency.

  2. Virtual Student Foreign Service
    Dalam pidatonya di upacara kelulusan New York University, Hillary Clinton mengumumkan inisiatif barunya untuk menghubungkan setiap mahasiswa di AS dengan kedutaan-kedutaan besar AS di luar negeri, dan memberdayakan mereka sebagai “diplomat” yang dapat berhubungan dengan masyarakat di negara lain.

  3. Pidato Kairo
    Beberapa saat setelah Hillary Clinton mengumumkan inisiatif 21st Century Statecraft pada akhir Mei 2010, Presiden Obama memberikan pidatonya di Kairo, Mesir, yang ingin membuktikan komitmen AS untuk memperbaiki hubungan AS dengan kaum Muslim (bukan pemerintahan) di seluruh dunia. Hal yang mendapat penekanan di sini adalah bahwa Obama mulai menaruh perhatian kepada publik yang ada, dan tidak hanya pada pemerintahan.

  4. Kongo
    Alec Ross mengunjungi Kongo bagian timur pada September 2010, tempat berlangsungnya salah satu konflik paling panjang dan mematikan di era modern. Ketika kembali, Ross memiliki ide untuk dua inisiatif: Pertama, sebuah sistem perbankan mobile yang dapat digunakan oleh pemerintah dan agen internasional untuk membayar tentara mereka, tanpa harus bergantung pada pengiriman uang tradisional yang tidak dapat diandalkan dan berbahaya. Kedua, Departemen Luar Negeri AS akan menyiarkan para mantan combatant di radio untuk menggunakan suara kredibel mereka agar dapat meyakinkan para anggota milisi untuk melakukan demobilisasi.

  5. Kuba
    Hubungan AS dengan Kuba sekarang mulai menggunakan nilai-nilai dari 21st Century Statecraft, seperti kemudahan untuk pengiriman uang dan berkurangnya restriksi perjalanan untuk orang Kuba Amerika telah mendorong terjadinya dialog antarindividu. Sebagai tambahan, sanksi telekomunikasi terhadap Kuba juga mulai diturunkan di mana sekarang kabel bawah laut diizinkan dan penyedia layanan telepon selular telah dapat menjalankan bisnisnya di Kuba, yang akan memberdayakan individu di sana dengan teknologi informasi dan komunikasi.

  6. Mexico Initiative
    Hal ini merupakan usaha kolaborasi antara Departemen Luar Negeri AS, pemerintahan Meksiko, perusahaan telekomunikasi Meksiko, dan organisasi-organisasi nirlaba Meksiko dalam menghadapi masalah perdagangan obat-obatan terlarang dan tantangan dari kekerasan yang ditimbulkannya di daerah perbatasan, di mana warga Meksiko memiliki kesulitan untuk melaporkan kasus yang dilihat atau dialaminya secara anonim kepada polisi. Oleh karena itu, dijalankan suatu inisiatif berupa kode pendek untuk SMS yang gratis, melalui mana warga Meksiko dapat melaporkan insiden kejahatan yang berhubungan dengan perdagangan obat terlarang, yang kemudian akan dimasukkan ke dalam database publik dan ditindaklanjuti oleh polisi lokal.

  7. Humari Awaz
    Hillary Clinton mengumumkan dukungan AS untuk pembangunan sebuah jaringan sosial berbasis telepon selular di Pakistan, ketika berbicara di Islamabad pada bulan Oktober. Jaringan ini dinamakan sebagai Humari Awaz—berarti “suara kita”— dan dapat diakses dengan nomor SMS gratis yang disediakan lima jaringan ponsel di sana. Warga Pakistan dapat menggunakan jaringan ini untuk tujuan sosial, maupun bisnis, media, agrikultur, dan lainnya. Pemerintahan AS akan menanggung biaya untuk 24 juta SMS pertama yang dikirim melalui Humari Awaz. Program ini direspon dengan cukup sukses, dengan setengah dari jumlah SMS yang gratis telah dipakai dalam beberapa minggu pertama setelah jaringan sosial ini diluncurkan.

  8. Civil Society 2.0
    Ketika berada di Marrakesh, Maroko, Hillary Clinton mengumumkan inisiatif baru yang bertajuk Civil Society 2.0, di mana Departemen Luar Negeri AS akan menyediakan dana dan keahlian bagi gerakan-gerakan masyarakat sipil yang bersifat grassroots di seluruh dunia dalam menggunakan teknologi agar dapat tumbuh dan bekerja dengan lebih efektif. Aplikasi dari Civil Society 2.0 yang pertama dimulai pada 20 November 2010 di Santiago, Chile, di mana Departemen Luar Negeri mengumpulkan ahli teknologi dan pemimpin civil society dari seluruh benua Amerika untuk mengikuti sebuah workshop, yaitu TechCamp Santiago. Tujuan dari acara ini adlaah meningkatkan kemampuan digital organisasi masyarakat sipil, penyebaran informasi, pengembangan jaringan, dan menghubungkan individu-individu yang memiliki visi yang sama ke dalam organisasiorganisasi tertentu. Dengan memperluas kapasitas keseluruhan dari dunia digital, organisasi-organisasi ini dapat bekerja dengan lebih efisien dalam mencapai tujuan mereka. Ahli media sosial dan teknologi global dan regional akan bekerja sama dengan perwakilan dari masyarakat sipil regional untuk menentukan kebutuhan spesifik mereka dan membangun aplikasi praktis dengan tema-tema berikut:
    • Mempromosikan kesempatan sosial dan ekonomi;
    • Memastikan keselamatan warga di negara-negara tersebut;
    • Memperkuat institusi pemerintahan demokratis yang efektif; dan
    • Mencari solusi bagi tantangan keamanan energi dan perubahan iklim.

  9. Texting Haiti
    Setelah Haiti mengalami tragedi gempa bumi yang besar pada awal tahun 2010, Departemen Luar Negeri AS berkoordinasi dengan mGive, sebuah platform donasi mobile, untuk mendirikan sebuah nomor di mana warga AS dapat memberikan donasi US$10 dengan mengirimkan sebuah SMS berisikan “HAITI” ke nomor 90999. Dalam beberapa hari, jumlah donasi yang terkumpul bagi Palang Merah dalam usaha bantuannya mencapai lebih dari US$10 juta.

  10. Tech@State60
    Inisiatif ini merupakan serial konferensi yang dilaksanakan di Departemen Luar Negeri AS yang menghubungkan inovator, diplomat AS, dan official pemerintahan lainnya untuk saling berbagi pengalaman dan mengembangkan alat baru untuk diplomasi dan pembangunan

  11. Virtual Presence Post (VPP)
    Program ini merupakan alat manajemen organisasi yang membantu pegawai di Kedutaan Besar maupun Konsulat AS untuk memobilisasi alat-alat pengembangan diplomatik, termasuk perjalanan, program, media, dan teknologi, untuk memfokuskan dan memperbaiki hubungan dengan komunitas tertentu di mana AS tidak memiliki fasilitas diplomatik dalam bentuk fisik. Saat ini terdapat 43 VPP yang aktif di seluruh dunia, yang ditargetkan kepada komunitas seperti di Zhengzhou, China; Chittagong, Bangladesh; Seychelles; San Marino; Somalia; Gaza, dan juga kelompok-kelompok adat di Guatemala