Awal Mulanya Kegilaan!

Kebanyakan orang dan mungkin pembaca menganggap orang gila dan LGBT (lesbian, gay, biseksual, dan transgender) sebagai orang yang tidak normal. Kebanyakan dari kita memandang mereka sebagai orang aneh dan tidak waras, kita memusuhi mereka, mengasingkan mereka, mengabaikan mereka dan bahkan merendahkan mereka. Tetapi saya sebagai seorang yang tidak tahu apa-apa ingin bertanya kepada seluruh umat manusia, Apa yang dimaksud dengan normal? Apakah ada yang bisa dijadikan referensi standar untuk mengatakan si A adalah manusia normal? Bukankah setiap orang berbeda-beda dan unik ? Apakah kita pernah melihat orang yang persis sama sehingga kita bisa memunculkan kata normal? Teman-teman mari kita renungkan sejenak apa itu definisi normal.

Dulu di zaman Yunani ada seorang raja yang dianggap sebagai raja yang bijaksana, nama raja itu adalah Procrustes. Setiap malam Procrustes mengundang rakyatnya tidur di ranjang emasnya. Malam-malam raja Procrustes mengintip rakyatnya yang sedang tidur. Kalo tubuh rakyatnya yang sedang tidur lebih panjang dari panjang kasur nya si raja maka raja akan menggergaji kakinya dan kalo lebih pendek maka raja akan menarik kaki rakyatnya supaya pas serta fit proper dengan panjang kasur raja. Melihat dari cerita tersebut raja Procustes melayani publik dan rakyatnya dengan ukurannya sendiri, padahal setiap orang punya ukurannya masing-masing. Jadi ketika kita mengatakan si A atau si B tidak normal sebenarnya kita sedang menjadi Procustes yaitu menerapkan ukuran kita sendiri kepada orang lain padahal masing-masing orang punya ukuran yang berbeda.

Lalu dari mana munculnya kegilaan dan LGBT jika mereka tidak dapat kita katakan sebagai tidak normal ?

Sebenarnya kegilaan muncul akibat kesehatan mental yang tidak sehat. Kesehatan mental atau psikis seseorang sebenarnya berada dalam tahap yang statis, jika kesehatan mental mengalami fluktuatif terutama secara eksponensial maka disitu kesehatan mental akan terganggu. Jika kesehatan mental tidak disembuhkan dalam jangka waktu yang panjang maka akan mengakibatkan pada hilangnya kesadaran seseorang. Gejala hilangnya kesadaran seseorang itulah yang disebut sebagai kegilaan.

Tetapi apakah orang gila itu mengalami kehidupan dengan sengsara?

Secara logika dapat kita katakan tidak. Orang gila tidaklah mengalami kehidupannya dengan sengsara, mengapa ? Karena kesengsaraan muncul dari adanya keterikatan terhadap hal-hal duniawi. Sekarang coba kalian pikirkan, Apakah orang gila mengalami keterikatan dengan hal-hal duniawi ? Tidak kan, mereka justru akibat kegilaannya mengalami pembebasan yang sebebas-bebasnya karena kesadaran mereka telah hilang. Mereka tidak lagi memperdulikan tuntutan masyarakat atau bahkan tuntutan Tuhan. Dengan hilangnya kesadaran orang gila mereka justru merasa bahagia dan tidak sengsara karena mereka tidak lagi mengalami keterikatan hal-hal duniawi. Menurut saya kegilaan adalah semacam pertolongan Tuhan untuk orang yang menderita kesehatan mental dalam jangka waktu yang lama. Tuhan menolongnya dengan menghilangkan kesadarannya supaya terbebas dari segala keterikatan yang membuat hidupnya sengsara.

Seorang filsuf asal Perancis Michel Foucault (1926-1984) pernah berkata

“Madnees did not disclose a mechanism, but revealed a liberty raging in the monstous form of animality”.

Kegilaan adalah kebebasan mutlak dari kesengsaraan.

Lalu selain kegilaan sebagai pembebasan dari kesengsaraan kesehatan mental, Apakah ada cara pembebasan lain dari kesengsaraan kesehatan mental ?

Saya dapat mengatakan bahwa ada satu hal lagi yang dapat membebaskan manusia dari kesengsaraan. Apakah itu ? Jawabannya adalah kematian. Kebanyakan dari kita memandang bahwa kematian adalah sesuatu hal yang mengerikan dan menakutkan. Tetapi apakah prasangka kita terhadap kematian itu betul ? Ada cerita yang menarik dari Buddha. Ketika Buddha sedang berjalan di suatu desa untuk menyebarkan Dharma, bertemulah ia dengan seorang Ibu yang tengah berduka selepas kehilangan anaknya. Dengan menggendong jenazah anaknya ia memohon kepada Buddha untuk memberkahi keajaiban dan menghidupkan kembali anaknya. Buddha kemudian meminta kepada Ibu yang berduka tersebut,

“Pergilah dan kumpulkan di mangkuk ini biji ‘mustard’ di setiap rumah yang tidak disinggahi kematian.”

Pergilah perempuan tersebut, tetapi ketika ia kembali ia tidak membawa sebiji pun dimangkuknya, mengapa? karena tidak ada rumah yang tidak disinggahi kematian. Disaat itulah Ibu itu tersadar bahwa kematian tersebut alamiah dan universal. Kematian adalah suatu fenomena yang dialami oleh setiap manusia, mengapa ? karena kita organisme. Setiap yang hidup pasti akan mengalami kematian.

Richard Dawkins seorang evolusionis menganggap bahwa manusia seringkali menciptakan suatu ilusi dimana kita merasa sebagai pusat dari alam semesta, sehingga ketika manusia mati ataupun nantinya musnah berati pertanda akhir dunia. Menurut Dawkins hal ini sangatlah tidak masuk akal, menurut Dawkins hukum alam tidaklah keji, kematian adalah sesuatu yang natural. Kematian hanyalah salah satu proses yang hatus dialami oleh setiap organisme yang hidup di alam ini. Jadi prasangka kita terhadap kematian sebagai sesuatu yang menakutkan dan meyengsarakan sangatlah tidak masuk akal. Justru kematian sebenarnya adalah pembebasan kita dari segala kesengsaraan, mengapa? karena dengan kematian kita mengalami hilangnya kesadaran sehingga kita bisa terbebasa dari keterikatan hal-hal duniawi.

Jadi saya menyimpulkan bahwa yang namanya normalitas sebenarnya tidak ada, hal tersebut hanyalah suatu fiksi yang kita buat dan bahkan menyebabkan kita mengalami dehumanisasi. Yang kedua kesimpulan saya adalah kegilaan dan kematian sebenarnya bisa dianggap sebagai solusi untuk pembebasan dari kesengsaraan kesehatan mental, tetapi solusi ini saya sarankan jika penderita kesehatan mental memang memiliki kesempatan sembuh yang sangat kecil.

Sekali lagi para pembaca yang budiman, saya menulis opini ini untuk membuka perspektif baru mengenai kegilaan, jangan sampai kita menganggap kegilaan sebagai suatu fenomena yang buruk. Friedrich Nietzsche (1844-1900) pernah mengatakan

“Selalu ada kegilaan dalam cinta, Tapi juga selalu ada alasan dalam kegilaan”.