Arti Malam Satu Suro Bagi Masyarakat Jawa

Satu suro sesungguhnya merupakan saat ketika masyarakat Jawa merayakan tahun baru. Dalam Islam, ini dikenal dengan tanggal satu Muharam. Berbeda dengan kebiasaan masyarakat modern, saat malam 1 Suro tiba, orang Jawa tidak menyambutnya dengan kemeriahan, melainkan dengan berbagai ritual sebagai bentuk introspeksi diri. Pada saat malam 1 Suro tiba, masyarakat Jawa umumnya melakukan ritual tirakatan, lek-lekan (tidak tidur semalam suntuk), dan tuguran (merenung sambil berdoa). Sebagian orang bahkan memilih menyepi untuk bersemedi di tempat sakral seperti puncak gunung, tepi laut, pohon besar, atau di makam keramat.

Bagi orang Jawa, bulan Suro sebagai awal tahun Jawa diyakini sebagai bulan yang sakral atau suci. Ini adalah bulan yang tepat untuk merenung, tafakur, dan introspeksi untuk mendekatkan dengan Yang Maha Kuasa. Cara yang biasa digunakan masyarakat Jawa untuk berintrospeksi adalah dengan lelaku, yaitu mengendalikan hawa nafsu.

Lelaku malam 1 Suro, tepat pada pukul 24.00 saat pergantian tahun Jawa, diadakan secara serempak di Keraton Ngayogyakarta dan Surakarta Hadiningrat sebagai pusat kebudayaan Jawa. Di Keraton Surakarta Hadiningrat kirab malam 1 Suro dipimpin oleh Kebo Bule Kyai Slamet sebagai Cucuking Lampah (yang jalan di depan). Kebo Bule merupakan hewan kesayangan Susuhunan yang dianggap keramat. Di belakang Kebo Bule barisan berikutnya adalah para putra Sentana Dalem (kerabat keraton) yang membawa pusaka, kemudian diikuti masyarakat Solo dan sekitarnya seperti Karanganyar, Boyolali, Sragen dan Wonogiri.

Sementara itu di Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat memperingati malam 1 Suro dengan cara mengarak benda pusaka mengelilingi benteng keraton yang diikuti oleh ribuan warga Yogyakarta dan sekitarnya. Selama melakukan ritual mubeng beteng tidak diperkenankan untuk berbicara seperti halnya orang sedang bertapa. Inilah yang dikenal dengan istilah tapa mbisu mubeng beteng.

Selain di Kraton, ritual 1 Suro juga diadakan oleh kelompok-kelompok penganut aliran kepercayaan Kejawen yang masih banyak dijumpai di pedesaan. Mereka menyambut datangnya tahun baru Jawa dengan tirakatan atau selamatan.

Sumber