Apresiasi Untuk Si Nenek


Pukul lima sore halaman belakang rumah sudah dipenuhi oleh asap kayu yang terbakar. Tungku-tungku mulai berkobar. Kayu bakar di dalamnya mulai termakan api dan perlahan menjadi arang. Tampak seorang nenek yang sedang menyalakan api untuk merebus air. Nenek tersebut bernama Baiyar (82), warga Pakan Sinayan yang sehari-harinya berprofesi sebagai petani dan berladang. Dia adalah nenek saya yang sangat baik orangnya. Setiap harinya, saat selesai shalat ashar nenek selalu melakukan rutinitas yakni memasak di tungku.

Meskipun pada saat sekarang boleh dikatakan bahwa hanya segelintir orang yang masih mau menggunakan tungku untuk keperluan sehari. Meskipun demikian, nenek Baiyar juga mempunyai gas yang hanya digunakan untuk memasak lauk pauk saja. Dikarenakan jika memasak nasi atau air maka akan membuat gas cepat habis. Untuk itu nenek hanya menggunakan gas untuk keperluan yang mendesak serta membuat lauk pauk.

Jika ada waktu senggang nenek selalu mencari kayu bakar setelah bertani. Nenek mencari kayu bakar di sekitar ladang miliknya atau milik orang yang lain yang sudah mendapatkan izin.

Melihat realita yang tampak memang di perkotaan apalagi kota besar, penggunaan tungku atau anglo untuk memasak jelas sudah dianggap ketinggalan zaman. Sementara di perdesaan, beberapa masyarakat juga sudah lama meninggalkan alat-alat dari tanah liat untuk keperluan memasak atau menyiapkan makanan. Namun di sejumlah desa di Pakan Sinayan, memasak menggunakan tungku dan anglo adalah hal yang biasa dilakukan oleh masyarakatnya hingga kini.

Pasalnya dengan memasak di tungku membuat masakan apa saja yang dimasak matang dan menghasilkan rasa yang nikmat. Di daerah Pakan Sinayan ini warga banyak menggunakan tungku pada acara besar, seperti batagak pangulu dimana ada penyemblihan kerbau dan pastinya akan dimasak dengan menggunakan tungku. Selain itu, pada saat kenduri pun tungku digunakan untuk memasak lauk pauk ataupun memasak nasi. Sehingga, menurut nenek Baiyar ini merupakan sesuatu hal yang biasa meskipun sudah mempunyai alat masak yang lebih canggih.

Di dalam dapur yang terbuat dari kayu tersebutlah nenek Baiyar selalu menyimpan kayu bakar untuk keperluan sehari-hari. Hingga tak heran, kadang di sebagian halaman rumah bahkan ada juga di seputaran ruang dapur terdapat tumpukan-tumpukan kayu bakar.

Itu menunjukkan bahwa ternyata kayu kayu menjadi sesuatu yang vital digunakan untuk memasak. Memang, memasak dengan tungku tradisional membutuhkan waktu relatif lama, tetapi meskipun demikian begitu harus diakui, memasak dengan menggunakan alat sederhana itu, hasilnya membuat makanan jauh lebih enak. Sayangnya, seiring perkembangan zaman dan perubahan yang terus mewarnai dinamika kehidupan kita, memasak di tungku tradisional sudah kian ditinggalkan masyarakat. Yang terjadi sekarang, masyarakat kita lebih memilih menggunakan kompor gas untuk memasak air dan makanan serta lauk pauk. Selain itu, tidak perlu merepotkan, ternyata menggunakan kompor sangatmudah. Tak perlu repot mencari kayu, meniup kayu bakar agar nyala api tetap stabil. Lain dengan nenek Baiyar yang lebih senang pakai cara itu. Apalagi kalau memasak air untuk kopi atau teh jauh lebih nikmat rasanya.

“Teknologi boleh ada, tetapi tradisi akan susah untuk dihilangkan,” ujar nenek Baiyar.

#sebuahapresiasi #lombafotostory #dictiocommunity

1 Like