Macan Kepatihan itupun menjadi marah bukan buatan. Tangannyapun kemudian menjadi gemetar dan dengan serta-merta ia berkata “Siapkan senjatamu. Tohpati akan mengayunkan tongkatnya pada gerakan yang pertama”
Sidanti tidak menjawab. selangkah ia meloncat kesamping, ditatapnya Tohpati dengan tajamnya, dan tiba-tiba kedua tangannya telah menggenggam dua belah pedang pendek.
Dalam pada itu Ki Tambak Wedi berkata “Angger Tohpati, aku tidak mengharapkan perkelahian ini. Tetapi aku tidak dapat menyalahkan muridku. Sebagai murid lereng Merapi, ia tidak akan bersedia menelan hinaan”
“Persetan” sahut Tohpati “Dengan membunuhmu maka aku akan mengurangi kekuatan Sangkal Putung”
Sidanti sama sekali tidak berkata apapun. Kedua pedangnya bersilangan dimuka dadanya.
Namun Tohpati masih juga menggeram “Manakah senjatamu yang mengerikan itu?”
Sidanti masih tetap diam. Hanya didalam hatinya ia berkata “Peduli apa kau dengan senjata yang tertinggal di Sangkal Putung itu. Tetapi ternyata aku cukup kuat dengan senjata yang sepasang ini sekuat senjata yang aneh itu”
Kediaman Sidanti benar-benar telah membangkitkan luapan kemarahan Tohpati tiada taranya. Karena itu segera ia meloncat dan menyerang Sidanti dengan tongkat baja putihnya.
Tetapi Sidanti telah benar-benar bersiap. Ketika tongkat baja Tohpati terayun kekepalanya, Sidanti sama sekali tidak berkisar dari tempatnya. Sidanti itu telah pernah bertempur dengan Tohpati sehingga kekuatan Tohpati telah diketahuinya.
Sidanti yakin bahwa selama ini Tohpati pasti tidak akan sempat memperdalam ilmunya, selain yang telah dimilikinya. Karena itu sengaja ia tidak mengelak, tetapi dibenturnya serangan itu dengan kedua pedang pendeknya. Dengan pedang itu Sidanti ingin menunjukkan, bahwa kini kekuatannya tidak lagi seperti beberapa waktu yang lalu, setelah dengan tekun ia melatih diri sejak ia meninggalkan Sangkal Putung. Lukanya yang tidak terlalu parah segera dapat disembuhkan oleh Ki Tambak Wedi. Dalam pada itu Sidanti yang menyimpan dendam dihatinya, segera berusaha untuk menambah ilmunya. Dendam kepada Untara dan orang-orang Sangkal Putung itu harus ditumpahkan.
Kini tiba-tiba Sidanti menemukan lawan yang tidak disangka-sangka. Namun lawan inipun sedahsyat orang yang didendamnya. Karena itu maka disadarinya, bahwa ia harus berjuang sekuat-kuat tenaganya.
Ketika tongkat baja putih Tohpati membentur kedua pedang pendek Sidanti, terdengarlah gemerincing senjata-senjata itu. Suaranya membelah sepi malam, membentur ujung rimba. Demikian dahsyatnya sehingga bunga-bunga api memercik keudara.
Tohpati terkejut mengalami benturan senjata itu. Apalagi ketika dilihatnya Sidanti tetap ditempatnya, dan kedua senjatanya masih ditangannya. Bahkan kemudian terdengar anak muda murid Ki Tambak Wedi itu menggeram.
Alangkah marahnya Macan Kepatihan. Terasa bahwa kekuatan Sidanti telah meningkat. Anak muda itu kini dapat mengimbangi kekuatannya yang disalurkan pada ayunan tongkat putihnya. Namun apa yang terjadi adalah suatu peringatan baginya, bahwa lawannya kini bukanlah Sidanti beberapa saat yang lampau.
Meskipun demikian, sebenarnya tangan Sidanti yang melawan tongkat baja putih Macan Kepatihan, merasakan arus kekuatan yang hampir melontarkan pedang-pedangnya. Namun dengan menggeretakkan giginya, ia berhasil menahan senjata-senjata itu, meskipun tangannya terasa nyeri. Dengan demikian, maka Sidanti merasa, bahwa kekuatan Macan Kepatihan masih belum dapat dikembarinya, namun ia masih dapat membanggakan kelincahannya dan ketajaman ujung pedangnya. Dengan sentuhan-sentuhan kecil, ia akan dapat merobek kulit Macan Kepatihan itu. Namun apabila ia tersentuh kepala tongkat Tohpati yang kekuning-kuningan dan berbentuk tengkorak itu, maka tulang-tulangnyapun akan dipecahkan.
Demikianlah maka mereka segera terlibat dalam sebuah perkelahian yang sengit. Sidanti yang lincah meloncat-loncat disekitar lawannya, seakan-akan bayangan hantu yang sedang menari-narikan sebuah tarian maut. Namun lawannya adalah seekor harimau yang garang. Betapa Macan Kepatihan itu dengan tangguhnya melawan sambaran-sambaran pedang Sidanti. Dilindunginya dirinya dengan tongkat putihnya, dan sekali-sekali tongkatnya terjulur mematuk tubuh lawannya. Namun Sidanti benar-benar seperti bayangan yang tidak dapat disentuhnya.
Perkelahian itu semakin lama menjadi semakin cepat. Macan Kepatihan yang garang itupun menjadi semakin garang, sedang Sidanti yang lincah menjadi semakin lincah. Kedua senjatanya dengan cepatnya menyambar seakan-akan dari segala penjuru. Dengan kelincahannya, sekali-sekali ujung pedangnya berhasil menyentuh tubuh Tohpati meskipun hanya seujung rambut. Namun ujung rambut yang runcing itu telah berhasil menggores kulit dan bahkan telah berhasil meneteskan darah. Tetapi darah yang menetes dari luka itu bahkan telah membakar kemarahan Tohpati. Wajahnya yang membara seakan-akan menyala dalam kegelapan. Sehingga tandangnyapun menjadi semakin dahsyat.
Ki Tambak Wedi untuk sesaat berdiri mematung melihat muridnya bertempur. Mula-mula ia masih juga ragu-ragu, apakah Sidanti dapat mengimbangi Tohpati. Namun kemudian Ia tersenyum. Ia telah menemukan timbang-berat keduanya. Meskipun Sidanti belum dapat menyamai Tohpati sepenuhnya, namun masih dapat diharapkan, Tohpati berbuat kesalahan-kesalahan kecil yang dapat membantu Sidanti Seandainya tidak sekalipun, maka ia tidak perlu terlalu cemas, bahwa muridnya akan dikalahkan oleh lawannya.
Ki Tambak Wedi itu kemudian mengangguk-angguk sambil bergumam “Itulah murid Ki Tambak Wedi. He, adi Sumangkar, apakah aku tidak berbangga karenanya?”
Sumangkar yang memperhatikan perkelahian itu berpaling. Jawabnya “Ya, kakang dapat berbangga karenanya. Umurnya masih cukup muda, sehingga perkembangannya dihari depan akan menjadi semakin menggemparkan lereng Merapi”
Ki Tambak Wedi tertawa pendek. Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya terus ia berkata “Siapakah yang akan menang diantara mereka?”
“Aku tidak tahu” jawab Sumangkar pula. “Mereka memiliki kelebihan sendiri-sendiri. Meskipun demikian, muridmu masih harus belajar sebulan dua bulan lagi dengan tekun, supaya ia dapat mensejajarkan diri dengan angger Macan Kepatihan sepenuhnya. Tetapi meskipun demikian, bukan berarti muridmu kehilangan kesempatan untuk memenangkan perkelahian ini”
Ki Tambak Wedi mengerutkan keningnya. Perkelahian diantara keduanya masih berjalan dengan serunya. Bahkan semakin seru. Seperti angin pusaran mereka berputar-putar. Tetapi semakin seru perkelahian itu semakin nampak, bahwa sebenarnya Tohpati adalah seorang yang pilih tanding.
“Kau lihat perkembangan perkelahian itu?” bertanya Sumangkar.
Ki Tambak Wedi mengerutkan keningnya kembali sambil menjawab “Apakah kau sedang bergembira karena kau melihat kelemahan muridku?”
“Ya” sahut Sumangkar pendek.
Tiba-tiba Ki Tambak Wedi tertawa. Tertawa berkepanjangan dan sangat menyakitkan telinga. Diantara suara tertawanya terdengar ia berkata “Meskipun tampak kekurangan pada muridku, namun ia akan mempunyai cukup waktu untuk menanti aku membunuhmu, adi”
Mendengar suara tertawa dan kata-kata Ki Tambak Wedi, Sumangkar berpaling. Dilihatnya Ki Tambak Wedi masih tertawa dan memandang muridnya yang sedang bertempur itu. Namun Sumangkar sama sekali tidak terkejut.
“Kau mendengar kata-kataku adi?” tiba-tiba Ki Tambak Wedi berteriak “Bahwa aku akan membunuhmu?”
Sumangkar mengangguk perlahan “Ya, aku mendengar” sahutnya.
Namun ancaman Ki Tambak Wedi itu telah mempengaruhi Macan Kepatihan yang sedang bertempur dengan Sidanti, sehingga sambil mengayunkan tongkatnya dengan dahsyatnya ia menggeram “Ki Tambak Wedi, biarlah aku menyelesaikan persoalan ini dengan Sidanti. Paman Sumangkar tidak akan ikut campur dalam hal ini”
“Benar ngger, pamanmu Sumangkar tidak ikut campur dalam persoalan ini, tetapi ia pasti menghalangi aku seandainya aku ingin membunuh angger pula bersama-sama dengan muridku. Karena itu maafkan aku ngger. Aku terpaksa membunuhnya. Sesudah itu untuk membunuh angger Macan Kepatihan yang perkasa akan menjadi semudah seperti membunuh seekor kelinci. Biarlah aku mendapat bintang jasa didada, atau lebih baik Sidanti yang akan menyebut dirinya telah membunuh Macan Kepatihan. Kepala angger akan kami bawa sebagai bukti pekerjaan yang telah dilakukan oleh Sidanti. Besok Sidanti akan menerima anugerah pangkat Senapati dari Wiratamtama Pajang. Kalau mereka yang membunuh adipati Jipang mendapat Mentaok dan Pati, maka kami akan memilih daerah disebelah barat Mentaok, atau daerah Wanakerta disebelah Pajang. Dari daerah-daerah itu kami akan dapat menguasainya, atau apabila kami mendapat Wanakerta, kami akan langsung menembus jantung Pajang”
“Diam” teriak Tohpati keras sekali. Suaranya mengguntur menyobek kepekatan malam yang sunyi. Namun suara itu ditimpa oleh gelak tertawa Ki Tambak Wedi “Bukankah itu suatu rencana yang bagus? Aku lebih berpijak pada kenyataan daripada angger Tohpati. Siapakah yang akan dapat mengalahkan Pemanahan, Penjawi dan Adipati Jipang itu didalam laskar angger? Ki Tambak Wedi akan dapat menepuk dada melawan mereka. Karena itu jangan menyesal”
“Persetan dengan ocehanmu Tambak Wedi. Tetapi kau benar-benar setan yang licik. Ayo, majulah bersama Sidanti, Macan Kepatihan bukan seorang pengecut”
Suara Ki Tambak Wedi semakin berkepanjangan. Katanya “Nah, kenapa angger menolak uluran tangan kami? Kalau kami bekerja bersama, bukankah kami dapat membagi tanah Demak ini? Angger mendapat Jipang, dan kami mendapat Pajang dan Demak beserta daerah pesisir lainnya”
“Kau jangan banyak bicara pemimpi tua. Jipang bukanlah tempat orang-orang yang hanya dapat mengantuk dan mimpi seperti kau. Jipang mempunyai cukup kekuatan untuk melawanmu. Apalagi Tohpati sendiri mampu membunuh kau berdua sekarang ini”
“Jangan sombong ngger, jangan membual. Semakin banyak kau membual, semakin tampak bahwa kau menjadi berputus asa menjelang saat kematianmu yang nista.”
Mendengar hinaan itu Macan Kepatihan menjadi marah bukan buatan. Namun karena itu, maka tandangnya menjadi terganggu. Dalam pada itu Sidanti mempergunakan saat itu sebaik-baiknya, menyerang dengan segenap kemampuan dan kelincahannya.
Macan Kepatihan menggeram keras sekali untuk melepaskan kemarahan yang seolah-olah akan meledakkan dadanya. Apalagi suara tertawa Ki Tambak Wedi masih saja mengganggunya.
Namun disela suara tertawa Ki Tambak Wedi itu kemudian terdengar Sumangkar berkata “Angger Tohpati, kenapa angger menjadi gelisah sehingga murid Tambak Wedi itu mendapat kesempatan untuk memperpanjang nafasnya? Dalam pengamatan kami Raden, maka Sidanti benar-benar sudah hampir mati terjepit oleh kekuatan tongkat angger. Namun karena angger terganggu oleh suara Ki Tambak Wedi, maka Sidanti itu mampu bernafas kembali”
Sekali lagi Tohpati menggeram. Kata-kata Sumangkar telah memperingatkannya, bahwa ia telah berbuat kesalahan. Namun dalam pada itu kembali suara Ki Tambak Wedi “Suatu peringatan yang baik. Peringatan yang terakhir dari adi Sumangkar. Setelah ini maka adi akan mati aku cekik, dan angger Tohpati akan mati pula untuk kemudian aku penggal lehernya”
Kembali kegelisahan merambat dihati Tohpati. Namun kemudian Sumangkar berkata lantang kepada Tohpati “Jangan hiraukan aku ngger. Bukankah aku seorang juru masak yang baik? Karena itu aku selalu membawa golok pembelah kayu ini. Namun sebagai murid Kedung Jati, sebagai saudara seperguruan Patih Mantahun, maka golok ini akan dapat aku pergunakan untuk membelah dada Ki Tambak Wedi yang sombong. Bukankah Sumangkar murid kedua dari perguruan Kedung Jati yang tidak kalah besarnya dari perguruan lereng Merapi?”
“Setan” desis Ki Tambak Wedi. Kini Ki Tambak Wedi itu tidak tertawa lagi. Diamat-amatinya wajah Sumangkar didalam keremangan cahaya bulan. Wajah itu masih tenang setenang awan yang berlayar lembut dikebiruan langit “Kau merasa dirimu setingkat dengan Ki Tambak Wedi?”
Sumangkar tidak menghiraukan pertanyaan itu, namun kepada Tohpati ia berkata “Cekiklah Sidanti itu Raden. Sementara itu biarlah aku akan menyumbat mulut pemimpi tua itu dengan golokku”
Ternyata kata-kata Sumangkar itu memberi juga ketenangan pada Macan Kepatihan. Disadarinya kemudian, bahwa Sumangkar adalah saudara seperguruan gurunya sendiri, sehingga karena itu Macan Kepatihan itu tersenyum sendiri atas kegelisahan yang mencengkam dadanya. Kenapa ia mencemaskan nasib Sumangkar juru masak yang malas itu? Ia bukan seorang juru masak kebanyakan. Ia adalah seorang murid dari perguruan Kedung Jati seperti juga gurunya sendiri. Patih Mantahun yang sakti.
Dalam pada itu terdengar Ki Tambak Wedi berkata “Cecurut yang malang. Kau benar-benar jemu untuk hidup. Bukankah Ki Tambak Wedi telah terkenal mampu menangkap angin?”
Sumangkar tersenyum, jawabnya “Perguruan Kedung Jati terkenal karena murid-muridnya mampu menyimpan nyawa rangkapan didalam tubuhnya”
Ki Tambak Wedi menggeram penuh kemarahan. Apalagi ketika dilihatnya bahwa Macan Kepatihan telah menemukan keseimbangannya kembali. Sehingga karena itu maka katanya “Kau juga pandai membual adi Sumangkar. Kalau murid Kedung Jati dapat menyimpan nyawa rangkap didalam tubuhnya, maka Patih Mantahun itu tidak akan mati terbunuh meskipun harus bertempur melawan Ki Gede Pemanahan dan Ki Penjawi atau Ki Juru Mertani ditambah Hadiwijaya dan Ngabehi Loring Pasar”
Sumangkarlah yang kini tertawa menyakitkan hati. Dengan renyah ia menjawab “Kau salah kakang. Mantahun waktu itu hanya membawa nyawa rangkap tiga. Tetapi ia benar-benar harus melawan lima orang sekaligus, Ki Gede Pemanahan, Ki Penjawi, Karebet, Juru Mertani dan Sutawijaya dengan Kiai Pered ditangannya. Nah, karena itulah maka ketiga nyawanya terpaksa dilepaskan”
“Setan belang” umpat Ki Tambak Wedi “Jangan banyak bicara. Sekarang kau harus dienyahkan”
Sumangkar memutar tubuhnya menghadap Ki Tambak Wedi yang memandanginya seolah-olah biji matanya akan meloncat dari kepalanya. Namun Sumangkar masih tetap dalam ketenangan. Ia tahu, bahwa Ki Tambak Wedi adalah seorang yang sakti pilih tanding. Tetapi ia tidak bernafsu untuk mengalahkannya. Ia hanya harus bertahan, sampai Macan Kepatihan menyelesaikan tugasnya. Setelah itu, maka ia akan dapat menghindar bersama-sama dengan Macan Kepatihan. Dan ia mengharap bahwa ia akan mampu melakukannya, bertahan melampaui ketahanan Sidanti melawan Macan Kepatihan.
Karena itu ketika Ki Tambak Wedi memakinya sekali lagi, berkatalah Sumangkar “Kakang, aku sudah siap. Kali ini akupun membawa nyawa tiga rangkap. Ayo mulailah. Kalau kau berhasil membunuh aku satu kali, maka kedua nyawaku yang lain akan mampu mencekik lehermu itu”
Ki Tambak Wedi tidak menjawab. Sekali ia menggeram dan dengan dahsyatnya ia meloncat menerkam Sumangkar. Namun Sumangkar sudah siap. Meskipun ia belum merasa perlu untuk mempergunakan senjata, namun goloknya tidak dapat diletakkannya dan tidak dapat terus disangkutkannya pada ikat pinggangnya karena tidak berwrangka. Karena itu maka sambil menghindar ia berkata “Kakang, sebenarnya aku sama sekali tidak menganggap perlu mempergunakan senjata ini. Namun terpaksa aku harus memeganginya terus supaya senjata ini tidak hilang apabila aku letakkan. Sebab aku sekarang adalah seorang juru masak. Aku perlu golok ini untuk membelah kayu bakar”
Tetapi Sumangkar itu terkejut ketika terasa goloknya menyentuh benda keras ditangan Ki Tambak Wedi. Barulah kini ia sadar. Didalam kedua tangan hantu lereng Merapi itu tergenggam sepasang gelang-gelang besi. Dengan gelang-gelang itu Ki Tambak Wedi menyambar golok Sumangkar. Namun untunglah Sumangkar cepat menyadarinya, sehingga goloknya tidak terloncat dari tangannya. Dengan demikian, maka Sumangkar tidak dapat lagi berkelahi sambil membual. Ia harus benar-benar bertempur dengan segenap kewaspadaan dan kemampuan yang ada padanya.
Maka dalam keremangan cahaya bulan, tampaklah dua lingkaran perkelahian yang semakin lama menjadi semakin sengit. Ki Tambak Wedi yang menjadi amat marah itupun bertempur dengan darah yang seolah-olah menyala membakar seluruh tubuhnya. Sumangkar itu adalah sumber kegagalannya malam ini. Kegagalan atas rencananya. Dan kegagalan itu membuatnya sangat marah. Karena itu, maka Ki Tambak Wedipun segera berusaha untuk menyingkirkan Sumangkar supaya muridnya dapat membunuh Tohpati meskipun ia harus membantunya. Pikirannya yang tiba-tiba saja timbul untuk membunuh Tohpati dan membawa bukti kematian itu ke Pajang, sangat mempengaruhinya. Dengan demikian ia ingin Sidanti akan mendapat kepercayaan melampaui kepercayaannya yang telah didapat Untara, sebab apabila ia berhasil, maka telah membawa bukti kesetiannya, sedang Untara dan Widura yang telah berjuang berbulan-bulan di Sangkal Putung sama sekali tidak mampu menangkap Macan Kepatihan hidup atau mati.
Tetapi Sumangkar ternyata bukan seorang yang bermalas-malasan saja. Ketika lawannya menjadi semakin dahsyat, maka gerakannyapun menjadi semakin tangguh. Ternyata murid kedua dari perguruan Kedung Jati itu tidak mengecewakan. Ketika terasa olehnya bahwa kedua tangan Ki Tambak Wedi seakan-akan terbalut oleh selapis baja, maka Sumangkar tidak lagi segan-segan mempergunakan goloknya. Meskipun golok itu golok pembelah kayu yang tidak setajam pedang Sidanti, namun ditangan Sumangkar senjata itu merupakan senjata yang cukup berbahaya.
Bulan dilangit beredar dengan lambannya. Sepotong-sepotong awan mengalir keutara dihembus angin lembah yang lembut. Betapa dinginnya malam namun keempat orang yang sedang berjuang antara hidup dan mati itu telah basah oleh keringat yang mengalir dari segenap lubang-lubang dipermukaan kulit mereka. Dan ketika tubuh-tubuh mereka telah menjadi basah, maka gerak merekapun menjadi semakin cepat dan semakin lincah.
Sidanti kini benar-benar telah menemukan nilai-nilai baru didalam tata geraknya. Unsur-unsur yang dapat memberinya kekuatan dan kelincahan. Kakinya melontar-lontar dengan cepatnya membawa tubuhnya yang seakan-akan tidak memiliki berat. Seperti seonggok kapuk yang diputar angin pusaran, sekali melenting tinggi, kemudian menukik menyambar dengan sepasang pedang pendeknya.
Tohpati kini terpaksa melawannya dengan sepenuh kemampuannya. Bahkan kadang-kadang ia menjadi bingung melihat gerak Sidanti. Tetapi Macan Kepatihan adalah seorang yang memiliki pengalaman yang sangat luas, sehingga sesaat kemudian ia telah berhasil menemukan keseimbangannya kembali. Meskipun terasa juga, kadang-kadang ujung pedang Sidanti berhasil menggores kulitnya dan meneteskan darahnya, namun kini ia tidak menjadi cemas. Apabila sekali ia mencoba melihat perkelahian antara Ki Tambak Wedi dan Sumangkar, maka terasa olehnya, bahwa keduanyapun mempunyai ilmu yang dapat disejajarkan, sehingga karenanya maka ia tidak perlu memecah perhatiannya, mencemaskan nasib Sumangkar.Demikianlah, mereka berempat telah memeras tenaga masing-masing. Ki Tambak Wedi terpaksa mengakui, bahwa murid kedua perguruan Kedung Jati benar-benar mampu melawannya. Meskipun senjata yang dipergunakan bukanlah senjata ciri perguruan Kedung Jati, namun senjata seadanya itu benar-benar dapat membantu Sumangkar memperpanjang umurnya.
Golok yang kehitam-hitaman ditangannya itu, berputaran, sekali mematuk, sekali menebas menyambar seperti hendak menebang roboh tubuh Ki Tambak Wedi itu. Namun hampir disetiap kesempatan Ki Tambak Wedi dengan beraninya memukul golok lawannya dengan tangannya yang terlindung oleh sepasang gelang baja. Dalam benturan-benturan yang terjadi itu, maka menyalalah bunga api memercik keudara. Setiap kali terjadi benturan, senjata Sumangkar, golok pembelah kayunya mengalami luka dibagian tajamnya, sehingga kemudian mata golok yang memang bukan senjata buatan khusus itu, menjadi semacam mata gergaji. Namun dengan demikian, maka setiap goresan akan mampu menyobek kulit dengan bekas yang tersayat-sayat.
Ki Tambak Wedipun kemudian terpaksa berjuang dengan sengitnya untuk segera mengalahkan Sumangkar. Namun Sumangkar tidak mau menerima keadaan dengan kedua tangan ngapurancang, Tetapi sepasang tangannya berjuang sekuat-kuat tenaganya, tenaga murid kedua perguruan Kedung Jati. Goloknya kadang-kadang menyambar dalam genggaman tangan kanannya, namun kemudian mematuk dalam kelincahan tangan kirinya.
“Demit, tetekan” Ki Tambak Wedi tak habis-habisnya mengumpat. Tetapi lawannya sama sekali tidak takut mendengar umpatan itu, bahkan dengan serunya Sumangkar melawannya tanpa mengenal lelah.
Keduanya adalah orang-orang sakti yang pilih tanding. Keduanya adalah orang-orang tua yang telah hampir merasa dirinya harus beristirahat dan menyerahkan segala persoalan kepada mereka yang masih muda. Namun pada saat-saat terkhir, mereka masih harus melindungi anak-anak muda yang mereka anggap akan dapat meneruskan umur mereka. Ki Tambak Wedi, seorang guru yang terlalu bangga akan muridnya dan terlalu jangkaunya, sedang Sumangkar melihat Tohpati adalah penerus perguruannya, lewat kakak seperguruan. Karena itu maka seandainya anak muda itu lenyap, lenyap pulalah ajaran-ajaran perguruan Kedung Jati yang pernah terkenal karena orang menyangka bahwa murid-murid perguruan Kedung Jati tidak dapat mati, karena memiliki nyawa rangkap. Sedang perguruan lereng Merapi yang terkenal seakan-akan setiap muridnya mampu menangkap angin.
Dipihak lain, Sidanti bertempur dengan sepenuh tekad melawan Macan Kepatihan. Kali ini ia akan menebus kekalahannya pada saat ia berhadapan dengan Macan Kepatihan itu. Seperti juga gurunya, ia benar-benar ingin membunuh Tohpati. Membawa kepalanya ke Pajang dan mengharap hadiah daripadanya, seperti hadiah yang akan diterima oleh mereka yang berhasil membunuh Arya Penangsang, tanah mentaok dan Pati. Kalau ia membunuh Macan Kepatihan, maka setidak-tidaknya ia akan menerima hadiah separo dari mereka yang membunuh Arya Penangsang.
Dengan harapan itu, serta pangkat yang akan melampaui pangkat Untara, maka Sidanti berjuang sekuat-kuat tenaganya.
Namun ternyata Macan Kepatihan tidak menyerahkan lehernya begitu saja. Bahkan semakin lama Tohpati seakan-akan menjadi semakin segar. Tongkatnya menjadi semakin cepat bergerak menyambar-nyambar seperti burung garuda yang bertempur diudara.
Mula-mula Sidanti berbangga dengan kemenangan-kemenangan kecilnya. Ketika sekali dua kali ujung pedangnya mampu meneteskan darah dari tubuh Tohpati. Namun kemudian terasa, bahwa kulitnya pasti menjadi merah biru pula. Setiap sentuhan ujung tongkat Macan Kepatihan yang berbentuk tengkorak itu, seakan-akan benar-benar memecahkan tulangnya. Meskipun ia selalu dapat menghindarkan dirinya dari benturan langsung, atau dengan sepasang senjatanya menghentikan ayunan tongkat lawannya, namun terasa tongkat itu menyengat-nyengat tubuhnya semakin lama semakin sering. Sehingga dengan demikian, maka Sidanti kemudian tidak lagi dapat membanggakan kelebihan-kelebihan yang ada padanya. Betapa ia menjadi semakin lincah disaat-saat terkhir, namun lawannyapun ternyata cukup tangguh untuk mengimbanginya.
Karena itulah maka perkelahian itu semakin lama menjadi semakin seru. Ketika bulan menjadi semakin merendah kegaris cakrawala diujung barat, maka mereka yang bertempur itu semakin ngetok kekuatan. Mereka tidak mau masing-masing menjadi korban dari perkelahian itu, dan mereka masing-masing berusaha untuk mengalahkan lawannya sebelum pasangannya dapat dikalahkan.
Tetapi kemudian, perkelahian itu menjadi terganggu karenanya. Dikejauhan mereka melihat tiga bayangan yang bergerak-gerak dalam keremangan cahaya bulan. Tiga bayangan manusia yang datang mendekat daerah perkelahian itu.
Baik Ki Tambak Wedi maupun Sumangkar bertanya-tanya didalam hati mereka, siapakah mereka, orang-orang yang mendatangi itu. Tohpati dan Sidantipun kemudian melihat mereka pula. Karena itu, maka mereka menjadi berdebar-debar. Tetapi mereka tidak dapat menghentikan perkelahian itu. Perkelahian itu adalah perkelahian antara hidup dan mati. Namun kalau yang datang itu kawan dari salah satu pihak, maka keseimbangan perkelahian itu akan terganggu.
Sesaat Tohpati menggeram keras sekali. Tiba-tiba ia memperketat tekanannya. Ia melihat satu tenaga cadangan yang akan mampu mempercepat penyelesaiannya. Kalau ia mengerahkan tenaganya dan berhasil, maka perkelahian itu akan menjadi semakin cepat selesai. Tetapi kalau tidak, maka akibatnya ia akan menjadi lebih dahulu kelelahan dan mungkin ia akan menjadi korban. Namun ia tidak dapat berbuat lain. Ketiga bayangan yang menjadi semakin dekat itu benar-benar mengganggunya.
Akibatnya terasa pula oleh Sidanti. Serangan Macan Kepatihan menjadi bertambah dahsyat. Sedahsyat angin prahara yang melanda tebing pegunungan, menggetarkan pepohonan dan menggugurkan daun-daunnya. Sekali Sidanti terpaksa meloncat surut, namun Tohpati mengejarnya terus.
Serangan Tohpati itu serasa benar-benar menyusup dari segenap arah, mematuk seluruh bagian tubuhnya. Dengan demikian maka Sidantipun terseret kedalam pencurahan segenap tenaga, segenap kekuatan dan segenap kemampuannya. Namun, meskipun demikian, maka amat sulitlah baginya untuk segera dapat membebaskan diri dari belitan serangan Tohpati yang seperti lesus itu.
Pada saat-saat terakhir, Ki Tambak Wedi sebenarnya telah menemukan segi-segi lawannya. Betapapun saktinya Sumangkar, namun pada orang tua itu masih terdapat beberapa kelemahan. Apalagi ketika pada saat-saat terakhir ia lebih senang tinggal didapur saja, maka nafsunya untuk bertempur tidak sehangat Ki Tambak Wedi lagi. Meskipun Sumangkar mampu mengimbangi hampir setiap usaha Ki Tambak Wedi untuk menembus pertahanannya, namun lambat laun, terasa bahwa Ki Tambak Wedi masih selapis berada diatas Sumangkar.
Tetapi pada saat yang demikian, pada saat Ki Tambak Wedi memperkuat tekanannya untuk segera mengakhiri perkelahian itu, supaya ia sempat memenggal leher Tohpati, maka pada saat yang demikian itu pula, Sidanti terpaksa beberapa kali beringsut surut.
“Gila” desis Ki Tambak Wedi itu “Macan Kepatihan benar-benar berkelahi seperti seekor harimau jantan yang garang”
Dengan menggeram keras sekali ia mencoba mengakhiri perkelahiannya dengan Sumangkar, ketika dengan tangan kirinya ia memukul golok Sumangkar kesamping, dan dengan tangannya yang lain, Ki Tambak Wedi berusaha memecahkan kepala lawannya itu. Namun usahanya masih belum berhasil, Sumangkar masih mampu menggenggam golok itu ditangannya, dan masih mampu melontar kesamping sambil merendahkan dirinya, sehingga tangan Ki Tambak Wedi yang berlapis baja itu terbang beberapa jari dari kepalanya. Sesaat kemudian ketika Ki Tambak Wedi berusaha menerkamnya, maka Sumangkar sudah mampu mempersiapkan dirinya, dan menjulurkan goloknya dimuka dadanya. Bahkan kemudian ketika Ki Tambak Wedi mengurungkan serangannya, Sumangkarlah yang meloncat maju dengan sebuah ayunan pendek.
Namun kembali Ki Tambak Wedi mengumpat didalam hatinya. Kini ia benar-benar melihat muridnya dalam kesulitan. Karena itu maka mau tidak mau ia harus membagi perhatiannya. Namun karena orang tua itu memiliki pengalaman yang bertimbun-timbun didalam perbendaharaan ilmunya, maka segera ia menemukan jalan untuk menyelamatkan muridnya tanpa mengorbankan kehormatannya. Dengan lantang kemudian ia berkata “Ayo, meskipun Macan Kepatihan bukan muridmu Sumangkar, namun ia adalah murid saudara seperguruanmu, sehingga ilmumu berdua bersumber dari perguruan yang sama. Kalau ternyata kau tidak mampu melawan aku seorang diri, marilah, aku beri kesempatan kalian bertempur berpasangan. Muridku pasti akan senang juga melayanimu dengan cara itu”
“Kau licik” sahut Sumangkar “Agaknya kau telah melihat bahwa muridmu telah hampir sampai pada titik ajalnya”
“Persetan, aku sobek mulutmu itu”
“Silakanlah kakang” jawab Sumangkar.
Ki Tambak Wedi menggeretakkan giginya. Namun ia tidak merubah rencana. Langsung ia melepaskan Sumangkar dan berlari kearah Sidanti yang semakin terdesak. Dengan demikian maka Sumangkar tidak dapat berbuat lain daripada berlari pula mengejar Ki Tambak Wedi itu.