Tenaga Agung Sedayu, Swandaru, Hudaya, Sonya dan Patra Cilik yang terlepas dari ikatan kelompok itu benar-benar menguntungkan. Dengan lincahnya mereka segera menempatkan diri mereka masing-masing. Meskipun kelompok yang diperintahkannya belum dapat segera mengikutinya, namun mereka telah mulai dengan tekanan mereka pada sisi induk pasukan.
Karena pasukan Jipang bergerak maju, maka terbukalah sisi dari induk pasukan Jipang itu, sehingga kemudian Hudaya dan Sonya beserta kelompoknya akan merupakan sayap-sayap kecil pada induk pasukannya.
Tohpati melihat perubahan di dalam tata pertempuran pasukan Pajang. Ia melihat bagaimana Untara berusaha menyempurnakan gelar Garuda Nglayang itu menjadi gelar yang lebih barbahaya bagi gelar Dirada Meta. Karena itu, maka Tohpati tidak membiarkan Untara mendapat kesempatan untuk mengatur orang-orangnya. Dengan tangkasnya is meloncat mengejar Untara yang sedanq menarik diri ke dalam laskarnya.
Melihat Tohpati memburunya, Untara menggeram marah. Ternyata senapati Jipang itu benar-benar berbahaya baginya dan bagi pasukannya. Terpksa ia segera menyambut Macan Kepatihan yang seakan-akan menerkamnya. Tongkat baja putih dengan sebuah tengkorak kecil yang berwarna kuning itu benar-benar mengerikan. Tongkat itu terayun-ayun dengan dahsyatnya. Setiap sambarannya selalu diikuti oleh desingan angin yang keras.
Tetapi yang diserangnya adalah anak muda yang bernama Untara, sehingga dengan tangkasnya anak muda itu mampu melayaninya. Dengan pedang di tangannya, Untara merupakan lawan berat bagi Macan Kepatihan yang garang itu. Pedang Untara benar-benar seperti bermata di ujungnya. Pedang itu bahkan seakan-akan dapat menuntun gerak tangan yang menggenggamnya. Menusuk, menyambar dengan sengitnya.
Untunglah bahwa Hudaya bertindak cepat. Meskipun pada mulanya Hudaya dan Agung Sedayu di satu sisi dan di sisi yang lain Swandaru Geni. Sonya dan Patra Cilik yang menekan sisi induk pasukan Jipang, namaun segera terasa akibatnya.
Pasukan Jipang yang bergerak maju, ternyata telah membuat jarak yang lebih panjang dengan sayap-sayap pasukannya yang terpaksa gigih melayani Widura dan Citra Gati. Jarak itulah yang sengaja dikehendaki oleh Untara. Pasukan hudaya dan Sonya sebelah-menyebelah, merupakan penghubung dengan sayap-sayap gelar yang sebenarnya.
Widura mula-mula terkejut melihat induk pasukannya terpaksa melangkah surut. Ia merasakan pula, betapa berat tekanan yang harus ditahan oleh induk pasukan itu. Sehingga mula-mula dengan cemas Widura melihat induk pasukannya yang disangkanya benar-benar akan pecah. Tetapi Widura tidak tinggal diam. Dengan pengalamannya ia segera mengetahui kelemahan induk pasukannya. Widura pun melihat bagaimana anak-anak Sangkal Putung hamper tak berdaya untuk derbuat sesuatu karena medan yang sempit. Ketika ia melihat Hudaya dan Agung Sedayu meloncat dari induk pasukan, dan kemudian membuat sayap tersendiri, Widura itu tersenyum. Ia berbangga melihat kecerdasan Untara. Katanya di dalam hati –Anak itu benar-benar mempunyai kemungkinan yang baik sekali di masa depannya. Pada umurnya yang masih semuda itu, ia mampu mengatasi kesulitan dengan tiba-tiba.
Tetapi Widura tidak hanya sekedar melihat, tersenyum dan berbangga. Ia harus membantu gerakan Untara. Karena itu, ia segera mencoba memperluas gerakannya. Ia sendiri sempat mengatur sayapnya sedemikian hingga ujung sayapnya di bagian dalan segera dapat menghubungkan diri dengan pecahan induk pasukan yang dipimpin oleh Hudaya dan Agung Sedayu.
Tohpati mengumpat-umpat di dalam hati. Kerja sama antara Untara dan Widura ternyata sedemikian baiknya sehingga sisi kiri dari pasukannya mengalami tekanan-tekanan yang perlu mendapat perhatiannya.
Berbeda dengan sayap kiri itu, maka sayap kanan gelar Garuda Nglayang dari pasukan Pajang mengalami sedikit kesulitan. Perhitungan Untara dan Widura ternyata salah. Tohpati tidak menempatkan Sanakeling di sayap kanannya, tetapi justru di sisi kiri, dan Alap-alap Jalatunda di sisi kanan. Karena itulah maka Widura mendapat agak banyak kesempatan untuk mengatur dirinya dan menyesuaikan dengan sebaik-baiknya untuk melawan gelar Dirada Meta yang dahsyat itu.
Tetapi keadaan Citra Gati agaknya terasa betapa beratnya. Sanakeling dengan pedang di tangan kanan dan bindi di tangan kiri, melawan sayap kanan yang dipimpin Citra Gati dengan kemarahan yang menyala-nyala. Sesuai dengan perhitungan Tohpati, maka Sanakeling tidak membawa kekuatan yang besar di sisi gelar itu. Tetapi karena mereka adalah laskar pilihan di bawah pimpinan Sanakeling sendiri, maka Citra Gati tidak segera dapat mengatasinya. Bahkan kemudian Citra Gati sendiri menglami kesulitan melawan Sanakeling yang kasar dan keras. Karena itu, maka dengan terpaksa sekali Citra Gati menarik seorang yang dipercayanya untuk membantunya melawan Sanakeling. Orang itu adalah Sendawa. Mereka berdua mencoba sekuat tenaga mereka untuk menahan arus kemarahan Sanakeling. Tetapi Sanakeling benar-benar merupakan orang yang luar biasa. Keras, kasar, dan liar. Ia dapat berbuat apa saja yang tidak dapat dilakukan oleh orang lain. Dalam keadaan yang demikian itulah maka sayap kanan tidak banyak membantu induk pasukan dalam usaha Untara memperluas medan. Namun Sonyalah yang mencoba memperluas medan dengan menghubungkan laskar Sangkal Putung yang dipimpinnya dengan sayap kanan itu. Dan usaha Sonya itu justru dapat memperingan tugas-tugas di sayap kanan.
Demikan keseimbangan seluruh pertempuran itu menjadi berat sebelah. Citra Gati terpaksa sekali-sekali bergerak surut, sedang Widura beberapa kali berhasil mendesak maju. Dalam hal yang demikian itu, maka gelar Garuda Nglayang yang dibuat Untara itu berkisar ke kanan. Sedang induk pasukannya sendiri kini telah didapatkannya beberapa perbaikan-perbaikan. Arus belalai Dirada Meta itu tidak lagi terasa sedahsyat semula. Anak-anak muda Sangkal Putung, terutama yang berjuang di sisi induk pasukan itu, mendapat kesempatan yang sebaik-baiknya. Mereka kini tidak lagi berjejalan dan mereka kini tidak lagi takut menggerakkan senjata mereka agar tidak menusuk kawan sendiri. Beberapa orang prajurit Pajang yang sengaja ditempatkan di antara mereka, dan beberapa orang bekas prajurit Demak, meskipun sudah agak lanjut usia, benar-benar merupakan inti kekuatan laskar Sangkal Putung. Sedang anak-anak mudanya yang bertekad bulat untuk mempertahankan kampung halamannya, telah berjuang dengan penuh nafsu yang menyala-nyala.
Namun bagaimanapun juga, Untara masih juga prihatin melihat gelarnya terpaksa berkisar karena kekuatan yang tak seimbang.
Untara melihat beberapa kelamahan pada sayap kanannya. Di samping itu, usaha Macan Kepatihan untuk menekan induk pasukannya masih diusahakannya terus-menerus.
Bahkan timbul pula dugaan di dalam hatinya –Apakah Sumangkar yang garang itu berada di sayap kiri laskar Jipang dalam bentuk seperti seorang prajurit biasa? Bukankah dengan demikian berarti, korban di pihak Citra Gati akan berjatuhan tanpa hitungan. Namun mudah-mudahan bahwa Sumangkar tidak berbuat demikian. Sebab Untara yakin, ia seorang yang jantan.
Ketika kemudian pasukan Sangkal Putung di bawah pimpinan Sonya, Citra Gati dan gegeduk anak-anak muda Sangkal Putung sendiri Swandaru Geni telah berada di sisi kanan, dan berusaha membantu sayap itu dengan melepaskan sebagian kepentingannya di sisi induk pasukan, maka terasa pasukan Citra Gati mampu sedikit bernafas. Tetapi Citra Gati sendiri berada dalam keadaan yang sangat sulit. Meskipun ia bertempur berpasangan dengan Sendawa yang bertubuh raksasa, namun Sanakeling benar-benar seperti setan. Sepasang senjatanya benar-benar mengerikan, hampir sedahsyat tongkat baja putih Tohpati itu sendiri.
Demikianlah maka arena pertempuran itu bertambah riuh. Suara pedang gemerincing beradu dengan perisai, derak tombak patah dan pekik jerit kesakitan. Korban jatuh satu demi satu, ditandai oleh darah merah yang segar memancar dari tubuh-tubuh yang terluka.
Sementara itu matahari memanjat langit semakin lama semakin tinggi. Angin yang kencang masih saja bertiup di antara batang-batang ilalang. Mendung di langit kini telah pecah berserakan. Langit menjadi biru cerah. Namun di sudut-sudut cakrawala masih tampak menggantung awan yang basah. Seperti mata gadis yang melihat kekasihnya berjuang di medan perang.
Anak-anak muda Sangkal Putung bukanlah prajurit-prajurit yang berpengalaman seperti prajurit Pajang dan prajurit Jipang. Ketika matahari menjadi semakin tinggi, maka keringat mereka seakan-akan telah terperas habis. Mereka telah memeras tenaga mereka seperti singa yang terluka. Namun mereka kurang memperhitungkan waktu. Berapa lama mereka harus bertempur melawan pasukan Jipang yang tangguh itu. Belum tentu tengah hari pertempuran itu selesai. Bahkan belum pasti sehari ini akan dapat segera dikatahui siapakah yang kalah dan siapakah yang menang. Mungkin mereka harus berjuang sehari, dua hari, bahkan mungkin lebih daripada itu dalam pertempuran gelar yang terbuka. Tidak seperti pertempuran-pertempuran hantu-hantuan yang pernah mereka lakukan sebelumnya.
Untara menyadari kemungkinan itu. Dan untunglah bahwa pengalamannya telah mengatakan kepadanya, bahwa hal itu akan terjadi. Karena itu, betapapun beratnya tekanan-tekanan pasukan Jipang, namun Untara masih tetap menyimpan tenaga cadangan. Hanya apabila keadaannya benar-benar parah, barulah tenaga cadangan itu harus membantu mereka. Namun karena tenaga cadangan itupun telah dipersiapkan benar-benar, maka Untara pun masih tenang menghadapi pasukan Jipang yang garang.
Namun semakin lama semakin terasa, betapa tenaga anak-anak muda Sangkal Putung menjadi semakin susut. Meskipun tekad mereka sama sekali tidak surut, tetapi tenaga mereka adalah tenaga yang terbatas. Kemampuan mereka bertempur dan kesanggupan mereka bertahan semakin lama menjadi semakin berkurang.
Macan Kepatihan yang cerdik segera melihat kelemahan itu. Ia tersenyum di dalam hati. Sesaat apabila matahari telah melampaui titik pusatnya, maka laskar Sangkal Putung benar-benar akan kehilangan sebagian besar dari tenaganya. Dengan demikian maka melawan mereka akan sama mudahnya dengan membinasakan kelinci sakit-sakitan. Maka nafsunyapun menjadi semakin menyala. Dengan sebuah teriakan yang nyaring ia mendesak maju. Namun lawan pribadinya bukanlah anak muda Sangkal Putung yang sudah kelelahan. Lawannya kali ini adalah Untara, yang justru ketika ia mendengar Macan Kepatihan itu berteriak, maka ia semakin mempercepat pedangnya. Semakin lama semakin cepat, melampaui kecepatan tongkat baja putih yang mengerikan itu.
Tetapi Untara pun menyadari, bahwa ia sendiri akan mampu melawan musuhnya yang berbahaya itu, tetapi bagaimana dengan anak buahnya terutama anak-anak muda Sangkal Putung? Bukan saja Untara, tetapi prajurit-prajurit Pajang yang bertempur di antara anak-anak muda Sangkal Putung itupun ikut merasakan, seakan-akan pekerjaan mereka menjadi semakin berat. Apalagi Hudaya, Agung Sedayu di satu sisi dan Sonya, Patra Cilik dan Swandaru Geni sendiri di lain sisi. Di antara mereka, hanya para prajurit Pajang dan orang-orang Sangkal Putung bekas prajurit sajalah yang masih dapat bertempur dalam tataran yang tetap. Tetapi anak-anak muda Sangkal Putung itu sendiri telah menjadi kelelahan.
Dalam keadaan yang demikian, Untara segera bersuit nyaring, sebagai suatu perintah sandi yang sudah dipesankannya kepada para penghubung. Perintah itu telah mendorong dua orang penghubung untuk meninggalkan pertempuran. Beberapa orang kawannya segera melindunginya ketika orang-orang Jipang mencegah mereka itu.
Kedua orang itupun segera berlari dengan sisa tenaga mereka. Tetapi mereka tidak harus berlari sampai ke Sangkal Putung. Di tempat yang ditentukan segera membunyikan tanda yang segera disaut oleh gardu pertama. Demikian tanda itu menjalar sehingga akhirnya didengar oleh pasukan cadangan yang hampir kehilangan kesabaran. Mendengar tanda itu segera mereka bersorak, dan dengan cepat mereka menempatkan diri dalam satu barisan yang dengan tergesa-gesa berangkat ke garis pertempuran.
Sementara itu, jauh di belakang garis pertempuran, seorang yang telah jauh melampaui pertengahan abad, berdiri sambil menatap langit. Sekali-kali ia berpaling, memandangi api yang menjilat-jilat, memanasi belanga tempatnya memasak. Sekali-sekali ia menarik nafas dalam-dalam. Kemudian dipandanginya dua tiga kawannya yang sedang sibuk menyiapkan makan untuk kawan-kawan mereka nanti apabila pertempuran telah selesai.
Tetapi mereka masih terlalu cepat untuk menyediakan makan itu. Kawan-kawan mereka baru akan datang setelah matahari tenggelam. Namun dalam keadaan yang khusus keadaannya pasti berbeda. Kalau kawan-kawan mereka menang, maka mereka pasti tidak akan datang ke tempat ini, tidak akan pula tinggal di tempat ini. Mereka pasti hanya menyuruh beberapa orang datang untuk mengambil makanan itu. Tetapi kalau mereka kalah, mereka pasti datang lebih cepat, dengan beberapa orang yang luka-luka dan bahkan mungkin beberapa orang akan mati karenanya. Bukan lagi suatu kemungkinan, tetapi pasti.