Api di Bukit Menoreh seri 1 - 11

Tenaga Agung Sedayu, Swandaru, Hudaya, Sonya dan Patra Cilik yang terlepas dari ikatan kelompok itu benar-benar menguntungkan. Dengan lincahnya mereka segera menempatkan diri mereka masing-masing. Meskipun kelompok yang diperintahkannya belum dapat segera mengikutinya, namun mereka telah mulai dengan tekanan mereka pada sisi induk pasukan.

Karena pasukan Jipang bergerak maju, maka terbukalah sisi dari induk pasukan Jipang itu, sehingga kemudian Hudaya dan Sonya beserta kelompoknya akan merupakan sayap-sayap kecil pada induk pasukannya.

Tohpati melihat perubahan di dalam tata pertempuran pasukan Pajang. Ia melihat bagaimana Untara berusaha menyempurnakan gelar Garuda Nglayang itu menjadi gelar yang lebih barbahaya bagi gelar Dirada Meta. Karena itu, maka Tohpati tidak membiarkan Untara mendapat kesempatan untuk mengatur orang-orangnya. Dengan tangkasnya is meloncat mengejar Untara yang sedanq menarik diri ke dalam laskarnya.

Melihat Tohpati memburunya, Untara menggeram marah. Ternyata senapati Jipang itu benar-benar berbahaya baginya dan bagi pasukannya. Terpksa ia segera menyambut Macan Kepatihan yang seakan-akan menerkamnya. Tongkat baja putih dengan sebuah tengkorak kecil yang berwarna kuning itu benar-benar mengerikan. Tongkat itu terayun-ayun dengan dahsyatnya. Setiap sambarannya selalu diikuti oleh desingan angin yang keras.

Tetapi yang diserangnya adalah anak muda yang bernama Untara, sehingga dengan tangkasnya anak muda itu mampu melayaninya. Dengan pedang di tangannya, Untara merupakan lawan berat bagi Macan Kepatihan yang garang itu. Pedang Untara benar-benar seperti bermata di ujungnya. Pedang itu bahkan seakan-akan dapat menuntun gerak tangan yang menggenggamnya. Menusuk, menyambar dengan sengitnya.

Untunglah bahwa Hudaya bertindak cepat. Meskipun pada mulanya Hudaya dan Agung Sedayu di satu sisi dan di sisi yang lain Swandaru Geni. Sonya dan Patra Cilik yang menekan sisi induk pasukan Jipang, namaun segera terasa akibatnya.

Pasukan Jipang yang bergerak maju, ternyata telah membuat jarak yang lebih panjang dengan sayap-sayap pasukannya yang terpaksa gigih melayani Widura dan Citra Gati. Jarak itulah yang sengaja dikehendaki oleh Untara. Pasukan hudaya dan Sonya sebelah-menyebelah, merupakan penghubung dengan sayap-sayap gelar yang sebenarnya.

Widura mula-mula terkejut melihat induk pasukannya terpaksa melangkah surut. Ia merasakan pula, betapa berat tekanan yang harus ditahan oleh induk pasukan itu. Sehingga mula-mula dengan cemas Widura melihat induk pasukannya yang disangkanya benar-benar akan pecah. Tetapi Widura tidak tinggal diam. Dengan pengalamannya ia segera mengetahui kelemahan induk pasukannya. Widura pun melihat bagaimana anak-anak Sangkal Putung hamper tak berdaya untuk derbuat sesuatu karena medan yang sempit. Ketika ia melihat Hudaya dan Agung Sedayu meloncat dari induk pasukan, dan kemudian membuat sayap tersendiri, Widura itu tersenyum. Ia berbangga melihat kecerdasan Untara. Katanya di dalam hati –Anak itu benar-benar mempunyai kemungkinan yang baik sekali di masa depannya. Pada umurnya yang masih semuda itu, ia mampu mengatasi kesulitan dengan tiba-tiba.

Tetapi Widura tidak hanya sekedar melihat, tersenyum dan berbangga. Ia harus membantu gerakan Untara. Karena itu, ia segera mencoba memperluas gerakannya. Ia sendiri sempat mengatur sayapnya sedemikian hingga ujung sayapnya di bagian dalan segera dapat menghubungkan diri dengan pecahan induk pasukan yang dipimpin oleh Hudaya dan Agung Sedayu.

Tohpati mengumpat-umpat di dalam hati. Kerja sama antara Untara dan Widura ternyata sedemikian baiknya sehingga sisi kiri dari pasukannya mengalami tekanan-tekanan yang perlu mendapat perhatiannya.

Berbeda dengan sayap kiri itu, maka sayap kanan gelar Garuda Nglayang dari pasukan Pajang mengalami sedikit kesulitan. Perhitungan Untara dan Widura ternyata salah. Tohpati tidak menempatkan Sanakeling di sayap kanannya, tetapi justru di sisi kiri, dan Alap-alap Jalatunda di sisi kanan. Karena itulah maka Widura mendapat agak banyak kesempatan untuk mengatur dirinya dan menyesuaikan dengan sebaik-baiknya untuk melawan gelar Dirada Meta yang dahsyat itu.

Tetapi keadaan Citra Gati agaknya terasa betapa beratnya. Sanakeling dengan pedang di tangan kanan dan bindi di tangan kiri, melawan sayap kanan yang dipimpin Citra Gati dengan kemarahan yang menyala-nyala. Sesuai dengan perhitungan Tohpati, maka Sanakeling tidak membawa kekuatan yang besar di sisi gelar itu. Tetapi karena mereka adalah laskar pilihan di bawah pimpinan Sanakeling sendiri, maka Citra Gati tidak segera dapat mengatasinya. Bahkan kemudian Citra Gati sendiri menglami kesulitan melawan Sanakeling yang kasar dan keras. Karena itu, maka dengan terpaksa sekali Citra Gati menarik seorang yang dipercayanya untuk membantunya melawan Sanakeling. Orang itu adalah Sendawa. Mereka berdua mencoba sekuat tenaga mereka untuk menahan arus kemarahan Sanakeling. Tetapi Sanakeling benar-benar merupakan orang yang luar biasa. Keras, kasar, dan liar. Ia dapat berbuat apa saja yang tidak dapat dilakukan oleh orang lain. Dalam keadaan yang demikian itulah maka sayap kanan tidak banyak membantu induk pasukan dalam usaha Untara memperluas medan. Namun Sonyalah yang mencoba memperluas medan dengan menghubungkan laskar Sangkal Putung yang dipimpinnya dengan sayap kanan itu. Dan usaha Sonya itu justru dapat memperingan tugas-tugas di sayap kanan.

Demikan keseimbangan seluruh pertempuran itu menjadi berat sebelah. Citra Gati terpaksa sekali-sekali bergerak surut, sedang Widura beberapa kali berhasil mendesak maju. Dalam hal yang demikian itu, maka gelar Garuda Nglayang yang dibuat Untara itu berkisar ke kanan. Sedang induk pasukannya sendiri kini telah didapatkannya beberapa perbaikan-perbaikan. Arus belalai Dirada Meta itu tidak lagi terasa sedahsyat semula. Anak-anak muda Sangkal Putung, terutama yang berjuang di sisi induk pasukan itu, mendapat kesempatan yang sebaik-baiknya. Mereka kini tidak lagi berjejalan dan mereka kini tidak lagi takut menggerakkan senjata mereka agar tidak menusuk kawan sendiri. Beberapa orang prajurit Pajang yang sengaja ditempatkan di antara mereka, dan beberapa orang bekas prajurit Demak, meskipun sudah agak lanjut usia, benar-benar merupakan inti kekuatan laskar Sangkal Putung. Sedang anak-anak mudanya yang bertekad bulat untuk mempertahankan kampung halamannya, telah berjuang dengan penuh nafsu yang menyala-nyala.

Namun bagaimanapun juga, Untara masih juga prihatin melihat gelarnya terpaksa berkisar karena kekuatan yang tak seimbang.

Untara melihat beberapa kelamahan pada sayap kanannya. Di samping itu, usaha Macan Kepatihan untuk menekan induk pasukannya masih diusahakannya terus-menerus.

Bahkan timbul pula dugaan di dalam hatinya –Apakah Sumangkar yang garang itu berada di sayap kiri laskar Jipang dalam bentuk seperti seorang prajurit biasa? Bukankah dengan demikian berarti, korban di pihak Citra Gati akan berjatuhan tanpa hitungan. Namun mudah-mudahan bahwa Sumangkar tidak berbuat demikian. Sebab Untara yakin, ia seorang yang jantan.

Ketika kemudian pasukan Sangkal Putung di bawah pimpinan Sonya, Citra Gati dan gegeduk anak-anak muda Sangkal Putung sendiri Swandaru Geni telah berada di sisi kanan, dan berusaha membantu sayap itu dengan melepaskan sebagian kepentingannya di sisi induk pasukan, maka terasa pasukan Citra Gati mampu sedikit bernafas. Tetapi Citra Gati sendiri berada dalam keadaan yang sangat sulit. Meskipun ia bertempur berpasangan dengan Sendawa yang bertubuh raksasa, namun Sanakeling benar-benar seperti setan. Sepasang senjatanya benar-benar mengerikan, hampir sedahsyat tongkat baja putih Tohpati itu sendiri.

Demikianlah maka arena pertempuran itu bertambah riuh. Suara pedang gemerincing beradu dengan perisai, derak tombak patah dan pekik jerit kesakitan. Korban jatuh satu demi satu, ditandai oleh darah merah yang segar memancar dari tubuh-tubuh yang terluka.

Sementara itu matahari memanjat langit semakin lama semakin tinggi. Angin yang kencang masih saja bertiup di antara batang-batang ilalang. Mendung di langit kini telah pecah berserakan. Langit menjadi biru cerah. Namun di sudut-sudut cakrawala masih tampak menggantung awan yang basah. Seperti mata gadis yang melihat kekasihnya berjuang di medan perang.

Anak-anak muda Sangkal Putung bukanlah prajurit-prajurit yang berpengalaman seperti prajurit Pajang dan prajurit Jipang. Ketika matahari menjadi semakin tinggi, maka keringat mereka seakan-akan telah terperas habis. Mereka telah memeras tenaga mereka seperti singa yang terluka. Namun mereka kurang memperhitungkan waktu. Berapa lama mereka harus bertempur melawan pasukan Jipang yang tangguh itu. Belum tentu tengah hari pertempuran itu selesai. Bahkan belum pasti sehari ini akan dapat segera dikatahui siapakah yang kalah dan siapakah yang menang. Mungkin mereka harus berjuang sehari, dua hari, bahkan mungkin lebih daripada itu dalam pertempuran gelar yang terbuka. Tidak seperti pertempuran-pertempuran hantu-hantuan yang pernah mereka lakukan sebelumnya.

Untara menyadari kemungkinan itu. Dan untunglah bahwa pengalamannya telah mengatakan kepadanya, bahwa hal itu akan terjadi. Karena itu, betapapun beratnya tekanan-tekanan pasukan Jipang, namun Untara masih tetap menyimpan tenaga cadangan. Hanya apabila keadaannya benar-benar parah, barulah tenaga cadangan itu harus membantu mereka. Namun karena tenaga cadangan itupun telah dipersiapkan benar-benar, maka Untara pun masih tenang menghadapi pasukan Jipang yang garang.

Namun semakin lama semakin terasa, betapa tenaga anak-anak muda Sangkal Putung menjadi semakin susut. Meskipun tekad mereka sama sekali tidak surut, tetapi tenaga mereka adalah tenaga yang terbatas. Kemampuan mereka bertempur dan kesanggupan mereka bertahan semakin lama menjadi semakin berkurang.

Macan Kepatihan yang cerdik segera melihat kelemahan itu. Ia tersenyum di dalam hati. Sesaat apabila matahari telah melampaui titik pusatnya, maka laskar Sangkal Putung benar-benar akan kehilangan sebagian besar dari tenaganya. Dengan demikian maka melawan mereka akan sama mudahnya dengan membinasakan kelinci sakit-sakitan. Maka nafsunyapun menjadi semakin menyala. Dengan sebuah teriakan yang nyaring ia mendesak maju. Namun lawan pribadinya bukanlah anak muda Sangkal Putung yang sudah kelelahan. Lawannya kali ini adalah Untara, yang justru ketika ia mendengar Macan Kepatihan itu berteriak, maka ia semakin mempercepat pedangnya. Semakin lama semakin cepat, melampaui kecepatan tongkat baja putih yang mengerikan itu.

Tetapi Untara pun menyadari, bahwa ia sendiri akan mampu melawan musuhnya yang berbahaya itu, tetapi bagaimana dengan anak buahnya terutama anak-anak muda Sangkal Putung? Bukan saja Untara, tetapi prajurit-prajurit Pajang yang bertempur di antara anak-anak muda Sangkal Putung itupun ikut merasakan, seakan-akan pekerjaan mereka menjadi semakin berat. Apalagi Hudaya, Agung Sedayu di satu sisi dan Sonya, Patra Cilik dan Swandaru Geni sendiri di lain sisi. Di antara mereka, hanya para prajurit Pajang dan orang-orang Sangkal Putung bekas prajurit sajalah yang masih dapat bertempur dalam tataran yang tetap. Tetapi anak-anak muda Sangkal Putung itu sendiri telah menjadi kelelahan.

Dalam keadaan yang demikian, Untara segera bersuit nyaring, sebagai suatu perintah sandi yang sudah dipesankannya kepada para penghubung. Perintah itu telah mendorong dua orang penghubung untuk meninggalkan pertempuran. Beberapa orang kawannya segera melindunginya ketika orang-orang Jipang mencegah mereka itu.

Kedua orang itupun segera berlari dengan sisa tenaga mereka. Tetapi mereka tidak harus berlari sampai ke Sangkal Putung. Di tempat yang ditentukan segera membunyikan tanda yang segera disaut oleh gardu pertama. Demikian tanda itu menjalar sehingga akhirnya didengar oleh pasukan cadangan yang hampir kehilangan kesabaran. Mendengar tanda itu segera mereka bersorak, dan dengan cepat mereka menempatkan diri dalam satu barisan yang dengan tergesa-gesa berangkat ke garis pertempuran.

Sementara itu, jauh di belakang garis pertempuran, seorang yang telah jauh melampaui pertengahan abad, berdiri sambil menatap langit. Sekali-kali ia berpaling, memandangi api yang menjilat-jilat, memanasi belanga tempatnya memasak. Sekali-sekali ia menarik nafas dalam-dalam. Kemudian dipandanginya dua tiga kawannya yang sedang sibuk menyiapkan makan untuk kawan-kawan mereka nanti apabila pertempuran telah selesai.

Tetapi mereka masih terlalu cepat untuk menyediakan makan itu. Kawan-kawan mereka baru akan datang setelah matahari tenggelam. Namun dalam keadaan yang khusus keadaannya pasti berbeda. Kalau kawan-kawan mereka menang, maka mereka pasti tidak akan datang ke tempat ini, tidak akan pula tinggal di tempat ini. Mereka pasti hanya menyuruh beberapa orang datang untuk mengambil makanan itu. Tetapi kalau mereka kalah, mereka pasti datang lebih cepat, dengan beberapa orang yang luka-luka dan bahkan mungkin beberapa orang akan mati karenanya. Bukan lagi suatu kemungkinan, tetapi pasti.

Orang itu menarik nafas dalam-dalam. Kemudian dengan gelisahnya ia berjalan hilir mudik di dalam hutan, di antara gubug-gubug ilalang tempat pasukannya berkemah.

“Aneh,” desisnya. “Angger Tohpati kali ini memang aneh.”

Orang tua itu berhenti ketika seseorang memanggilnya. “Ki Sumangkar, bagaimana dengan daging rusa itu?”

Sumangkar mengerutkan keningnya. Jawabnya, “Sudah aku katakan. Pangganglah. Kemudian sediakan rusa itu untuk Angger Tohpati.”

“Untuk Raden Tohpati seorang diri?”

“Biarlah kalau akan habis dimakannya,” jawab Sumangkar. “Kalau tidak, biarlah beberapa orang pemimpin membantunya, menghabiskan daging itu. Untuk anak-anak yang lain, bukankah kalian sudah menyembelih kerbau liar?”

Orang yang bertanya itu terdiam. Tetapi terdengar seorang lain yang bertubuh kekar berkata lantang, “Biarlah orang tua itu mengerjakannya.”

Sumangkar mengerutkan keningnya, tetapi ia mendengar orang yang bertubuh kekar itu meneruskan, “Ayo, kaupun harus bekerja seperti kami. Kau jangan berjalan saja mondar-mandir.”

Sumangkar memandang orang itu. Orang yang bertubuh kekar itu. Ia melihat beberapa cacat tubuhnya. Jari-jari tangan kirinya tidak lagi genap. Tiga di antaranya terpotong dalam pertempuran. Sebuah goresan melintang menghias dadanya, dan di pelipisnya tampak bekas luka pula.

“Aku bukan lagi mondar-mandir saja Tundun. Tetapi aku lagi menanak nasi di belanga itu.”

Tundun, orang yang besar kekar itu mengerutkan keningnya, jawabnya, “Tetapi menanak nasi tidak terus-menerus harus kau tunggui. Bukankah kau dapat melakukan pekerjaan yang lain sambil menunggu nasi itu masak.”

“Ah,” desah Sumangkar. “Biarlah kita mengerjakan pekerjaan ini di antara kita.”

“Aku mendapat tugas untuk mengawasi dan menjaga perkemahan ini,” jawabnya lantang.

Sumangkar masih berdiri di tempatnya. Dilihatnya kemudian Tundun menghampirinya dengan mata yang memandanginya tajam-tajam. “Ayo lakukan!” bentaknya.

“Jangan takut bahwa kami akan terlambat,” sahut Sumangkar.

Tetapi orang itu membentak sekali lagi. “Jangan membantah. Kalau tak kau lakukan perintahku, aku robek mulutmu, tua bangka.”

Sumangkar menarik nafas dalam-dalam. Ditatapnya sekali lagi mata orang itu. Mata itu menjadi semakin tajam memandanginya. Sumangkar tersenyum di dalam hati. Tetapi ia menundukkan kepalanya. Perlahan-lahan ia berjalan kembali ke tempat kawan-kawannya bekerja.

Ketika ia kemudian membungkukkan badannya meraba tubuh rusa yang menggeletak di samping perapian, maka terdengar kawannya yang pertama-tama bertanya kepadanya itu berbisik, “Sudahlah. Biarlah nanti aku kerjakan.”

Sumangkar berpaling. Dilihatnya kawannya itu. Seorang yang bertubuh kecil. Jawabnya, “Biarlah, biarlah aku lakukan perintah Tundun itu.”

“Kau sudah terlalu tua untuk bekerja terlalu banyak,” katanya. “Aku menyesal menanyakannya kepadamu, sehingga Tundun membentak-bentakmu.”

Sumangkar menepuk bahu orang yang bertubuh kecil itu. Kini ia benar-benar tersenyum. “Biarlah Bajang, biarlah aku mengerjakannya.”

Orang bertubuh kecil dan mendapat panggilan Bajang itu masih juga berkata, “Sudahlah Sumangkar. Duduk sajalah di samping rusa itu. Tundun akan menyangka bahwa kau sudah bekerja untuk melakukan perintahnya. Nanti kalau aku sudah selesai dengan pekerjaan ini, biarlah aku mengerjakannya.”

Tetapi Sumangkar menyentuh tubuh rusa itu, dan kemudian mengerjakannya dengan cekatan. Memang orang tua itu mempunyai keahlian sebagai juru masak yang baik. Tetapi beberapa orang menganggapnya, meskipun ia juru masak yang baik, namun ia agak terlalu malas. Tetapi Bajang menganggap lain. Sumangkar sudah terlalu tua. Bukan semata-mata karena malas.

Dalam mengerjakan pekerjaan itu, pkiran Sumangkar tidak dapat lepas dari murid saudara tua seperguruannya. Tohpati, yang hari ini terasa sangat aneh. Ia melihat betapa persiapan Tohpati itu melampaui kebiasaan yang dilakukannya. Kali ini Macan Kepatihan itu terlalu teliti. Perintahnya menentukan semuanya, dan Sumangkar melihat perintah itu sedemikian rapinya, sehingga ia seakan-akan melihat gelar Dirada Meta yang perkasa benar-benar akan melanda Sangkal Putung. Tetapi Sumangkar menyadari pula, bahwa di Sangkal Putung ada Untara dan Widura. Kedua orang itu benar-benar telah mengagumkannya pula.

Tetapi yang terlebih aneh lagi bagi Sumangkar adalah percakapannya sendiri dengan Macan Kepatihan itu. Ketika pasukan Tohpati itu telah benar-benar dipersiapkan, maka tiba-tiba Sumangkar ingin melihat, apakah yang akan terjadi di medan pertempuran. Ia melihat perbedaan-perbedaan pada sikap dan perbuatan Tohpati menjelang keberangkatan laskarnya.

Tetapi Tohpati itu berkata, “Tidak Paman. Paman tinggal di perkemahan ini. Paman sudah cukup lama mengalami masa-masa yang pahit. Sekarang biarlah Paman beristirahat. Biarlah pekerjaan ini dilakukan oleh yang muda-muda.”

Tohpati benar-benar berbeda dari kebiasaannya. Ketika Macan Kepatihan itu kemudian bermohon diri kepadanya maka katanya, “Paman, kali ini bagiku adalah kali yang terakhir. Hanya ada dua kemungkinan bagiku kali ini. Menang atau kalah. Supaya peperangan ini tidak menjadi semakin berlarut-larut.”

“Apakah maksudmu Raden,” Sumangkar mencoba bertanya.

Tohpati menggelengkan kepalanya. Dan Sumangkar ditinggalkannya. Beberapa langkah kemudian Tohpati itu berpaling, seolah-olah ia ingin mengatakan seseuatu, tetapi tidak jadi.

“Apakah ada yang akan Angger katakan,” Sumangkar mencoba bertanya.

“Tidak Paman. Tidak ada yang akan aku katakan.”

Tohpati kemudian pergi. Pergi ke gubugnya. Sampai kemudian pasukannya berangkat. Sumangkar tidak bercakap-cakap lagi dengan Macan Kepatihan itu. Ia hanya melihat Tohpati berdiri di muka pasukannya dengan tanda-tanda kebesaran sepenuhnya. Bukan sekedar tanda-tanda kebesaran dari suatu susunan kesatuan, tetapi benar-benar tanda-tanda kebesaran Jipang selengkapnya.

Kali ini Sumangkar melepaskan Tohpati dengan hati yang risau. Aneh. Seperti melepaskan anak-anak menyeberangi sungai yang lagi banjir.

Tetapi Sumangkar itu terkejut ketika tiba-tiba ia merasa punggungnya didorong seseorang. Karena Sumangkar itu sama sekali tidak menyangka, maka hampir-hampir ia jatuh terjerambab. Ketika ia berpaling, dilihatnya Tundun berdiri di belakangnya. “Jangan termenung. Aku bilang kerjakan rusa itu.”

“Ya. Ya Tundun,” jawab Sumangkar cepat-cepat.

“Tetapi kalau aku pergi, kembali kau duduk saja termenung. Kau benar-benar malas. Kalau Macan Kepatihan mengetahui kemalasannmu lehermu itu pasti akan dipatahkannya.”

“Ya, Tundun maksudku ……”

“Diam!” bentak Tundun. “Aku mau kau bekerja, tidak menjawab setiap kata-kataku.”

Sumangkar tidak menjawab. Ternyata ketika kenangannya terbang mengikuti Tohpati, tangannya berhenti bekerja.

“Sudahlah Tundun,” tiba-tiba Bajang menyahut, “biarlah orang tua itu bekerja menurut kekuatan tenaganya. Jangan dipaksa. Ia telah terlalu lemah.”

Tndun berpaling. Dipandanginya Bajang dengan matanya yang tajam. Kemudian terdengar ia membentak, “Jangan turut campur Bajang. Aku tahu apa yang harus aku kerjakan.”

“Tetapi keu terlalu kasar, Tundun.”

“He!” teriak Tundun. “Kau berani membantah, dan mengatakan aku terlalu kasar?”

“Aku mengatakan sebenarnya.”

“Gila kau Bajang, apa aku harus menampar mulutmu?”

“Aku tidak mau kau perlakukan kasar.”

Tundun benar-benar menjadi marah. Tiba-tiba kakinya terayun deras sekali ke arah Bajang berjongkok di samping Sumangkar. Tetapi ternyata Bajang pun cekatan. Segera ia meloncat menghindari kaki Tundun. Bahkan kemudian Bajang telah berdiri tegak. Di tangannya masih tergenggam sebilah pisau yang tajam berkilat-kilat.

“Kau berani melawan aku Bajang?” suara Tundun gemetar karena marahnya.

“Kau sangka bahwa karena tubuhmu yang cacat karena ciri-ciri peperangan itu kau ditakuti orang, Tundun. Bajang adalah seorang prajurit pula. Aku menyesal telah dilemparkan di dapur yang kotor dan memuakkan ini. Ayo, kalu kau ingin melihat, apakah Bajang juga mampu berkelahi.”

Tundun hampir-hampir tidak mampu menahan diri lagi. Tetapi ketika mereka hampir bertempur, maka segera Sumangkar berkata, “Jangan bertengkar. Kalau kalian bertengkar, maka kalian akan mempercepat kebinasaan kita sendiri.”

Tetapi Tundun dan Bajang tidak mendengarnya. Masing-masing kemudian setapak maju lagi. Namun tiba-tiba mereka terkejut ketika di kejauhan mereka mendengar suara ribut. “Siapa itu he, siapa itu?”

Disusul dengan suara tawa nyaring. Kemudian terdengar teriakan di kejauhan. “Aku datang dengan dada terbuka. Ayo. Siapa yang berada di perkemahan ini?”

“Jangan membunuh diri,” terdengar jawaban.

Tundun dan Bajang terpaksa menghentikan permusuhan yang hampir-hampir meledak itu. Dengan marahnya Tundun menggeram, “Tunggu Bajang, akan datang saatnya kepalamu terkelupas.”

Bajang pun tidak kalah marahnya. Meskipun ia bertubuh kecil tetapi ternyata ia lincah bukan kepalang. Dengan beraninya ia menjawab, “Asal kau datang dari depan saja,Tundun. Jangan memperkecil arti Bajang yang kecil ini.”

Kemarahan Tundun tiba-tiba terungkat semakin tajam. Tetapi di kejauhan terdengar pula suara nyaring. “Ayo. Siapa yang bertugas menunggu kemah ini.”

Dada Tundun tergetar mendengar suara itu. Suara itupun seakan-akan menantangnya. Sebab ialah yang bertugas memimpin beberapa orang untuk menunggui kemah ini.
Karena itu, maka segera Tundun berlari ke arah suara itu. Sesaat ia melupakan Bajang dan Sumangkar. Namun Bajang pun mendengar pula suara di kejauhan. Dan iapun ingin melihat siapakah yang dengan beraninya mendatangi perkemahannya. Perlahan-lahan iapun melangkah ke arah Tundun menghilang di belakang belukar, dan Sumangkar pun menyusul pula di belakang mereka.

Di kejauhan kemudian Tundun melihat dua anak buahnya yang bertugas di sisi Utara berdiri tegang menatap ke balakang gerumbul.

“Ayo, kemarilah,” berkata salah seorang penjaga itu, “apakah kau bernyawa rangkap?”

Tiba-tiba sekali lagi terdengar suara tertawa itu. Dan tiba-tiba muncullah dari balik gerumbul seorang anak muda yang lincah sekali. Sambil tertawa ia berdiri bertolak pinggang. Kemuadian katanya, “He, apakah laskar Tohpati tidak berangkat seluruhnya?”

Tundun terkejut bukan buatan melihat anak muda itu. Anak muda itu pernah dilihatnya di medan peperangan ketika ia ikut mencoba merebut Sangkal Putung. Tetapi ia kurang yakin.

Karena itu maka tubuhnya segera menjadi gemetar. Gemetar karena marah. Namun juga gemetar karena cemas.

Sekali lagi Tundun melihat orang itu tertawa sambil bertolak pinggang. Sambil menunjuk kepadanya ia berkata, “Ha. Itu datang satu lagi. Ayo. Kumpulkan semua kawan-kawanmu yang tinggal. Lima puluh atau sepuluh orang?”

Tundun memandang kedua kawannya yang lebih dahulu melihat orang yang bertolak pinggang itu. Kemudia ia berpaling, dan dilihatnya di belakangnya. Punggungnya terasa berdesir, sebab Bajang masih menggenggem pisau dapur yang tajam berkilat-kilat. Tetapi Tundun itu berlega hati ketika ternyata Bajang pun kemudian berdiri di sampingnya sambil memandang anak muda yang tertawa menjengkelkan.

“Kau siapa?” yang bertanya mula-mula sekali adalah Bajang.

Yang ditanya masih juga tertawa.

Bajang menjadi marah. Sekali ia membentak. “He. Diam! Jangan seperti orang mabuk.”

Suara tertawa itu terputus. Dipandangnya Bajang dari ujung kaki ke ujung kepalanya. “Kau belum mengenal aku?”

“Apakah namamu cukup bernilai untuk dikenal oleh setiap orang?”

Anak muda itu mengerutkan keningnya. Jawaban Bajang benar-benar menyakitkan hatinya. Namun selain menyakitkan hati anak muda itu, juga menyakitkan hati Tundun. Seakan-akan Bajang itu lebih berani daripadanya. Karena itu Tundun itupun berteriak, “Jangan merasa dirimu dikenal setiap orang. Andaikata aku mengenalmu sekalipun aku tidak akan terkejut melihat tampangmu di sini.”

Anak muda itu menggeram. Namun sekali lagi ia tertawa. Katanya, “Hem. Empat orang. Apakah masih ada yang lain?”

Untuk apa kau cari yang lain? Agaknya kau anak yang terlalu sombong.”

“Terserahlah kau menilai diriku. Tetapi kalian berempat ini bagiku hampir tak berarti sama sekali. Aku datang karena aku ingin melihat kekuatan perkemahanmu. Aku ingin menghitung ada berapa gubug yang kau dirikan di sini, dan ada berapa luas tanah yang kau perlukan.”

“Cukup!” teriak Tundun. Tetapi terasa suaranya ragu-ragu, sebab ia pernah mengenal anak muda itu di medan pertempuran. Namun ia menjadi heran. Kenapa kali ini anak muda itu tidak berada di medan? Apakah ia mendapat tugas khusus dari Untara untuk mendatangi perkemahan ini?

Tetapi anak muda itu masih tertawa. Suaranya semakin menyakitkan hati. Bahkan suara tertawa itu menjadi semakin dibuat-buat agar yang mendengar menjadi marah.
“Jangan membentak-bentak. Aku ingin berjalan berkeliling kemah ini. Kau dengar. Kalau kau berani, halangi aku. Berempat, atau panggil kawan-kawanmu yang lain. Kalau tidak, biarkan aku berjalan-jalan di sini.”

Bajang masih heran melihat Tundun, pemarah itu, masih berdiri saja di tempatnya. Biasanya, dalam keadaan yang demikian, ia pasti sudah berlari menyerbu dengan garangnya. Tetapi kini Tundun itu masih tegak seperti patung meskipun terdengar giginya gemeretak. Bahkan sekali lagi ia memandang berkeliling. Dua orang anak buahnya, dan Bajang. Kemudian berempat dengan dirinya sendiri. Meskipun baru saja ia bertengkar dengan Bajang, namun ia mengharap Bajang tidak mengkhianatinya. Meskipun demikian, kalau perlu ia dapat memanggil orang-orangnya yang lain dengan sebuah tanda yang telah mereka tentukan. Empat atau lima orang akan datang bersama-sama. Tetapi apabila langsung mereka terlibat dalam perkelahian, setidak-tidaknya mereka berempat lebih dahulu yang harus bertahan. Mungkin berlima dengan Sumangkar. Tetapi Sumangkar itu tidak dilihatnya. Dan Sumangkar bagi Tundun adalah seorang tua pemalas yang sama sekali tidak berguna. Namun dalam pada itu sekali lagi terdengar Bajang menggeram, “Kau belum menjawab pertanyaanku, siapakah kau itu?”

Anak muda itu memandangnya dengan nyala ketidaksenangan di matanya. Kemudian kepada Tundun ia berkata, “Apakah kau juga belum mengenal aku?”

Tundun menggeleng. Pura-pura ia belum mengenalnya pula. Katanya pula, “Yang aku kenal hanyalah orang-orang yang penting di daerah ini. Tohpati, Widura, Untara, Tambak Wedi. Sedang tampangmu sama sekali tidak berarti bagiku. Apalagi sebentar lagi kau akan mati terkubur di sini.”

Anak muda itu mengerutkan keningnya. Katanya, “Bagus. Mungkin kalian akan mencincang aku. Tetapi baiklah aku perkenalkan diriku. Kalian pernah mendengar nama Tambak Wedi.”

“Jangan menyebut nama itu. Apakah kau bermaksud menempatkan dirimu di sisi nama itu?”

Anak muda itu tertawa. “Tidak. Itu tidak mungkin, sebab aku adalah muridnya.”

Yang mendengar jawaban itu terkejut bukan kepalang. Mereka pernah mendengar cerita tentang murid Tambak Wedi yang bernama Sidanti. Seorang yang kini berhasil menempatkan dirinya di samping Macan Kepatihan. Karena itu maka dada mereka menjadi semakin berdebar-debar. Tundun memang pernah melihat kegarangan anak muda itu, yang pernah berhasil membunuh Plasa Ireng. Mengerikan. Bulu kuduk Tundun itu meremang. Ia kini menjadi yakin. Siapakah yang kini berdiri di mukanya. Mayat Plasa Ireng yang hampir tidak berbentuk itu terbayang di wajahnya. Gila. Anak muda itu adalah anak muda yang sangat buas. “Pantas, ia tidak berada di medan. Aku pernah mendengar, bahwa ada perselisihan antara Sidanti dan Widura. Hem. Aku pernah melihat tampangnya, dan aku pernah mendengar nama Sidanti. Tetapi baru sekarang aku pasti, bahwa yang bernama Sidanti itu adalah anak yang membunuh Plasa Ireng itu pula.” Tundun yang bergumam di dalam hatinya itu kemudian mencoba mengingat-ingat kembali pada saat Plasa Ireng terbunuh. Pada saat itu ia hampir tidak mempedulikannya, siapakah yang membunuh. Baginya orang-orang Pajang sama saja semuanya. Semuanya harus dibinasakan.

Namun dengan demikian ia menjadi ragu-ragu. Apalagi kedua kawan-kawannya yang lain. Mereka berdiri membeku di tempatnya. Kalau benar Sidanti itu telah menjadi sejajar dengan Tohpati, maka akan binasahlah mereka semuanya.

Tetapi tiba-tiba timbul pikiran yang memberi harapan bagi Tundun. Apabila Sidanti itu benar-benar berselisih dengan Widura dan Untara, maka apakah kedatangannya itu dapat dianggap sebagai kawan? Karena itu maka segera Tundun bertanya, “Sidanti, kenapa kau tidak berada di medan. Bukankah hari ini berkobar perang yang terbesar yang pernah terjadi di Sangkal Putung?”

Sidanti mengerutkan keningnya. Ia menjajagi pertanyaan itu. Katnaya, “Kenapa kau bertanya tentang hal itu”

“Ya kenapa? Bukankah kau prajurit Pajang?”

Sidanti tertawa. Jawabnya, “Aku dapat berbuat sekehendakku. Apakah aku ingin berperang, apakah aku ingin melihat-lihat hutan ini. Tak seorangpun pula yang dapat mencegah kehendakku.”

Dada Tundun menjadi berdebar-debar. Namun dipaksanya juga mulutnya berkata, “Hem, aku dengar kau tidak lagi berada dalam lingkungan keprajuritan Pajang.”

Tundun terkejut mendengar jawaban Sidanti. “Apa perdulimu?”

Sesaat Tundun terdiam. Tetapi kemudian ia bertanya pula, “Lalu apa maksudmu kemari?”

“Sudah aku katakan. Aku ingin melihat, berapa kemah yang ada dan berapa luas tanah yang diperlukan. Aku ingin mengira-ngirakan kekuatan Tohpati.”

“Untuk apa?”

“Sekehendakku.”

Tiba-tiba Tundun bertanya, “Apakah kau tidak bermaksud bekerja bersama dengan Macan Kepatihan?”

Sidanti tertawa. Benar-benar menyakitkan telinga, katanya, “Kau sudah gila agaknya. Apa arti Tohpati bagiku, dan apakah arti seluruh kekuatannya?”

Sekali lagi dada Tundun berdesir. Betapapun juga ia adalah seorang prajurit. Karena itu, maka meskipun ia telah mendengar bahwa Sidanti itu mempunyai kesaktian yang hampir setingkat dengan Macan Kepatihan, namun adalah kewajibannya untuk menunaikan tugasnya. Karena itu maka katanya, “Sidanti. Aku hormat kepadamu. Aku pernah mendengar bahwa kau memang seorang anak muda yang pilih tanding. Tetapi kali ini perkemahan ini menjadi tanggung jawabku. Maka jangan mencoba berbuat hal-hal yang dapat membahayakan keselamatannmu.”

Kini Sidanti itu tertawa terbahak-bahak. Di antara tertawanya terdengar ia berkata, “O, prajurit yang malang. Kenapa kau berani berkata demikian padaku? Sudah aku katakan, tak seorangpun dapat memerintah aku, dan tak seorangpun dapat menghalangi kemauanku. Kali ini aku ingin berjalan-jalan mengelilingi perkemahan ini. Jangan mencoba mencegahnya.”

Hati Tundun adalah hati yang mudah terbakar. Kali inipun betapa bara menyaka di dadanya. Namun terhadap Sidanti ia harus berhati-hati. Sekali lagi ia memandang kedua kawannya yang seolah-olah telah membeku. Di sampingnya berdiri Bajang seperti patung pula. Namun tampak bahwa wajah orang yang bertubuh kecil ini sama sekali tidak menunjukkan kecemasan di hatinya. Bajang masih juga berdiri dengan wajah menyala. Bahkan kemudian ia menggeram. “Sidanti. Jangan menganggap kami di sini sebagai anak-anak yang takut mendengar anjing menggonggong.”

Sidanti terkejut mendengar kata-kata itu. Benar-benar menyakitkan hati. Karena itu maka tiba-tiba warna merah menjalar di wajahnya. Katanya, “Siapa kau?”

“Namaku Bajang.”

“Kau masih belum terlalu tua. Kenapa kau mencoba membunuh dirimu? Apakah kau tidak senang hidup di lingkungan Macan Kepatihan?”

“Jangan mengigau. Cobalah kau maju selangkah lagi. Maka kau akan berkubur di tanah ini.”

Sidanti benar-benar telah terbakar oleh kemarahannya yang memuncak. Karena itu tiba-tiba ia meloncat maju sambil berteriak. “Kumpulkan semua pengawal barak-barak di perkemahan ini. Ayo, inilah Sidanti, murid Tambak Wedi.”

Tundun, kedua prajurit yang lain, dan Bajang sendiri kini tidak dapat mengelakkan diri lagi. Mereka harus menghadapi anak muda yang berani dan perkasa ini. Bagaimanapun juga mereka adalah prajurit-prajurit yang sudah terlalu sering bermain-main dengan senjata dan bercumbu dangan maut.

Ketika mereka melihat Sidanti dengan sigapnya meloncat maju, maka merekapun segera mendekat pula. Tanpa berjanji mereka berdiri seberang-menyeberang. Seakan-akan mereka sengaja mengepung Sidanti yang dengan garangnya berdiri di antara mereka.

“Kau yang tajam mulut,” geram Sidanti sambil menunjuk kepada Bajang, “kaulah yang pertama-tama akan aku sobek mulutmu.”

Tetapi agaknya Bajang sama sekali tidak takut. Dengan pisaunya ia bersiap menghadapi setiap kemungkinan. Tundunpun kemudian bersiap pula. Ia tidak mau kalah daripada Bajang. Bajang yang hanya bersenjatakan pisau dapur betapapun besar dan tajamnya, berani menghadapi Sidanti dengan tatagnya, maka Tundun yang di pinggangnya tergantung sebilah pedang, pasti harus lebih berani daripadanya.

Sidanti yang berdiri di antara mereka, sekali lagi memandang setiap wajah di sekitarnya. Tundun yang cacat, Bajang yang kecil dan kedua prajurit yang lain. Tiba-tiba Sidanti itu berkata nyaring. “Ayo, siapkan senjata-senjata kalian. Apakah kalian dapat menggerakkannya dengan baik?”
Tanpa dikehendaki, maka tiba-tiba tangan mereka yang berdiri di sekeliling Sidanti itu menarik senjata masing-masing. Dengan serta merta senjata-senjata itupun segera tertuju ke arah Sidanti.

“Nah, kalian ternyata sigap pula menarik senjata. Sekarang aku ingin tahu, apakah kalian mampu bermain-main dengan senjata-senjata itu.”

Tundun tidak menunggu lebih lama lagi. Segera ia melompat menusuk Sidanti. Tetapi Sidanti benar-benar lincah selincah sikatan. Pedang itu meluncur beberapa cengkang di muka telinga kanannya.

Sambil menghindar Sidanti sempat berteriak. “Ha. Ternyata kau adalah prajurit yang baik. Meskipun tubuhmu telah dipenuhi oleh cacat badaniah, namun kesetiaanmu kepada Macan Kepatihan tidak juga berkurang.”

Tundun tidak menjawab. Tetapi ia menggeram keras. Serangannya yang gagal itu segera diulangi. Sambil memutar tubuhnya ia menyerang mendatar, setinggi leher. Namun kembali serangannya dapat dihindari oleh lawannya. Sidanti dengan cepatnya merendahkan dirinya.

Ketiga kawan Tundun yang melihat bahwa perkelahian sudah mulai segera berloncatan pula dengan senjata masing-masing. Serangan mereka datang beruntun, seperti ombak lautan menghantam pantai. Satu-satu tak henti-hentinya.

Tetapi alangkah sakit hati prajurit-prajurit Jipang itu. Meskipun Sidanti harus melawan empat orang bersama-sama, namun ia masih sempat tertawa. “Nah, inilah dirimu. Apa yang dapat kau lakukan atas Sidanti, murid Tambak Wedi.”

Keempat prajurit Jipang itu sama sekali tidak menjawab. Mereka terus menghujani Sidanti dengan serangan demi serangan. Tetapi Sidanti itu benar-benar lincah. Ia masih saja berloncatan kian kemari menghindari pedang-pedang yang bersimpang siur disekitar tubuhnya. Bahkan kemudian ia berkata nyaring, “Hem. Inilah agaknya yang menyebabkan laskar Jipang tak pernah berhasil merebut Sangkal Putung. Empat orang berkelahi bersama-sama, namun sama sekali tidak dapat menitikkan keringatku. Bagaimana kiranya kalau aku mencabut pedangku?”

Keempat prajurit Jipang itu berdesir. Baru mereka sadari bahwa Sidanti ternyata belum mempergunakan senjatanya. la baru meloncat-loncat menghindar dan menghindar. Karena itu maka Tundun segera menyadari betapa berbahayanya Sidanti itu. Sehingga dengan demikian sebelum terlambat segera ia berteriak memerintah. “Bunyikan tanda bahaya!”

Salah seorang daripadanya segera meloncat mundur dari perkelahian itu. Ketiga kawannyapun mencoba untuk melindungi seorang yang akan membunyikan tanda itu. Mereka menyangka bahwa Sidanti pasti berusaha mencegahnya. Karena itu, maka mereka harus berjuang mati-matian. Meskipun hanya pada saat tanda bahaya dibunyikan, namun menilik ketangkasan Sidanti, waktu yang pendek itu sangat mengkawatirkan.

Tetapi ternyata mereka salah sangka. Sidanti sama sekali tidak berusaha untuk mencegah orang yang membunyikan tanda bahaya itu. Bahkan sambil tertawa ia berkata, “Baik. Aku beri kesempatan kalian memanggil kawan-kawan kalian. Berapa orangkah semua yang masih ada di perkemahan ini? Sepuluh atau lebih? Kalau lebih dari sepuluh, aku harus berpikir-pikir untuk segera mengurangi jumlah itu supaya aku tidak kelelahan.”

Kata-kata itu benar-benar menyiksa perasaan prajurit-prajurit Jipang itu. Dengan penuh luapan kemarahan mereka berjuang sekuat tenaga mereka. Tetapi bagi Sidanti mereka benar-benar tidak berarti.

Beberapa kawan-kawan mereka di tempat-tempat yang lain terkejut mendengar tanda itu. Mereka menyangka bahwa beberapa orang Pajang telah menyerang mereka. Beberapa orang yang tidak dipasang dalam gelar untuk melawan Macan Kepatihan. Karena itu segera mereka berlari-lari menuju ke arah tanda itu. Empat orang dari dua sudut penjagaan datang hampir bersamaan. Tetapi mereka terkejut ketika mereka melihat, bahwa di tempat itu hanya ada seorang yang sudah bertempur melawan empat orang prajurit Jipang.

Dengan nanar mereka mencoba memandang berkeliling. Namun mereka tidak melihat orang selain daripada yang sedang bertempur itu. Sehingga salah seorang dari mereka berteriak, “Kenapa dibunyikan tanda bahaya?”

“Kau lihat lawan ini?” berteriak Tundun.

“Yang hanya seorang itu?”

“Buka matamu lebar-lebar,” jawab Tundun. “Meskipun seorang tetapi ia adalah anak iblis.”

Yang terdengar kemudian adalah suara tertawa Sidanti, katanya, “Ya. Yang seorang ini anak iblis. Berapa orang kalian yang datang? Apakah genap enam orang, sehingga semua berjumlah sepuluh dengan orang-orang yang pertama?”

Keempat orang yang datang itu baru menyadari keadaan lawannya, mereka kini melihat keempat kawannya masih berkelahi dengan sekuat-kuat tenaga mereka dengan senjata di tangan. Namun lawannya yang hanya seorang itu, dengan tersenyum selalu menghindarkan diri dari serangan yang bagaimanapun dahsyatnya. Bahkan merekapun kemudian melihat bahwa yang seorang itu masih belum mempergunakan senjatanya.

“Jangan berdiri seperti patung!” teriak Tundun. “Apakah kalian menunggu kami menjadi bangkai?”

Teriakan itu benar-benar telah membangunkan mereka dari kekaguman mereka melihat tata gerak Sidanti. Lincah, tangguh dan membingungkan. Karena itu segera mereka mencabut senjata masing-masing dan terjun ke dalam arena perkelahian itu.
“Apakah kalian tidak akan saling menusuk di antara kawan-kawan sendiri?” teriak Sidanti.

Tak seorangpun yang menjawab. Namun kini kepungan mereka menjadi semakin rapat. Ujung-ujung senjata semakin cepat menyambar kulit Sidanti dari segala arah. Karena itu maka katanya kemudian, “Nah, sekarang baru aku merasa perlu mempergunakan pedang. Ayo, sebutkan jumlah kalian, berapa?”

Tetapi pertanyaan itu dijawab dengan serangan yang datang bertubi-tubi dengan sengitnya. Namun akhirnya Sidanti berhasil menghitung mereka, katanya, “Delapan. Aku harus mengurangi tiga di antara kalian. Aku hanya ingin melawan lima orang.”

“Gila!” geram Tundun. Tetapi segera ia terdiam ketika pedang Sidanti yang baru saja ditarik itu hampir-hampir menyentuh hidungnya. Dan hampir-hampir cacat di wajahnya bertambah seleret lagi.

Demikianlah perkelahian itu semakin lama menjadi semakin dahsyat. Dalam pada itu Tundun masih menunggu beberapa orang kawannya yang sedang nganglang.
Tetapi kawan-kawannya yang nganglang itu berada di tempat yang cukup jauh. Mereka tidak menyangka bahwa akan datang bahaya. Karena itu maka mereka sama sekali tidak mendengar tanda yang dibunyikann oleh kawan Tundun di perkemahan.

Maka Tundun terpaksa bertempur dengan kawan-kawannya yang telah ada. Delapan orang. Kemudian datang pula dua orang, namun mereka sama sekali bukan prajurit. Mereka adalah orang-orang dapur, kawan-kawan Sumangkar. meskipun demikian, mereka membawa senjata di tangan mereka. Tetapi dalam perkelahian itu mereka tidak segera dapat ikut serta.
Sidanti kemudian berkelahi dengan lincahnya melawan delapan orang. Ia menyangka bahwa ia akan dapat bermain-main dengan lawannya itu. Tetapi ternyata keadaannya berbeda dengan dugaannya. Prajurit Jipang adalah sebenarnya prajurit. Hanya satu dua dari mereka adalah orang-orang yang kurang baik. Namun yang lain adalah prajurit-prajurit yang cukup. Meskipun bukan orang-orang puncak.

“Hem,” desis Sidanti sambil meloncat-loncat, “ternyata kalian cukup terlatih. Karena itu, maka jangan lebih dari lima supaya aku dapat bermain-main dengan baik tanpa menyakiti kamu sekalian. Tetapi kalau di antara kalian tidak ada yang meninggalkan arena ini, aku terpaksa memaksamu.”

Tak seorangpun yang menjawab. Bahkan mereka bekerja semakin keras. Senjata-senjata mereka berganti-ganti sambar-menyambar tak henti-hentinya, sehingga semakin lama Sidanti semakin merasa bahwa sangat berat baginya untuk melawan delapan orang itu sekaligus. Ia terpaksa sekali-sekali meloncat jauh ke belakang, kemudian dengan cepatnya melingkar dan menyerang seperti petir menyambar di udara.

Kedelapan orang itupun merasa, betapa besar tenaga anak muda yang bernama Sidanti itu. Kini Tundun mulai dirayapi oleh kepercayaannya bahwa Sidanti benar-benar mampu menempatkan diri hampir sejajar dengan Macan Kepatihan.

Namun betapapun kuatnya Sidanti, untuk melawan delapan orang sekaligus adalah berat baginya. Karena itu, ia kemudian terpaksa bekerja mati-matian. Sebab kedelapan orang itupun bekerja dengan keras dan bertempur mati-matian pula.

“Sebenarnya aku tak ingin menyakiti kalian,” teriak Sidanti, “tetapi ternyata melawan kalian berdelapan adalah berat sekali. Kalian benar-benar prajurit yang tangguh. Karena itu, seandainya pedangku melukai salah seorang dari kalian, janganlah kalian menjadi sakit hati.”

Kata-kata itu sama sekali tidak mendapat perhatian. Bahkan dengan demikian Tundun dan kawan-kawannya merasa, bahwa Sidanti merasa terdesak. Karena itu justru mereka memperketat tekanan mereka.

Sidanti yang merasa semakin terdesak akhirnya menjadi marah pula. Darahnya semakin lama benar-benar semakin panas. Apalagi ketika kemudian sebuah goresan melukai punggungnya. Goresan itu tidak terlalu dalam. Namun goresan itu telah menyobek baju dan menyentuh kulitnya.

Luka itu, meskipun tidak seberapa, namun karena darah yang menetes, maka hati Sidanti telah benar-benar terbakar karenanya. Hilanglah kemudian segala pengamatan diri. Dan dengan demikian maka anak murid Tambak Wedi itu menggeram dengan dahsyatnya. Sekali ia meloncat dengan lincahnya beberapa langkah surut, namun kemudian dengan cepatnya ia melingkar, menyerang menyambar-nyambar dengan sengitnya.

Perkelahian itu segera meningkat dengan cepatnya. Semakin lama semakin dahsyat. Masing-masing piak telah mengerahkan segenap kemampuan yang ada pada mereka.
Tundun pun kemudian merasa, bahwa kekuatannya bersama kawan-kawannya dapat mengimbangi kelincahan Sidanti yang hanya seorang itu. Tetapi untuk mengalahkan, menangkap atau membinasakan adalah sulit sekali. Sidanti itu benar-benar seperti anak setan. Sekali ia menerobos di antara lawan-lawannya, namun kemudian melontar dan menyerang dari sisi dan belakang mereka. Kalau Tundun dan kawan-kawannya berusaha untuk mengepungnya, maka usaha itu selalu gagal. Sidanti mampu meloncat dengan jarak yang tidak dapat mereka jangkau dengan loncatan dan senjata.

Ketika pertempuran itu menjadi semakin meningkat, maka terdengarlah Tundun berteriak, “Bunyikan kembali lagi tanda bahaya. Supaya kawan-kawan kita yang nganglang mendengarnya.”

Kembali salah seorang dari mereka meloncat keluar arena perkelahian. Kali ini Sidanti tidak membiarkannya. Tetapi ia tidak mampu mencegahnya, sebab tujuh orang yang lain dengan garangnya mencoba melindungi kawannya yang seorang itu.

“Gila!” teriak Sidanti. “Bukan maksudku membunuh salah seorang dari kalian, tetapi kalian benar-benar keras kepala. Karena itu, aku akan terpaksa melakukannya.”

Maka Sidanti itupun kemudian sampai pada puncak permainannya. Rasa nyeri di punggungnya telah memaksanya untuk mendendam. Karena itu, maka sesaat kemudian, terdengar sebuah keluhan tertahan. Bajang meloncat surut dari lingkaran pertempuran sambil meraba pundaknya. Tampak darah yang merah segar meleleh dari luka itu.

“Anak setan!” teriaknya. Kemudian kepada kawan-kawannya juru masak yang berdiri menonton perkelahian itu dengan wajah pucat ia berkata, “Berikan pedangmu itu.”

Kedua kawannya yang biasanya hanya dapat menunggui perapian segera berlari kepadanya dan memberikan pedangnya kepada Bajang. “Terima kasih. Senjataku terlalu pendek sehingga pundakku terluka.”

Bajang yang teruka itu kemudian dengan kemarahan yang membakar ubun-ubunnya meloncat kembali ke arena. Tetapi demikian ia sampai, terdengar pula orang lain mengeluh. Sekali lagi, salah seorang dari mereka meloncat ke luar arena. Kali ini agaknya lebih parah dari luka yang diderita Bajang. Ternyata darah mengucur dari tangannya. Dua buah jarinya terpenggal dan pedangnya terlempar jatuh.

Wajah prajurit yang kehilangan jari-jarinya itu menjadi merah padam. Merah padam karena menahan marah dan sakit. Ketika ia melihat seorang juru masak berdiri dengan pedang di tangan, tetapi tidak ikut dalam pertempuran, terdengar ia berteriak, “Berikan pedangmu.”

Orang itu ragu-ragu sejenak. Tetapi kemudian diberikan juga pedangnya.
Prajurit itu menerima dengan tangan kirinya. Cepat ia meloncat kembali ke arena dengan pedang di tangan kiri. Meskipun tangan kirinya tidak setangkas tangan kanan, namun tandangnya hampir-hampir tak berkurang.

Ternyata tanda bahaya yang kedua itu menggema, jauh lebih dalam dari yang terdahulu. Kawan-kawan Tundun, sebanyak empat orang yang sedang nganglang dan berburu rusa, terkejut mendengar tanda itu. Sesaat mereka berdiri termangu-mangu. Seakan-akan bunyi tanda bahaya itu terdengar di telinga mereka.

“Kau dengar,” bergumam salah seorang dari mereka.

“Ya,” sahut yang lain.

“Aku hampir tak percaya. Apakah orang-orang Pajang tidak memasang seluruh orang-orangnya dalam perlawanan kali ini?”

“Mungkin. Mungkin mereka sengaja membagi kekuatan.”

“Bodoh. Kalau aku menjadi pemimpin pengawal kemah ini, aku biarkan mereka masuk. Aku biarkan mereka merusak kemah-kemah kita, sebab Macan Kepatihan pasti akan berhasil masuk Sangkal Putung.”

“Kau yakin benar.”

“Ya, kalau pasukan Pajang mengurangi kekuatannya, Sangkal Putung pasti akan pecah.”

“Tetapi Kakang Tundun memanggil kita dengan tanda itu.”

“Mari kita pulang.”

Keempatnya segera berlari-lari kembali ke kemah mereka. Mereka menyangka bahwa di dalam perkemahan itu telah terjadi peperangan antara para pengawal yang jumlahnya sangat terbatas, melawan sebagian orang-orang Pajang yang sengaja tidak dipasang dalam peperangan di Sangkal Putung.

Semakin dekat mereka dengan kemah mereka, hati mereka menjadi semakin berdebar-debar. Mereka masih belum melihat tanda-tanda peperangan di dalam perkemahan itu.

“Aneh,” desis salah seorang dari mereka.

Sebelum yang lain menyahut, mereka telah memasuki daerah perkemahan mereka.

“Tidak ada apa-apa,” gumam yang lain.

“Kita lihat berkeliling,” berkata yang lain pula.

Mereka segera berjalan berkeliling. Dilihatnya tempat-tempat penjagaan sudah kosong. Karena itu mereka pun menjadi semakin berhati-hati.

Ketika mereka sampai di sisi Utara, barulah mereka melihat kawan-kawannya berkumpul dalam satu lingkaran perkelahian. Mereka melihat kawan-kawan mereka berkelahi melawan satu orang saja.

“Gila!” teriak salah seorang dari mereka. “Apakah aku harus nonton permainan yang menggelikan ini.”

Tundun yang memimpin pertempuran di antara kawan-kawannya itu menjadi marah. Jawabnya lantang, “Buka matamu, jangan mulutmu!”

Keempat kawannya itu berdiam diri. Sesaat mereka memandangi perkelahian itu. Dilihatnya beberapa orang kawan-kawannya telah menjadi payah. Bahkan ada yang terluka.

“Bukan main,” desis salah seorang dari mereka. “Siapa anak muda yang gila itu?”

Tiba-tiba salah seorang yang lain dapat mengenal wajah itu. Jawabnya, “Anak muda yang membunuh Plasa Ireng.”

“Pantas ia berhasil membunuh Plasa Ireng. Tetapi ia kini tak akan lolos lagi.”
Orang itupun segera berlari menghambur menerjunkan diri ke dalam arena pertempuran.

Tetepi tiba-tiba langkahnya terhenti ketika ia mendengar salah seorang kawannya berteiak tinggi. Ia melihat sosok tubuh terhuyung-huyung. Untunglah ia cepat dapat menangkapnya.

“Dadaku,” kaluh orang itu. Dan dari dadanya mengalir darah dengan derasnya.
Karena itu ia tidak segera dapat bertempur. Dipapahnya orang itu menepi dan diserahkannya kepada dua orang dapur yang berdiri terpaku di sisi pertempuran itu. Namun ketiga kawan-kawannya yang lain telah meloncat pula mendahuluinya memasuki arena.

Sidanti yang melihat kedadiran keempat orang baru itu menjadi semakin marah. Dengan sekuat tenaga ia berhasil mengurangi satu lawan. Namun yang empat itu pasti lebih baik dari yang seorang yang terlempar dari perkelahian itu.

“Kalian benar-benar jemu hidup,” teriak Sidanti. “Ternyata kalian tidak mau mendengar permintaanku. Karena itu, aku tidak akan dapat menahan ujung senjataku.”

“Persetan dengan kesombonganmu. Ternyata kau tidak akan dapat keluar dari perkemahan ini, sehingga kau akan berkubur di sini,” sahut Tundun. Namun suaranya itu disaut oleh sebuah teriakan. Satu lagi kawannya terluka. Telinganya tergores pedang Sidanti, sehingga hampir putus. Tetapi dengan demikian yang akan dapat terjadi.

Dengan demikian perkelahian itu semakin lama menjadi semakin dahsyat. Masing-masing telah menumpahkan segenap kamampuan yang ada pada diri mereka. Sidanti yang hanya seorang itupun, tenpaksa memeras kesaktiannya. Untunglah ia murid Ki Tambak Wedi yang namanya menakutkan setiap orang yang mendengarnya. Namun melawan sekian banyak orang, maka akhirnya ia mendapat kesulitan juga. Bahkan nyawanya kini terancam.

Tetapi perkelahian itu tiba-tiba dikejutkan oleh sebuah teriakan nyaring. Teriakan itu demikian kerasnya, sehingga hampir-hampir memecahkan telinga mereka. Meskipun mereka sedang bertempur dengan dahsyatnya, namun suara itu dapat menembus ke dada mereka.

“Berhenti, berhenti!” berkata suara itu melengking-lengking.

Semua orang di dalam arena berloncatan mundur. Ketika mereka berpaling, mereka melihat seorang tua dengan wajah yang tegang, dan mata yang tajam memandangi mereka satu per satu.

Dada para prajurit Jipang berdesir melihat orang itu. Tatapan matanya terasa terlalu dalam menghunjam ke dalam dada mereka. Meskipun mata itu tidak seliar mata Sidanti, namun sinar matanya memancarkan nada serupa.

Tetapi orang itu ternyata kemudian tersenyum. Dipandanginya Sidanti sambil berkata, “Jangan bersungguh-sungguh Sidanti. Bukankah kita tidak akan menyakiti hati mereka.”

Sidanti menggigit bibirnya.

“Kau telah melukai beberapa orang di antaranya.”

“Mereka benar-benar ingin membunuhku,” sahut Sidanti.

Para prajurit Jipang masih saja mematung. Mereka belum pernah melihat orang tua itu. Mereka menjadi semakin heran ketika orang tua itu berkata kepada mereka, “Maafkanlah muridku ini.”

Tak seorangpun yang segera menjawab. Mereka masih berdiri kaku di tempatnya, dengan senjata-senjata mereka siap di tangan.

“Kalian heran melihat kehadiranku? Mungkin kalian belum mengenal aku. Aku adalah Ki Tambak Wedi.”

Kembali dada prajurit-prajurit Jipang berdesir. Ternyata orang inilah yang bernama Tambak Wedi. Orang yang namanya menghantui seluruh lereng Gunung Merapi. Kini orang itu berada di hadapan mereka dengan muridnya yang bernama Sidanti.

“Aku minta maaf,” berkata Tambak Wedi itu pula. “Maksud kedatangan kami semula adalah baik. Kami ingin mengetahui keadaan kalian di sini.”

Yang menjadi pimpinan pasukan pengawal itu adalah Tundun. Karena itu, maka ialah yang menjawab, “Kiai, kami minta maaf atas kelancangan kami. Kami terpaksa melakukan perlawanan karena tugas-tugas kami.”

“Bagus,” potong Ki Tambak Wedi. “Kalian adalah prajurit. Jadi kalian harus melakukan kewajiban kalian.”

Jawaban itu benar-benar tidak disangka-sangka oleh Tundun. Dan justru karena itu ia menjadi bingung, sehingga ia tidak tahu, apalagi yang akan dikatakannya.

Yang berkata kemudian adalah Ki Tambak Wedi. “Kisanak. Kedatangan kami sama sekali tidak bermaksud untuk menyakiti hati kalian. Kami hanya ingin sekedar memperkenalkan diri kami. Aku dan muridku. Apakah kalian bersedia menerima salam perkenalan ini?”

Tundun menjadi semakin bingung. Ia tidak tahu maksud Ki Tambak Wedi. Karena itu, maka ia masih saja berdiam diri tegak seperti tonggak.

Ki Tambak Wedi yang melihat para prajurit Jipang itu tertawa. Katanya, “Kenapa kalian menjadi seperti orang kehilangan ingatan? Percayalah, aku tidak akan berbuat apa-apa. Mungkin muridku telah terlanjur melukai beberapa orang di antara kalian, tetapi itu hanya karena umurnya yang masih muda sehingga ia tidak mudah untuk mengendalikan dirinya. Meskipun maksudnya memang ingin mencoba bermain-main dengan kalian, tetapi tidak untuk melukai apalagi membunuh.”

Tundun dan kawan-kawannya semakin tidak mengerti maksud kata-kata itu. Dengan demikian mereka masih saja berdiri membisu.

Karena tidak seoragpun menyahut, Tamak Wedi itu berkata terus. “Maksud muridku memang ingin berkelahi untuk sekedar memperkenalkan diri. Maksudnya akan memberitahukan kepada kalian bahwa Tohpati sama sekali bukan manusia yang aneh. Bukan manusia yang melampaui batas kemampuan manusia yang lain. Sekarang kalian telah melihat muridku dan mengalami perkelahian. Sudah tentu kalian akan dapat menilai, manakah yang lebih sakti. Macan Kepatihan atau Sidanti.”

Debar di dada prajurit Jipang itu menjadi semakin deras. Apalagi ketika terdengar Tambak Wedi berkata, “Itupun aku masih menganggap bahwa Sidanti masih harus berjuang membentuk dirinya mempelajari ilmuku untuk menjadi sempurna.”

“Muridnya telah mampu berbuat sedemikian,” pikir para prajurit itu, “apalagi gurunya.”

“Nah bagaimana menurut penilaian kalian? Apakah Sidanti sudah sama dengan Macan Kepatihan?”

Tak seorangpun yang menjawab pertanyaan itu.

“Bagus, kalian pasti tidak akan dapat menjawabnya. Tetapi biarlah kami memberikan pertanyaan-pertanyaan yang lain. Apakah kalian masih tetap ingin berjuang bersama-sama Macan Kepatihan?”

Masih tidak menjawab.

“Tentu, kalian tentu tidak akan menjawab. Tetapi ketahuilah,” berkata Ki Tambak Wedi seterusnya, “bahwa kami pernah datang kepada Tohpati. Kami ingin berbuat baik kepadanya. Kami menawarkan jasa-jasa kami dan tenaga kami untuk kemenangannya. Tetapi maksud kami itu ditolaknya. Sayang.”

Mendengar keterangan itu Tundun mengerutkan keningnya. Sejak semula ia sudah menanyakannya kepada Sidanti kemungkinan itu, tetapi Sidanti malah menghinanya, menghina pasukan Jipang itu seluruhnya.

Tambak Wedi melihat perasaan yang bergerak di dalam hati Tundun. Maka segera ia berkata, “Aku mendengar pertanyaanmu di permulaan perkenalanmu dengan muridku. Dan muridku sengaja menghinamu, untuk membangkitkan kemarahanmu, supaya muridku dapat bermain-main dengan kau. He, apakah kau pemimpin pasukan pengawal ini?”

Tanpa sesadarnya Tundun mengangguk sambil menjawab, “Ya.”

“Nah, ketahuilah kami terlampau baik. Kami masih tetap menawarkan tenaga kami untuk kepentingan kalian.” Tambak Wedi diam sesaat. Namun kemudian diteruskannya, “Tetapi kalau Macan Kepatihan menolak, apa boleh buat. Meskipun demikian, ada yang wajib kalian ketahui. Macan Kepatihan kini tidak lagi mempunyai tempat yang akan dijadikannya pencadan dalam gerakannya. Ia berada di mana-mana, seperti kapuk diterbangkan angin. Tetapi aku dan muridku itu, masih mempunyai tempat untuk berpijak. Sedang kalian telah melihat sendiri, bahwa muridku tidak kalah dengan Macan Kepatihan.” Kembali Tambak Wedi berhenti sesaat, namun segera diteruskannya, “Aku hanya ingin kalian dapat menilai keadaan kami.”

Tundun dan kawan-kawannya masih belum dapat mengerti dengan pasti maksud Tambak Wedi itu. Beberapa orang di antara mereka saling berpandangan dan bertanya-tanya di dalam hati.

Ki Tambak Wedi yang melihat kebingungan itu berusaha untuk menjelaskan. “Kisanak. Kalian menurut tangkapanku, adalah prajurit-prajurit yang baik. Prajurit-prajurit yang setia pada cita-cita. Bukan sekedar prajurit yang bertempur tanpa arah, selain untuk membunuh atau dibunuh. Karena itulah maka kalian tetap berada dalam lingkungan Macan Kepatihan. Tetapi aku ingin mengatakan, bahwa Macan Kepatihan dengan caranya sekarang tidak akan dapat memenangkan perjuangannya. Sedang tawaran kami untuk membantunya telah ditolaknya. Nah, kalau kalian memang setia kepada cita-cita kalian, menolak kekuasaan Pajang, maka kalian dapat mempertimbangkan antara Macan Kepatihan dan Sidanti. Macan Kepatihan yang telah kehilangan landasan perjuangannya dan Sidanti yang baru mulai dengan tekad yang masih segar. Kelebihan Sidanti yang lain adalah, Sidanti berkuasa di lereng Gunung Merapi. Suatu daerah yang cukup luas untuk membangun kekuatan dam benteng pertahanan. Dan ia berkuasa pula di suatu daerah yang luas di sebelah Alas Mentaok, Bukit Menoreh.”

Tundun dan kawan-kawannya kini baru menjadi jelas maksud Ki Tambak Wedi itu. Ternyata Ki Tambak Wedi telah menawarkan pilihan kepada para prajurit itu. Dan tawaran itu tenyata telah mempengaruhi perasaan mereka. Namun Tundun, seorang prajurit yang sudah lama menjadi bawahan Tohpati, sejak terjadi parselisihan antara Jipang dan Pajang, tidak akan segera dapat melepaskan ikatan itu. Karena itu maka jawabnya, “Ki Tambak Wedi. Tawaranmu bagus sekali. Tetapi jangan mencoba mempengaruhi kesetiaan kami kepada pimpinan kami. Kalau kau ingin menyatukan dirimu ke dalam lingkungan kami, maka mengharaplah, mudah-mudahan pimpinan kami dapat menerimanya. Tetapi kalau kau mencoba mempengaruhi kesetiaan kami itu, jangan mengharap.”

Tambak Wedi mengerutkan keningnya. Tetapi kemudian ia tertawa. “Aku tahu, bahwa jawaban kalian akan berbunyi demikian. Memang aku mengharap kalian menjawab seperti yang diucapkan oleh pimpinan kalian ini. Kalau tidak demikian, maka kalian sama sekali tidak berharga. Bagi kamipun tidak. Tetapi karena kesetiaan itulah maka kalian baru dapat disebut seorang prajurit jang baik. Jawaban itu kalian ucapkan sebab kalian belum mempunyai kesempatan untuk berpikir. Kalau kalian belum sempat berpikir, tatapi segera mempercayai kata-kata orang lain, maka kalian adalah sampah yang tidak berarti. Tetapi kamipun tidak ingin mendengar jawaban kalian sekarang ini. Seperti aku katakan, jawaban yang akan aku dengar sudah aku ketahui. Namun aku mengharap kalian sempat memikirkan tawaran itu. Aku hanya ingin kalian memikirkan dan mempertimbangkan. Lain tidak.”

Tundun terdiam untuk sesaat. Ia menjadi heran kembali mendengar jawaban Tambak Wedi. Tetapi dengan demikian ia terpaksa untuk mencari sebab-sebabnya.

Yang terdengar kemudian adalah kata-kata Tambak Wedi itu kembali. “Meskipun seandainya, kami tidak dapat bertemu dalam pembicaraan, karena kesetiaan kalian terhadap pimpinan kalian, namun biarlah hubungan persaudaraan ini kita langsungkan. Kami akan selalu menunggu kalian di tempat kediaman kami. Dan dalam keadaan yang memuncak, muridku akan dapat membangun kekuasaan tandingan dari Pajang itu di daerah asalnya: di sebelah Barat Alas Mentaok. Daerah itu akan dapat dibukanya menjadi daerah yang akan dapat mangimbangi kekuasaan Pajang. Setidak-tidaknya di daerah Barat, dan Selatan.”

Tundun dan kawan-kawannya seolah-olah menjadi beku mendengar keterangan itu. Ki Tambak Wedi yang mempunyai pengamatan yang tajam, melihat bahwa kata-katanya bergolak di dalam hati para prajurit Jipang itu. Maka katanya selanjutnya, “Nah. Bandingkan dengan hari depan Tohpati. Sidanti mempunyai kekuasaan atas suatu daerah. Meskipun daerah itu kini seakan-akan masih asing bagi kalian. Daerah yanq masih jarang-jarang diketemukan pedukuhan dan padesan. Tetapi di daerah itu dapat dibangun kekuasaan yang besar. Apalagi dengan bantuan prajurit-prajurit yang berpengalaman.”

Terasa sesuatu menyentuh hati para prajurit itu. Seakan-akan di hadapan mereka ditunjukkan oleh Ki Tambak Wedi, betapa suram hari depan mereka. Betapa suram hari depan Macan Kepatihan. Tetapi dengan suatu perubahan di dalam hidup mereka, maka hari depan merekapun akan dapat berubah pula.

Tiba-tiba merayap di dalam hati para prajurit itu pertanyaan, “Kenapa Tohpati menolak uluran tangan Ki Tambak Wedi?”

Tetapi pertanyaan itu disimpannya di dalam hati. Mereka kini seakan-akan telah menjadi patung yang hanya boleh mendengarkan Ki Tambak Wedi berbicara. Katanya meneruskan, “Selanjutnya terserah kepada kalian. Tetapi aku telah memberikan perbandingan-perbandingan.”

Suasana di perkemahan itu kemudian menjadi sepi. Beberapa orang berdiri tegak dengan senjata di tangan. Namun ujung-ujung senjata itu sudah terkulai di tanah. Mereka berdiri saja seperti patung mengerumuni dalam jarak yang tidak jauh, seorang tua namanya ditakuti karena kesaktiannya bersama seoreng muridnya yang garang.

Dalam suasana yang sepi itulah maka kata-kata Tambak Wedi seakan-akan meresap semakin dalam di hati para prajurit Jipang yang memang sudah terlalu lama mengalami kepahitan hidup di hutan-hutan dan pengembaraan sebagai orang-orang liar. Apabila mereka menemukan tempat yang baik, maka keadaan mereka pasti akan lebih baik. Seandainya mereka masih harus berjuang untuk menghancurkan Pajang, maka landasan mereka akan lebih kokoh.

Sejenak Ki Tambak Wedi pun berdiam diri pula. Dibiarkannya para prajurit Jipang itu mencernakan kata-katanya. Ia mengharap seandainya tidak sekarang, namun orang-orang itu pasti akan memperbincangkan kata-katanya dengan beberapa orang kawan-kawannya. Semakin lama akan menjalar semakin luas di antara orang-orang Macan Kepatihan.

Tetapi kesepian itu kemudian dipecahkan oleh kehadiran seorang tua, juru masak Macan Kepatihan yang malas, Sumangkar; yang dengan terbata-bata berkata. “Tundun, Tundun! Rusa itu sudah masak. Apakah kau tidak mencium baunya? Aku bumbui rusa panggang itu dengan tanganku sendiri.”

Dalam suasana yang sepi tegang, kehadiran Sumangkar benar-benar mengejutkan. Apalagi sebelum ia sendiri hadir di tengah-tengah kesepian itu, suaranya telah lebih dahulu melengking di antara mereka. Sehingga ketika Sumangkar berlari-lari, maka beberapa orang telah berloncatan menyibak tanpa mereka kehendaki sendiri.

Tundun pun terperanjat pula. Ia melihat Sumangkar berIari-lari ke arahnya dan kemudian berdiri di hadapannja sambil terengah-engah.

“Gila!” teriak Tundun yang masih berdebar-debar karena terkejut.

“Rusa itu sudah masak Tundun,” ulang Sumangkar.

“Gila. Aku sangka apa saja yang kau teriakkan itu. Apakah kau tidak melihat apa yang sedang terjadi di sini?”

Sumangkar terdiam sesaat. Dipandangnya beberapa orang yang berdiri di sekitarnya. Dan kemudian dipandanginya kedua orang yang berdiri di antara mereka. Guru dan murid.

Tetapi sebelum Sumangkar berkata-kata sepatah katapun, maka kembali terdengar Tundun membentak. “He orang tua yang bodoh. Coba lihat tangan-tangan kami masih menggenggam senjata. Dan keringat kami masih belum kering. Ayo, pergi. Atau kepalamu kami pangkas dengan pedang kami.”

“Jangan Tundun,” sahut Sumangkar. “Aku datang sekedar memberitahukan, bahwa apa yang harus kukerjakan sudah selesai. Rusa panggang. Dahulu Adipati Arya Penangsang gemar sekali akan rusa panggang pula. Dahulu ketika Adipati Jipang itu masih berkuasa di Jipang.”

“Tutup mulutmu!” bentak Tundun.

Tetapi Sumangkar berbicara terus, seakan-akan ia tidak mendengar Tundun membentak-bentak dan tidak melihat kehadiran orang-orang di sekitarnya, orang-orang Jipang sendiri dan kedua orang asing itu. Katanya, “Tetapi sayang Adipati Jipang itu sudah tidak ada lagi. Dahulu Adipati Jipang tidak pernah melupakan rusa panggang dalam setiap perburuan. Pamanda Kepatihan, Mantahun pun senang sekali akan rusa panggang pula. Sayang, giginya telah hampir habis karena usianya, sehingga Patih Mantahun tidak dapat ikut menikmatinya.”

“He, orang gila,” potong Tundun berteriak keras sekali, “pergi dari sini sebelum aku bunuh kau.”

“Ternyata sekarang Macan Kepatihan, kemanakan Mantahun itu, gemar pula akan rusa panggang. Tetapi kasian Macan Kepatihan itu. Ia kini hidup seperti sehelai kapuk diterbangkan angin. Tidak mempunyai tempat landasan bagi perjuanganya. Dahulu Arya Jipang mempunyai landasan yang kuat. Satu Kadipaten Jipang memihaknya, lengkap dengan seluruh pasukan Wira Tamtama dari Kadipaten itu. Jipang adalah Kadipaten yang lengkap. Bukan sekedar padukuhan atau padesan yang masih harus dibangun, meskipun dibantu oleh prajurit-prajurit yang berpengalaman. Tetapi Jipang sudah besar sejak permulaan mengangkat senjata. Prajuritnya sudah lengkap di bawah pimpinan Patih Mantahun di samping Arya Penangsang sendiri. Dan kemudian dibantu oleh Raden Tohpati. Bukan suatu daerah asing di seberang hutan belantara. Namun Jipang yang kuat itu dapat dipecahkan oleh kekuatan Pajang di bawah pimpinan Adipati Adiwijaja, yang bermama Mas Karebet semasa ia masih menjadi seorang anak gembala. Apalagi daerah-daerah terpencil, padukuhan dan padesan yang ringkih dan sepi.”

Cukup!” tiba-tiba hutan itu tergetar oleh suara Tambak Wedi yang marah bukan buatan. Ia tahu benar maksud kata-kata Sumangkar itu. Demikian marahnya, sehingga hantu dari lereng Gunung Merapi itu berteriak sekuat-kuatnya.

Semua orang yang berdiri memutarinya terkejut. Hampir saja mereka berloncatan menjauh. Tundun pun terkejut pula mendengar teriakan itu.

Bukan saja terkejut karena Tambak Wedi berteriak. Tetapi segera Tundun pun menjadi cemas melihat Tambak Wedi itu terbakar oleh kamarahan. Wajahnya merah dan sepasang matanya seolah-olah menyala seperti bara.

“Kalau Tambak Wedi ini menjadi marah, dalam suasana yang telah menjadi tenang ini, dan membunuh kami sekalian, maka kami tidak akan dapat malawannya,” pikir Tundun. Karena itu maka segera ia menimpakan kesalahan itu kepada Sumangkar. Untuk mengurangi kemarahan Tambak Wedi, maka Tundun itupun berteriak pula. “He Sumangkar yang gila. Bukan orang Iain yang akan membunuhmu karena mulutmu yang lancang itu. Tetapi aku sendiri. Dengan pedangku dan tanganku, maka kepalamu akan aku pancung di muka kawan-kawanmu ini.”

Tetapi Sumangkar itu seolah-olah tidak mendengar suara Tundun dan Tambak Wedi. Dan Tundun itupun kemudian terkejut bukan buatan. Ketika ia melangkah setapak maju untuk menyingkirkan Sumangkar yang telah membangkitkan kemarahan Tambak Wedi yang menakutkan itu, tiba-tiba dihatnya Sumangkar memutar tubuhnya, membelakanginya dan menghadap Ki Tambak Wedi. Bahkan kemudian dilihatnya Sumangkar itu tersenjum sambil berkata, “Jangan marah Kakang Tambak Wedi. Jangan marah supaya kau tidak menjadi lekas tua.”

“Sumangkar,” teriak Tambak Wedi, “kehadiranmu di sini benar-benar mengejutkan aku. Kenapa kau tidak ikut pergi ke medan pertempuran Setan tua?”

Sumangkar menggeleng. “Tidak Kakang. Aku adalah seorang juru masak.”

“Tetapi kau kali ini benar-benar ingin merusak semua rencana yang sudah aku susun bersama muridku ini.”

Sumangkar tertawa. Sekali ia berpaling, dan dilihatnya Tundun berdiri ternganga di belakangnya. Alangkah peningnya kepala pemimpin prajurit pengawal perkemahan ini. Tiba-tiba saja ia melihat seolah-olah Sumangkar, juru masak yang malas itu telah mengenal dan dikenal olah Ki Tambak Wedi.

“Jangan heran Tundun,” berkata Sumangkar, “aku kini berjumpa dengan kawan bermain di waktu muda. Tatapi sayang bahwa ia kini menjadi seorang guru yang ternama, dan aku menjadi seorang juru masak yang malas. Yang sehari ini selalu kau bentak-bentak saja.”

Namun kata-kata itu terputus oleh teriakan Ki Tambak Wedi. “Jangan mengigau. Apakah kehendakmu sebenanya?”

Mendengar teriakan Tambak Wedi itu, sekali lagi Sumangkar tersenyum. Dan sekali lagi ia berkata, “Jangan marah Kakang Tambak Wedi.”

“Persetan!” teriak Tambak Wadi. “Lihat, kalau kau masih saja berdiri di situ, aku bunuh kau dan prajurit-prajurit Jipang seluruhnya.”

Ancaman itu telah menyadarkan Tundun dari keheranannya. Kini kembali ia dicengkam oleh ketakutan. Dan sekali lagi Tundun menimpakan kesalahan itu kepada Sumangkar, katanya, “He, juru masak yang malas. Untuk membebaskan kami dari kemarahan Ki Tambak Wedi, maka aku terpaksa membunuhmu.”

Kali ini Sumangkar terpaksa berpaling dan menjawab, “Jangan Tundun. Jangan mengorbankan kawan sendiri untuk memuaskan orang lain karena kau melihat kepentinganmu sendiri. Karena kau ingin kau dihidupi. Tentu aku tidak mau menjadi korban. Kalau kita menjadi korban bersama-sama, marilah, biarlah aku mati paling awal dari kalian. Tetapi kalau aku sendiri harus mati karena kalian ketakutan akan mati itu, nanti dulu.”

Tundun menggeram mendengar kata-kata itu. Terbersit di hatinya kebenaran kata-kata Sumangkar. Tetapi ketakutannya kepada Ki Tambak Wedi telah mengatasi segalanya, maka katanya, “Jangan banyak bicara. Kau tidak berarti di sini.”

“Kalau kau bunuh aku Tundun, Macan Kepatihan pasti akan marah. Aku adalah juru masak yang dibawanya sejak dari istana kepatihan. Tentu. Tentu kau belum mengenal aku, sebab saat-saat itu kau adalah seorang Wira Tamtama yang tidak bertugas di istana Kadipaten maupun di istana Kepatihan. Hanya orang-orang tua dan mereka yang bertugas di istana dan istana Kepatihan sajalah yang menganal Sumangkar. Di antaranya adalah Sanakeling. Dan Ki Tambak Wedi. Bukankah begitu Kakang?”

“Tutup mulutmu, Sumangkar! Lihat, kawanmu sudah siap akan membunuhmu,” sahut Ki Tambak Wedi, yang kemudian berkata kepada Tundun, “Kalau kau bunuh tikus tua itu, aku maafkan kalian.”

Tundun yang lebih sayang kepada jiwanya sendiri menggeram. Selangkah ia maju dan pedangnya telah siap menusuk punggung Sumangkar. Tetapi ia mendengar Sumangkar berkata, “Cara yang baik untuk mengadu sesama kawan. Kini tinggallah kita sendiri, Tundun. Apakah kita ini sebangsa domba-domba yang siap untuk diadu, ataukah kita ini sebangsa prajurit yang setia kepada tugas dan pimpinan kami. Pilihlah olehmu Tundun.”

Tundun terhenti. Kembali dadanya berdesir. Kata-kata Sumangkar yang terakhir telah benar-benar menggugah kesadarannya. Namun ketika sekali lagi dilihatnya Ki Tambak Wedi ia menyahut, “Adalah salahmu sendiri Sumangkar. Kau ternyata ikut campur dalam persoalan yang hampir dapat aku selesaikan dengan caraku. Tetapi karena kelancanganmu, maka persoalannya menjadi panas kembali. Dan nyawamu akan dapat menjadi tebusan dari sekian banyak orang. Karena itu bersedialah untuk mati.”

“Baik Tundun, aku bersedia untuk mati. Tetapi biarlah Ki Tambak Wedi sendirilah yang membunuh Sumangkar. Itu kalau ada keberanian padanya. Sebab Tambak Wedi sudah mengenal siapakah Sumangkar itu. Tetapi aku tidak akan bersedia mati karena pedang kawan sendiri.” Kemudian kepada Tambak Wedi ia berkata, “Kakang, jangan mengharap akan timbul perkelahian di antara kita. Kau tahu, bahwa Tundun tidak akan dapat membunuh Sumangkar, dan kau tahu, bahwa apabila dikehendaki Sumangkar akan mampu membunuh semua orang Jipang yang bertugas di sini sekaligus seperti apa yang akan dilakukan oleh Tambak Wedi. Tetapi kalau lidahmu barhasil mengadu kekuatan di antara kami, maka aku dapat menghindari, melarikan diri dari tempat ini tanpa seorangpun yang dapat menangkapnya. Kaupun tidak.”

Dada setiap orang yang mendengar kata-kata itu berdesir. Namun Tundun yang lebih mementingkan keselamatan diri dan kawannya, dan sejak semula menganggap Sumangkar tidak berguna itu, agaknya lebih baik mengorbankanya. Dengan marah ia mendengar seakan-akan kata-kata Sumangkar itu sebagai kicauan burung yang memuakkan. Karena itu tiba-tiba ia meloncat dan menusuk punggung Sumangkar dari belakang. Geraknya cepat seperti kilat meloncat di langit. Kawan-kawannya yang melihat loncatan itu terkejut. Apalagi seorang yang bernama Bajang. Tardengar ia bertariak nyaring, “Kau gila Tundun. Aku sudah terluka. Kau sekarang ingin mengorbankan kawan sendiri. Ayo, biarlah aku jadi banten. Aku akan mati bersama Sumangkar.”

Tetapi suara itu tak didengar oleh Tundun. Ia sama sekali tidak mengurungkan niatnya. Bahkan loncatannya dipercepatnya sebab ia melihat Bajang bergerak untuk mencegahnya.

Kawan-kawannya yang lain berdiri saja seperti patung. Tak seorangpun yang mampu mencegah atau membenarkan tindakan Tundun dan Bajang. Mereka benar-benar dicengkam oleh kebingungan dan kekaburan pikiran. Mereka menganggap kata-kata Tundun dan tindakannya itu dapat menyelamatkan mereka, tetapi perasaan mereka hampir tidak rela melihat Sumangkar dikorbankan tanpa belas kasihan. Betapapun juga Sumangkar telah berada di dalam lingkungan mereka, sejak mereka meninggalkan Jipang.

Tetapi Bajang yang berdiri agak jauh itu terlambat. Tundun telah berhasil mencapai Sumangkar dengan ujung pedangnya yang langsung mengarah punggung.
Beberapa orang yang tidak sampai melihat pembunuhan itu memejamkan matanya. Bajang sendiri langkahnya terhenti. Sesaat ia tertegun, namun kemudian ia memalingkan wajahnya sambil berteriak, “Gila kau Tundun. Aku kelak yang akan membunuhmu.”

Tetapi alangkah dahsyatnya goncangan perasaan mereka saat itu. Seakan-akan darah mereka membeku dan nafas mereka terhenti mengalir. Yang mereka lihat kemudian sama sekali bukan Sumangkar yang jatuh tersungkur dan menyemburkan darah dari luka di punggungnya. Tetapi yang mereka lihat, Tundun terdorong beberapa langkah ke samping dan mereka melihat Sumangkar itu berdiri dengan garangnya dengan pedang di tangannya.

Belum lagi gelora di dada mereka berhenti, terdengar Sumangkar berkata, “Terima kasih Tundun. Ternyata kau baik hati. Kau telah memberi aku senjata untuk mengusir Tambak Wedi yang tamak ini.”

Yang paling terkejut atas peristiwa itu adalah Tundun sendiri. Ketika ia meloncat menusuk punggung Sumangkar, maka ia sudah pasti bahwa pedangnya akan menghunjam sampai ke jantung. Meskipun di dalam dadanya, merayap juga keraguan-raguan dan kekhawatiran, bahwa Macan Kepatihan akan marah kepadanya, serta bagaimanapun juga ada rasa kasihan kepada orang tua itu, namun hasratnya untuk hidup telah memaksanya melakukan tindakan itu, dan ia akan dapat mengatakan berbagai alasan kelak kepada Macan Kepatihan.

Tetapi tanpa disangka-sangka, maka terasa bahwa pedangnya tergetar. Bukan karena ujungnya menyobek kulit orang tua itu, tetapi, ia melihat, orang tua itu bergeser cepat sekali ke samping. Pedangnya berlari tidak lebih dari tebal jari tangannya di samping tubuh juru masak yang malas itu. Namun sasaat kemudian dunianya seakan-akan berguncang. Ia sendiri terdorong ke samping oleh kekuatan yang dahsyat dan tangannya terasa nyeri bukan buatan, sehingga tanganya itu terasa lumpuh. Ketika ia menyadari keadaannya, pedangnya telah terlepas dari tangannya berpindah ke tangan Sumangkar, juru masak yang memuakkannya.

Sesaat Tundun membeku di tempatnya. Tangannya masih terasa sakit bukan buatan di pergelangan. Bahkan Tundun itu menjadi cemas bahwa tangannya menjadi retak, dan cacat di tubuhnya bertambah-tambah lagi.

“Menepilah anak manis,” berkata Sumangkar itu, “jangan turut mencampuri urusan orang tua-tua.”

Tundun memandangnya dengan pandangan yang bergejolak. Matanya memancarkan beribu macam perasaan yang aneh di dalam dirinya, yang justru telah mendorongnya ke dalam suatu keadaan yang tak dikenalnya. Sumangkar itu telah membingungkannya.

Tetapi Tambak Wedi dan Sidanti sama sekali tidak terkejut melihat peristiwa itu. Mereka sudah mengetahui, bahwa akan demikianlah akhirnya. Tetapi mereka mengharap, bahwa kawan-kawan Tundun akan membela pemimpinnya itu dan bersama-sama menyerang Sumangkar. Dengan demikian maka ia dengan bebas dapat membunuh Sumangkar bersama muridnya tanpa gangguan apapun, meskipun orang-orang Jipang itu sama sekali tidak akan berarti.

Tetapi keadaan itu berkembang menurut iramanya sendiri. Sumangkar yang telah menggenggam pedang di tangannya cepat-cepat berteriak sebelum Ki Tambak Wedi berhasil mempengaruhi suasana. “Nah, orang-orang Jipang. Sekarang, apakah kalian akan berdiam diri? Apakah kalian akan mengikuti perbuatan Tundun membunuhku? Dengar. Kalian bersama-sama telah dapat mengalahkan, setidak-tidaknya membuat murid Tambak Wedi itu tidak berdaya. Apakah kalian tidak berbangga karenanya. Murid Tambak Wedi yang menakutkan itu dapat kalian kalahkan. Sekarang, meskipun Tundun tidak akan mampu ikut berkelahi, namun kalian masih cukup kekuatan untuk mengulangi kemenangan itu. Sedang Tambak Wedi, serahkanlah kepadaku. Kalau aku tidak mampu memancung kepalanya, biarlah kepalaku yang kalian pancung di hadapan Tambak Wedi.

Bukan main besar pengaruh kata-kata Sumangkar itu. Yang pertama-tama menyadari kedudukannya adalah Bajang. Dengan sigapnya ia meloncat maju sambil berkata, “Aku telah dilukainya. Kini aku akan membalasnya.”

“Bagus Bajang, kesempatan itu akan datang. Bagaimana yang lain. Apakah kalian lebih senang melihat kawan sendiri terbunuh, atau kalian ingin melihat kita bersama-sama melakukan kewajiban dengan baik?”

Apa yang terjadi telah benar-benar menggerakkan hati prajurit-prajurit Jipang itu. Ketika mereka kemudian melihat Bajang yang telah melelehkan darah itu bergerak, maka serentak merekapun bergerak pula. Tanpa disadari, maka lingkaran di sekitar Tambak Wedi dan Sidanti telah pulih kembali. Kedua orang itu kini berdada di tengah-tengah kepungan.

“Gila,” geram Tambak Wedi, “ternyata kalian telah sekarat.”

“Setiap prajurit menyadari, bahwa kemungkinan itu dapat terjadi. Mati di peperangan. Tetapi bukan mati karena pedang kawan sendiri,” sahut Sumangkar.

“Persetan! Aku akan menunjukkan bahwa Tambak Wedi tidak dapat dilawan oleh siapapun juga.”

“Sumangkar adalah salah satu perkecualian,” sahut Sumangkar lantang.

Sidanti ternyata tidak dapat mengekang dirinya lagi. Tiba-tiba ia memutar pedangnya, dan dengan derasnya pedang itu menyambar kepala Sumangkar.

Yang melihat gerakan itu berdesir. Gerak itu terlampau cepat. Jauh lebih cepat dari yang dilakukan oleh Tundun. Karena itu, maka terdengar desis tertahan. Seakan-akan mereka pasti bahwa kepala Sumangkar akan terpangkas.

Tetapi sekali lagi mereka menjadi heran. Ternyata Sumangkar mampu menghindari serangan. Dengan cepat pula ia berhasil merendahkan dirinya dan melontar ke samping. Bahkan dengan satu gerakan yang lebih cepat dari gerakan Sidanti, Sumangkar berhasil memukul pedang anak muda itu. Demikian keras dan dahsyatnya sehingga pedang itu terpental, lepas dari genggaman dan jatuh beberapa langkah.

Tambak Wedi yang melihat peristiwa itu menggeram marah sekali. Ia sudah tentu tidak akan membiarkan muridnya terbunuh di hadapan hidungnya. Cepat seperti petir yang meloncat di langit, Tambak Wedi menyerang Sumangkar. Di tangannya telah tergenggam sepasang gelang yang melindungi tangannya, sekaligus merupakan senjata yang berbahaya pula. Sentuhan dari gelang itu akan dapat memecahkan tulang-tulang kepala dan merontokkan iga.

Seandainya Tohpati ada di tempat itu dan bertempur berpasangan bersama Sumangkar, maka Sidanti sudah tidak akan dapat keluar lingkaran pertempuran itu dengan tubuhnya. Tohpati pasti akan dapat menyesuaikan dirinya, selagi pedang Sidanti itu terjatuh. Sebab Sumangkar telah langsung melawan Tambak Wedi dengan sekuat tenaganya, sehingga Tambak Wedi tidak sempat untuk menolong muridnya itu. Tetapi kali ini yang ada di sekitar perkelahian itu adalah prajurit-prajurit Jipang yang berdiri keheranan. Mereka baru menyadari keadaan itu ketika Sidanti telah berhasil memungut pedangnya kembali dan siap bertempur melawan mereka itu.

Sumangkar yang melihat Sidanti telah berhasil menguasai dirinya kembali menjadi kecewa. Karena itu segera ia berteriak, “He, anak-anak Jipang yang berani. Kenapa kalian berdiri saja seperti tonggak. Ayo, selesaikan tugasmu.”

Suara Sumangkar itu seolah-olah jatuhnya sebuah perintah dari seorang panglima yang mereka segani. Serentak mereka berloncatan yang menyerang sejadi-jadinya. Tetapi Sidanti pun telah bersiap pula. Karena itu, demikian serangan itu datang, maka dengan sekuat tenaganya, serangan itu dilawannya. Dengan lincahnya ia menari-nari di antara ujung-ujung senjata lawannya. Namun lawannya ternyata terlalu banyak, sehingga dengan seluruh kekuatan dan kecakapannya ia harus mempertahankan dirinya. Tetapi terasa jari-jari tangannya menjadi nyeri karena senjatanya beradu dengan senjata Sumangkar sampai terlepas, sehingga betapapun kecilnya berpengaruh juga atas kelincahan tangannya.

Tambak Wedi yang melihat keadaan muridnya menjadi cemas. Sidanti ternyata mengalami tekanan-tekanan yang berat. Sedang dirinya sendiri terikat pada lawannya yang menyerangnya seperti orang yang sedang mabuk, meskipun pasti tak akan dapat menjatuhkannya.

Sumangkar memang berjuang dengan sepenuh tenaga. Diperasnya segenap kemampuan dan kekuatannya. Menurut perhitungannya, seandainya ia akan kehabisan tenaga, namun Sidanti akan lebih dahulu runtuh daripadanya, sebab betapapun saktinya anak muda itu, tetapi melawan prajurit-prajurit Jipang yang sekian banyaknya adalah pekerjaan yang mustahil dapat dilakukannya.

Tambak Wedi yang telah menyimpan pengalaman yang banyak sekali di dalam dirinya melihat pula keadaan itu. Setidak-tidaknya ia mengerti apa yang dikehendaki oleh Sumangkar. Namun sebagai seorang yang sakti, segera ia dapat mengerti pula, bahwa sebenarnya muridnya akan banyak mengalami kesulitan, sedang dirinya sendiri tidak akan dapat segera memberinya pertolongan.

“Sumangkar ini benar-benar gila,” desahnya di dalam hati. Karena itu segera ia mencari cara untuk melepaskan diri dari keadaan yang mengkhawatirkan itu.

Tiba-tiba dalam keriuhan pertempuran terdengar Tambak Wedi menggeram. “Sidanti jangan kau lukai lawan-lawanmu. Jangan kau sakiti hatinya. Meskipun Sumangkar yang gila ini merusakkan rencana kita, namun aku masih tetap dalam pendirianku. Kami harus membuka pintu untuk menolong anak-anak yang malang ini.”

Sidanti tidak segera mengerti maksud gurunya. Bahkan ia mengumpat-umpat di dalam hatinya. Beberapa kali terasa ujung-ujung senjata lawannya telah menyentuh pakaiannya, dan bahkan beberapa kali terasa goresan pada kulitnya, namun kenapa gurunya masih melarangnya untuk melukai lawannya.

Dan terdengar kembali suara Tambak Wedi. “Sidanti, bukankah maksud kita kali ini hanya segera memperkenalkan diri. Nah kini pekerjaan kita sudah selesai. Marilah kita tinggalkan perkemahan ini.”

Barulah Sidanti menyadari maksud gurunya. Betapapun kemarahan meluap di hatinya, tetapi ia harus mengakui pula keadaannya. Ia harus menyadari bahwa ia tidak akan mampu melawan orang-orang Jipang itu sekaligus, apalagi jari-jari tangannya kini terasa menjadi nyeri.

Dalam pada itu terdengar kembali suara gurunya. “Nah, Sidanti lepaskanlah lawan-lawanmu. Biarlah mereka tetap dalam keadaannya. Kita akan tetap menanti kedatangan mereka di padukuhan kita atau di tempat asalmu kelak apabila perlu.”

Sidanti tahu benar akan kesulitannya sendiri. Alasan gurunya mengorbankan harga dirinya. Karena itu, tiba-tiba ia meloncat dengan memberinya kesempatan meninggalkan pertempuran itu dengan lincahnya, memutar senjata untuk menerobos lawan-lawannya yang selalu berusaha untuk mengepungnya. Geraknya benar-benar cepat tidak terduga, sehingga sesaat kemudian Sidanti telah berhasil keluar dari lingkungan pertempuran.

Dengan tangkasnya kemudian Sidanti menghindari setiap sergapan sambil melangkah surut. “Aku sudah bebas guru,” katanya sambil terus-menerus mengundurkan dirinya sambil melawan dan berusaha untuk tidak masuk ke dalam kepungan.

“Bagus,” sahut gurunya, “kau adalah muridku yang baik. Betapapun juga kau mengalami kesulitan, tetapi kau tetap tidak mau menyakiti hati prajurit-prajurit Jipang yang berani. Nah, tinggalkan mereka. Akupun akan segera pergi.”

Sidanti tidak menunggu perintah gurunya itu diulangi. Segera ia bersiap melontar surut dan melepaskan diri dari daerah perkemahan itu.

Sumangkar yang melihat cara Tambak Wedi dan muridnya melepaskan diri mengumpat tak habis-habisnya. Katanya, “Pengecut. Kalian telah berani masuk ke dalam sarang srigala. Tetapi sifat-sifat kalian lari, meskipun alasan kalian tampaknya terlalu menyakinkan?”

Sidanti yang sudah agak jauh mendengar teriakan itu. Darah mudanya kembali menyala di dalam dadanya, sehingga tiba-tiba ia berhenti sambil menyahut. “Ayo, kelinci-kelinci yang mengaku srigala, inilah Sidanti.”

“Jangan hiraukan,” teriak gurunya, “kalau kau bertempur lagi Sidanti, mungkin kau akan terpaksa membunuh lawan-lawanmu. Dengan demikian di antara kita akan timbul persoalan-persoalan yang sulit kita lupakan. Tinggalkan tempat ini.”

Sidanti menggeram ketika ia mendengar Sumangkar tertawa. “Bagus. Apapun alasanmu, tetapi kami di sini akan mendapat kesan atas nilai-nilai pribadi Tambak Wedi dan muridnya.”

Tambak Wedi-lah yang menyahut kata-kata itu. “Suatu ketika kau akan berkata lain, Sumangkar.”

Sumangkar tidak menjawab. Tetapi ia menyerang terus dan bahkan terdengar ia meneriakkan aba-aba. “Jangan lepaskan Sidanti. Ia akan kembali dengan dendam di dalam hatinya. Jangan biarkan ia dapat melepaskan diri.”

“Jangan hiraukan, Sidanti,” teriak Tambak Wedi.

Betapapun juga, namun Sidanti dapat mengerti perintah gurunya. Karena itu, meskipun darah di dalam jantungnya serasa menyala, namun ia terpaksa meninggalkan pertempuran itu.

Demikian Sidanti menghilang, maka demikian pula Tambak Wedi melontarkan dirinya, menghindari serangan-serangan Sumangkar yang datang bertubi-tubi. Sekali ia melawan namun di saat-saat lain ia meloncat surut, semakin lama semakin jauh, tetapi Sumangkar masih belum melepasnya.

Namun ternyata Tambak Wedi yang sebenarnya tidak kalah dari Sumangkar itu, berhasil pula melepaskan dirinya. Dengan menyusup ke dalam gerumbul-gerumbul liar di sekitar tempat itu, ia dapat menghindari serangan-serangan dan kejaran Sumangkar.

Sumangkar menggeram marah sekali. Terdengar ia berteriak di antara kawan-kawannya, “Ayo, kenapa kalian hanya berdiri terpaku seperti nonton pacuan kuda? Kepung setan itu.”

Tetapi betapapun usahanya, namun Tambak Wedi benar-benar berhasil lolos dari mereka, seolah-olah mampu menghilang. Namun di kejauhan terdengar suaranya melingkar-lingkar di dalam hutan. “Sumangkar, suatu ketika kau akan menyesal.”

“Setan!” sahut Sumangkar dengan suara yang keras, “sekarang kami siap menunggumu.”

Tetapi Tambak Wedi itupun lenyap dari antara mereka.

Meskipun demikian, meskipun Tambak Wedi tidak berhasil mempengaruhi orang-orang Jipang pada saat itu, namun ia telah berhasil melontarkan tawarannya. Ia telah berhasil menyatakan perbandingan antara diri mereka dengan Macan Kepatihan. Sehingga bagaimanapun juga, Tambak Wedi yakin bahwa di saat-saat mereka duduk termenung, tawarannya akan berkumandang kembali di dalam hati mereka. Dengan demikian, Tambak Wedi itu telah berhasil meletakkan sebuah persoalan di dalam hati prajurit-prajurit Jipang yang sedang mengalami kesulitan lahir dan hatin.

Tetapi yang mula-mula menggoncangkan hati anak-anak Jipang itu adalah Sumangkar itu sendiri. Juru masak yang malas itu telah menimbulkan berbagai pertanyaan di dalam hati setiap orang yang telah melihat apa saja yang telah dilakukannya. Apalagi Tundun, yang kini berdiri membeku. Sekali-sekali mulutnya menyeringai karena sengatan rasa sakit pada tangannya. Ketika ia melihat Tambak Wedi yang ganas itu melarikan dirinya, maka hatinya benar-benar bergelora. Ia tidak menyangka bahwa juru masak itu berhasil mengusir Tambak Wedi yang menakutkan di seluruh wilayah lereng Gunung Merapi itu. Namun setelah itu, setelah Tambak Wedi tidak nampak lagi di mata mereka, timbullah kecemasan dan ketakutan yang lain di dada Tundun itu. Betapa Sumangkar akan membalasnya. Ia pasti tidak akan mampu berbuat apa-apa, seperti ia tidak akan mampu melawan Tambak Wedi.

Karena itu, maka kemudian dipandangnya Sumangkar itu dengan gelora di dalam dirinya.

“Apakah yang akan dilakukannya?” katanya dalam hati. Aneh. Orang itu adalah orang yang aneh. Apakah ada setan yang manjing ke dalam dirinya?

Sumangkar sendiri kemudian berdiri kaku di tempatnya. Ia menjadi sangat kecewa atas lenyapnya Tambak Wedi dan Sidanti. Kedua orang itu tidak kalah berbahayanya daripada pasukan Pajang di Sangkal Putung bagi Macan Kepatihan dan pasukannya. Mungkin suatu saat Macan Kepatihan akan kehilangan kewibawaannya atas anak buahnya karena pokal Tambak Wedi itu. Mungkin anak buahnya satu demi satu akan menghilang dan menggabungkan diri dengan Hantu Lereng Merapi itu. Dengan demikian persoalannya akan menjadi semakin sulit. Macan Kepatihan harus menghadapi persoalan baru yang tidak kalah rumitnya dengan persoalan-persoalan yang telah ada, apalagi hal itu pasti akan langsung menyentuh harga diri Macan Kepatihan itu.

Sedangkan apabila Macan Kepatihan menerima kehadiran mereka di dalam lingkungannya, maka keadaannya sama sekali tidak akan bertambah baik. Hubungan antara pasukan Jipang dengan Pajang pasti akan bertambah buruk. Pertentangan akan semakin menyala dan membakar rakyat Jipang dan Pajang sendiri. Kematian dan bencana akan menjadi semakin bertambah-tambah. Sedangkan tujuan terakhir dari perlawanan itu sama sekali tidak akan dapat diharapkan. Pajang tidak saja berisi Untara, Widura dan anak buahnya di Sangkal Putung. Tetapi Pajang memiliki panglima-panglima yang mumpuni. Ki Gede Pamanahan adalah lambang dari kekuatan Wira Tamtama Pajang, dan puteranya Loring Pasar adalah kekuatan yang tidak ada taranya di antara angkatan mudanya.

Sesaat Sumangkar itu tenggelam dalam angan-angannya. Tetapi kemudian disadarinya, bahwa di sekitarnya masih berdiri para prajurit Jipang. Bahkan mereka yang lukapun masih belum mendapat perawatan sama sekali.

“He, kenapa kalian menjadi bingung,” katanya kemudian. “Lihat kawan-kawanmu yang luka. Nah, tolonglah dan obati mereka.”

Beberapa orang tersadar dari kekagumannya. Segera mereka mencoba merawat kawan-kawan mereka dan membawa mereka kembali ke perkemahan. Tetapi ketika seseorang mengajak Bajang kembali, terdengar Bajang menjawab, “Aku masih mampu berjalan sendiri.”

Tetapi sepeninggal kawannya itu, Bajang berjalan perlahan-lahan mendekati Sumangkar. Dengan hormatnya ia mengangguk sambil berkata, “Maafkan aku. Bagaimana aku harus bersikap setelah aku melihat apa yang telah kau lakukan.”

“Oh,” seru Sumangkar, “aku tidak menuntut perubahan sikap kalian terhadapku. Aku tetap seorang juru masak.”

“Hem,” desah Bajang, “alangkah bodohnya aku. Kenapa aku tidak melihat keadaan ini sebelumnya. Kenapa aku tidak tahu siapakah sebenarnya Sumangkar itu.”

“Jangan ribut,” sahut Sumangkar. “Kembalilah dan pelihara lukamu. Mungkin Sidanti dan Tambak Wedi akan datang di saat-saat lain.”

Kembali Bajang mengangguk hormat. Kemudian ia melangkah pergi meninggalkan Sumangkar yang masih berdiri di tempatnya.

Yang tinggal kemudian adalah Tundun sendiri. Dengan cemas ia melihat Sumangkar masih menggenggam pedangnya. Orang tua itu masih belum meninggalkan tempatnya dan bahkan kemudian perlahan-lahan melangkah mendekatinya.

“Kenapa kau masih berdiri disitu?” terdengar orang tua itu bertanya.

Tundun itupun kemudian menjawab dengan gemetar, “Tidak, tidak.”

“Apa yang tidak?” bertanya Sumangkar pula.

Tundun menjadi bingung. Ia tidak tahu, bagaimana menjawab pertanyaan itu.

Perlahan-lahan Sumangkar datang kepadanya sambil berkata, “Kenapa kau tidak kembali ke perkemahan?”

“Ya, ya,” sahut Tundun terbata-bata, “aku akan kembali.”

“Nah kembalilah,” berkata Sumangkar pula.

Tundun memandang Sumangkar tanpa berkedip. Terasa tengkuknya meremang, seakan-akan Sumangkar itu telah mencengkamnya dan dengan penuh kemarahan membantingnya jatuh di tanah.

Tetapi Sumangkar masih tegak. Bahkan kembali ia mendengar suaranya. “Marilah kita kembali bersama-sama.”

Seperti orang kehilangan kesadaran ketika Tundun melihat Sumangkar berjalan mendahului, iapun berjalan pula di belakangnya dengan kepala tunduk. Hanya sekali-sekali terasa sakit di tangannya masih menyengat-nyengat. Tetapi ia sama sekali tidak berani mengeluh. Bahkan ia terkejut ketika tiba-tiba Sumangkar berkata, “Apakah tanganmu masih sakit?”

Sesaat Tundun menjadi bingung. Namun kemudian ia menjawab, “Tidak. Sudah tidak sakit.”

Mendengar jawaban itu Sumangkar berhenti. Ketika ia berpaling, dilihatnya tangan kiri Tundun meraba-raba tangan kanannya. Dan Tundun pun terkejut pula. Tergagap-gagap ia berkata, “Masih. Tanganku masih sakit.”

Sumangkar tersenyum. Ia masih menggenggam pedang Tundun. Karena itu maka katanya sambil menyerahkan pedang itu, “Inilah pedangmu.”

Tundun memandang Sumangkar seperti memandang hantu sehingga Sumangkar tertawa karenanya. “Jangan cemas, aku tidak apa-apa.”

Kata-kata Sumangkar itu seolah-olah telah mengembalikan segenap kesadaran Tundun. Tiba-tiba ia merasa betapa besar kesalahan yang telah dilakukan atas orang tua itu sehari ini. Sehingga sampai pada puncak kebodohannya mencoba membunuhnya. Karena itu tiba-tiba Tundun itu berjongkok di hadapan Sumangkar sambil berkata, “Maafkan aku. Maafkan aku. Aku tidak tahu siapa sebenarnya Tuan.”

“E, e,” Sumangkar terkejut melihat sikap itu. Dengan serta merta ditariknya lengan Tundun. “Berdirilah, aku bukan orang berpangkat di sini. Aku adalah seorang juru masak.”

“Tetapi apa yang Tuan lakukan telah benar-benar mengejutkan. Tuan telah berhasil mengusir Ki Tambak Wedi.”

“Bukan aku seorang diri,” jawab Sumangkar, “tetapi bersama-sama.”

“Tetapi aku telah berani mencoba membunuh Tuan.”

“Jangan sebut-sebut itu lagi. Lupakanlah. Namun hal ini dapat kau jadikan pelajaran, bahwa kau harus lebih banyak mempergunakan otakmu daripada tenaga dan perasaanmu.”

“Baik Tuan.”

“Jangan panggil aku tuan.”

Tundun tidak menyahut, tetapi ia hanya mengangguk saja.

“Nah, kembalilah dahulu,” berkata Sumangkar, “rusa panggang itu telah masak.”

“Bukan untukku,” sahut Tundun.

Kembali Sumangkar tertawa. Dipandanginya saja kemudian, ketika Tundun itu meninggalkannya kembali ke perkemahan. Sekali-sekali ia masih meraba- raba tangannya yang seakan-akan terkilir. la hanya merasakan sebuah tangkapan pada pergelangan tangannya. Dan yang diketahui kemudian pedangnya terlepas dan berpindah ke tangan Sumangkar, sedang dirinya sendiri terdorong beberapa langkah ke samping.

“Benar-benar di luar dugaanku,” keluh Tundun.

Sepeninggal Tundun, Sumangkar berdiri seorang diri dalam terik cahaya matahari yang menyusup di antara celah-celah dedaunan. Sekali-sekali ia memandangi matahari itu. Dan setiap kali ia bergumam dengan lirih, “Apa yang terjadi di pertempuran itu?”

Kedatangan Tambak Wedi dan Sidanti telah menambah hati orang tua itu menjadi gelisah. Ia tidak sampai hati melihat Macan Kepatihan kehilangan kewibawaannya, kehilangan kepercayaan kepada diri sendiri, sebagai penerus keturunan ilmu Kedung Jati. Tetapi ia sebenarnya tidak bisa melihat perkembangan yang semakin suram dari murid saudara seperguruannya itu dalam perjuangannya. Sebenarnya Sumangkar tidak dapat menyetujui seluruh apa yang dilakukan oleh Tohpati. Tetapi ia tidak dapat mencegahnya. Ia tidak dapat berbuat lain daripada apa yang dilakukannya sampai saat terakhir. Justru karena Tohpati tahu, bahwa ia tidak sependapat dalam beberapa hal, maka diletakkannya Sumangkar di sudut- sudut perkemahan, di tepi-tepi perapian, seperti kesenangannya sendiri. Memasak.

“Saat ini anak itu sedang berjuang melawan maut,” desis Sumangkar itu sambil sekali lagi menatap matahari, “mudah-mudahan ia selamat.”

Namun hatinya berdesir mengenang pertempuran kali ini. Pertempuran yang menurut kata-kata Macan Kepatihan sendiri, adalah pertempuran terakhir?

“Kenapa terakhir?” gumamnya.

Sumangkar kemudian berjalan menepi. Perlahan-lahan diletakkannya tubuhnya di bawah rindangnya pohon Benda. Sekali-sekali dikenangnya wajah Tambak Wedi yang bengis dan sekali dibayangkannya wajah-wajah yang tegang di medan peperangan sangkal Putung.

“Keduanya merupakan bahaya,” desisnya, “kenapa aku tidak diperbolehkannya ikut serta.” Sumangkar itu berkata kepada diri sendiri. “Tetapi kalau aku pergi, maka perkemahan ini pasti akan menjadi ajang pengaruh Tambak Wedi itu. Mungkin Tundun dan kawan-kawannya telah pergi meninggalkan Macan Kepatihan. Dengan demikian, maka perkemahan ini akan menjadi kosong. Nanti apabila laskar itu datang kembali, maka mereka akan menjadi semakin parah. Parah karena pertempuran itu, dan parah karena mereka datang di tempat yang kosong. Tanpa penyambutan, tanpa makanan. Alangkah sedihnya Macan Kepatihan. Apalagi kalau usahanya kali ini untuk merebut sangkal Putung tidak berhasil.”

Sumangkar menggelengkan kepalanya. Namun ia tidak juga berdoa supaya Macan Kepatihan berhasil merebut Sangkal Putung. Ia tidak ingin membayangkan bagaimana perempuan dan kanak-kanak Sangkal Putung menjadi ketakutan dan menjadi barang rayahan yang akan diperlakukan dengan semena-mena.

Karena itu Sumangkar menjadi bingung. Apakah yang sebaiknya dilakukan?
Ketika kemudian ia melihat seseorang di kejauhan, maka segera ia berdiri dan berjalan ke perkemahan kembali. Kepada orang yang dilihatnya itu Sumangkar melambaikan tangannya memanggil.

Orang yang dipanggilnya itupun datang mendekat, seolah-olah sedang menyongsongnya.

“Akan kemanakah kau?” bertanya Sumangkar.

“Mengambil air,” jawab orang itu.

Sumangkar mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian katanya, “Apakah luka Bajang sudah diobati?”

“Sudah.”

“Bagaimana keadaannya?”

“Tidak apa-apa. Ia sudah dapat bekerja lagi di dapur.”

“Tolong panggil anak itu kemari.”

Orang itupun segera kembali untuk memanggil Bajang. Sumangkar sendiri tidak meneruskan Iangkahnya. Kini kembali ia duduk di bawah rimbunnya dedaunan hutan. Sekali-sekali diamat-amatinya burung-burung liar yang berterbangan, hinggap dari dahan yang satu ke dahan yang lainnya.

Bajangpun segera datang mendekatinya. Tetapi sikap anak itu telah jauh berbeda dari sikapnya sehari-hari.

“Kiai memanggiI aku?” ia bertanya.

Mendengar pertanyaan itu Sumangkar terkejut, tetapi iapun tersenyum. “Sejak kapan kau menyebut aku demikian?”

Bajang menjadi tersipu-sipu sehingga ia tidak dapat menjawab pertanyaan itu.

“Duduklah Bajang,” minta Sumangkar.

Bajang pun segera duduk di samping Sumangkar. Terasa beberapa pertanyaan melonjak-lonjak di dalam dadanya. Dalam tanggapannya Sumangkar yang duduk di sampingnya itu sama sekali bukan Sumangkar yang dikenalnya setiap hari. Sumangkar itu seolah-olah adalah orang baru di dalam perkemahan itu. Orang baru yang sakti melampaui kesaktian Macan Kepatihan sendiri.

“Bajang,” berkata Sumangkar. Sumangkar sendiri tidak tahu, kenapa tiba-tiba ia menaruh kepercayaan kepada anak itu. Tiba-tiba saja ia melihat kelebihan Bajang dari orang-orang lain, sejak ia melihat sikap anak itu menghadapi kekasaran Tundun atasnya. Dan kemudian dilanjutkannya kata-katanya. “Apakah pekerjaanmu sudah siap?”

“Belum seluruhnya Kiai, tetapi segera akan selesai.”

“Maksudku, bagaimanakah kalau aku hari ini berhalangan membantumu di dapur? Apakah pekerjaan kita dapat selesai sebelum petang?”

“Oh, tentu, tentu. Dan seharusnya Kiai tidak lagi bersusah payah bekerja di dapur. Kiai dapat memerintahkan Tundun untuk melakukannya. Ia pasti tidak berani membantah lagi.”

“Tidak Bajang. Aku sendiri memang memilih pekerjaan itu. Jangan kau sangka bahwa Macan Kepatihan tidak mengenal aku. Sanakeling dan Alap-alap Jalatunda itupun mengenal siapa Sumangkar. Tetapi sengaja aku minta mereka untuk membiarkan aku melakukan pekerjaan yang aku senangi.”

“Oh, jadi Raden Tohpati telah mengenal Kiai?”

“Sudah Bajang. Sejak di kepatihan Jipang. Mantahun adalah kakak seperguruanku.”

“Oh,” Bajang menjadi pucat.

Tetapi cepat-cepat Sumangkar menyambung, “Tetapi aku sama sekali bukan seorang pejabat pemerintahan seperti Patih Mantahun. Aku sejak di kepatihan, adalah seorang juru masak.”

Bajang menundukkan kepalanya. Baru kini ia menjadi jelas siapakah kawannya yang selama ini dianggapnya sebagai seorang tua yang telah tidak lagi mampu bekerja terlalu keras, yang oleh orang-orang lain disebutnya juru masak yang malas.

“Tetapi Bajang,” berkata Sumangkar kemudian, “jangan kau menganggapku berlebih-lebihan. Sikapmu jangan kau rubah seperti terhadap seorang pemimpin.”

“Bajang,” kembali terdengar suara Sumangkar, “bagaimana dengan pertanyaanku? Hari ini aku tidak dapat membantumu?”

“Tidak apa-apa Kiai. Betul, aku dan kawan-kawan yang lain akan dapat menyelesaikannya. Silahkan Kiai beristirahat.”

Sumangkar menggeleng. Katanya, “Aku tidak ingin beristirahat, Bajang.”

Sekilas Bajang berpaling. Dilihatnya wajah Sumangkar yang suram. Lalu terdengar ia bertanya, “Apa yang akan Kiai lakukan sekarang?”

“Aku akan pergi.”

“Pergi?”

“Ya.”

“Kiai akan pergi ke mana?” desak Bajang.

Sesaat Sumangkar menjadi ragu-ragu. Tetapi kemudian jawabnya, “Sebenarnya sejak Macan Kepatihan berangkat, hatiku menjadi gelisah. Seolah-olah aku melepas anak di tepi sungai.”

Bajang mengangkat wajahnya. Tiba-tiba ia bertanya, “Kenapa Kiai tidak turut ke Sangkal Putung. Bukankah tenaga Kiai akan sangat berguna untuk merebut daerah itu?”

“Aku tidak tahu, kenapa Macan Kepatihan menolak tawaranku. Disuruhnya aku tinggal di perkemahan ini.”

“Apakah sekarang Kiai akan menyusul ke Sangkal Putung?”

Sumangkar mengangguk. “Ya,” jawabnya, “aku ingin melihat pertempuran itu.”

Bajang mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian katanya, “Apakah aku dapat ikut serta Kiai.”

Sumangkar menggeleng. “Jangan. Perjalananku mempunyai bentuk yang lain dari perjalanan sebuah pasukan. Karena itu, biarlah aku pergi sendiri. Bukankah kau mempunyai pekerjaan yang cukup penting di sini, menyiapkan makan untuk pasukan itu.”

Bajang mengangguk. Gumamnya, “Baik Kiai.”

Mereka berdua, Bajang dan Sumangkar, untuk sesaat saling berdiam diri. Mata Sumangkar yang redup memandang jauh menembus rimbunnya hutan. Hatinya kini sedang dilibat oleh kebimbangan dan keragu-raguan. Ia merasa bahwa seakan-akan kini ia berdiri di simpang jalan. Dan diketahuinya bahwa kedua simpangan itu sama-sama tidak dikehendakinya. Bahkan kembalipun tidak akan dapat ditempuhnya.

Tiba-tiba Sumangkar itu tersentak ketika ia mendengar seperti jerit seseorang. Ketika ia mengangkat wajahnja, barulah disadarinya, bahwa suara itu adalah suara seekor burung elang yang bertempur di udara.

“Hem,” desahnya, “aku harus pergi Bajang.”

Bajang berpaling sambil mengangguk, “Silahkan Kiai. Kedatangan Kiai akan banyak memberi bantuan kepada pasukan itu.”

Sumangkar menggeleng. “Belum tentu. Bahkan mungkin aku akan diusir oleh angger Tohpati.”

“Kalau Raden Tohpati itu memerlukannya, maka kehadiran Kiai akan sangat membesarkan hatinya.”

Sumangkar mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian ia berdiri, membenahi pakaiannya dan berbisik seakan-akan kepada dirinya sendiri, “Aku akan pergi. Tetapi aku harus kembali dulu ke perkemahan.”

“Marilah Kiai,” sahut Bajang.

Sumangkar kemudian tidak berkata-kata lagi. Cepat-cepat ia berjalan ke perkemahan langsung masuk ke dalam gubugnya. Bajang yang mengikutinja, berdiri tegak di muka pintu gubug sambil mengawasi apa yang sedang dicari oleh Sumangkar itu di bawah tumpukan jerami, tempat ia tidur di malam hari.

Bajang terkejut ketika ia melihat benda itu. Ia pergi ke mana saja bersama pasukan dan ia pergi ke mana saja bersama Sumangkar, tetapi ia belum pernah melihat benda itu.

“Benda ini adalah benda peninggalan,” desis orang tua itu. “Jarang kau melihatnya. Aku selalu membawanya di antara barang-barang yang lain dan terbalut kain.”

Benda itu mirip benar dengan benda yang paling berharga dalam pasukan itu, meskipun agak lebih kecil. Tongkat baja putih, dengan kepala yang berwarna kekuning-kuningan. Mirip benar dengan tongkat baja putih milik Tohpati.
Dengan suara gemetar Bajang bertanya, “Apakah benda itu lain dengan yang dimiliki oleh Raden Tohpati?”

“Gurunya adalah seperguruan dengan aku. Kami masing-masing menerima senjata serupa. Dan Senjata kakak seperguruanku itu kini telah jatuh ke tangan Tohpati, murid satu-satunya.”

Bajang mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia belum pernah melihat Sumangkar menjinjing senjata, selain menjinjing kapak, pisau dapur atau sebuah kelewang pembelah kayu. Kini orang tua itu menjinjing sebatang tongkat baja putih berkepala kekuning-kuningan berbentuk tengkorak, agak lebih pendek sedikit dari tongkat Tohpati. Alangkah jauh bedanya. Sumangkar yang setiap hari berjongkok di dapur dan Sumangkar yang menjinjing tongkat itu. Karena itu maka terasa hatinya berdesir.

“Kiai, ternyata Kiai adalah seorang yang menakjubkan. Meskipun Kiai dapat mengimbangi kesaktian Tambak Wedi, namun selama ini Kiai dapat merendam diri dalam keprihatinan,” berkata Bajang kemudian.

“Kau salah sangka Bajang,” sahut Sumangkar. “Selama ini aku sama sekali tidak merendam diri dalam keprihatinan. Bahkan aku merasa bahwa aku mendapat istirahat yang panjang. Aku tidak perlu lagi bekerja terlalu berat di peperangan. Betapapun saktinya seseorang, namun perang adalah pekerjaan yang berat. Mungkin aku merasa bahwa seseorang tidak berarti dalam olah senjata, namun di dalam peperangan ia tidak berdiri sendiri. Dan aku tidak hanya melawan musuh-musuh itu seorang lawan seorang. Seandainya musuh-musuhku adalah orang-orang yang lemah dan sama sekali tidak berarti sehingga aku akan dapat membunuhnya seperti menebas batang ilalang, namun dalam keadaan yang demikian, musuh yang terberat adalah perasaan sendiri. Apakah aku akan dapat tidur dengan tenang setelah aku mengotori tanganku dengan darah orang yang lemah dan tidak berarti itu? Apakah aku akan dapat tidur nyenyak kalau aku sempat menghitung orang yang telah aku bunuh? Tidak Bajang. Aku tidak bisa. Karena itu pekerjaan di dapur adalah pekerjaan yang menyenangkan bagiku. Bagi seorang pemalas.”

Bajang tidak menjawab. Kini ia melihat Sumangkar itu telah siap. Dan Bajang itu mendengar Sumangkar berkata, “Lakukan pekerjaanmu baik-baik Bajang. Aku akan pergi ke Sangkal Putung untuk melihat peperangan itu.”

Bajang melangkah ke samping ketika Sumangkar berjalan ke pintu. Lamat-lamat terdengar ia berdesis, “Selamat jalan Kiai. Mudah-mudahan perjalanan Kiai akan sangat berarti.”

Sumangkar mengangguk. Sahutnya, “Mudah-mudahan. Apakah kau ingin aku turut bertempur?” bertanya orang tua itu.

Bajang mengangguk, “Ya,” jawabnya.

Sumangkar mengangguk-anggukkan kepalanya. Kata-kata Bajang adalah kata-kata yang wajar. Setiap prajurit Jipang menghendaki kemenangan. Setiap prajurit Jipang ingin segera membelah Sangkal Putung, menguasainya, dan memiliki setiap kekayaan yang ada di dalamnya. Tetapi apakah dengan mengalahkan Sangkal Putung, Pajang akan tunduk di bawah kaki Macan Kepatihan?

“Hem,” Sumangkar itu menggeleng. “Jauh. Terlalu jauh jalan yang harus ditempuh,” katanya di dalam hati. “Mungkin sepanjang umurku keinginan untuk itu tidak akan pernah tercapai. Yang dapat dilakukan adalah menduduki suatu tempat, untuk kemudian meninggalkannya setelah dirampas segenap kekayaan. Dalam keadaan demikian, maka sulitlah bagi laskar Jipang untuk mengekang diri dalam lingkaran peradaban dan kemanusiaan.”

Dalam kebimbangan itulah kemudian Sumangkar siap meninggalkan perkemahannya. Ia tidak tahu, manakah yang paling baik dilakukan. Ia tidak sampai hati melihat Macan Kepatihan selalu disiksa oleh kekalahan demi kekalahan, namun ia tidak akan sampai hati pula melihat Sangkal Putung menjadi ajang kehancuran.

Sebelum Sumangkar itu meninggalkan perkemahan, maka pesan yang diberikan kepada Bajang adalah, “Hati-hatilah dengan kawan-kawanmu Bajang. Tawaran Tambak Wedi dapat mempengaruhi kesetiaan mereka kepada Macan Kepatihan.”

“Aku akan mencoba memperhatikannya Kiai,” jawab Bajang.

Sumangkar itupun kemudian berjalan dengan hati yang bimbang. Dijinjingnya tongkatnya, namun ia tidak yakin, apakah tongkat itu akan dipergunakannya. Sudah terlalu lama ia menyimpannya, bahkan hampir ia tidak pernah membayangkan, bahwa tongkat itu akan dipergunakannya lagi, meskipun keadaannya masih terbelenggu dalam kekalutan dan peperangan.

Tetapi tongkat itu kini dijinjingnya. Sekali-sekali Sumangkar yang tua itu menengadahkan wajahnya. Di langit matahari berjalan dengan malasnya. Namun terik panasnya seakan-akan membakar kulit.

Sumangkar itu kemudian mempercepat langkahnya. Sekali-sekali ia masih harus meloncati air yang tergenang, sisa hujan yang lebat semalam.

Dalam pada itu di ujung Kademangan Sangkal Putung pertempuran yang dahsyat masih saja terjadi. Pekik dan ratap di antara dentang senjata. Anak-anak muda Sangkal Putung sudah tidak berteriak-teriak lagi. Mereka seakan-akan sudah kehabisan tenaga dalam perlawanan yang semakin berat.

Semakin lama terasa bahwa anak-anak Sangkal Putung menjadi semakin kendor. Untara yang melihat keadaan itu menjadi semakin prihatin. Pertempuran itu semakin bergeser ke kanan. Bukan saja bergeser ke kanan, tetapi Untara terpaksa beberapa kali menarik diri untuk memberi kesempatan kepada Sedayu dan Swandaru untuk membantu mengurangi tekanan-tekanan di induk pasukan. Hudaya di satu sisi bersama Agung Sedayu dan Sonya beserta Patra Cilik di sisi yang lain bersama Swandaru telah memeras tenaga mereka. Mereka bertempur sambil berusaha untuk tetap memberi kesegaran kepada anak-anak muda Sangkal Putung. Namun pedang-pedang mereka sudah tidak terayun sederas pada saat mereka mulai. Bahkan dengan demikian, maka korban berjatuhan. Satu demi satu.

Setiap kali Swandaru mendengar pekik kesakitan, setiap kali ia menggeram, dan pedangnya menyambar-nyambar seperti kilat di langit. Tetapi lawannya adalah prajurit-prajurit terlatih yang sedang berputus asa, sehingga bagaimanapun juga, maka ia harus berjuang sekuat-kuat tenaganya. Untunglah bahwa Kiai Gringsing telah memberinya bekal secukupnya, sehingga ia tidak perlu berkecil hati menghadapi prajurit-prajurit itu. Tetapi kawan-kawannya, anak-anak muda Sangkal Putung adalah berbeda.

Tohpati tersenyum melihat kemenangan-kemenangan yang dicapainya. Ia telah lupa segala-galanya. Ia lupa kebimbangan-kebimbangan yang mencengkam hatinya. Ia lupa kejemuan-kejemuan yang selama ini merayapi jantungnya. Sebagai seorang prajurit yang mendapatkan beberapa kemenangan di medan perang, maka pastilah akan menggugah tekadnya lebih dahsyat. Demikianlah Macan Kepatihan saat itu. Kemenangan-kemenangan itu seakan-akan telah menambah kekuatannya. Bahkan perasaan itu melimpah kepada setiap prajurit yang ikut dalam pertem¬puran itu.

Agak jauh dari pertempuran itu, Sumangkar berhenti di bawah rindangnya pepohonan liar di pinggir lapangan rumput dan tanah-tanah persawahan yang tidak ditanami, tempat pertempuran itu terjadi. Begitu asyiknya ia melihat pertempuran itu, sehingga perhatiannya seluruhnya ditumpahkannya kepada gemerlapnya pedang dan sorak kemenangan pada tiap-tiap kelompok. Sorak yang masih dapat membangkitkan gairah dan nafsu untuk menggerakkan senjata. Berganti-ganti para prajurit itu bersorak-sorak. Sekali-sekali terdengar prajurit Pajang meneriakkan kemenangan-kemenangan kecil apabila ada lawan-lawannya yang terdesak dan jatuh tersungkur di kaki mereka. Namun kemudian prajurit Jipang berusaha menebus kekalahannya. Dan bersorak pulalah mereka, apabila mereka dapat merebut kembali garis pertempuran yang semula ditinggalkan mundur beberapa langkah. Namun semakin lama prajurit Jipang-lah, yang semakin sering mendesak. Apalagi di sisi kanan.

Widura yang berada di sisi kiri dalam gelar pasukan Pajang berusaha mengimbanginya dengan gigih. Widura mengharap, bahwa kemenangan yang betapapun kecilnya akan masih dapat menyalakan tekad dan membesarkan hati anak-anak muda Sangkal Putung. Namun karena induk pasukan itu sendiri mengalami beberapa tekanan yang tak dapat dihindarkan, maka pasukan Pajang benar-benar harus menarik diri beberapa kali.

Widura melihat kesulitan di induk pasukan itu. Karena itu, maka dilepaskannya beberapa orangnya untuk ikut serta memperkuat induk pasukan. Justru mereka adalah prajurit-prajurit yang cukup baik. Sebab menurut perhitungan Widura, lebih baik sayap yang dipimpinnya yang agak mengalami kesulitan daripada induk pasukan.
Usaha Widura dapat juga sedikit membantu. Untara dapat menahan arus yang semakin dahsyat dengan beberapa tenaga dari sayapnya, sehingga pasukan itu tidak harus menarik diri terus menerus.

Sumangkar melihat pertempuran itu sambil mengangguk-anggukkan kepalanya. Sekali-kali ia tersenyum melihat kemenangan-kemenangan yang didapatkan oleh Macan Kepatihan. Meskipun Macan Kepatihan sendiri tidak dapat mengatasi lawannya, seorang lawan seorang, namun pengaruh pertempuran itu seluruhnya, ternyata telah memperkuat kedudukannya. Untara yang pikirannya terpecah-belah, ternyata harus berjuang sekuat tenaganya, agar kepalanya tidak disambar oleh tongkat baja putih yang berkepala tengkorak di tangan Macan Kepatihan itu.

Sekali-kali terlintas juga di dalam hati Sumangkar, betapa sengsaranya rakyat Sangkal Putung apabila anak Jipang yang telah menjadi buas itu berhasil menembus pertahanan Untara kali ini. Anak-anak, perempuan dan orang-orang tua pasti akan banyak mengalami bencana. Namun apakah ia akan dapat rnembiarkan laskar Jipang itu terpecah porak-poranda.

Di luar kehendaknya sendiri, maka Sumangkar itu berbangga atas murid kakak seperguruannya itu. Ia bangga melihat tongkat yang mirip dengan tongkatnya itu, menyambar-nyambar dengan dahsyatnya, seolah-olah ia melihat dirinya sendiri pada masa-masa mudanya.

“Dahsyat” geramnya “Macan Kepatihan memang pantas memakai gelarnya. la benar-benar garang segarang harimau jantan.”

Sumangkar kini berdiri bersandar sebatang pohon yang rindang. Ia tidak dapat melihat seluruh medan dengan jelas. Namun karena pengalamannya dan pengetahuannya mengenai peperangan, ia dapat membayangkan seluruhnya di garis peperangan itu, sekali-kali ia berdiri di atas ujung-ujung kakinya, dan bahkan sekali-kali ia meloncat pada bongkahan-bongkahan tanah yang agak tinggi. Lalu kemudian kembali ia bersandar di batang pohon itu.

Ketika ia mengangkat wajahnya menatap langit, maka dilihatnya matahari telah melampaui puncaknya. Perlahan-lahan matahari itu merayap turun, menuju ke cakrawala di ujung Barat.

“Tentu.” Sumangkar itu mengangguk-anggukan kepalanya. “Anak-anak muda Sangkal Putung tidak akan dapat bertahan sampai tengah hari. Sebentar lagi pertahanan Untara pasti akan terpecah belah. Anak-anak sangkal Putung pasti meninggalkan pertempuran. Meskipun mereka sama sekali tidak takut mati, tetapi mereka tidak akan mampu bertempur selama itu.”

Namun tiba-tiba ia bergumam, “Kasihan. Mereka akan menjadi korban karena mereka ingin mempertahankan tanahnya, kampung halamannya. Agaknya Untara melupakan keadaan itu.”

Kembali timbul berbagai persoalan di dalam dada sumangkar. Namun akhirnya ia berdesis, “Biarlah pertempuran itu berlangsung sebagaimana seharusnya. Biarlah aku menonton di sini, apapun yang akan terjadi.”

Sebenarnya bahwa laskar Sangkal Putung bersama-sama dengan prajurit Pajang mengalami kesulitan. Meskipun Widura telah menyerahkan beberapa bagian dari kekuatannya, namun karena kekuatan anak-anak Sangkal Putung telah menjadi semakin surut, maka pasukan Pajang dan Sangkal Putung itu berkali-kali harus menarik diri, membuat kedudukan-kedudukan baru yang dapat mengurangi tekanan laskar Jipang. Beberapa orang yang memillki kelebihan dari prajurit-prajurit biasa, telah mencoba memeras tenaga mereka. Agung Sedayu, semakin lama menjadi semakin tatag. Kalau semula ia ragu-ragu karena pertimbangan-pertimbangan yang bersimpang-siur di kepalanya, maka kini ia tidak lagi dapat mempertimbangkannya. Setiap kali ia mendengar anak-anak muda Sangkal Putung berdesis menahan goresan-goresan pedang lawan, dan sekali-kali terdengar mereka memekik tinggi, karena tubuhnya terluka. Karena desakan rasa iba akan nasib kawan-kawannya itulah maka lenyaplah segi-segi perasaan ibanya yang lain. Dengan demikian, maka anak muda itu menjadi seakan-akan burung rajawali yang menyambar-nyambar di antara anak-anak kelinci yang lemah. Hanya dalam kelompok-kelompok yang kuat orang-orang Jipang berani menempuhnya. Demikian pula Swandaru Geni. Namun mereka dikelilingi oleh lawan-lawan mereka. Sedang kawan-kawannya telah menjadi semakin lemah, semakin lemah. Meskipun prajurit Pajang berjuang sekuat tenaga mereka, tetapi lawan mereka seakan-akan menjadi bertambah banyak.

Dalam keprihatinan itulah tiba-tiba mereka mendengar di kejauhan sorak yang gemuruh. Pemimpin laskar cadangan yang datang dari sangkal Putung telah mendengar, betapa laskar mereka di garis peperangan mengalami kesulitan. Karena itu, meskipun mereka masih jauh, namun mereka barusaha untuk mempengaruhi gairah setiap prajurit yang sedang bertempur itu.

Kedua belah pihak terkejut mendengar sorak yang bergelora itu. Sesaat mereka mencoba melihat, siapakah yang sedang, bersorak-sorak. Dan apa yang mereka lihat, benar mempengaruhi perasaan mereka, sebelum laskar cadangan itu mempengaruhi pertempuran itu dengan tenaga mereka yang segar, maka keadaan pertempuran itu telah berubah.

Anak-anak muda Sangkal Putung yang seakan-akan telah kehabisan tenaga tiba-tiba menjadi bingar kembali. Meskipun mereka tidak dapat bertempur sesegar pada saat mereka baru mulai, namun kedatangan kawan-kawan mereka itu telah menumbuhkan semangat yang menyala-nyala. Dengan demikian, maka seakan-akan di dalam diri mereka tumbuh kembali kekuatan-kekuatan yang seolah-olah telah larut dihanyutkan angin.

Melihat kehadiran laskar cadangan itu Tohpati menggeram. Terasa di dalam dirinya sesuatu yang bergejolak. Mau tidak mau terpaksa ia mengumpat di dalam hatinya. “Gila Untara ini. Ternyata ia cerdik seperti setan. Kenapa ia menyimpan tenaga cadangan itu?”

Bukan saja Tohpati yang mengumpat-umpat di dalam dirinya, namun semua orang di dalam pasukan Jipang itu mengumpat-umpat. Bahkan ada di antara mereka yang menjadi cemas bahwa pasukannya akan mengalami kegagalan lagi. Karena itu, maka mereka menjadi semakin buas karena keputus-asaan. Mereka sudah tidak tahan lagi untuk tinggal di hutan-hutan, makan apa saja yang diketemukan. Berkawan dahan-dahan kayu yanq beku dan tidur beralas yang kotor. Ketika tumbuh di dalam dada mereka harapan untuk merubah nasib mereka dengan memecah pertahanan rakyat Sangkal Putung, maka tiba-tiba harapan mereka larut bersama datangnya anak-anak muda Sangkal Putung dan beberapa orang prajurit Pajang yang ditarik dari gardu-gardu perondaan.

Kini Untara merasa, bahwa ia akan dapat bernafas kembali. la bersyukur bahwa laskar cadangan itu tidak terlambat datang, karena kelambatan perintahnya, Untara pun sama sekali tidak menyangka bahwa laskar Jipang itu terlampau kuat, sehingga laskar cadangan itu hampir-hampir menemukan pasukannya telah bercerai-berai.

Pasukan cadangan itu sendiri, ketika melihat ujung-ujung pedang yang berkilat-kilat di kejauhan, seakan-akan mereka tidak bersabar lagi. Langkah mereka serasa terlalu lambat. Karena itu, maka tanpa mereka sengaja, seakan-akan mereka berjanji untuk berlari bersama-sama. Semakin lama semakin cepat. Senjata-senjata merekapun telah mereka tarik dari sarungnya dan mereka acung-acungkan ke udara. Sedang gemuruh sorak mereka, tidak henti-hentinya membelah udara yang panas karena terik matahari.
Pasukan Pajang dan laskar Sangkal Putung yang kelelahan dan kecemasan itu tiba-tiba menjadi meluap-luap. Merekapun tiba-tiba bersorak gemuruh menyambut kedatangan kawan-kawan mereka.

“Gila…!!” geram Macan Kepatihan “Kau menyimpan cecurut-cecurut itu, Untara…”

Untara tidak menjawab. Namun di kejauhan di luar kesengajaannya, ia melihat sesosok tubuh meloncat ke atas sebuah bongkahan tanah yang agak tinggi, menjinjing sebatang tongkat putih berkilat-kilat.

Untara mengernyitkan alisnya. Namun dari jarak itu ia tidak segera dapat melihat, siapakah orang yang agaknya sangat tertarik melihat pertempuran yang semakin sengit. Orang itu tidak lain adalah Sumangkar. Ketika ia mendengar suara sorak yang menghambur di kejauhan dan kemudian melihat sepasukan laskar Sangkal Putung dan beberapa orang prajurit Pajang mendatangi pertempuran itu, hatinya berdesir. Di luar sadarnya ia berkata kepada diri sendiri, “Oh, alangkah bodohnya aku. Ternyata aku salah sangka. Aku kira Untara melupakan kemungkinan itu. Kemungkinan bahwa anak-anak muda sangkal Putung kehilangan kekuatan dalam peperangan ini karena kelelahan. Tetapi ternyata Untara dan Widura adalah orang yang lengkap pengetahuannya dalam olah peperangan.”

Sumangkar itu menjadi semakin tegang ketika ia melihat pasukan yang datang itu menjadi semakin dekat dengan induk pasukannya. Hatinya menjadi semakin berdebar-debar melihat Macan Kepatihan yang bertempur melawan Untara di tengah-tengah hiruk pikuknya peperangan.

Ketika laskar cadangan itu telah menjadi semakin dekat, Sumangkar melihat pasukan itu memecah diri. Agaknya Untara telah meneriakkan aba-abanya, yang disaut dan diteruskan oleh penghubungnya. Dan perintah itu kemudian telah dilaksanakan. Tenaga yang segar itupun kemudian terbagi. Di induk pasukan, sayap kanan, dan sayap kiri.

“Hem,” Sumangkar menarik nafas dalam-dalam. la dapat segera melihat akibat dari kehadiran tenaga yang segar itu. Pasukan Pajang dan Sangkal Putung yang semula telah terdesak itu, kini dapat bertahan pada garis yang terakhir. Bahkan kemudian Sumangkar melihat bahwa keseimbangan pertempuran itu segera berubah.
Laskar sangkal Putung dan pasukan Pajang yang baru, yang telah ditarik dari gardu-gardu peronda itu, segera melibatkan diri dalam pertempuran yang sudah menjadi semakin berkisar masuk ke garis pertahanan Pajang. Para prajurit yang baru datang itu dapat melihat, betapa parah keadaan kawan-kawannya yang selama ini mencoba bertahan mati-matian. Karena itulah maka darah mereka serasa mendidih sampai di kepala. Jantung mereka serasa meledak karena kemarahan yang meluap-luap. Mereka merasa, seperti tubuh mereka sendiri yang telah tersayat oleh kekuatan lawan. Dengan demikian maka segera mereka mengerahkan tenaga mereka yang masih segar menempuh prajurit Jipang yang sedang mengamuk seperti harimau Iuka.

Segera peperangan itu meningkat semakin dahsyat. Tohpati menggeram penuh dendam dan kemarahan. Tongkatnya yang putih berkilat-kilat menyambar-nyambar dengan dahsyatnya.

Untara, yang menyambut kedatangan pasukannya yang segar, segera memberikan perintah-perintahnya. Dicobanya untuk melihat segenap kemungkinan dan pertimbangan.

Namun tiba-tiba Untara itu terkejut mendengar sorak orang-orang Jipang di sayap kanannya. Tetapi ia tidak segera melihat, apakah yang telah terjadi. Justru tepat pada saat orang-orangnya yang segar itu terjun ke arena.

Yang dilihat sepintas, adalah pergolakan di sayap itu. Beberapa lamanya ia melihat orang-orangnya mendesak dalam satu lingkaran dan orang-orangnya yang baru datang, segera masuk ke dalam pertempuran.

Baru kemudian disadarinya bahwa telah terjadi malapetaka di sayap itu. Ternyata ketika Sanakeling, yang memimpin sayap kiri lawan, melihat kehadiran orang-orang baru dari Sangkal Putung, kemarahannya seakan-akan meledak. Itulah sebabnya, maka dari dalam dirinya meledak pulalah kekuatan yang tidak disangka-sangka. Meskipun Citra Gati tidak melawannya seorang diri, namun tiba-tiba ia kehilangan kesempatan untuk menghindari serangan yang datang seperti air bah. Ketika ia menangkis pedang di tangan kanan Sanakeling itu, tiba-tiba terasa sebuah sengatan di pundak kirinya. Begitu kerasnya sehingga tubuhnya terguncang, dan seolah-olah ia telah dilemparkan ke samping. Ternyata senjata Sanakeling yang lain, sebuah bindi di tangan kirinya, telah meremukkan tulangnya. Sesaat Citra Gati menyeringai, ia masih sempat melihat ujung pedang iang mengarah ke dadanya. Dengan sisa tenaganya yang terakhir ia memukul pedang itu. Tetapi ia sudah tidak memiliki keseimbangan yang mantap, sehingga meskipun pedang itu tidak mengehunjam ke dadanya, namun lambungnya tersobek oleh tajam senjata lawannya.

Citra Gati mengeluh pendek. Matanya menjadi gelap dan ia tidak melihat apa yang terjadi kemudian. Ia tidak melihat ketika Sanakeling meloncat sambil memekik tinggi, untuk sekali lagi menusukkan pedangnya di tubuh Citra Gati. Tetapi untunglah bahwa Sendawa melihat semuanya itu. Seperti orang gila ia menyerbu Sanakeling yang sedang gila pula. Senjata orang yang bertubuh raksasa itu terayun deras sekali mengarah ke tubuh Sanakeling. Tetapi Sendawa benar-benar tidak menyangka bahwa Sanakeling dapat melenting secepat belalang, sehingga dengan demikian, serangannya itu dapat dihindarkan. Sendawa sendiri bahkan terseret oleh kederasan senjatanya, sehingga terhuyung-huyung beberapa langkah ke samping.

Meskipun demikian, apa yang dilakukan itu ternyata berguna pula. Dalam pada itu, beberapa orang telah menyadari keadaan. Dengan serta merta beberapa orang bersama-sama menyerbu, seperti apa yang dilakukan oleh Sendawa itu. Dengan demikian, maka Sanakeling sekali lagi berteriak tinggi melontarkan dendam dan kemarahan yang meluap-luap. Namun orang-orang Jipang yang sempat menyaksikan Sanakeling berhasil menjatuhkan lawannya, bersorak dengan kerasnya, meneriakkan kemenangan itu. Merekapun segera berloncatan mengambil kesempatan, selagi orang-orang Pajang lagi berbuat gila, melindungi pimpinannya yang terluka parah tanpa menghiraukan keadaan mereka sendiri.

Namun beruntunglah. Pada saat yang demikian itulah maka tenaga baru yang segera terjun dan meluas di arena itu, sehingga orang-orang Jipang tidak sempat berbuat banyak. Mereka harus segera menghadapi lawan-lawannya yang baru, sementara beberapa orang sempat membawa Citra Gati mengundurkan diri dari pertempuran.

“Gila!” teriak Sanakeling membelah hiruk pikuknya dentang senjata. “Ayo siapa menyusul?”

Teriakan Sanakeling itu bagi anak buahnya seakan-akan merupakan perintah untuk bertempur lebih dahsyat Iagi. Seolah-olah merekapun ikut serta meneriakkan kata-kata itu. Dan bahkan beberapa orangpun ikut serta menantang dengan kata-kata yang garang. “Ayo, laskar Pajang. Majulah bersama-sama. Bawalah panglima-panglimamu beserta kalian.”

Setiap prajurit Pajang yang melihat peristiwa itu, seakan-akan darahnya meluap ke kepala. Kemarahan, kebencian dan dendam membakar dada mereka. Citra Gati adalah salah seorang pemimpin kelompok yang baik. Seorang yang telah cukup mengendap di dalam pertempuran dan di dalam pergaulan. Karena itu, banyak orang yang senang kepadanya. Sehingga jatuhnya Citra Gati telah membuat prajurit Pajang terbakar.

Betapapun orang-orang Jipang meneriakkan kemenangan, namun orang Pajang sama sekali tidak menjadi gentar. Apalagi di antara mereka telah hadir orang-orang baru itu, demikian mereka hadir, demikian mereka melihat Citra Gati jatuh tersungkur di tanah. Maka kemarahan dan kebencian merekapun segera tertumpah pula.

Teriakan orang-orang Jipang, mengatakan bahwa pemimpin sayap kanan itu telah jatuh. Bahkan sebelum mereka tahu pasti apa yang terjadi, maka mereka telah berteriak, “Pemimpin sayap kanan telah binasa.”

Untarapun akhirnya mendengar pula bahwa Citra Gati mengalami cedera. Ia belum menerima berita resmi apakah Citra Gati terbunuh atau tidak. Namun berita itu telah menggoncangkan hatinya. Demikjan ia mendengar berita itu, demikian giginya gemeretak karena marah. Apalagi ketika kemudian ia mendengar Tohpati tertawa sambil berkata, “Sayapmu patah, Untara.”

Untara mencoba melihat sayapnya. Sesaat itu terdesak beberapa langkah. Namun untunglah Sendawa bertindak cepat. Segera ia mengambil alih pimpinan sambil berteriak, “Sayap ini tidak akan terpengaruh karena hilangnya Kakang Citra Gati. Apalagi sekarang telah datang laskar cadangan yang akan mampu menebus setiap kekalahan.”

Untara menjadi agak tenang melihat kesigapan Sendawa. Namun tiba-tiba ia terkejut ketika di sisi yang lain ia mendengar sebuah teriakan nyaring, “He, apakah Citra Gati mengalami bencana?”

Tak ada jawaban. Namun kembali terdengar suara, “Serahkan pembunuh itu kepadaku.”

Akhirnya Untara melihat, seseorang yang mencoba menerobos pertempuran langsung menyeberang ke sayap lang lain. Orang itu adalah Hudaya. Karena itu segera ia berteriak, “Hudaya. Berhenti.”

“Kakang Citra Gati terbunuh. Akulah gantinya. Siapakah yang telah berani berbuat itu?”

“Hudaya,” teriak Untara, “kembali.”

Hudaya benar-benar telah menjadi gila. Citra Gati adalah sahabatnya yang terdekat. Sejak semula mereka telah bersama-sama memasuki lingkungan kaprajuritan. Sejak semula mereka mengalami pahit-getir, asin-manisnya hidup sebagai seorang prajurit. Kini tiba-tiba ia mendengar sahabatnya itu terbunuh. Karena itu, maka perasaannya tidak lagi dapat dikendalikan.

Tingkah laku Hudaya itu benar-benar mencemaskan Untara. la tidak mau melihat korban dari antara pemimpin-pemimpin kelompoknya jatuh satu lagi. Karena itu, maka sekali lagi Untara berteriak, “Hudaya. Kembali ketempatmu.”

“Aku akan menuntut kematian Citra Gati.”

Untara menjadi semakin cemas. Lawan Citra Gati itu adalah Sanakeling. Citra Gati ternyata tidak dapat menahan arus serangan Sanakeling itu. Sedang Hudaya seorang pemimpin kelompok yang tidak berada di atas tingkat Citra Gati. Sekali lagi ia mencoba mencegah perbuatan gila itu, menyeberang langsung dari sisi yang satu ke sayap yang lain, apalagi di sayap yang lain itu telah menunggu seorang yang bernama Sanakeling. Katanya, “He, Hudaya. Kembali ketempatmu. Kau dengar?”

“Tidak.”

“Jangan gila. Kau dengar. Ini perintah senopati daerah lereng Merapi atas nama Panglima Wira Tamtama.”

Sebutan itu ternyata berpengaruh pada hati Hudaya yang sedang gelap. Ia sadar, bahwa Untara kini sedang mengemban jabatan. Namun dengan demikian hatinya menjadi semakin sakit. Dan sakit di hatinya itu diteriakannya keras-keras. “Jadi apakah dibiarkannya saja pembunuh Citra Gati itu?”

Untara berpikir sejenak. Namun serangan Tohpati justru semakin dahsyat, sehingga Untara menjadi terdesak beberapa langkah. Ia harus segera mengambil keputusan. Dan tiba-tiba keputusannya jatuh. “Agung sedayu. Kau mendapat tugas itu. Sayap kanan.”

Agung Sedayu yang tidak terlampau jauh dari Untara mendengar teriakan itu. Sekali ia meloncat surut melepaskan lawan-lawannya. Dan terdengar ia menjawab. “Baik. Aku lakukan.”

“Bersama aku,” teriak Hudaya.

”Hem,” Untara menggeram. Hudaya telah kehilangan kepatuhannya karena perasaan yang lepas kendali. Kali ini Untara tidak mencegahnya. Namun sisi kiri dari induk pasukannya harus mendapat seorang pemimpin. Maka katanya berteriak sekali lagi, “Sonya, gantikan tugas Hudaya.”

Terdengar Sonya menyahut. Suaranya kecil melengking tinggi. “Ya. Aku kerjakan.”

Untara masih melihat Hudaya melangkah mundur. Ia tidak langsung menyeberangi pertempuran itu, berjalan dan induk pasukan ke sayap yang lain. Sementara itu Agung Sedayu telah mendahului meloncat ke sayap kanan lewat belakang garis peperangan.
Namun karena kesibukan itulah, Untara kehilangan sebagian dari perhatiannya. Tiba-tiba selagi ia sedang sibuk mengatur orang-orangnya, ia merasa Tohpati mendesaknya. Agaknya Macan Kepatihan sedang mempergunakan kesempatan itu untuk mendesak lawannya. Dengan sepenuh tenaga.dan kemampuannya ia menyerang Untara seperti badai menghantam gunung. Betapa deras dan cepatnya. Tongkat putihnya terayun dengan dahsyatnya ke arah kepala Untara yang sedang disibukkan oleh hilangnya Citra Gati.

Untara terkejut melihat tongkat baja putih Macan Kepatihan seperti seekor burung elang menyambarnya. Untunglah. Bahwa pada saat terakhir, ia berhasil mengerutkan tubuhnya dan merendahkan kepalanya, sehingga ia dapat menyelamatkan dirinya dari benturan yang dahsyat. Benturan yang pasti akan memecahkan kepalanya. Meskipun demikian, namun tongkat Macan Kepatihan telah menyambar ikat kepalanya, sehingga ikat kepala itu terlempar jatuh.

Bukan main dahsyatnya gelora hati Untara. Seolah-olah dadanya akan meledak karenanya. Senopati itu merasa bahwa nyawanya hampir-hampir terlepas dari tubuhnya. Tetapi meskipun ternyata ia berhasil menghindarkan diri dari maut, namun betapa ia merasa dihinakan. Ikat kepalanya terlempar dari kepalanya.

Dengan penuh dendam Untara menggeretakkan giginya. Sekali ia melontar surut. Seolah-olah ia ingin memandangi seluruh tubuh Tohpati sepuas-puasnya. Dan tiba-tiba ia berteriak nyaring di antara dentang dan gemerincingnya senjata. “He, prajurit Pajang dan laskar Sangkal Putung. Jangan kau beri kesempatan pada lawan-lawanmu untuk bertahan sampai senja. Waktu telah menjadi semakin sempit. Besok adalah hari yang harus dapat kita nikmati sebagai hari kemenangan. Karena itu hancurkan musuhmu hari ini.”

Tohpati mencoba tidak memberi kesempatan kepada Untara untuk menyelesaikan kata-katanya. Dengan dahsyatnya ia menyerang dengan senjatanya yang mengerikan. Tetapi Untara telah benar-benar siap melawannya. Itulah sebabnya ia dapat menghindarkan diri dan menyelesaikan kalimatnya. Sesudah itu maka Untaralah yang bergerak seperti angin pusaran. Menyerang Tohpati dengan kemarahan yang menyala di dalam dadanya.

Pertempuran antara keduanya menjadi semakin dahsyat. Keduanya telah sampai pada puncak kemarahan dan kekuatannya sehingga keduanya benar-benar tenggelam dalam permainan maut yang mengerikan. Untara kini hampir-hampir tidak terpengaruh lagi oleh keadaan pasukannya. Menurut perhitungannya, maka setidak-tidaknya pasukannya tidak akan dapat dikalahkan segera. Ia mengharap bahwa pertempurannya akan lebih dahulu dapat menentukan keadaan daripada seluruh pasukan itu. Kehadiran orang-orang baru membuatnya tenang dan memberinya kesempatan untuk memusatkan perhatiannya kepada lawannya, Macan Kepatihan.

Agung Sedayu yang berpindah tempat dari sisi induk pasukan ke sayap yang berseberangan telah masuk ke dalam lingkungan peperangan. Ia melihat betapa Sendawa dan beberapa orang mengalami kesulitan untuk menahan arus kemarahan Sanakeling. Agung Sedayu masih sempat melihat seseorang terlempar jatuh karena sentuhan pedang Sanakeling. Betapa ia melihat Sanakeling seperti orang gila mengamuk sambil mengayun-ayunkan pedang serta bindinya. Beberapa orang yang mencoba bersama-sama melawannya, hampir tak berani mendekatinya.

Agung Sedayu menarik nafas melihat kedahsyatan gerak Sanakeling. Kasar dan betapa kuat tenaganya. Sesaat Agung Sedayu dirayapi oleh perasaan-perasaan yang aneh. Namun tiba-tiba ia menggeram. Ia pernah merasakan betapa maut pernah menyentuhnya. Dan ia masih tetap hidup.Agung Sedayu yang telah berhasil memecahkan kungkungan perasaan takutnya itupun segera membulatkan tekadnya, untuk menghadapi lawannya yang seakan-akan telah menjadi liar dan buas. Dengan nyaringnya ia berteriak, “Sendawa, lepaskan lawanmu.”

Sendawa terkejut mendengar suara itu. Ia tidak segera tahu, siapakah yang akan menggantikan kedudukan Citra Gati. Karena itu ia masih tetap melawan sambil bertanya, “Siapakah kau?”

Sendawa sama sekali tidak berani melepaskan lawannya sekejappun untuk berpaling. Ujung pedang Sanakeling ternyata lebih cepat dari kejapan mata.

Di belakangnya terdengar jawaban, “Aku telah mendapat perintah untuk berada di sayap ini. Agung Sedayu.”

“Oh,” Sendawa tiba-tiba dirayapi oleh perasaan yang menenangkannya. Ia pernah mendengar kepahlawanan Agung Sedayu. la pernah melihat kelebihan Agung Sedayu daripada Sidanti di lapangan Sangkal Putung. Kini Sedayu itu hadir menggantikan kedudukan Citra Gati.

Tetapi Sendawa itu terkejut ketika terasa seseorang mendesaknya dan langsung menyusup ke dalam lingkaran pertempuran itu mendahului Agung Sedayu. Orang itu langsung menyerang Sanakeling dengan membabi buta.

“Paman Hudaya,” teriak Agung Sedayu.

Hudaya tidak mendengarnya. Senjatanya berputar melampaui kecepatan baling-baling. Namun perhitungannya tidak wajar lagi, sehingga betapa cepatnya ia menyerang, tetapi senjatanya sama sekali tidak dapat menyentuh kulit Sanakeling.

“He, kau juga mau bunuh diri,” teriak Sanakeling.

Hudaya tidak menjawab. Sekali lagi ia menyerang dengan dahsyatnya. Namun sekali lagi Sanakeling berhasil menghindarkan dirinya, bahkan dengan kemarahan yang meluap-luap Sanakeling berhasil memukul senjata Hudaya hampir pada tangkainya.

Hudaya terkejut. Terasa tangannya dipatuk oleh getaran yang dahsyat. Betapapun ia mencoba bertahan, namun senjatanya terlempar beberapa langkah daripadanya.

Terdengar Sanakeling berteriak nyaring. Sekali ia meloncat maju dengan pedang terjulur. Demikian cepatnya, sehingga Sendawa sama sekali tidak berdaya berbuat sesuatu untuk membantu Hudaya. Meskipun ia mencoba meloncat sejauh-jauh ia dapat, tetapi kecepatan gerak Sanakeling melampaui kecepatan gerakannya.

Hudaya masih mencoba untuk memiringkan tubuhnya. Namun gerakannya itu hampir tak berarti. Ia masih melihat ujung pedang Sanakeling itupun beringsut seperti geseran tubuhnya sendiri. Karena itu, segera ia mencoba melindungi dadanya dengan tangannya yang bersilang. Tetapi ia sadar, bahwa tangannya itu sama sekali tidak akan berarti melawan tajam ujung pedang Sanakeling.

Tetapi Hudaya terkejut, dan bahkan Sanakeling pun menggeram ketika terdengar senjatanya berdentang. Sanakeling itu merasa tangannya berkisar, dan karena itulah maka ujung pedangnyapun berkisar pula.

Dalam pada itu terdengar Hudaya mengaduh pendek. Beberapa langkah ia terdorong ke samping. Terasa lengannya menjadi pedih. Ia sempat melihatnya, maka tampak darahnya memerahi lengan bajunya.

Tetapi ia telah terhindar dari maut, ternyata pedang Sanakeling tidak merobek dadanya, meskipun ia terluka.

“Setan,” terdengar Sanakeling mengumpat. “Kau berani mengganggu aku? Kau selamatkan kelinci itu, tetapi kau sendiri yang akan terbunuh oleh pedangku.”

Kini yang berdiri di hadapan Sanakeling adalah Agung Sedayu. Dengan cepat ia datang tepat pada waktunya menyelamatkan nyawa Hudaya. Meskipun belum mapan benar, tetapi ia telah berhasil memukul pedang Sanakeling, sehingga pedang itu berubah arah. Namun pedang Sanakeling itu masih juga mematuk lengan Hudaya.

“Siapakah kau, he?” teriak Sanakeling. Matanya menjadi merah dan liar.

Terasa tengkuk Agung Sedayu meremang. Ia pernah melihat mata yang seliar itu di belakang halaman Kademangan Sangkal putung ketika ia berkelahi melawan Sidanti.

“Apakah kau belum mengenal Sanakeling,” teriak Sanakeling.

Tidak sesadarnya Agung Sedaju mengangguk. Jawabnya singkat, “Belum. Baru sekarang aku mengenalmu, meskipun aku pernah mendengar nama itu, satu dari sekian nama prajurit Jipang.”

Agung Sedayu menjawab dengan jujur, tanpa maksud apapun. Namun Sanakeling yang garang itu merasa, jawaban itu suatu hinaan baginya. Bagi seorang yang merasa dirinya hanya selapis tipis di bawah Macan Kepatihan yang namanya mengumandang dari pesisir Lor sampai ke pesisir Kidul. Sedang yang berdiri di hadapannya tidak lebih dari seorang anak-anak yang memandanginya dengan pandangan mata yang kosong.

“He, apakah kau benar-benar belum mengenal Sanakeling?”

Sedayu kini menjadi heran. Di dalam hiruk pikuk peperangan lawannya masih sempat menanyakan dirinya sendiri. Namun Agung Sedayu tidak ingin mendahului.

Tetapi sekali lagi Agung Sedayu terkejut. Seseorang meloncat di sampingnya sambil mengayunkan pedangnya ke arah Sanakeling. Tetapi dengan tenangnya Sanakeling menghindar, sambil berteriak, “Kau benar-benar ingin mati, kelinci yang malang?”

Hudaya yang telah kehilangan segala pertimbangannya itu tiba-tiba telah menyerang Sanakeling kembali. Kali ini dengan segenap kemampuan dan ketangkasannya, ditumpahkannya segenap sisa tenaganya. Namun sekali lagi Hudaya menyeringai kesakitan. Kini tangannya terbentur bindi Sanakeling. Untunglah tidak terlalu keras, karena Sanakeling tidak sempat mengerahkan tenaganya. Meskipun demikian, sekali lagi senjata yang telah dipungutnya terlempar dari tangannya.

Agung Sedayu melihat Sanakeling tertawa seperti suara hantu melihat mayat tergolek di pekuburan. Semakin keras dan menyakitkan telinga. Bersamaan dengan itu, Agung Sedayu melihat Sanakeling mengangkat pedangnya dan terayun deras sekali ke leher Hudaya.

Hudaya masib berusaha untuk mengelak. Direndahkan tubuhnya sambil berkisar ke samping. Tetapi nada suara Sanakeling meninggi. Seperti seekor kucing bermain-main dengan seekor tikus ia berkata nyaring, “O, kau mencoba melompat ke samping orang yang malang. Bagus. Kau lihat ujung pedangku, supaya kau melihat maut menghampirimu.”

Hudaya melihat ujung pedang Sanakeling. Tetapi perasaannya seakan-akan telah mati lebih dahulu daripada dirinya sandiri. Karena itu Hudaya sama sekali tidak menjadi gentar. Bahkan berkedippun tidak.

Tetapi sekali lagi Sanakeling berteriak tinggi. Kemarahannya benar-benar memuncak sampai ke ubun-ubun. Kali ini sekali lagi pedangnya membentur sesuatu. Tidak saja pedangnya bergeser arah, tetapi pedangnya seakan-akan menghantam dinding baja, sehingga terasa tangannja bergetar.

“Setan, hantu, gendruwo.” umpatnya “kau benar mau mati he, anak demit?”

Agung Sedayu berdiri dengan kokohnya. Kakinya seakan-akan jauh menghunjam menembus bumi. Kini ia dapat mengetahui, betapa Sanakeling benar-benar memiliki tenaga raksasa. Terasa tangannya tergetar pada saat senjatanya membentur tenaga Sanakeling. Bahkan hampir-hampir senjata itu lepas. Untunglah, segera ia dapat mengatasi keadaan sehingga senjata itu tetap berada di dalam genggamannya.
Namun kali ini Agung Sedayu tidak dapat membiarkan Hudaya berbuat di luar nalar dan pikirannya. Karena itu maka segera ia berteriak, “Paman Hudaya. Menepilah.”

“Aku akan membunuhnya,” sahut Hudaya.

“Menepilah,” ulang Agung Sedayu.

“Jangan campuri urusanku,” bentak Hudaya keras-keras.

“Akulah pimpinan sayap kanan,” sahut Agung Sedayu tegas-tegas.

Hudaya terdiam sesaat. Namun hatinya berdesir ketika ia melihat, Sanakeling tanpa berkata sepatah katapun menyerang Agung Sedayu dengan kecepatan yang mengagumkan. Bahkan nafas Hudaya itupun serasa berhenti karenanya. Demikiam cepat dan tangkasnya Sanakeling itu meloncati lawannya. Ia tidak dapat melihat kecepatan itu, selagi ia sendiri bertempur melawannya.

Namun ketika Sanakeling itu menyerang Agung Sedayu, barulah disadarinya, betapa berbahayanya orang itu.

Tetapi sekali lagi dadanya berdesir ketika ia melihat bagaimana cara Agung Sedayu melepaskan diri dari terkaman itu. Lincah seperti burung sikatan. Mengendap lalu melontar ke samping, sementara itu pedangnya menusuk lambung Sanakeling yang terbuka. Sanakeling terkejut melihat ketangkasan lawannya yang masih muda itu. Jauh lebih muda dari lawannya yang telah dijatuhkannya, dan lawannya yang satu lagi, yang hampir dibunuhnya sampai dua kali. Karena itu mulutnya yang kasar sekali lagi mengumpat, ”Anak setan. Tataplah langit untuk yang terakhir kalinya, sebelum perutmu terbelah oleh pedangku. Siapa namamu he anak muda?”

Agung Sedayu tidak segera menjawab. Tetapi terpaksa ia melihat ketangkasan Sanakeling itu sekali lagi. Dengan lincahnya Sanakeling berhasil menghindarkan dirinya dari sambaran pedang Agung Sedayu. Bahkan sambil meneruskan kata-katanya, “Katakanlah siapa namamu, supaya aku kelak dapat mengatakan, bahwa nama itu adalah nama dari salah seorang anak muda yang telah aku bunuh, karena kesombongannya sendiri.”

Hati Agung Sedayu bergetar mendengar kata-kata itu. Ia sama sekali tidak senang melihat sikap, kata-kata dan anggapan Sanakeling terhadap dirinya. Karena itu maka dijawabnya Sanakeling, “Adakah gunanya bagimu untuk mengetahui namaku yang tidak berarti? Aku adalah hanya seorang prajurit dari sekian banyak prajurit-prajurit yang lain. Bahkan aku adalah prajurit yang berpangkat paling rendah dari prajurit-prajurit yang lain.”

”Gila,” geram Sanakeling, “jangan jual tampang di pertempuran ini. Sebut namamu!”

“Baik,” jawab Agung Sedayu, “namaku adalah Agung Sedayu.”

“He, Agung Sedayu,” ulang Sanakeling.

“Ya.”

Tiba-tiba Sanakeling itu tertawa. Ia pernah mendengar sekali dua kali nama itu disebut oleh Alap-Alap Jalatunda. Dan bahkan nama itu permah disebut-sebut oleh hampir setiap bibir orang Sangkal Putung. Laskar Jipang di dalam hutan itupun pernah mendengar nama itu dalam lingkungan kelaskaran Pajang dan Sangkal Putung dari orang-orang yang sengaja ditempatkannya sebagai telik dan petugas-petugas rahasia yang berhasil sedikit-sedikit mendengar tentang Sangkal Putung. Bahkan akhirnya Sanakeling berkata lantang, “He bukankah kata orang, Agung Sedayu itu adik Untara dan kemanakan Widura?”

Agung Sedayu tidak tahu, kenapa hatinya bergetar mendengar pertanyaan itu. Agaknya namanyapun termasuk nama yang harus di perhitungkan oleh orang-orang Jipang. Namun dijawabnya, “Ya. Aku adalah adik Untara.”

“Pantas, pantas,” geram Sanakeling. Tiba-tiba geraknya menjadi semakin cepat. Serangannya datang menyambar-nyambar seperti elang menyerang anak ayam di tanah lapang. Menukik dan menyambar dengan kuku-kukunya.

Tetapi Agung Sedayu kini bukan lagi anak ayam yang ketakutan melihat elang melayang di langit. Tangannya kini tidak lagi gemetar menggenggam tangkai pedang. Meskipun kadang-kadang hatinya masih dilapisi seribu satu macam pertimbangan, tetapi anak itu tidak lagi harus melawan ketakutan dan, kecemasannya.

Hudaya yang terluka itu, melihat pertempuran antara Sanakeling dengan Agung Sedayu dengan mulut ternganga. Pertempuran itu berjalan semakin lama semakin dahsyat. Sanakeling yang marah menyerang Agung Sedayu dengan sengitnya, sedang Agung Sedayu pun melawannya dengan tekad yang menyala di dalam dadanya.
Jatuhnya Citra Gati merupakan peringatan baginya, bahwa apabila ia lengah sedikit saja, niscaya nasibnya tidak akan lebih baik dari Citra Gati itu.

Demikianlah maka keduanya tenggelam dalam perkelahian yang semakin seru. Keduanya adalah orang-orang yang memiliki beberapa kelebihan dari prajurit-prajuri yang lain.

Sanakeling adalah pradjurit Jipang yang tangguh. Ia adalah orang kedua sesudah Macan Kepatihan sendiri. Keprigelannya menggerakkan kedua senjatanya benar-benar mengagumkan dan mengerikan. Kedua senjata di tangannya, terayun bagaikan ombak yang bergulung-gulung susul-menjusul.

Lawannya, Agung Sedayu adalah orang baru di dalam arena pertempuran. Tetapi keprigelannya menggerakkan senyatanya tiba-tiba mencengangkan. Ilmu yang tersimpan di dalam tubuhnya ternyata cukup mampu untuk menghadapi Sanakeling yang perkasa itu. Tempaan yang pernah diterimanya dari Kiai Gringsing, ketekunannya dan bekal yang telah diletakkan oleh ayah dan kakaknya, telah membentuknya menjadi Agung Sedayu yang lincah, tangguh, dan cekatan.

Namun Agung Sedayu adalah seorang yang tidak cukup berpengalaman dalam olah keprajuritan. Ia mampu bertempur seorang lawan seorang, sekelompok lawan sekelompok, tetapi ia tidak dapat memanfaatkan setiap keadaan pada suatu gelar yang luas, atau bagian-bagian dari gelar itu. Setiap kali Agung Sedayu menjadi ragu-ragu apabila tiba-tiba ia menghadapi gelombang serangan yang ber¬ubah-ubah dari pasukan lawannya. Setiap kali ia tidak dapat berbuat benyak dalam keadaan yang tiba-tiba. Bahkan beberapa kali ia men¬dengarkan Sanakeling meneriakkan aba-aba dan melihat gerakan-gerakan yang kurang dimengertinya dari laskar lawannya. Sekali Sanakeling memberikan kesempatan kepadanya untuk mendesak maju, namun tiba-tiba kedua sisi sayap Sanakeling itu seolah-olah menekannya dari ke¬dua arah. Serentak pasukan Jipang itu menyempit dalam garis lengkung yang dalam.

Hudaya yang terluka itu, kini telah menggengam pedangnya kembali. Tetapi ia hanya mampu mempertahankan dirinya dari serangan-serangan yang datang dengan tiba-tiba dari prajurit-prajurit Ji¬pang. Ia kini terpaksa melihat kenyataan, bahwa tubuhnya telah menjadi semakin lemah, sehingga ia sudah cukup tidak seharusnya tampil ke depan langsung melawan musuh-musuhnya.

Tetapi dalam keadaan-keadaan yang demikian ia sempat melihat susunan sayap kanan laskar Pajang dan sangkal Putung itu. Sayap itu semakin lama menjadi semakin kurang teratur. Agung Sedayu sama sekali tidak pernah memberikan printah dan petunjuk kepada pasukannya. Ia hanya memusatkan perhatiannya kepada perlawanannya menghadapi Sanakeling.

Tetapi itu bukan karena Agung Sedayu mengalami kesulitan. Bukan karena Sanakeling berhasil mendesaknya dan menyudutkannya ke dalam keadaan yang sulit. Tetapi itu adalah karena Agung Sedayu bukan seorang prajurit yang berpengalaman. Ia bukan seorang Senapati yang terlatih. Ia sendiri mampu bertempur, na¬mun ia tidak mampu untuk membuat sikap dan suasana perlawanan bagi seluruh sayap yang harus dipimpinnya. Sehingga karena itulah maka seakan-akan setiap prajurit harus mencari sikap sendiri meng¬hadapi lawan-lawan mereka yang bertempur dalam satu kesatuan yang utuh.

Untara yang bertempur melawan Macan Kepatihan di induk pasukan melihat suasana itu. Baru saja ia mendapatkan ketenang¬an, kini ia melihat persoalan baru pada sayapnya itu. Baru kemu¬dian disadarinya bahwa Agung Sedayu bukanlah seorang senapati yang berpengalaman. Apalagi ternyata, yang berada di sayap 1awan sama sekali bukan Alap-alap Jalatunda; tetapi Sanakeling.

Sayap kiri, yang dipimpin oleh Widura, yang mendapat tambahan kekuatan, menjadi semakin baik keadaannya. Ia hanya me¬merlukan separo dari tenaga yang diberikan kepadanya, sedang yang lain dikembalikannya kepada induk pasukan untuk memper¬kuat kedudukan Untara. Namun Widura itupun kemudian menjadi berdebar-debar melihat tata pertempuran di sayap kanan. Ia mendengar pula, bahwa Citra Gati telah dapat dilumpuhkan oleh Sanakeling. Ia mendengar lewat penghubungnya, bahwa Agung Sedayu-lah yang kini berada di sayap itu. Karena itu, seperti Untara, ia segera mengetahui kelemahan anak muda itu. Agung Sedayu bukan seorang senapati perang, meskipun ilmunya, ilmu tata bela diri dan tata perkelahian menyamai seorang Senapati. Tetapi Widura tidak segera dapat berbuat sesuatu.

Tetapi semakin lama, Widura dan Untara melihat, sayap itu menjadi semakin tertib dan teratur. Beberapa bentuk tata perlawanan yang bagus terjadi di sayap itu. Seakan-akan mereka telah digerakkan oleh suatu perintah dari seseorang yang cukup ber¬pengalaman. Seolah-olah Citra Gati telah terjun kembali ke arena itu.

“Sendawa tidak mampu melakukannya,” gumam Untara di dalam hati. “Meskipun orang itu cukup lama menjadi seorang prajurit, dan bahkan kemudian menjadi seorang pemimpin kelompok seperti Citra Gati pula, namun otaknya tidak secerah Citra Gati.”

Tetapi Untara dan Widura tidak sempat meraba-raba terlalu lama, sebab tugas mereka sendiri cukup berat. Namun peruhahan di sayap kanan itu, benar-benar menggembirakan hati Untara, siapapun yang melakukanya. “Mungkin juga Sendawa,” pikir Untara.

Sebenarnya sayap kanan memang menjadi semakin baik. Ke¬tika Hudaya menyadari keadaannya, dan melihat bagaimana cara Agung Sedayu melawan Sanakeling, hatinya menjadi tenang. Perlahan-lahan ia menemukan keseimbangan perasaan. Jatuhnya sahabatnya, tidaklah berarti, bahwa ia harus berbuat di luar batas-batas ke¬mungkinannya, dan kemungkinan seluruh pasukannya. Dengan demikian, maka pikirannya semakin lama menjadi semakin bening.

Meskipun ia terluka, namun ia masih mampu menilai keadaan sayap kanan itu. Agung Sedayu ternyata seorang yang baik. Seorang yang cukup tangguh untuk melawan Sanakeling, namun ia bukan seorang Senapati. Segera Hudaya melihat kelemahan-kelemahan itu. Dan segera ia menyadari keadaannya. Dengan demikian, maka tiba-tiba terdengarlah aba-abanya melengking di antara dentang senjata kawan dan lawan. Dengan cepat ia membentuk sayap itu menjadi suatu benteng yang tangguh. Sendawa, meskipun ia berada lebih lama di sayap itu, namun ia menyadari keadaannya, sehingga dengan senang hati ia melepaskan pimpinan yang diambilnya langsung setelah Citra Gati tersingkirkan.

Tetapi mula-mula Agung Sedayu-lah yang terkejut mendengar aba-aba yang keluar dari mulut Hudaya, sehingga ia melontar surut sambil herteriak, “Apa artinya Paman Hudaya.”

“Aku sudah tidak gila lagi,” sahut Hudaya. “Aku sedang mencoba memperbaiki tata gelar sayap ini. Maafkan, bahwa aku mengambil pimpinan di tanganku, tetapi aku tidak akan melawan orang itu.”

Sanakeling yang mendengar jawaban itu pula menggeram. Mula-mula iapun melihat kelemahan pimpinan yang baru di sayap. Karena itu, segera ia membuat bentuk-bentuk yang dapat membingungkan lawan yang bergerak menurut cara mereka sendiri-sendiri. Namun tiba-tiba Hudaya berhasil mengatasi keadaan.

“Satan!” teriak sanakeling. “Ayo, majulah bersama-sama.”

Agung Sedayu tidak dapat menghindar lebih lama. Seperti angin ribut Sanakeling menyerangnya. Namun ia masih mendengar Hudaya berkata, “Jangan ragu-ragu. Aku lebih-berpengalaman dalam olah gelar peperangan. Hadapi lawanmu. Mudah-mudahan dendam Citra Gati akan terbalas.”

Sanakeling tidak memberi kesempatan Agung Sedayu untuk membalas. Betapa marahnya orang itu melihat cara-cara yang tidak lazim telah dipergunakan oleh Agung Sedayu dan Hudaya bersama-sama. Namun Sanakeling terpaksa mengagumi, ketangkasan ber¬pikir orang-orang Pajang itu untuk mengatasi keadaan yang serba tiba-tiba.

Akhirnya Untara pun teringat, bahwa Hudaya berada pula di sayap kanan. “Mudah-mudahan orang itu menyadari dirinya,” gumam Untara di dalam hati, “dan mudah-mudahan ialah yang telah memperbaiki keadaan.”

Demikianlah pertempuran itu dalam keseluruhannya telah berubah. Keseimbangan di antara kedua belah pihak telah berubah. Orang-orang baru yang terjun di dalam arena benar-benar telah mempenga¬ruhi keadaan. Meskipun mereka sebagian besar adalah anak-anak muda Sangkal Putung, namun ada pula di antara prajurit-prajurit Pajang yang ditarik dari gardu-gardu. Dan di gardu-gardu itulah ditempatkan anak-anak muda Sangkal Putung dan orang-orang tua yang masih sanggup memukul tanda bahaya.

Macan Kepatihan melihat perubahan itu. Sekali-sekali terdengar ia menggeram dan giginya gemeretak. Ia sudah bertekat bahwa kali ini adalah kali yang terakhir baginya. Kalah atau menang. Karena itu, maka keadaan yang tiba-tiba saja berubah itu sangat mem¬pengaruhi perasaannya., Namun bagaimanapun juga, ia masih ingin bertahan sampai matahari tenggelam. Kalau ia mampu ber¬tahan, maka keadaan anak buahnya pasti masih baik. Tekad dan nafsu mereka pasti belum lenyap, sehingga besok ia akan dapat menempuh cara yang lain untuk menerobos masuk ke Sangkal Putung.

Tetapi perlahan-lahan namun pasti, laskar Sangkal Putung bersama-sama dengan prajurit-prajurit Pajang berhasil mendesaknya. Setapak demi setapak.

Di kejauhan Sumangkar menggigit bibirnya. Ia melihat per¬ubahan itu. Dan hatinya menjadi berdebar-debar pula karenanya.

Wajahnyapun tiba-tiba tampak berkerut-kerut. Sedang tanpa se¬sadarnya tangan orang tua itu segera menimang-nimang tongkatnya.

“Hem,” gumamnya, “Untara dan Widura benar-benar seorang Senapati yang limpat. Dengan cerdik mereka telah berhasil meng¬atasi gelar Macan Kepatihan yang garang.”

Mata orang tua itu semakin lama menjadi semakin suram. Kembali ia terlempar ke simpang jalan yang tak mudah dipilihnya. Ia tidak akan dapat melihat pasukan Macan Kepatihan hancur dilanda oleh prajurit Pajang dan laskar Sangkal Putung. Na¬mun kalau ia memasuki arena peperangan itu, maka apakah ia sampai hati pula membunuhi anak-anak muda Sangkal Putung yang masih baru dapat berlari-larian itu?

“Apakah aku harus meniadakan Angger Untara,” desisnya. Tetapi perasaanya telah menolaknya. “Tidak sepantasnya,” katanya di dalam hati.

Sumangkar itu menjadi semakin bingung. Ia masih tegak di atas sebongkah tanah padas yang menjorok agak tinggi. Dari tempat itu ia berhasil melihat keadaan medan dengan agak jelas. Meskipun ia tidak mengira-irakan pusat-pusat daripada peperangan itu. Di induk pasukan, pertempuran berkisar di antara Macan Kepatihan melawan Untara. Induk pasukan itu kini telah menjadi semakin luas, karena cara-cara Untara untuk membuat garis peperangan yang menguntungkannya. Di sayap kanan dari laskar Jipang, Sumang¬kar melihat keadaan pertempuran yang sulit bagi pasukan Macan Kepatihan. Semakin lama semakin sulit. Ia tidak tahu pasti siapa yang berada di sayap itu untuk melawan Alap-alap Jalatunda. Na¬mun karena ketajaman pengetahuannya mengenai peperangan Sumangkar segera menduga, bahwa lawan Alap-alap Jalatunda pasti mempunyai beberapa kelebihan dari padanya. “Mungkin Widura sendiri,” gumamnya. “Orang itu pasti tidak berada di sayap yang lain,” sambungnya sambil melihat sayap kiri pasukan Jipang itu. Sumangkar mula-mula melihat keuntungan dari pasukan Tohpati. Tetapi kemudian iapun melihat perlawanan yang gigih dan bahkan semakin lama menjadi semakin sulit bagi pihak Jipang.
Hati orang tua itupun menjadi gelisah. Setiap kemenangan pihak Pajang telah menyentuh hatinya. Seperti sepercik api yang menyentuh perasaannya. Semakin banyak menjadi semakin panas, dan bahkan kemudian terasa seolah-olah sebongkah bara telah menyala di dalam dadanya.

“Kasihan Raden Tohpati,” desahnya.

###Api di Bukit Menoreh seri 1 - 10 _______ Api di Bukit Menoreh seri 1 - 12