Apakah yang disebut dengan Malu?

pemalu

Menurut Prayitno (2004), malu adalah bentuk yang lebih ringan dari rasa takut yang ditandai oleh sikap mengerutkan tubuh untuk menghindari kontak dengan orang lain yang masih belum dikenal. Gejalanya adalah wajah memerah, bicara dengan gagap, suara lemah, meremas-remas jari, sembunyi, serta mencari perlindungan.

Apakah ada penjelasan lainnya mengenai malu dilihat dari sisi psikologi?

Sifat pemalu adalah suatu sifat bawaan atau karakter yang diberi sejak lahir. Para ahli mengatakan bahwa pemalu adalah perilaku yang merupakan hasil belajar atau respon terhadap suatu kondisi tertentu.

Pemalu juga sering disebut sebagai suatu keadaan dalam diri seseorang dimana orang tersebut sangat peduli dengan penilaian orang lain terhadap dirinya dan merasa cemas karena penilaian sosial tersebut, sehingga cenderung untuk menarik diri.

Menurut Hidayani (2006) bahwa anak yang pemalu secara stimulus baru cepat membangkitkan amygada (struktur otak atau inner brain structure yang mengontrol reaksi menghindar) dan hubungannya cerebral cortex dan sistem syaraf simpatis, yang membuat tubuh bersiap-siap untuk bertindak menghadapi ancaman.

Gunarsah (2001) mengemukakan bahwa perasaan malu adalah rasa gelisah yang dialami seseorang terhadap pandangan orang lain terhadap dirinya.

Banyak cara bahkan sangat mudah sekali untuk mengenali atau mengidentifikasi anak pemalu mulanya anak akan bersembunyi dibelakang teman atau hanya menunduk terus dengan mengisap jempol jika mendapat giliran maju di .

Menurut Kak Seto (Depdiknas, 2004), anak pemalu yaitu anak yang selalu menghindar dari keramaian dan tidak dapat secara aktif bergaul dengan teman dan lingkungannya. Definisi ini menyatakan bahwa anak dengan sifat pemalu dapat mengalami masalah yang serius sebab akan menghambat kehidupan anak misalnya dalam pergaulan, pertumbuhan harga diri, kemampuan dasar dan penyesuaian diri.

Swallow (2002) membuat daftar hal-hal yang biasanya dilakukan atau dirasakan oleh anak pemalu yakni:

  • menghindari kontak mata,
  • tidak mau melakukan apa-apa,
  • terkadang memperlihatkan perilaku mengamuk yang dilakukan untuk menghilangkan kecemasannya,
  • tidak banyak bicara,
  • tidak mau mengikuti kegiatan-kegiatan di kelas,
  • tidak mau meminta pertolongan atau bertanya pada orang yang tidak dikenal,
  • mengalami demam panggung (pipi merah, tangan berkeringat, keringat dingin dan bibir terasa kering) disaat-saat tertentu,
  • menggunakan alasan sakit atau tidak perlu berhubungan dengan orang lain (misalnya agar tidak perlu pergi ke sekolah),
  • mengalami psikomatis dan merasa tidak ada yang menyukainya.

Definisi rasa malu (shyness) menurut Carducci & Golant (2009) adalah adanya ketidaknyamanan dan hambatan perilaku yang terjadi jika terdapat kehadiran orang lain di dekatnya.

Bentuk shyness dapat ditunjukkan dengan diam, perasaan malu, muka menjadi merah, gagap, dan cemas. Namun perilaku shyness juga dapat diobservasi langsung dengan ciri-cirinya yaitu menjadi lebih pendiam dan menghindari orang-orang maupun lingkungan sekitar yang memberikan stimulus.

Lebih lanjut Carducci dan Golant menjelaskan bahwa biasanya orang-orang menghubungkan shyness dengan introvert, namun introvert tidak selalu pemalu. Terlihat cemas, kesadaran diri, dan pikiran untuk melawan yang biasanya terjadi pada pemalu tidak tampak pada introvert.

Orang pemalu sangat menginginkan orang lain untuk memperhatikan dan menerima mereka, namun mereka tampaknya tidak memilki kemampuan pikiran, perasaan, dan sikap yang mampu membantu mereka menghadapi interaksi sosial.

Shyness bukan penyakit sosial seperti social phobia atau gangguan kecemasan sosial. Penyakit mental tersebut biasanya dirawat dengan pengobatan dan psikoterapi.

Shyness tidak termasuk dalam Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder IV (DSM IV) karena hal itu bukan penyakit mental, namun hanya fase normal dari kepribadian. Orang pemalu kebanyakan tidak mencoba untuk untuk menghindari orang lain namun lebih mencari mereka walaupun mengalami kesulitan dalam membuat suatu hubungan.

Menurut Dingman & Bloom (2012) rasa malu terjadi saat seseorang tidak melakukan suatu perilaku yang menjadi kepentingan terbaik mereka sendiri karena merasa takut bahwa hasilnya akan negatif.

Shyness dapat dideskripsikan juga sebagai rasa cemas atau canggung saat seseorang berada di suatu situasi baru atau didekati oleh orang lain yang tidak dikenal. Bentuk yang lebih kuat dari shyness adalah social anxiety atau social phobia dan bisa termasuk dalam salah satu gejala asperger.

Maltby (2007) mengungkapkan bahwa reaksi shyness dapat terjadi pada beberapa atau semua tingkatan berikut: kognisi, afeksi, fisik, dan perilaku. Salah satu contoh gejala yang tampak pada masing- masing tingkatan seperti pada tingkat kognisinya yaitu takut terhadap evaluasi negatif dan terlihat bodoh di depan orang lain.

Orang yang memiliki rasa malu akan berpikir bahwa dirinya lemah sedangkan orang lain memiliki power atau kuat. Pada tingkat afeksi gejala yang muncul antara lain perasaan malu, self-esteem rendah, cemas, depresi, dan sebagainya. Muka memerah, berkeringat, merasa pusing, gemetaran, dan jantung berdetak cepat merupakan gejala yang tampak jika dilihat dari fisiknya. orang pemalu juga akan melakukan perilaku yang tampak tidak nyaman jika melakukan interaksi dengan orang lain seperti berbicara sangat pelan, melakukan kesalahan dalam berbicara (bicara terlalu cepat atau tiba-tiba tidak bisa mengeluarkan kata- kata), dan lain sebagainya.

Terdapat dua jenis shyness yaitu situational (state) shyness dan dispositional (trait) shyness.

1. Situational Shyness

Melibatkan emosi dan kognisi yang merupakan pengalaman dari rasa malu itu sendiri. Tipe ini dapat terjadi sewaktu-waktu oleh siapapun, terutama pada suatu situasi sosial.

2. Dispositional Shyness

Merupakan malu yang bersifat jangka panjang atau permanen walaupun dalam waktu maupun situasi yang berbeda. Russell, Cutrona, & Jones (dalam Maltby dkk, 2007) mengungkapkan bahwa dispositional shyness dapat berkurang saat keadaan sekitar yang harus dihadapi berubah. Tipe ini merupakan ciri kepribadian yang muncul secara stabil sewaktu-waktu dan tergantung situasi yang dihadapi.

Pada kajian antropologi, pemahaman manusia tentang rasa malu yang muncul sebagai akibat dari tindakan yang memalukan, secara turun-temurun diwaris- kan dari satu generasi ke generasi berikutnya.

Benedict (1959) menyebutkan bahwa,

Komunitas yang menjunjung tinggi moralitas sebagai inti dari kebudayaan, cenderung lebih tinggi budaya malunya, sehingga jika terjadi pelanggaran sosial yang menyimpang dari norma sosial maka rasa malu menjadi sanksi sosial yang tepat.

Pada beberapa studi psikologi disebutkan bahwa perasaan malu berkaitan dengan kekesalan yang muncul karena adanya perasaan tidak mampu (Wells & Jones, 2000), merasa diri hina (Adams & Robinson, 2001), perasaan tidak berdaya dan kegagalan pribadi (Wilson, 2000), tidak berguna (Wiklander, Samuelsson & Asberg, 2003) dan perasaan rendah diri (Wright & Gudjonsson, 2007).

Menurut Kim (2010), perasaan-perasaan yang berkaitan dengan rasa malu tersebut dapat dikelompokkan ke dalam tiga pembagian yang menyangkut kebermanfaatan diri, prestasi pribadi dan sikap diri.

Rasa malu memicu seseorang memodifikasi perilakunya agar mudah menyesuaikan diri dengan lingkungan. Malu menjadi salah satu faktor penentu perilaku sosial (Fessler, 2004). Seseorang berupaya untuk berperilaku sesuai dengan nilai atau norma yang telah menjadi kesepakatan bersama.

Nilai atau norma ini dijadikan sebagai parameter bertingkah laku, apakah itu benar atau salah, tepat atau tidak tepat dan sesuai atau tidak sesuai. Arti-nya, malu merupakan emosi psikologis yang mencerminkan konteks sosial yaitu norma-norma sosial (Kim, 2010). Merujuk pada konteks sosial ini maka rasa malu akan memotivasi individu untuk membatalkan perilaku yang tidak sesuai dengan norma kelompoknya (Gausel, 2012).

Perilaku yang baik dan tepat yang bersesuaian dengan norma atau aturan yang berlaku, merupakan hasil akhir yang diharapkan sebagai dampak dari hadirnya rasa malu. Seseorang yang secara hukum su-dah dinyatakan bersalah dan sedang menjalani proses hukumannya dalam beberapa kasus justru tidak merasa malu dengan peristiwa yang terjadi pada dirinya. Rasa malu yang dianggap bisa menjadi sanksi sosial bagi seseorang ketika melakukan tindakan yang memalukan justru tidak efektif memberikan efek jera.

Pelanggaran demi pelanggaran terhadap norma sosial terus saja berlangsung dan bertambah banyak. Dari berbagai keadaan ini maka menjadi wajar jika kekhawatiran akan lunturnya budaya malu di dalam kehidupan masyarakat Indonesia semakin kuat.

Fenomena tersebut juga bisa dilihat pada kelompok generasi muda. Generasi muda yang diharapkan sebagai tulang punggung bangsa dan penerus kepemimpinan justru ikut dikahwatirkan mengalami kemunduran dalam memelihara budaya malu.