Apakah yang dimaksud Sosialisasi Politik atau Political Socialisation?

Sosialisasi politik

Sosialisasi politik merupakan proses belajar yang berlangsung secara terus-menerus serta melibatkan emosional dan indoktrinasi politik yang manifes. Proses belajar ini didasari oleh partisipasi dan pengalaman individu yang menjalani proses belajar tersebut.

Sosialisasi politik merupakan bagian yang penting dari suatu sistem politik karena dengan adanya sosialisasi politik maka seorang individu dapat mempelajari politik baik secara disadari ataupun tidak disadari oleh masing- masing individu tersebut. Menurut Kweit (1986) bahwa secara umum, sosialisasi politik dapat didefinisikan sebagai suatu proses melalui mana individu belajar tentang politik.

Sosialisasi politik adalah proses bagaimana memperkenalkan sistem politik pada seseorang dan bagaimana orang tersebut menentukan tanggapan serta reaksi-reaksinya terhadap gejala-gejala politik. Lebih lanjut dijelaskan bahwa sosialisasi politik ditentukan oleh lingkungan sosial, ekonomi, dan kebudayaan dimana individu berada; selain itu juga ditentukan oleh interaksi pengalaman-pengalaman serta kepribadiannya (Rush, 2007).

Efriza (2012) mengungkapkan bahwa sosialisasi politik merupakan bagian dari suatu proses sosial. Sosialisasi adalah suatu kegiatan pengajaran dan pendidikan yang dilakukan individu atau suatu kelompok kepada individu atau kelompok lainnya yang berlangsung secara alamiah. Pada prosesnya, pengajaran dan pendidikan itu bersinggungan dengan nilai-nilai politik. Hal ini dapat dipahami bahwa nilai-nilai politik yang melekat pada setiap invidu tersebut akan berbeda. Selanjutnya dijelaskan bahwa proses terhadap individu-individu sampai pada kadar yang berbeda, salah satunya bisa terlibat dalam satu sistem politik yaitu partisipasi politik.

Berdasarkan beberapa pengertian di atas, maka yang dimaksud dengan sosialisasi politik dalam penelitian ini adalah proses dimana seseorang dapat mengetahui pengetahuan politik dari lingkungannya yang diperoleh dari individu atau kelompok lain baik secara disadari ataupun tidak disadari terutama yang terjadi saat seseorang tersebut belum dewasa sehingga menimbulkan sikap dan orientasi politik tertentu dalam kaitannya dengan kehidupan politik yang berlangsung.

Agen Sosialisasi Politik


Sosialisasi dijalankan melalui bermacam-macam lembaga yang disebut sebagai agen sosialisasi politik. Agen sosialisasi politik tersebut terdiri dari beberapa individu atau kelompok baik dari segi politik maupun nonpolitik yang secara langsung maupun tidak langsung memberikan gambaran politik terhadap seseorang terutama yang terjadi saat seseorang tersebut belum dewasa sehingga menimbulkan sikap dan orientasi politik tertentu dalam kaitannya dengan kehidupan politik yang berlangsung. Almond (1984) menyatakan bahwa pola kekuasaan nonpolitik yang diharapkan dapat mempengaruhi sikap politik adalah pola di dalam keluarga, sekolah, dan tempat kerja.

Menurut Apter (1996) menyatakan bahwa:

“Penjelasan-penjelasan psikokultural mengenai sosialisasi di awal masa kanak-kanak dengan pilihan-pilihan orang tua, menunjukkan bagaimana sosialisasi awal diperkuat oleh teman-teman sebaya di sekolah, dan oleh kelompok-kelompok acuan lain. Pengalaman mengambil tindakan politik, dari hal memberikan suara hingga mencalonkan diri, dibangun di atas pola-pola sosialisasi awal dan memberikan kesempatan untuk proses belajar masyarakat baru”.

Kebanyakan peneliti sependapat bahwa keluarga dan sekolah adalah agen yang paling penting dalam sosialisasi politik, walaupun mereka berbeda pendapat mengenai yang lebih penting antara keluarga atau sekolah sebagai agen sosialisasi politik (Kweit, 1986). Selain itu, dua faktor lainnya yang sering dikemukakan mempunyai pengaruh penting terhadap proses belajar politik yaitu kelompok pengawas dan media. Jadi, agen-agen utama sosialisasi adalah keluarga, sekolah, media, dan kelompok pengawas (Kweit, 1986).

Menurut Rush (2007) bahwa agen sosialisasi politik terdiri dari keluarga, pendidikan, kelompok sebaya, kelompok kerja, kelompok agama, kelompok-kelompok senggang, dan media massa. Proses sosialisasi melalui berbagai tahap sejak masa kanak-kanak sampai tingkat yang paling tinggi dalam usia dewasa. Hal ini berlangsung dalam proses yang berkesinambungan sepanjang hidup.

Sementara itu, Apter (1996) mengklasifikasikan agen-agen sosialisasi politik tetapi secara eksplisit dengan membaginya berdasarkan tahapan sosialisasi, yaitu: fase pertama adalah proses belajar dalam keluarga dalam artian bahwa orang-orang dewasa adalah warga negara yang mengutarakan sikap mengenai masyarakat atau kebencian mereka terhadap pemimpin- pemimpin politik dan pimpinan-pimpinan partai, dan menanggapi isu-isu yang mempengaruhi mereka. Fase kedua ketika sang anak beranjak dewasa dan menghadapi situasi-situasi kelompok di luar keluarga, proses ini terjadi di sekolah dan rekan sebaya. Fase ketiga merupakan tahapan ketika dewasa yang terjadi dalam lingkup pekerjaan, kelompok agama, partai politik dan kelompok perkumpulan.

Agen-agen sosialisasi politik menurut Efriza (2012) terdiri dari 6 jenis, yaitu keluarga, sekolah, kelompok teman sebaya, media massa, situs jejaring sosial, dan kontak-kontak politik langsung. Jika diasumsikan usia pemilih pemula yaitu 17-21 tahun maka status pemilih pemula juga bisa terdiri dari mahasiswa ataupun pekerja muda sehingga agen sosialisasinya termasuk kampus atau tempat kerja.

Berikut ini adalah penjelasan mengenai agen-agen sosialisasi politik serta pendapat para ahli yang menjelaskannya:

  • Keluarga
    Fase awal pembelajaran seorang anak dalam keluarga juga dapat terjadi saat proses belajar dalam keluarga sebelum anak sadar mengenai politik. Apter (1996: 263) menyatakan bahwa orang-orang dewasa adalah warga negara yang dapat mengutarakan sikap mengenai masyarakat, atau rasa suka atau bencinya mereka terhadap pemimpin-pemimpin politik dan pimpinan-pimpinan partai, dan menanggapi isu-isu yang mempengaruhi mereka. Hal-hal seperti itu dirasakan oleh anak-anak jauh sebelum mereka memahaminya.

    Keluarga mempunyai peranan yang menentukan dalam proses sosialisasi nilai politik terhadap warga negara ataupun individu karena keluarga mempunyai kesempatan untuk menurunkan nilai-nilai politiknya kepada seseorang individu justru pada saat masa kanak-kanak (Efriza, 2012: 23). Selain itu, ada asumsi lain yang menyatakan bahwa sosialisasi politik yang diperoleh seorang anak dapat terjadi karena hal yang tidak disengaja.

  • Sekolah
    Menurut Efriza (2012), pendidikan telah dipandang sebagai satu variabel penting dalam kegiatan menjelaskan tingkah laku politik, dan terdapat banyak pembuktian tidak langsung yang menyatakan pendidikan itu penting sebagai agen sosialisasi politik. Hal ini dapat dipahami karena di sekolah anak-anak dididik di dalam suatu proses yang sangat teratur, sistematis, dan nilai-nilai politik bisa diturunkan secara langsung ataupun tidak langsung oleh guru-guru kepada anak didik.

    Kesempatan berpartisipasi di sekolah nampaknya mempunyai pengaruh yang jelas terhadap kedudukan seseorang di dalam skala kompetensi subyektif. Kompetensi politik subyektif yakni kepercayaan mereka bahwa mereka mampu mempengaruhi pemerintah (Almond, 1984). Sekolah membuat usaha sadar untuk mengalihkan pengetahuan dan nilai- nilai politik. Sekolah tampaknya merupakan suatu lembaga paling efektif bila ia menguatkan orientasi si anak daripada bila ia mencoba mengalihkan nilai-nilai baru (Conway dalam Kweit, 1986). Selanjutnya Almond dalam Kweit (1986) menyebutkan bahwa tingkat pendidikan yang telah dicapai seseorang terbukti mempunyai hubungan dengan karakteristik politik, seperti minat akan politik, kesadaran akan dampak pemerintah, kecenderungan berdiskusi politik, dan sebagainya. Tingkat pendidikan di sini juga termasuk pendidikan di perguruan tinggi atau kampus saat sang anak menjadi mahasiswa.

    Sekolah memberikan pengertian kepada kaum muda tentang dunia politik dan peranan mereka di dalamnya. Sekolah memberikan pandangan yang lebih konkret tentang lembaga-lembaga politik dan hubungan-hubungan politik. Sekolah juga merupakan “saluran pewarisan” nilai-nilai dan sikap-sikap masyarakatnya (Sahid, 2010).

  • Tempat kerja
    Faktor penting yang menentukan adalah kesempatan berpartisipasi dalam keputusan di tempat kerja seseorang. Struktur kekuasaan di tempat kerja mungkin menjadi faktor yang paling penting dan jelas strukturnya dimana setiap orang mendapati dirinya dalam kontak sehari-hari (Almond, 1984). Selanjutnya Sahid (2010) menjelaskan bahwa pekerjaan dan organisasi-organisasi formal maupun informal yang dibentuk berdasarkan lingkungan pekerjaan itu, seperti serikat buruh dan semacam itu juga merupakan saluran komunikasi informasi dan keyakinan yang jelas.

  • Kelompok teman sebaya
    Pada prosesnya, ketika anak-anak itu muncul dari pengaruh awal keluarganya masuk ke dalam dunia yang lebih besar dari sekolah dan kelompok-kelompok sebaya, maka mereka terkena pengaruh-pengaruh lain yang dapat memperkokoh atau justru bertentangan dengan politisasi awalnya (Rush, 2007). Kelompok teman sebaya merupakan suatu kelompok dari orang-orang yang seusia dan memiliki status yang sama dalam mengembangkan sikap dan perilaku, dengan siapa seseorang umumnya berhubungan atau bergaul. Sosialisasi politik melalui kelompok teman sebaya bersifat informal dan langsung (Efriza, 2012)

  • Media massa
    Menurut Robinson dalam Kweit (1986) media mempunyai dampak terhadap orientasi politik tertentu seperti peran yang kita harapkan dari pejabat pemerintah. Diketahui bahwa media massa, surat kabar, radio, televisi, dan majalah memegang peranan penting dalam menularkan sikap-sikap dan nilai-nilai kepada bangsa-bangsa mereka, termasuk sikap dan nilai politik (Sahid, 2010).

  • Kontak-kontak politik langung
    Kontak-kontak langsung dengan pemerintah, lembaga politik dan kehidupan politik sangat mempengaruhi sikap dan perilaku politik individu dan kelompok-kelompok untuk tetap setia atau tidak, bersedia mendukung atau tidak sistem politik, pemerintah, atau partai politik yang semula didukungnya (Sahid, 2010). Organisasi-organisasi ataupun lembaga-lembaga kemasyarakatan lainnya mempunyai peranan pula menyalurkan nilai-nilai politik. Lebih lanjut dijelaskan bahwa melalui berperannya pola aliran politik dalam organisasi-organisasi maka secara langsung anggota-anggota suatu organisasi kemasyarakatan terlibat atau mempunyai kesempatan yang sama besar untuk menurunkan atau menyebarkan nilai-nilai politik ke dalam organisasi tersebut maupun kepada anggota masyarakat yang bukan anggota dari organisasi-organisasi tersebut (Efriza, 2012).

Fungsi Sosialisasi Politik


Sosialisasi memiliki beberapa fungsi yang berkaitan dengan beberapa fase. Menurut Apter (1996) bahwa fungsi sosialisasi terdiri dari tiga fase. Pertama adalah proses belajar dalam keluarga. Periode pertama ini membentuk kecenderungan pokok yang sekali berurat-berakar dalam kepribadian, sangat sulit berubah. Kedua adalah bagaimana orientasi politik digeneralisasi oleh anak ketika ia dewasa dan menghadapi situasi-situasi kelompok di luar keluarga. Periode kedua ini memperkenalkan jangkauan kontak yang jauh lebih luas, dapat menimbulkan kejutan pada individu misalnya ketika seorang anak remaja meninggalkan rumah untuk pertama kalinya dan memasuki perguruan tinggi. Ketiga adalah mengenai masalah kedewasaan. Pada tahap ini sebagian dari anak-anak ketika dewasa bahkan secara sadar melepaskan agama atau ideologi politik atau bahkan identitas nasional atau etnis tempat mereka dibesarkan.

Isi Sosialisasi Politik


Menurut Efriza (2012: 54) bahwa isi sosialisasi politik yang disampaikan oleh seorang individu atau agen sosialisasi kepada individu atau kelompok masyarakat sebagai berikut:

  • Informasi politik
    Informasi politik adalah isi sosialisasi yang memberikan penerangan tentang terjadinya suatu peristiwa politik yang pernah terjadi.

  • Pemberian keyakinan dan kepercayaan politik
    Agen sosialisasi akan begitu kerasnya memaksakan kehendak, cita-cita, firasat atau ideologi politiknya. Biasanya berlangsung dalam suatu indoktrinasi dan hanya satu arah saja.

  • Pengetahuan politik
    Pengetahuan politik sangat terkait dengan pemahaman akademis terhadap fenomena politik, artinya fenomena politik diberikan secara terstruktur dalam bentuk kurikulum pendidikan.

  • Provokasi atau propaganda politik
    Provokasi, agitasi dan propaganda sebenarnya adalah tindakan penyalahgunaan etika berpolitik. Isi sosialisasi politik seperti ini memiliki kecenderungan untuk memutarbalik fakta yang sesungguhnya demi kepentingan provokator atau agitator.

Sosialisasi politik merupakan cara untuk memperkenalkan nilai-nilai politik, sikap dan etika politik yang berlaku atau yang dianut oleh negara. Pembentukan sikap politik atau membentuk sikap dan keyakinan politik membutuhkan waktu yang panjang dan proses yang terusmenerus.

Sosialisasi politik dapat diartikan sebagai proses yang dilalui seseorang dalam menentukan sikap dan orientasi terhadap fenomenafenomena politik yang berlaku pada masyarakat tempat ia berada saat ini. Pada tahap ini terjadi proses penanaman nilai-nilai kebijakan bermasyarakat atau prinsip kebijakan menjadi warga negara yang efektif.

Agen-agen sosialisasi politik terdiri atas 6 agen, yaitu keluarga, kelompok bermain atau bergaul, sekolah, pekerjaan, media massa, dan kontak-kontak politik secara langsung. Pendidikan sekolah, pengalaman keluarga, dan pengaruh pergaulan berperan dalam memperkuat keyakinan, tetapi dapat pula mengubahnya secara drastis. Sosialisasi politik dapat berwujud transmisi dan pengajaran.

Artinya dalam sosialisasi itu terjadi interaksi antara suatu sikap dan keyakinan politik yang dimiliki oleh generasi tua terhadap generasi muda yang cenderung masih fleksibel menerima pengaruh ajaran. Transmisi dan pengajaran tersebut dapat berwujud interaksi langsung, yaitu berupa pengajaran formal ataupun doktrinasi suatu ideologi.

Sosialisasi politik ditentukan oleh lingkungan sosial, ekonomi, politik, dan kebudayaan tempat individu-individu berada. Para sarjana yang memberikan pengertian tentang sosialisasi politik sesuai dengan latar belakang disiplin keilmuannya, di antaranya sebagai berikut.

  1. David Easten dan Jack Dennis dalam bukunya Children in the Political System: Origins of Political Legimacy memberikan suatu batasan tentang sosialisasi politik adalah: “Proses perkembangan seseorang untuk mendapatkan orientasiorientasi politik dan pola-pola tingkah laku.”

  2. Fred I. Greenstein dalam buku Political Socialization diangkat dari International Encyclopedia of the Social Sciences Vol. 14. 1968, New York, menyatakan bahwa sosialisasi politik adalah: “Penanaman informasi politik yang sengaja, nilai-nilai dan praktikpraktik yang oleh badan instruksional secara formal ditugaskan untuk tanggung jawab ini; dan semua usahanya mempelajari politik, baik formal maupun informal, disengaja ataupun tidak terencana, pada setiap tahap siklus kehidupan, dan termasuk di dalamnya tidak hanya secara eksplisit masalah belajar politik, tetapi juga secara nominal belajar sikap nonpolitik mengenai karakteristik-karakteristik kepribadian yang bersangkutan.”

  3. R.S. Signal menyatakan bahwa sosialisasi politik adalah proses belajar yang terkait dengan norma politik yang dapat dialihkan dari suatu generasi ke generasi berikutnya untuk menerima suatu sistem politik yang sedang berlangsung.

  4. Robinson yang diangkat oleh Alexis S. Tan dalam buku Mass Communication; Theories and Research menyatakan bahwa: “Sosialisasi politik merupakan proses perubahan perilaku yang berhubungan erat dengan proses belajar.”

Dari semua pengertian tersebut, jelas bahwa sosialisasi politik merupakan proses transformasi nilai-nilai yang didahului pembentukan sikap perilaku melalui proses belajar.

Secara filsafat sosialisasi politik adalah hakikat manusia yang ingin mengembangkan nilai-nilai pribadi dan pola keyakinan dalam lingkup suatu sistem. Pembentukan sikap politik sangat dipengaruhi oleh nilai-nilai lingkungan tempat keberadaan individu.

Sistem politik suatu negara akan memengaruhi kepribadian politik warga negaranya. Dalam kehidupan sistem politik suatu negara, sosialisasi politik tidak lagi dalam skup kelompok, organisasi, partai politik, wilayah etnis kultur, tetapi telah berada dalam skup negara yang berorientasi pada kepentingan dan keutuhan bangsa.

Tujuan Sosialisasi Politik Sosialisasi politik yang diselenggarakan negara mentransformasi nilai-nilai yang menjadi pola keyakinan dan pola kepercayaan yang dapat membawa bangsa ke arah kebesarannya. Oleh karena itu, tujuan sosialisasi politik dapat dilihat dari beberapa dimensi, yaitu:

  1. dimensi psikologis;
  2. dimensi ideologis;
  3. dimensi normatif.

Ketiga dimensi ini memberi dampak saling berkaitan yang sasaran antara, karena sasaran akhir adalah stabilitas berkesinambungan dalam arti lestarinya sistem politik berikut sistem nilai yang mendasarinya. Dimensi pertama sosialisasi politik terarah pada pembentukan sikap politik dan kepribadian politik, yang secara utuh merupakan faktor-faktor kejiwaan.

Dalam proses ini berlangsung secara bertahap dalam rangkaian peristiwa politik, hal ini berawal dari tingkat pemahaman atau pengenalan tentang politik (political cognation). Kemudian meningkat pada pendalaman akan makna politik yang memberi dampak terhadap cara berpikir yang membuka cakrawala terhadap referensi pikiran.

Tahap ini berada dalam sikap efektif (political effection). Pada tahap ini pribadi-pribadi manusia telah memiliki “pilih banding sesuai dengan yang diminati”. Penghayatan yang terus berlanjut diiringi keyakinan maka akan terbentuk kepribadian politik (political personality) yang dapat diketahui dalam wujud perilaku dan sikap politik (political behavior).

Tahap ini telah berada dalam tahap “psychomotoris” atau berada pada kematangan politik (political maturity). Pada tahap ini pelestarian sistem politik sekaligus sistem nilainya telah dapat didekati karena mereka telah berada dalam kondisi adaptasi terhadap nilai-nilai yang berlangsung.

Dimensi kedua adalah dimensi ideologis. Dimensi ini sebagai proses penerimaan terhadap ideologi yang telah menjadi pola keyakinan. Simbol-simbol politik telah diinterpretasikan ke dalam simbol-simbol keyakinan politik. Pada dimensi ini, ideologi telah menjadi nilai-nilai yang memedomani sikap perilaku kehidupan bernegara sehingga pengaruh-pengaruh kontemporer tidak memberi makna yang berarti.

Dimensi ketiga, yaitu dimensi normatif, menunjukkan kondisi terintegrasinya sikap mental dan pola pikir dalam sistem norma yang berlaku. Norma menunjukkan kaidah-kaidah yang dibentuk penguasa dan kaidah-kaidah yang berkembang dalam masyarakat. Apabila ketiga dimensi tersebut telah dapat diwujudkan, sasaran antara atau tujuan antara sosialisasi politik telah berhasil dan upaya pelestarian sistem politik, sistem nilai dapat didekati.

Upaya pelestarian sistem politik pada umumnya dilakukan dengan berbagai cara. Semua unsur dan fasilitas yang dimiliki negara biasanya dimobilisasikan untuk tercapainya pelestarian tersebut. Pengertian mobilisasi diberi makna netral bukan dalam konotasi yang berlaku di negara komunis karena makna mobilisasi di negara tersebut terdapat unsur-unsur coersive atau unsur paksa menurut desain paksa penguasa, sedangkan mobilisasi netral menandai terhadap kondisi yang diciptakan melalui suatu proses membentuk alam sadar.