Apakah yang dimaksud Perjanjian Internasional (Treaties)?

Perjanjian Internasional adalah perjanjian yang diadakan antara anggota masyarakat bangsa-bangsa yang bertujuan untuk mengakibatkan akibat- akibat hukum tertentu dan karena itu untuk dapat dinamakan perjanjian internasional, perjanjian itu harus diadakan oleh subjek-subjek hukum internasional yang menjadi anggota masyarakat internasional.

Apakah yang dimaksud Perjanjian Internasional (Treaties)?

Sebuah perjanjian merupakan perjanjian yang mengikat di bawah hukum internasional yang dibuat para pelaku hukum internasional, yaitu negara dan organisasi intenasional.

Setelah menandatangani instrumen nasional, pihak yang sepakat untuk melibatkan diri mereka secara baik untuk memastikan bahwa tidak ada satu hal pun yang akan dilakukan yang dapat melawan tujuan dan obyek perjanjian internasional, menangguhkan ratifikasi.

Treaty dinamai dengan berbagai nama: treaty, perjanjian internasional, protokol, kovenan, konvensi, pertukaran surat, pertukaran catatan, dll.

Tanpa mengindahkan nama yang dipilih, semua perjanjian internasional ini di bawah hukum internasional berdiri sejajar dan peraturan-peraturannya bernilai sama. Dapat atau tidaknya semua perjanjian internasional itu dianggap sebagai sumber hukum, kesemuanya merupakan sumber kewajiban bagi semua pihak yang terlibat di dalamnya.

Pasal 38 (1) (a) dari Statuta Peradilan Internasional tahun 1946, yang menggunakan istilah “konvensi internasional”, memusatkan pada perjanjian internasional sebagai sumber kewajiban kontraktual namun juga mengakui kemungkinan sebuah negara menyatakan menerima kewajiban suatu perjanjian internasional meskipun bukanlah merupakan pihak secara formal.

Perjanjian internasional bisa secara gamblang dibandingkan dengan kontrak, keduanya merupakan kesepakatan dari pihak-pihak terkait untuk menerima kewajiban diantara keduanya, dan salah satu pihak yang gagal memenuhi kewajibannya bisa dimintai pertanggungjawaban di bawah hukum internasional akan pelanggaran tersebut. Prinsip utama dari hukum perjanjian terlihat dalam maxim pacta sunt servanda– “pakta-pakta haruslah dihormati.”

Namun, di beberapa negara, perjanjian internasional dianggap sejajar dengan perundang-undangan domestik. Agar aturan berbasis perjanjian internasional menjadi sumber hukum, maka aturan itu harus mampu mempengaruhi pihak yang tidak terlibat atau berdampak bagi pihak-pihak terlibat secara lebih luas daripada pihak-pihak yang secara khusus terkena perjanjian internasional itu sendiri.

Beberapa perjanjian internasional merupakan hasil dari kodifikasi hukum kebiasaan internasional yang ada, misalnya, hukum yang mengatur hal-hal umum secara global dan jus ad bellum. Karena tujuannya membuat kode penerapan secara umum, efektifitasnya tergantung pada serangkaian negara yang meratifikasi atau menyepakati konvensi tertentu. Secara relatif, instrumen semacam itu meminta sejumlah pihak untuk mengakuinya sebagai hukum internasional dalam hukum domestik mereka sendiri.

Contoh yang paling nyata adalah Konvensi Jenewa tahun 1949 bagi Perlindungan Korban Perang.

Perjanjian internasional tidaklah secara permanen mengikat pihak yang menandatangani perjanjian internasional. Sebagai kewajiban dari hukum internasional, secara tradisional dipandang sebagai hal yang muncul hanya dari negara-negara yang menyepakati.

Banyak perjanjian internasional yang memungkinkan sebuah negara untuk membatalkan kepihakannya selama hal tersebut mematuhi tata laksana tertentu dalam pemberitahuannya. Namun, banyak juga perjanjian internasional yang melarang pembatalan. Jika pembatalan sebuah negara disetujui, maka kewajibannya di bawah perjanjian internasional tersebut dianggap selesai.

Ketika sebuah negara membatalkan diri dari sebuah perjanjian internasional multilateral, perjanjian internasional itu masih berlaku bagi pihak lain, kecuali tentu saja bila ditafsirkan sebagai perjanjian internasional antar pihak negara yang masih tersisa dalam perjanjian internasional tersebut.

Untuk memahami mengenai Perjanjian Internasional ada baiknya berangkat dari pengertian Perjanjian Internasional itu sendiri. Konvensi Wina 1969 menggunakan istilah ‘treaty’ sebagai padanan Perjanjian Internasional dan mengenai pengertian Perjanjian Internasional dijelaskan sebagai berikut:

“treaty means an international agreement concluded between States in written form and governed by international law, whether embodied in a single instrument or in two or more related instruments and whatever its particular designation.”

Yang terjemahan bebas dalam bahasa Indonesia adalah:

“suatu persetujuan yang dibuat antara negara dalam bentuk tertulis dan diatur oleh hukum internasional, apakah dalam instrumen tunggal atau dua atau lebih instrumen yang berkaitan dan apapun nama yang diberikan padanya.”

Para sarjana memberikan definisi masing-masing sesuai dengan apa yang ditekankan dalam pengertian istilah itu, tetapi dari beberapa definisi tersebut dapat ditarik persamaan yang menggambarkan ciri-ciri perjanjian internasional.

Beberapa definisi tersebut antara lain sebagai berikut,

G. Schwarzenberger mendefinisikan treaty sebagai:

“Treaties are agreements between subject of International Law creating binding obligations in International Law. They may be bilateral (i.e. concluded between contracting parties) or multilateral (i.e. concluded more than contracting parties)”.

Dari definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa perjanjian internasional diartikan sebagai suatu persetujuan antara subyek-subyek hukum internasional yang menimbulkan kewajiban-kewajiban yang mengikat dalam hukum internasional. Persetujuan tersebut dapat berbentuk bilateral maupun multilateral.

Kemudian definisi yang dipaparkan oleh Oppenheim-Lauterpacht adalah:

“International treaties are agreements of contractual charter between states, creating legal rights and obligations between the parties”. Ditegaskan bahwa perjanjian adalah suatu persetujuan antar negara, yang menimbulkan hak dan kewajiban diantara para pihak.

Dari pengertian-pengertian, maka terdapat beberapa kriteria dasar yang harus dipenuhi oleh suatu dokumen perjanjian untuk dapat ditetapkan sebagai suatu perjanjian internasional berdasarkan Konvensi Wina 1969 tentang Perjanjian Internasional, yaitu :

  1. Perjanjian tersebut harus berkarakter internasional (an international agreement), sehingga tidak mencakup perjanjian-perjanjian yang berskala nasional.

  2. Perjanjian tersebut harus dibuat oleh negara dan/atau organisasi internasional (by subject of international law), sehingga tidak mencakup perjanjian yang sekalipun bersifat internasional namun dibuat oleh non-subjek hukum internasional.

  3. Perjanjian tersebut tunduk pada rezim hukum internasional (governed by international law) yang oleh Undang-Undang No. 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional disebut dengan “diatur dalam hukum internasional serta menimbulkan hak dan kewajiban di bidang hukum publik”. Perjanjian-perjanjian yang tunduk pada hukum perdata internasional sekalipun tidak tercakup dalam kriteria ini.

Sedangkan parameter tentang “governed by international law” merupakan elemen yang sering menimbulkan kerancuan dalam memahami perjanjian internasional, tidak hanya di kalangan praktisi namun juga akademisi.

Dalam pembahasan tentang Konvensi Wina 1969, Komisi Hukum Internasional (Interntional Law Committee) yang merancang Konvensi tersebut merasakan rumitnya pengertian “governed by international law”. Komisi ini mengatakan bahwa suatu dokumen adalah “governed by international law” apabila memenuhi dua elemen, yaitu:

  • Adanya maksud untuk menciptakan kewajiban dan hubungan hukum (Intended to create obligations and legal relations)

    There may be agreements whilst concluded between States but create no obligation and legal relations.

  • Tunduk pada rezim hukum internasional (…Under International Law)

    There may be agreements between States but subject to the local law of one of the parties or by a private law system/conflict of law.

Sekalipun Komisi Hukum Internasional telah berupaya memberikan penjelasan, tetap saja permasalahan teoritis mengenai bagaimana mengidentifikasi bahwa suatu dokumen adalah “governed by international law” tetap masih menimbulkan perdebatan akademis dan bahkan membingungkan dalam praktik negara.

Perjanjian Internasional Sebagai Sumber Hukum Internasional

Sebagai salah satu sumber hukum internasional, perjanjian internasional memiliki lebih banyak keunggulan untuk digunakan dalam praktek oleh masyarakat internasional dibandingkan sumber hukum internasional yang lain.

Perjanjian internasional yang dimaksud adalah perjanjian anggota masyarakat bangsa-bangsa dan bertujuan mengadakan akibat-akibat tertentu. Apabila pengertian tersebut dijabarkan lebih lanjut maka sesungguhnya perjanjian internasional itu adalah perjanjian yang dibuat oleh dan di antara:

  1. Negara- negara dengan negara-negara;
  2. Negara dan kesatuan-kesatuan bukan negara;
  3. kesatuan-kesatuan bukan negara satu sama lain.

Apabila dibandingkan antara Perjanjian Internasional dengan Sumber Hukum Internasional lainnya dapat dikatakan bahwa Perjanjian Internasional merupakan Sumber Hukum Internasional yang utama.

Signifikansi Perjanjian Internasional dalam Hukum Internasional

Ada satu teori terkenal yang menyangsikan bahwa hukum internasional bukan hukum yang sebenarnya, melainkan suatu himpunan kaidah perilaku yang hanya mempunyai kekuatan moral semata.

Teori ini didukung oleh John Austin seorang penulis Yurisprudensi atau ilmu pengetahuan dan filsafat hukum berkebangsaan Inggris. Selain Austin tokoh-tokoh lain yang mendukung teori ini antara lain adalah Hobbes, Pufendorf dan Bentham.

Menurut Austin, hukum dihasilkan dari keputusan-keputusan formal yang berasal dari badan legislating yang benar-benar berdaulat, yang secara politis berkedudukan paling tinggi, atau apabila tidak terdapat otoritas yang berdaulat demikian, maka kaidah-kaidah hukum melainkan hanya kaidah-kaidah dengan validitas moral atau etika semata-mata.

Austin menyimpulkan bahwa hukum internasional bukan hukum yang sebenarnya melainkan hanya “moralitas internasional positif” (Positive International Morality), yang dapat disamakan dengan kaidah-kaidah yang mengikat suatu kelompok atau masyarakat.

Lebih lanjut Austin menggambarkan hukum internasional sebagai terdiri dari “opini-opini atau sentimen-sentimen yang berlangsung diantara bangsa-bangsa pada umumnya

Perjanjian Internasional memiliki peran penting untuk menyanggah teori Austin, penjelasannya sebagai berikut: bahwa pandangan-pandangan yang disampaikan oleh Austin tepat pada zamannya namun tidak lagi tepat dengan hukum internasional pada saat ini.

Hukum internasional dewasa ini banyak sekali “perundang-undangan internasional” terbentuk sebagai akibat dari traktat-traktat, konvensi-konvensi, perjanjian-perjanjian yang membuat hukum, dan sejalan dengan perkembangan ini maka proporsi kaidah-kaidah kebiasaan hukum internasional makin berkurang.

Sir Frederick Pollock:
“apabila hukum internasional hanya semacam moralitas semata-mata, maka para perumus dokumen-dokumen tentang kebijaksanaan luar negeri akan menekankan semua kekuatan dokumen-dokumen itu pada argumentasi- argumentasi moral. Namun, dalam kenyataannya hal demikian tidak mereka lakukan. Pertimbangan para perumus tersebut bukan kepada perasaan atas kebenaran moral, akan tetapi kepada preseden-preseden, traktat-traktat dan pada opini-opini para ahli. Semua itu dianggap ada di antara para negarawan dan penulis-penulis hukum yang dapat dibedakan dari kewajiban-kewajiban moral dalam hubungan bangsa-bangsa”.

Referensi :

  • Hasibuan, Romi. “Suatu Tinjauan Umum Tentang Perjanjian Internasional”
  • Damos Dumoli Agusman. Hukum Perjanjian Internasional (Kajian Teoritis dan Praktik
    Indonesia). (Bandung: Refika Aditama, 2010).
  • ILC Draft and Commentary on the Law of Treaties, AJIL, Vol 61, 1967
  • Report of the ILC Special Rapporteur, 1962
  • Mochtar Kusumaatmadja, Pengantar Hukum Internasional, cet.7., (Bandung: Binacipta, 1990).
  • Frams E. Ikadja, Desain Konstruksional Dasar Hukum Internasional, (Jakarta: Ghlm.ia, 1988)

Pengertian perjanjian internasional di kalangan publik khususnya di Indonesia sangat bervariasi. Secara popular publik Indonesia lebih cenderung memahami bahwa perjanjian internasional adalah semua perjanjian yang bersifat lintas batas negara atau transnasional.

Di kalangan publik, tidak dibedakan antara perjanjian internasional dan kontrak internasional karena keduanya dipahami sebagai perjanjian internasional tanpa melihat siapa subjeknya, apa karakter hubungan hukumnya, serta rezim hukum apa yang menguasainya.

Praktik Indonesia tentang pembuatan perjanjian internasional baik sebelum dan sesudah lahirnya Undang-Undang No. 24 Tahun 2000 tidak luput dari keracunan pemahaman tentang perjanjian interansional.

Pasal 11 UUD 1945 hanya menyebut “perjanjian dengan negara lain” dan tidak mendefinisikan tentang apa yang dimaksud dengan perjanjian tersebut. Secara harafiah maka terdapat kecenderungan untuk mengartikan “perjanjian” sebagai semua perjanjian terlepas dari apakah perjanjian tersebut merupakan perjanjian perdata atau publik.

Pengertian “perjanjian” pada pasal 11 UUD 1945 tidak dimaksudkan untuk mencakup perjanjian perdata antar negara. Hal ini tersirat dari ditempatkannya Pasal ini di antara Pasal 10 sampai dengan 15, yang oleh Penjelasan UUD 1945 disebutkan bahwa

“Kekuasaan-kekuasaan Presiden dalam pasal-pasal ini ialah konsekuensi dari kedudukan Presiden sebagai Kepala Negara.”

Perjanjian dimaksud adalah tidak lain dari perjanjian publik karena secara tradisional interaksi oleh Kepala Negara dalam hubungan luar negeri tidak pernah menghasilkan perjanjian perdata, melainkan perjanjian yang tunduk pada hukum internasional.

Sebelum lahirnya undang-undang Perjanjian Internasional semua dokumen sepanjang bersifat lintas batas negara dan yang menjadi pihak adalah pemerintah Republik Indonesia maka diperlakukan sebagai perjanjian internasional dan disimpan dalam Tuang Perjanjian “Treaty Room” Kementerian Luar Negeri.

Indonesia sebagai negara hukum juga telah memiliki sebuah peraturan perundang-undangan yang secara khusus mengatur mengenai Perjanjian Internasional yaitu Undang-undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional. Dalam Undang-Undang Perjanjian Internasional tersebut Perjanjian Internsional didefinisikan sebagai:

Perjanjian Internasional adalah perjanjian, dalam bentuk dan nama tertentu, yang diatur dalam hukum internasional yang dibuat secara tertulis serta menimbulkan hak dan kewajiban di bidang hukum publik”

Dalam perundang-undangan sebelumnya Perjanjian Internasional pernah diberikan definisi dalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri yaitu:

Perjanjian Internasional adalah perjanjian dalam bentuk dan sebutan apapun, yang diatur oleh hukum internasional dan dibuat secara tertulis oleh Pemerintah Republik Indonesia dengan satu atau lebih negara, organisasi internasional atau subyek hukum internasional lainnya, serta menimbulkan hak dan kewajiban pada Pemerintah Republik Indonesia yang bersifat hukum publik.”

Setelah lahirnya Undang-Undang No. 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional, praktik di Indonesia telah menunjukkan konsistensi tentang perjanjian namun masih terdapat kesulitan tentang pembedaan yang berkaitan dengan “governed by international law”, sehingga semua dokumen sepanjang dibuat oleh Pemerintah RI dengan subjek hukum internasional masih dianggap sebagai perjanjian internasional sekalipun perjanjian itu tunduk pada hukum nasional seperti atau sekalipun perjanjian itu pada hakikatnya tidak menciptakan kewajiban atau hubungan hukum.

Dalam tataran teoritis maupun praktik negara-negara termasuk Indonesia ditemukan pula jenis perjanjian yang bersifat administratif yang dibuat antara Lembaga Pemerintah/Negara Indonesia dengan Lembaga Pemerintah/Negara asing, misalnya perjanjian antara Kementerian Indonesia dengan Kementerian Negara sahabat, termasuk perjanjian antara Pemerintah Daerah seperti MoU Sister City/Sister Province. Perjanjian ini (pada umumnya dalam bentuk MoU) masih menimbulkan kontroversi terkait statusnya sebagai suatu perjanjian internasional (treaty).78

Kasus dalam Perjanjian Internasional

Dengan banyaknya intrepretasi dan pewujudan dari perjanjian internasional dalam praktik di Indonesia maka menimbulkan sebuah distorsi terkait dengan terminologi perjanjian internasional itu sendiri. Distorsi publik ini pulalah yang mendorong lahirnya klaim bahwa Production Sharing Contract (PSC) di bidang minyak dan gas oleh Pemerintah RI dengan perusahaan asing adalah “perjanjian internasional”, sehingga memicu adanya judicial review terhadap Undang-undang No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi ke Mahkamah Konstitusi pada tahun 2007.

Kasus Judicial Review ini merupakan kasus yang pertama dan yurisprudensi Indonesia yang mengangkat permasalahan teoretis tentang hukum perjanjian internasional yang menggambarkan beragamnya pemahaman publik tentang perjanjian internasional.

Mahkamah Konstitusi dalam judicial review melakukan koreksi terhadap distorsi yang terjadi dalam opini publik tentang apa itu perjanjian internasional. Mahkamah Konstitusi menyatakan:

“Meskipun bunyi pasal 11 ayat (2) UUD 1945 menyebutkan “ perjanjian internasional lainnya yang menimbulkan akibat luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan negara, dan/atau mengharuskan perubahan atau pembentukan Undang-Undang harus dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat,” kami dapat menyetujui pendapat pemerintah dan ahli yang diajukan bahwa perjanjian internasional yang dimaksud adalah perjanjian internasional sebagaimana diartikan dalam Pasal 1 dan 2 Konvensi Wina tahun 1969 tentang Hukum Perjanjian (Law of Treaties) dan pasal 2 ayat (1) huruf a Konvensi Wina tahun 1986 tentang Perjanjian Internasional. Oleh karenanya, Kontrak Kerja sama sebagaimana dimaksud dalam pasal 11 ayat (2) Undang-Undang Migas, tidak termasuk perjanjian internasional yang merupakan ruang lingkup pasal 11 UUD 1945, dan karena itu permohonan Pemohon sepanjang mengenai hal tersebut tidak cukup beralasan.”

Judicial Review tersebut menjadi yurisprudensi penting bagi Hukum Nasional Indonesia terutama terkait pembahasan mengenai Perjanjian Internasiosnal. Mungkin terkesan remeh akan tetapi judicial review tersebut memberi gambaran yang jelas dan meluruskan distorsi yang terjadi dalam masyarakat.

Selain itu dengan ada keputusan Judicial Review oleh Mahkamah Konstitusi tersebut maka secara langsung memberikan pengaruh yuridis terlebih khusus mengenai masalah Product Sharing Contract tidak termasuk ruang lingkup Perjanjian Internasional sebagaimana diatur dalam Pasal 11 UUD 1945.

Perjanjian internasional merupakan satu bagian yang sangatlah penting dalam hukum internasional. Hal ini timbul sebagai konsekuensi dari adanya hubungan antar negara-negara di dunia, yang berkembang pada era globalisasi ini sehingga mencakup hubungan antar negara dengan organisasi internasional, maupun antara organisasi internasional dengan organisasi internasional lainnya.

Saat ini terdapat dua konvensi yang mengatur tentang perjanjian internasional, yaitu Konvensi Wina Tahun 1969 tentang Perjanjian Internasional yang dibuat antar negara (Vienna Convention on The Law of Treaties) dan Konvensi Wina Tahun 1986 tentang Perjanjian Internasional antara Negara dan Organisasi Internasional atau antar Organisasi Internasional (Vienna Convention on The Law of Treaties between States and International Organizations or between International Organizations).

Pengertian perjanjian internasional secara definitif sukar dilakukan sebagaimana juga yang dihadapi apabila mencari batasan mengenai pengertian hukum itu sendiri. Terminologi treaty yang digunakan dalam Konvensi Wina 1969 menunjuk pada perjanjian internasional secara umum dan bukan hanya menunjuk pada definisi sempit dari treaty atau traktat sebagai jenis dari suatu perjanjian internasional.26 Merujuk pada Konvensi Wina 1969, pengertian perjanjian internasional sebagaimana yang dikemukakan oleh Ian Brownlie adalah :

“Treaty as an international agreement concluded between states in written form and governed by international law, whether embodied in a single instrument or in two or more related instruments and what ever its particular designation”.

Yang berarti perjanjian sebagai suatu persetujuan yang dibuat antar negara dalam bentuk tertulis dan diatur oleh hukum internasional, apakah dalam instrumen tunggal atau dua atau lebih instrumen yang berkaitan apapun nama yang diberikan padanya.

Pada kerangka teoritis Mochtar Kusumaatmadja merumuskan perjanjian internasional dengan rumusan yang lebih luas, yaitu :

Perjanjian Internasional adalah perjanjian yang diadakan antara anggota masyarakat bangsa-bangsa yang bertujuan untuk mengakibatkan akibat- akibat hukum tertentu dan karena itu untuk dapat dinamakan perjanjian internasional, perjanjian itu harus diadakan oleh subjek-subjek hukum internasional yang menjadi anggota masyarakat internasional”.

Berdasarkan pengertian di atas, terdapat beberapa kriteria dasar yang digunakan sebagai tolak ukur definisi dan ruang lingkup yang harus dipenuhi untuk dapat ditetapkan sebagai suatu perjanjian internasional, yaitu :

  1. an international agreement;
  2. by subject of international law (termasuk entitas di luar negara);
  3. in written form;
  4. governed by international law (diatur dalam hukum internasional serta menimbulkan hak dan kewajiban di bidang hukum publik);
  5. whatever form.

Berikut adalah penjelasan mengenai unsur atau kriteria dasar yang digunakan sebagai tolak ukur definisi dan ruang lingkup perjanjian internasional, yaitu :

  1. An International Agreement
    Bahwa suatu perjanjian internasional haruslah memiliki karakteristik internasional yang berarti perjanjian itu mengatur aspek-aspek hukum internasional atau permasalahan lintas negara.

    Selain itu, unsur ini juga dipakai untuk menunjukkan bahwa definisi perjanjian internasional mencakup semua dan segala jenis perjanjian yang memiliki karakter internasional, terlepas dari apakah perjanjian itu disusun secara bilateral, multilateral, regional ataupun universal.

  2. Subject of International Law
    Bahwa perjanjian tersebut harus dibuat oleh negara dan/atau organisasi internasional sehingga tidak mencakup perjanjian yang sekalipun bersifat internasional namun dibuat oleh non-subjek hukum internasional.

    Yang dimaksud dengan unsur ini adalah perjanjian internasional hanya dapat dibuat di antara subjek-subjek hukum tertentu, yaitu subjek hukum internasional. Subjek hukum internasional adalah :

    1. Negara;
    2. Organisasi Internasional;
    3. Palang Merah Internasional;
    4. Tahta Suci/Vatican;
    5. Pemberontak/Belligerent.
  3. In Written Form
    Seperti yang tertuang secara tegas dalam Konvensi Wina 1969 dan Konvensi Wina 1986, ruang lingkup perjanjian internasional dibatasi hanya pada perjanjian yang tertulis. Pembatasan tersebut dimaksudkan agar tidak ada akibat hukum yang tidak diinginkan oleh negara-negara peserta yang disebabkan oleh oral agreement seperti yang tertuang pada Pasal 3 Konvensi Wina 1969.

  4. Governed by International Law
    Parameter tentang Governed by International Law merupakan elemen yang sering menimbulkan kerancuan dalam memahami perjanjian internasional. Dalam pembahasan tentang Konvensi Wina 1969, Komisi Hukum Internasional (International Law Committee) yang merancang konvensi tersebut merasakan rumitnya pengertian “governed by international law”. Komisi ini mengatakan suatu dokumen disebut sebagai governed by international law jika sudah memenuhi dua elemen, yaitu :

    • Adanya maksud untuk menciptakan kewajiban dan hubungan hukum (Intended to create obligations and legal relations).
      There may be agreements whilst concluded between states but create no obligations and legal relations. They could be in the form of a Joint Statement, or MoU, depends on the subject-matter and the intention of the parties.

    • Tunduk pada rezim hukum internasional (Under international law).
      There may be agreements between States but subject to the local law of the one of the parties or by a private law system/conflict of law such as agreements for the acquisition of premises for a diplomatic mission or for some purely commercial transactions.

    Pasal 3 Konvensi Wina 1969 menyatakan bahwa :
    The fact that the present Convention does not apply to international agreements concluded between states and other subjects of international law or between such other subjects of international law, or to international agreements not in written form, shall not affect :
    a. The legal force of such agreements;
    b. The application to them of any of the rules set forth in the present Convention to which they would be subject under international law independently of the Convention;
    c. The application of the Convention to the relations of States as between themselves under international law are also parties.

  5. Whatever Forms
    Definisi perjanjian internasional lebih mengutamakan prosedur perjanjian daripada sekedar judul perjanjian internasional itu sendiri. Dengan kata lain, penamaan atau judul dari suatu perjanjian internasional bisa berbeda, tetapi pengaturannya tetap bersumber pada hukum perjanjian internasional sebagaimana yang dituangkan di dalam Konvensi Wina 1969.

Perjanjian internasional merupakan salah satu sumber hukum internasional sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 38 ayat (1) Statuta Mahkamah Internasional.

Perjanjian internasional sebagai salah satu sumber hukum internasional yang paling penting mengandung pengertian sebagai perjanjian antara anggota masyarakat bangsa-bangsa yang bertujuan untuk mengadakan akibat-akibat tertentu. Apabila dijabarkan lebih lanjut, perjanjian internasional adalah perjanjian yang dibuat oleh dan diantara :

  1. Negara dengan negara;
  2. Negara dan kesatuan bukan negara;
  3. Kesatuan bukan negara satu sama lain.

Perjanjian Internasional apabila dibandingkan dengan sumber hukum internasional lainnya menjadi sumber yang paling utama dan ini dapat terlihat dari Pasal 38 Statuta ICJ yang meletakkan perjanjian internasional pada urutan pertama. Hal ini menunjukkan bahwa perjanjian internasional menduduki posisi tertinggi dalam hierarki sumber hukum internasional. Selain itu, banyak sumber hukum internasional lain seperti kebiasaan internasional yang sudah dikodifikasikan ke dalam bentuk perjanjian internasional.

Perjanjian internasional memiliki beragam definisi yang diutarakan oleh para ahli. Mochtar Kusumaatmadja menyatakan bahwa perjanjian internasional adalah perjanjian yang diadakan antara anggota masyarakat bangsa-bangsa dan bertujuan untuk mengakibatkan akibat hukum tertentu.

Boer Mauna berpendapat bahwa perjanjian internasional adalah instrumen yuridis yang menampung kehendak dan persetujuan negara atau subjek hukum internasional lainnya untuk mencapai tujuan bersama, yang mana pembuatannya diatur oleh hukum internasional dan menimbulkan akibat hukum yang mengikat bagi para pihak yang membuatnya.

O’ Connel menyatakan bahwa

"…a treaty is engagement between states, governed by international law as distinct from municipal law, the form and manner of which is immaterial to the legal consequences of the act,

I Wayan Parthiana berpendapat bahwa perjanjian internasional adalah kata sepakat antara dua atau lebih subyek hukum internasional mengenai suatu obyek atau masalah tertentu dengan maksud untuk hubungan hukum atau melahirkan hak dan kewajiban yang diatur oleh hukum internasional.

Pada intinya, para ahli sependapat bahwa perjanjian internasional adalah kesepakatan antara negara dan/atau subyek-subyek hukum internasional lainnya yang menimbulkan akibat hukum tertentu bagi setiap pihak yang terlibat.

Definisi perjanjian internasional dalam ketentuan positif terdapat dalam Pasal 2 ayat (1) huruf a Konvensi Wina 1969 yang menyebutkan bahwa:

  1. For the purposes of the present Convention;
    a. “treaty” means an international agreement concluded between States in written form and governed by international law, whether embodied in a single instrument or in two or more related instruments and whatever its particular designation;

Pasal tersebut bermakna bahwa perjanjian yang dimaksud adalah suatu persetujuan internasional yang diadakan antara negara-negara dalam bentuk yang tertulis dan diatur oleh hukum internasional, baik yang berupa satu instrumen tunggal atau berupa dua atau lebih instrumen yang saling berkaitan tanpa memandang apa pun juga namanya.

Pengertian perjanjian internasional juga tercantum dalam tatanan hukum nasional Indonesia, yakni dalam Undang-undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional Pasal 1 butir a yang menyebutkan bahwa perjanjian internasional adalah perjanjian, dalam bentuk dan nama tertentu, yang diatur dalam hukum internasional yang dibuat secara tertulis serta menimbulkan hak dan kewajiban di bidang hukum publik.

Berdasarkan pengertian tersebut, maka dapat dijabarkan beberapa unsur atau kualifikasi yang harus terpenuhi dalam suatu perjanjian, untuk dapat disebut sebagai perjanjian internasional, yaitu: kata sepakat, subyek-subyek hukum internasional, berbentuk tertulis, obyek tertentu, dan tunduk pada atau diatur oleh hukum internasional.

Unsur yang paling utama, yaitu persetujuan para pihak yang diberikan secara sukarela, sebagaimana yang terjadi dalam hukum perdata, atau asas konsensualisme yang dikenal di sistem perdata barat. Namun, perlu diingat bahwa perjanjian internasional harus diadakan oleh subjek hukum internasional yang menjadi anggota masyarakat hukum internasional.

Jadi, termasuk dalam perjanjian internasional adalah perjanjian antara negara-negara, perjanjian antara negara dengan organisasi internasional, perjanjian antara suatu organisasi internasional dengan organisasi internasional lainnya.

Di samping itu, Huala Adolf juga menyatakan bahwa kontrak internasional tidak dapat dipersamakan dengan perjanjian internasional. Kata “kontrak” terasosiasi dengan suatu hal yang bersifat privat (perdata) seperti misalnya: KKS (Kontrak Kerja Sama) antara Pemerintah c.q. Badan Pengelola Minyak dan Gas (BP Migas) dengan perusahaan asing, adalah kontrak komersial yang tidak tunduk pada hukum publik.

Standar untuk menentukan apakah perjanjian masuk kategori perjanjian dalam arti publik atau privat dapat dilihat dari hubungan hukum yang mengaturnya, yaitu hukum privat atau hukum publik, bukan kepada status para pihaknya. Sebuah perjanjian internasional yang bersifat publik harus ada penundukan kepada hukum internasional (publik). Secara teori, ketika prosedur investasi harus melibatkan proses politik, prinsip kebebasan berdagang atau kebebasan berkontrak para pihak (termasuk Pemerintah) akan terganggu.

Prinsip kebebasan berdagang pada prinsipnya, tidak boleh diintervensi oleh kepentingan politik atau proses politik.

Perjanjian internasional menurut Mochtar Kusumaatmadja adalah perjanjian yang diadakan antara anggota masyarakat bangsa-bangsa dan bertujuan untuk mengakibatkan akibat-akibat hukum tertentu.

Sedangkan menurut ketentuan Pasal 1 huruf (a) Undang-undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional, yang dimaksud perjanjian internasional adalah perjanjian dalam bentuk dan nama tertentu, yang diatur dalam Hukum Internasional yang dibuat secara tertulis serta menimbulkan hak dan kewajiban di bidang hukum publik.

Berdasarkan pengertian tersebut, maka dapat dijabarkan beberapa unsur atau kualifikasi yang harus terpenuhi dalam suatu perjanjian, untuk dapat disebut sebagai perjanjian internasional, yaitu: kata sepakat, subyek-subyek hukum internasional, berbentuk tertulis, obyek tertentu, dan tunduk pada atau diatur oleh hukum internasional. Unsur yang paling utama, yaitu persetujuan para pihak yang diberikan secara sukarela, sebagaimana yang terjadi dalam hukum perdata,atau asas konsensualisme yang dikenal di sistem perdata barat. Namun, perlu diingat bahwa perjanjian internasional harus diadakan oleh subjek hukum internasional yang menjadi anggota masyarakat hukum internasional. Jadi, termasuk dalam perjanjian internasional adalah perjanjian antara negara-negara, perjanjian antara negara dengan organisasi internasional, perjanjian antara suatu organisasi internasional dengan organisasi internasional lainnya.

Bentuk Perjanjian Internasional

Bentuk-bentuk tersebut adalah sebagai berikut:

  1. Perjanjian Internasional Berdasarkan Jumlah Negara Pihak

    Terdapat dua jenis perjanjian internasional berdasarkan klasifikasi ini, yaitu perjanjian internasional bilateral (dua negara dan/atau pihak) dan multilateral (lebih dari dua negara atau pihak).

  2. Perjanjian Internasional Berdasarkan Kesempatan yang diberikan untuk Menjadi Negara Pihak

    Terdapat dua jenis perjanjian internasional dalam klasifikasi ini, yaitu perjanjian internasional khusus atau perjanjian internasional tertutup dan perjanjian internasional terbuka. Sesuai dengan namanya, perjanjian internasional khusus atau tertutup merupakan perjanjian internasional yang hanya mengatur kepentingan para pihak yang bersangkutan, di mana pihak ketiga tidak diperkenankan terlibat dalam perjanjian tersebut. Sebaliknya, pihak ketiga atau negara-negara yang pada awalnya tidak terlibat dalam pembentukan perjanjian internasional terbuka, dapat menyatakan persetujuannya untuk terikat (consent to be bound) dengan perjanjian tersebut di kemudian hari.

  3. Perjanjian Internasional Berdasarkan Kaidah Hukumnya

    Klasifikasi ini memiliki kaitan erat dengan jenis perjanjian internasional sebelumnya dan membagi perjanjian internasional ke dalam tiga bagian lagi, yaitu perjanjian internasional yang melahirkan kaidah hukum khusus yang berlaku bagi para pihak yang terikat, yang berlaku dalam kawasan tertentu dan yang berlaku umum.

  4. Perjanjian Internasional Berdasarkan Bahasa

    Suatu perjanjian internasional dapat dirumuskan dalam satu bahasa, dua bahasa atau lebih dan yang dirumuskan dalam satu bahasa tertentu saja yang sah dan mengikat para pihak dan/atau yang semuanya merupakan naskah sah, otentik dan mempunyai kekuatan mengikat yang sama.

  5. Perjanjian Internasional Berdasarkan Substansi Hukum yang Dikandungnya

    Secara garis besar, ada tiga macam perjanjian internasional jika ditinjau berdasarkan kaidah hukum yang dirumuskan di dalamnya, yaitu perjanjian internasional yang seluruh pasalnya merupakan perumusan dari kaidah-kaidah hukum kebiasaan internasional dalam bidang yang bersangkutan, yang merupakan perumusan atau yang melahirkan kaidah-kaidah hukum internasional yang sama sekali baru dan/atau yang substansinya merupakan perpaduan antara kaidah-kaidah hukum kebiasaan internasional dan kaidah-kaidah hukum internasional yang baru sama sekali.

  6. Perjanjian Internasional Berdasarkan Pemrakarsanya

    Perjanjian internasional sudah pasti lahir atas kebutuhan untuk mengatur suatu obyek yang dihadapi secara bersama-sama oleh para pihak yang berkepentingan, maka pasti ada pihak yang berinisiatif untuk mengadakan suatu perjanjian dengan negara lainnya. Berdasarkan pemrakarsanya, perjanjian internasional terbagi ke dalam dua golongan yaitu yang kelahiran atau pembentukannya diprakarsai oleh negara atau negara-negara dan/atau organisasi internasional.

  7. Perjanjian Internasional Berdasarkan Ruang Lingkup Berlakunya

    Ditinjau dari ruang lingkup berlakunya, perjanjian internasional dapat dibedakan menjadi perjanjian internasional khusus, regional atau kawasan dan umum atau universal.

Perjanjian internasional pada hakekatnya merupakan sumber hukum internasional yang utama dan merupakan instrumen-instrumen yuridis yang menampung kehendak dan persetujuan antara negara atau subjek hukum internasional lainnya untuk mencapai tujuan bersama.

Persetujuan bersama yang dirumuskan dalam perjanjian tersebut merupakan dasar hukum internasional untuk mengatur kegiatan negara-negara atau subjek hukum internasional lainnya. Bermacam-macam nama yang diberikan untuk perjanjian mulai dari yang paling resmi sampai pada bentuk yang paling sederhana, kesemuanya mempunyai kekuatan hukum dan mengikat pihak-pihak terkait. Menurut Myers ada 39 macam istilah yang digunakan untuk perjanjian-perjanjian internasional, antara lain:

  1. Perjanjian Internasional/Traktat (Treaties);
  2. Konvensi (Convention);
  3. Piagam (Charter) ;
  4. Protokol (Protocol);
  5. Deklarasi (Declaration);
  6. Final Act;
  7. Agreed Minutes and Summary Records;
  8. Nota Kesepahaman (Memorandum of Understanding);
  9. Arrangement;
  10. Exchanges of Notes;
  11. Process-Verbal;
  12. Modus Vivendi;
  13. Persetujuan (Agreement);

Bentuk perjanjian internasional yang akan dibahas lebih lanjut dalam Naskah Akademik ini adalah agreement (persetujuan). Terminologi agreement memiliki pengertian umum dan pengertian khusus. Dalam pengertian umum, Konvensi Wina tentang Hukum Perjanjian menggunakan terminologi dalam arti luas. Selain memasukan definisi treaty sebagai international agreement, Konvensi tersebut juga menggunakan terminologi international agreement bagi perangkat internasional yang tidak memenuhi definisi treaty. Dengan demikian, maka pengertian agreement secara umum mencakup seluruh jenis perangkat internasional dan biasanya mempunyai kedudukan yang lebih rendah dari traktat dan konvensi.

Dalam pengertian khusus, terminologi agreement dalam bahasa Indonesia lebih dikenal dengan istilah persetujuan. Menurut pengertian ini, persetujuan umumnya mengatur materi yang memiliki cakupan lebih kecil dibanding materi yang diatur pada traktat. Saat ini terdapat kecenderungan untuk menggunakan istilah “persetujuan” bagi perjanjian bilateral dan secara terbatas pada perjanjian multilateral. Terminologi persetujuan pada umumnya juga digunakan pada perjanjian yang mengatur materi kerja sama di bidang ekonomi, kebudayaan, teknik dan ilmu pengetahuan.

Sampai tahun 1969, pembuatan perjanjian-perjanjian internasional hanya diatur oleh hukum kebiasaan. Pada tanggal 26 Maret s.d. 24 Mei 1968 dan tanggal 9 April s.d. 22 Mei 1969 diselenggarakan Konferensi Internasional di Wina, yang kemudian melahirkan Konvensi Wina tentang Hukum Perjanjian (Vienna Convention on the Law of Treaties) (selanjutnya disebut dengan Konvensi Wina 1969), yang ketentuan-ketentuan di dalamnya selalu dijadikan dasar dan pedoman negara-negara dan subjek hukum internasional dalam perbuatan perjanjian-perjanjian internasional.

Dalam masyarakat internasional dewasa ini, perjanjian internasional memainkan peranan yang sangat penting dalam mengatur kehidupan dan pergaulan antarnegara. Melalui perjanjian internasional, tiap negara menggariskan dasar kerja sama mereka, mengatur berbagai kegiatan, menyelesaikan berbagai masalah demi kelangsungan hidup masyarakat itu sendiri. Dalam dunia yang ditandai saling ketergantungan dewasa ini, tidak ada satu negara yang tidak mempunyai perjanjian dengan negara lain dan tidak ada satu negara yang tidak diatur oleh perjanjian dalam kehidupan internasionalnya.

Pembuatan dan pengesahan perjanjian internasional antara Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah negara-negara lain, organisasi internasional, dan subjek hukum internasional lain adalah suatu perbuatan hukum yang sangat penting karena mengikat negara pada bidang-bidang tertentu. Oleh sebab itu, pembuatan dan pengesahan suatu perjanjian internasional harus dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Mulai berlakunya suatu perjanjian pada umumnya ditentukan pada klausula penutup dari perjanjian itu sendiri. Dengan perkataan lain bahwa para pihak dari perjanjian itulah yang menentukan bila perjanjian tersebut mulai berlaku secara efektif.

Prinsip ini juga disebutkan secara jelas dalam Pasal 2 Konvensi Wina 1969 antara lain menyebutkan bahwa suatu perjanjian mulai berlaku dengan mengikuti cara dan tanggal yang ditetapkan dalam perjanjian atau sesuai dengan persetujuan antara negara-negara yang berunding, dan mungkin pula suatu perjanjian internasional mulai berlaku segera setelah semua negara yang berunding setuju untuk diikat dalam perjanjian. Disamping itu, Pasal 25 Konvensi Wina 1969 juga mengatur mengenai pemberlakuan sementara suatu perjanjian internasional jika disepakati oleh pihakpihak yang berunding.

Dalam pelaksanaannya, kata sepakat dari para pihak dapat dibagi dalam 2 (dua) kategori yaitu, perjanjian yang langsung dapat berlaku segera setelah penandatanganan, maka dalam hal ini tidak diperlukan lagi proses pengesahan lebih lanjut, dan perjanjian yang memerlukan pengesahan sesuai dengan prosedur konstitusional yang berlaku di negara masing-masing pihak pada perjanjian tersebut. Secara garis besar dapat dilihat mulai berlakunya suatu perjanjian ialah sebagai berikut:

a. Mulai berlakunya perjanjian internasional segera sesudah tanggal penandatanganan. Bagi perjanjian-perjanjian bilateral tertentu yang materinya tidak begitu penting dan yang biasanya merupakan suatu perjanjian pelaksanaan, maka umumnya mulai berlaku sejak penandatanganan. Jadi pada prinsipnya dapat dinyatakan bahwa penandatanganan saja sudah cukup untuk dapat berlakunya suatu perjanjian.
b. Notifikasi telah dipenuhinya persyaratan konstitusional. Suatu perjanjian bilateral yang tidak langsung berlaku sejak tanggal penandatanganan haruslah disahkan terlebih dahulu sesuai dengan prosedur konstitusional yang berlaku di negara masing-masing pihak. Untuk dapat berlakunya perjanjian tersebut secara efektif maka setelah pengesahan, hal tersebut harus diberitahukan pada pihak lainnya.

Menurut Anzilotti, perjanjian internasional berdasarkan prinsip “ pacta sunt servanda ” yaitu negara tidak dapat melepaskan diri dari ikatan penjanjian internasional atau merubah ketentuannya tanpa persetujuaan pihak lawan berjanji melalui saling pengertian yang dengan demikian persetujuan negara mewajibkan negara itu untuk mentaatinya.

Perjanjian internasional merupakan “ res inter alios acta ” yaitu pada prinsipnya perjanjian internasional hanya mengikat pihak-pihak yang berjanji saja. Agar suatu perjanjian internasional dapat mengikat, perjanjian itu harus dibuat oleh pihak yang berwenang dan menurut prosedur yang berlaku. Pihak yang berwenang membuat perjanjian internasional adalah :

  1. Negara, yang meliputi Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat. Hal ini merujuk pada pasal 11 UndangUndang Dasar 1945 yang menyatakan:

"Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat membuat perjanjian dengan negara-negara lain”.

  1. Organisasi Internasional yang memenuhi persyaratan hukum internasional, seperti Perserikatan Bangsa-Bangsa, ASEAN, dan lain-lain.

Terminologi treaty yang digunakan dalam Konvensi Wina 1969 menunjuk pada perjanjian internasional secara umum dan bukan hanya menunjuk pada definisi sempit dari treaty atau traktat sebagai jenis dari suatu perjanjian internasional.

Merujuk pada Konvensi Wina 1969, pengertian perjanjian internasional sebagaimana yang dikemukakan oleh Ian Brownie :

“Yang berarti perjanjian sebagai suatu persetujuan yang dibuat antar negara dalam bentuk tertulis dan diatur oleh hukum internasional, apakah dalam instrumen tunggal atau dua atau lebih instrumen yang berkaitan apapun nama yang diberikan padanya.”

Menurut Mochtar Kusumaatmadja, Perjanjian Internasional adalah perjanjian yang diadakan antara anggota masyarakat bangsa-bangsa yang bertujuan untuk mengakibatkan akibat- akibat hukum tertentu dan karena itu untuk dapat dinamakan perjanjian internasional, perjanjian itu harus diadakan oleh subjek-subjek hukum internasional yang menjadi anggota masyarakat internasional.

Bentuk-bentuk Perjanjian Internasional

Secara garis besar, bentuk-bentuk utama dari perjanjian internasional dapat dibedakan menjadi:

  1. Perjanjian internasional yang dibuat oleh kepala negara. Dalam hal ini, perjanjian internasional dirancang sebagai suatu perjanjian antara pemegang kedaulatan dan kepala-kepala negara.

  2. Perjanjian internasional yang dibuat antar pemerintah. Biasanya dipakai untuk perjanjian-perjanjian khusus dan non-politis

  3. Perjanjian internasional yang dibuat antar negara ( inter-states ) Perjanjian ini dibuat secara tegas atau implisit sebagai suatu perjanjian antar negara- negara

  4. Suatu perjanjian dapat dirundingkan dan ditandatangani di antara menteri negara terkait, umumnya Menteri Luar Negeri negara masing-masing

  5. Dapat berupa perjanjian antar departemen, yang dibentuk antara wakil- wakil departemen pemerintah khusus.

Tahap Perjanjian Internasional di Indonesia

Tahapan pembuatan perjanjian internasional, praktiknya di Indonesia yakni sesuai ketentuan Pasal 6 ayat (1) UU Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional, yakni:

1. Tahap Penjajakan

Pada tahap ini para pihak yang ingin membuat perjanjian menjajaki kemungkinan-kemungkinan untuk dibuatnya perjanjian internasional. Penjajakan dapat dilakukan melalui inisiatif instansi atau lembaga pemerintahan (Negara) di Indonesia ataupun inisiatif dari calon mitra. Penjajakan bertujuan untuk bertukar pikiran tentang berbagai masalah yang akan di tuangkan dalam perjanjian dimaksud.

2. Tahap Perundingan

Tahap perundingan merupakan suatu upaya yang ditempuh oleh para pihak untuk mencapai kesepakatan atas materi yang masih belum dapat disetujui dalam tahap penjajakan. Tahap ini juga berfungsi sebagai wahana memperjelas pemahaman setiap pihak tentang ketentuan-ketentuan yang ada dalam perjanjian internasional.

3. Tahap Perumusan Naskah

Rumusan naskah adalah hasil kesepakatan dalam perundingan oleh para pihak atas materi perjanjian internasional. Pada tahap ini diberikan tanda paraf terhadap materi yang telah disetujui, dan dihasilkan juga Agreed Minutes, atau Minutes of Meeting .

4. Tahap Penerimaan

Penerimaan merupakan tahap menerima naskah perjanjian yang telah dirumuskan dan disepakati oleh para pihak. Dalam perundingan bilateral, kesepakatan atas naskah awal hasil perundingan dapat disebut “Penerimaan” yang biasanya dilakukan dengan membubuhkan paraf pada naskah perjanjian internasional oleh ketua delegasi masing-masing.

5. Tahap Penandatanganan

Penandatanganan merupakan tahap akhir dalam perundingan bilateral untuk melegalisasi suatu naskah perjanjian internasional yang telah disepakati oleh kedua pihak. Untuk perjanjian multilateral, penandatanganan perjanjian internasional bukan merupakan pengikatan diri sebagai Negara pihak.

Perjanjian internasional memiliki beragam definisi yang diutarakan oleh para ahli. Mochtar Kusumaatmadja menyatakan bahwa perjanjian internasional adalah perjanjian yang diadakan antara anggota masyarakat bangsa-bangsa dan bertujuan untuk mengakibatkan akibat hukum tertentu.

Boer Mauna berpendapat bahwa perjanjian internasional adalah instrumen yuridis yang menampung kehendak dan persetujuan negara atau subjek hukum internasional lainnya untuk mencapai tujuan bersama, yang mana pembuatannya diatur oleh hukum internasional dan menimbulkan akibat hukum yang mengikat bagi para pihak yang membuatnya.

O’ Connel menyatakan bahwa "…a treaty is engagement between states, governed by international law as distinct from municipal law, the form and manner of which is immaterial to the legal consequences of the act,” dan secara umum I Wayan Parthiana berpendapat bahwa perjanjian internasional adalah kata sepakat antara dua atau lebih subyek hukum internasional mengenai suatu obyek atau masalah tertentu dengan maksud untuk hubungan hukum atau melahirkan hak dan kewajiban yang diatur oleh hukum internasional.

Pada intinya, para ahli sependapat bahwa perjanjian internasional adalah kesepakatan antara negara dan/atau subyek-subyek hukum internasional lainnya yang menimbulkan akibat hukum tertentu bagi setiap pihak yang terlibat.

Bentuk-bentuk Perjanjian Internasional

  1. Perjanjian Internasional Berdasarkan Jumlah Negara Pihak
    Terdapat dua jenis perjanjian internasional berdasarkan klasifikasi ini, yaitu perjanjian internasional bilateral (dua negara dan/atau pihak) dan multilateral (lebih dari dua negara atau pihak).

  2. Perjanjian Internasional Berdasarkan Kesempatan yang diberikan untuk Menjadi Negara Pihak
    Terdapat dua jenis perjanjian internasional dalam klasifikasi ini, yaitu perjanjian internasional khusus atau perjanjian internasional tertutup dan perjanjian internasional terbuka. Sesuai dengan namanya, perjanjian internasional khusus atau tertutup merupakan perjanjian internasional yang hanya mengatur kepentingan para pihak yang bersangkutan, di mana pihak ketiga tidak diperkenankan terlibat dalam perjanjian tersebut. Sebaliknya, pihak ketiga atau negara-negara yang pada awalnya tidak terlibat dalam pembentukan perjanjian internasional terbuka, dapat menyatakan persetujuannya untuk terikat (consent to be bound) dengan perjanjian tersebut di kemudian hari.

  3. Perjanjian Internasional Berdasarkan Kaidah Hukumnya
    Klasifikasi ini memiliki kaitan erat dengan jenis perjanjian internasional sebelumnya dan membagi perjanjian internasional ke dalam tiga bagian lagi, yaitu perjanjian internasional yang melahirkan kaidah hukum khusus yang berlaku bagi para pihak yang terikat, yang berlaku dalam kawasan tertentu dan yang berlaku umum.

  4. Perjanjian Internasional Berdasarkan Bahasa
    Suatu perjanjian internasional dapat dirumuskan dalam satu bahasa, dua bahasa atau lebih dan yang dirumuskan dalam satu bahasa tertentu saja yang sah dan mengikat para pihak dan/atau yang semuanya merupakan naskah sah, otentik dan mempunyai kekuatan mengikat yang sama.

  5. Perjanjian Internasional Berdasarkan Substansi Hukum yang Dikandungnya
    Secara garis besar, ada tiga macam perjanjian internasional jika ditinjau berdasarkan kaidah hukum yang dirumuskan di dalamnya, yaitu perjanjian internasional yang seluruh pasalnya merupakan perumusan dari kaidah-kaidah hukum kebiasaan internasional dalam bidang yang bersangkutan, yang merupakan perumusan atau yang melahirkan kaidah-kaidah hukum internasional yang sama sekali baru dan/atau yang substansinya merupakan perpaduan antara kaidah-kaidah hukum kebiasaan internasional dan kaidah-kaidah hukum internasional yang baru sama sekali.

  6. Perjanjian Internasional Berdasarkan Pemrakarsanya
    Perjanjian internasional sudah pasti lahir atas kebutuhan untuk mengatur suatu obyek yang dihadapi secara bersama-sama oleh para pihak yang berkepentingan, maka pasti ada pihak yang berinisiatif untuk mengadakan suatu perjanjian dengan negara lainnya. Berdasarkan pemrakarsanya, perjanjian internasional terbagi ke dalam dua golongan yaitu yang kelahiran atau pembentukannya diprakarsai oleh negara atau negara-negara dan/atau organisasi internasional.

  7. Perjanjian Internasional Berdasarkan Ruang Lingkup Berlakunya
    Ditinjau dari ruang lingkup berlakunya, perjanjian internasional dapat dibedakan menjadi perjanjian internasional khusus, regional atau kawasan dan umum atau universal.