Apakah yang dimaksud Patent Law?

Pengertian dan Dasar Hukum Paten


Berdasarkan ketentuan Pasal 1 UU Paten, yang dimaksud dengan Paten adalah hak eksklusif yang diberikan oleh negara kepada inventor atas hasil invensinya di bidang teknologi, yang untuk selama waktu tertentu melaksanakan sendiri invensinya tersebut atau memberikan persetujuannya kepada pihak lain untuk melaksanakannya. Paten merupakan bagian dari konsep HKI, konsep tersebut meliputi:

  • Hak milik hasil pemikiran (intelektual), melekat pada pemiliknya, bersifat tetap dan eksklusif.
  • Hak yang diperoleh pihak lain atas izin dari pemilik, bersifat sementara.

Hasil kemampuan berpikir manusia merupakan ide yang kemudian diwujudkan dalam bentuk ciptaan atau invensi. Pada ide itu melekat predikat intelektual yang bersifat abstrak, konsekuensinya adalah HKI menjadi terpisah dengan benda material bentuk wujudnya, sebagai contoh Paten adalah ide di bidang Teknologi yang disebut Hak Kekayaan Intelektual (Muhammad, 2007).

Salah satu jenis Paten diantaranya adalah Paten Sederhana, yaitu penemuan (yang selanjutnya disebut invensi) yang memiliki nilai kegunaan lebih praktis daripada invensi sebelumnya dan bersifat kasat mata atau berwujud (tangible). Adapun invensi yang sifatnya tidak kasat mata (tangible) seperti metode atau proses, penggunaan, komposisi, dan produk yang merupakan product by process tidak dapat diberikan perlindungan sebagai paten sederhana. Meski demikian, sifat baru dalam paten sederhana sama dengan paten biasa yang bersifat universal.

Invensi adalah ide inventor yang dituangkan ke dalam suatu kegiatan pemecahan masalah yang spesifik di bidang teknologi dapat berupa produk atau proses (Pasal 1 Ayat (2)). Menurut ketentuan Pasal 2 UU Paten , invensi yang memenuhi syarat kebaruan ( novelty ), mengandung langkah inventif ( inventive step ) dan dapat diterapkan dalam industri ( applicable to industry ), dapat diberi Paten. Penilaian bahwa suatu invensi merupakan hal yang tidak dapat diduga sebelumnya harus dilakukan dengan memperhatikan keahlian yang ada saat Permohonan diajukan atau yang telah ada pada saat diajukan Permohonan pertama dalam hal Permohonan itu diajukan dengan Hak Prioritas. Suatu invensi dapat diterapkan dalam industri jika invensi tersebut dapat dilaksanakan dalam industri sebagaimana diuraikan dalam permohonan (Pasal 5 UU Paten).

Inventor adalah seorang yang secara sendiri atau beberapa orang secara bersama- sama melaksanakan ide yang dituangkan ke dalam kegiatan yang menghasilkan invensi (Pasal 1 Ayat (3) UU Paten). Dalam pengertian “orang” termasuk juga badan hukum. Kecuali jika terbukti sebaliknya, yang dianggap sebagai inventor adalah seorang atau beberapa orang yang untuk pertama kali dinyatakan sebagai inventor dalam permohonan Paten (Pasal 11 UU Paten). Kepada pemohon tidak diberikan Paten jika isi permohonan memuat salinan yang diambil dari uraian dan/atau gambar mengenai invensi orang lain yang sedang dimohonkan atau telah memperoleh Paten.

Pemegang Paten (Patent Holder) adalah inventor sebagai Pemilik Paten, atau pihak yang menerima hak tersebut dari Pemilik Paten, atau pihak lain yang menerima lebih lanjut hak tersebut, yang terdaftar dalam Daftar Umum Paten (Pasal 1 Ayat (6) UU Paten). Jadi, kunci untuk mengetahui siapa Pemegang Paten yang sah adalah Daftar Umum Paten, di mana nama Pemegang Paten itu terdaftar.

Pemegang Paten mempunyai hak mutlak atas invensinya yang berlaku terhadap setiap orang. Hak atas invensi itu bersifat monopoli (exclusive right), artinya Pemegang Paten adalah satu-satunya yang dapat menggunakan haknya dan dapat pula melarang orang lain menggunakannya tanpa izin Pemegang Paten. Penggunaan tersebut meliputi perbuatan-perbuatan yang dilakukan untuk tujuan industri dan perdagangan. Di samping itu, Pemegang Paten juga berhak melarang pemberian Paten kepada pihak lain yang mengajukan Permohonan Paten atas invensi yang sudah dipatenkannya. Bahkan, apabila Paten orang lain itu sudah terdaftar, Pemegang Paten berhak menuntut pembatalannya melalui pengadilan niaga yang berwenang jika ternyata Paten itu tidak sah karena melanggar Patennya.

Selain hak yang diberikan undang-undang, Pemegang Paten juga dibebani kewajiban undang-undang yang diatur dalam Pasal 17 UU Paten. Kewajiban yang tidak kalah pentingnya adalah kewajiban Pemegang Paten untuk membayar biaya pemeliharaan Paten yang disebut biaya tahunan ( annual fee ). Apabila Pemegang Paten tidak memenuhi kewajiban pembayaran biaya tahunan dalam jangka waktu yang telah ditetapkan undang-undang, akibat hukumnya fatal, menurut Pasal 88 UU Paten, Paten dinyatakan batal demi hukum oleh Dirjen HKI. Ketentuan ini dimaksudkan untuk menata pengaturan mengenai pembatalan Paten agar lebih efektif. Paten yang batal demi hukum dicoret dari Daftar Umum Paten.

Dasar Hukum Paten


Paten berkaitan dengan pemberian hak dari Kantor Direktorat Paten yang memberikan hak eksklusif kepada pemegang paten untuk merealisir invensi barunya, baik berupa produk maupun suatu proses tertentu. UU Paten telah menentukan bahwa invensi yang dapat diberikan paten hanyalah invensi baru. Sebab apabila yang diajukan oleh inventor untuk dimintakan paten bukan invensi baru, maka inventor tersebut dianggap telah mengambil atau meniru suatu produk atau proses yang sebenarnya telah diketahui masyarakat, untuk itu permohonan patennya tidak akan disetujui.

Paten atau oktroi telah ada sejak abad ke-14 dan ke-15, misalnya di Italia dan Inggris. Sifat pemberian hak paten pada waktu itu bukan ditujukan atas temuan atau invensi (uitvinding), tetapi diutamakan untuk menarik para ahli dari luar negeri. Maksudnya agar para ahli dari luar negeri menetap di negara-negara yang mengundangnya sehingga dapat mengembangkan keahliannya masing-masing di negara pengundang untuk memajukan penduduk negara yang bersangkutan. Jadi, paten atau oktroi itu berupa ijin menetap. Namun demikian, memang kehadiran sang penemu (inventor) di negeri yang baru itu didasarkan pada keahlian dalam bidang tertentu. Jadi, ada juga kesamaannya dengan penggunaan istilah paten dewasa ini. Hanya saja, royaltinya ketika itu berbentuk ijin tinggal di negara itu dengan perlakuan khusus karena ia dapat memberikan kontribusi positif untuk kemajuan rakyat di negeri tersebut (Sudjana, 2010).

Pada abad ke-16, baru diadakan peraturan pemberian hak-hak paten/oktroi terhadap invensi. Peraturan tersebut diterapkan oleh Venesia, Inggris, Belanda, Jerman, dan Australia. Kemudian, seiring dengan berlalunya waktu dan kemajuan bidang teknologi, terutama pada abad ke-20, paten/oktroi bukan lagi sebagai hadiah, melainkan pemberian hak atas invensi. Perkembangan peraturan perundang-undangan paten Inggris berpengaruh besar terhadap pembentukan undang-undang paten di banyak negara di dunia karena di Inggris pertumbuhan paten sangat baik. Kemungkinan pengaruh itu adalah akibat kedudukan Inggris sebagai negara induk penjajah, yang sampai pertengahan abad ke-20 dan satu-dua abad sebelumnya, mempunyai banyak wilayah jajahan dan membawa pengaruh hukum di wilayah koloninya.

Perkembangan paten di Indonesia telah cukup jauh tertinggal, baru tahun 1844 pemerintah Hindia Belanda memperkenalkan HKI dan dilanjutkan dengan pembuatan UU Paten (Bahriansyah, 2007). Sebelum dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1989 yang telah diperbarui dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1997 dan terakhir dengan Undang-Undang nomor 14 Tahun 2001 tentang Paten, paten diatur berdasarkan Octroiwet 1920 hingga dikeluarkannya Pengumuman Menteri Kehakiman tertanggal 12 Agustus 1953 Nomor J.S.5/41/4 Tentang Pendaftar Sementara Oktroi dan Pengumuman Menteri Kehakiman tertanggal 29 Oktober 1953 Nomor J.G.1/2/17 Tentang Permohonan Sementara Oktroi dari Luar Negeri. Sejarah pengaturan paten di negara yang pernah dijajah dipengaruhi oleh pengaturan paten di negara penjajah. Hal itu juga yang terjadi di negara-negara persemakmuran Inggris, seperti Australia, Singapura, dan Malaysia. Sementara itu, sejarah pengaturan paten di Indonesia sangat dipengaruhi oleh pengaturan paten di Belanda.

Tahun 1994, Indonesia juga telah meratifikasi persetujuan Organisasi Perdagangan Dunia (The World Trade Organization) yang salah satu kesepakatannya adalah Persetujuan TRIPs. Konsekuensinya adalah peraturan perundang-undangan di bidang HKI yang dibuat harus sesuai dengan Persetujuan TRIPs, salah satunya adalah regulasi paten. Persetujuan TRIPs memuat ketentuan standar minimum yang harus dipenuhi oleh negara-negara yang meratifikasi Persetujuan TRIPs.

Tanggal 7 Mei 1997, Pemerintah Indonesia telah meratifikasi Konvensi Paris dengan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 1997 Tentang Perubahan Keputusan Presiden Nomor 24 Tahun 1979 Tentang Pengesahan Paris Convention for the Protection of Industrial Property dan Convention Establishing the World Intellectual Property Organization, dengan mencabut persyaratan (reservasi) terhadap Pasal 1 sampai dengan Pasal 12. Sebagai konsekuensinya, Indonesia harus memperhatikan ketentuan yang bersifat substantif yang menjadi dasar bagi pengaturan dalam peraturan perundang-undangan di bidang paten, disamping merek maupun desain Industri (Priapantja, 2003).

Sejalan dengan perjanjian-perjanjian internasional yang telah diratifikasi Indonesia, diperlukan penyempurnaan Undang-Undang Paten yaitu Undang- Undang Nomor 6 Tahun 1989 (Lembaran Negara RI Tahun 1989 Nomor 39) sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1997 (Lembaran Negara RI Tahun 1997 Nomor 30) selanjutnya disebut Undang-Undang Paten lama dan sebagai gantinya adalah Undang-Undang Paten Nomor 14 Tahun 2001 (UU Paten).

UU Paten menentukan bahwa invensi yang dapat diberikan paten adalah invensi baru, dengan syarat invensi tersebut mengandung langkah inventif dan dapat diterapkan dalam industri. Walaupun invensi itu memenuhi syarat kebaruan, langkah inventif, dan dapat diterapkan dalam industri, tidak semua invensi itu dapat diberi Paten. Invensi yang tidak dapat diberikan Paten berdasarkan Pasal 7 UU Paten adalah sebagai berikut:

  • Proses atau produk yang pengumuman dan penggunaan atau pelaksanaannya bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, moralitas agama, ketertiban umum, atau kesusilaan;
  • Metode pemeriksaan, perawatan, pengobatan, dan/atau pembedahan yang diterapkan terhadap manusia dan/atau hewan;
  • Teori dan metode di bidang ilmu pengetahuan dan matematika; atau
  • Semua makhluk hidup, kecuali jasad renik; proses biologis yang esensial untuk memproduksi tanaman atau hewan, kecuali proses nonbiologis atau proses mikrobiologis.

Permohonan, pemeriksaan substantif, pemberian Sertifikat Paten, dan pencatatan dalam Daftar Umum Paten diatur dalam UU Paten. Dalam undang-undang tersebut dinyatakan bahwa Paten diberikan oleh negara apabila dimohonkan oleh inventor sebagai pihak yang berhak atas Invensi. Negara melindungi Paten karena invensi merupakan produk teknologi yang mendukung pertumbuhan dan pengembangan industri. Paten yang diberikan oleh negara dibuktikan oleh Sertifikat Paten. Sertifikat Paten dicatat oleh Dirjen HKI dalam Daftar Umum Paten. Apabila invensi tidak dimintakan Paten, invensi itu tidak dilindungi oleh undang-undang.

Unsur-unsur pokok Paten terdapat di dalam definisi Paten, yaitu hak eksklusif, diberikan oleh negara, melaksanakan sendiri invensinya, dan selama jangka waktu terbatas. Dengan memperhatikan unsur-unsur tersebut, jelaslah bahwa UU Paten Indonesia yaitu Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001 tentang Paten telah memenuhi juga unsur-unsur yang ditetapkan oleh Konvensi Internasional Perlindungan Paten. Berdasarkan uraian di atas, maka UU Paten merupakan satu- satunya undang-undang yang saat ini dijadikan pedoman bagi hukum paten.

Mengenai tata cara dan prosedur paten pun sudah ada pengaturannya di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 1991 tentang Tata Cara Paten, maka BPPT dan para inventor yang ingin mendaftarkan paten atas invensinya mengacu pada ketentuan di dalam peraturan pemerintah tersebut. Hanya saja di dalam peraturan pemerintah tersebut pengaturan mengenai tata cara dan prosedur patennya lebih rinci daripada apa yang ada di dalam UU Paten, namun isinya tetap sesuai dan mengacu pada UU Paten tersebut.