Apakah yang dimaksud dengan Vitiligo?

Vitiligo

Vitiligo adalah kondisi kulit yang umum terjadi akibat pigmentasi (warna) hilang pada kulit. Penyakit ini tidak mematikan dan tidak dapat disembuhkan, namun beberapa warna kulit pada wajah dan leher dapat kembali. Kadang-kadang penyakit ini berhubungan dengan penyakit lain, seperti tiroid.

Apakah yang dimaksud dengan Vitiligo?

Vitiligo secara umum adalah suatu kelainan didapat yang mengenai kulit dan mukosa yang ditandai dengan makula depigmentasi berbatas tegas yang terjadi akibat adanya kerusakan selektif pada melanosit (Alikhan dkk., 2011).

Menurut Jain dkk vitiligo merupakan gangguan kulit hipomelanotik didapat yang umum terjadi dan ditandai dengan makula berwarna putih susu berbatas tegas dengan berbagai bentuk dan ukuran. Kondisi ini disebabkan oleh adanya kerusakan melanosit yang menyebabkan hilangnya produksi pigmen pada kulit dan permukaan mukosa (Jain dkk., 2011).

Adanya berbagai definisi dan perbedaan dalam metode penilaian klinis vitiligo mendorong dibentuknya Vitiligo European Task Force (VETF) pada tahun 2003 yang mengajukan suatu konsensus mengenai definisi dan klasifikasi vitiligo.

Vitiligo European Task Force mengklasifikasikan vitiligo menjadi dua kelompok besar yaitu vitiligo vulgaris atau vitiligo non segmental dan vitiligo segmental.

  • Vitiligo vulgaris atau common generalized vitiligo atau vitiligo non-segmental didefinisikan sebagai suatu gangguan pigmentasi kronik didapat, yang ditandai dengan makula putih, seringkali simetris dan bertambah luas seiring waktu, yang terjadi akibat kehilangan yang bermakna dari fungsi melanosit epidermal dan kadang melanosit folikel rambut.

    Kelompok ini mencakup vitiligo fokal, vitiligo mukosal, vitiligo akrofasial, vitiligo generalis, dan vitiligo universalis.

  • Vitiligo segmental didefinisikan sama dengan vitiligo non-segmental di atas kecuali untuk distribusinya yang unilateral yang dapat sebagian atau seluruhnya mengikuti pola dermatomal (Taieb dan Picardo, 2007).

Klasifikasi dari VETF yang direvisi menambahkan kelompok vitiligo campuran (mixed vitiligo) yang didefinisikan sebagai kombinasi dari lesi awal vitiligo segmental yang kemudian berkembang dengan munculnya lesi depigmentasi bilateral dari vitiligo non-segmental dalam beberapa bulan hingga tahun kemudian (Ezzedine dkk., 2012).

Epidemiologi


Vitiligo adalah kelainan depigmentasi yang paling umum ditemukan, dapat terjadi pada semua umur, dan jenis kelamin (Birlea dkk., 2012; Alikhan dkk., 2011). Prevalensi vitiligo pada populasi diperkirakan berkisar dari 0,1%-2% dan menunjukkan adanya variasi yang luas diantara kelompok etnis yang berbeda.

Prevalensi vitiligo pada populasi Kaukasia di Amerika Serikat dan Eropa Utara diperkirakan sebesar 0,38%, sedangkan pada populasi di Cina diperkirakan sebesar 0,19%. Insiden tertinggi dilaporkan dari India (1,25%-8,8%), diikuti Meksiko (2,6%-4%), dan Jepang (1,64%). Adanya perbedaan ini kemungkinan dihubungkan dengan lebih tingginya pasien vitiligo yang melapor terutama berkaitan dengan kontras warna kulit yang tampak dan stigma yang diterima oleh pasien yang mendorong untuk mencari pengobatan.

Vitiligo dilaporkan lebih sering pada wanita dibandingkan pria yang kemungkinan menunjukkan peningkatan pelaporan kasus oleh wanita akibat lebih besarnya konsekuensi sosial yang diterima (Alzolibani dkk., 2011). Anak dan dewasa dapat mengalami vitiligo secara sama rata, dimana prevalensi vitiligo pada kelompok umur anak/dewasa muda dengan kelompok umur dewasa tidak terdapat perbedaan (Alzolibani dkk., 2011; Kruger dan Schallreuter, 2012).

Sebagian besar kasus vitiligo dilaporkan saat berkembang aktif dengan 50% pasien datang sebelum usia 20 tahun dan 70- 80% datang sebelum usia 30 tahun. Walaupun tidak ada usia yang imun terhadap vitiligo, kondisi ini sangat jarang ditemukan saat lahir (Alzolibani dkk., 2011). Kasus vitiligo pernah dilaporkan terjadi pada usia 6 minggu setelah lahir (Nanda dkk., 1989). Rerata onset vitiligo didapatkan lebih awal pada pasien dengan riwayat keluarga yang positif, yang berkisar antara 7,7% sampai lebih dari 50% (Alikhan dkk., 2011).

Etiologi dan Patogenesis


Vitiligo adalah kelainan yang bersifat multifaktorial dan poligenik, dengan patogenesis kompleks yang belum diketahui sepenuhnya. Berbagai teori dihubungkan dengan patogenesis kondisi ini, dengan faktor genetik dan non- genetik yang berinteraksi sehingga mempengaruhi fungsi dan survival melanosit dan selanjutnya menyebabkan kerusakan autoimun terhadap melanosit. Berbagai teori tersebut mencakup antara lain gangguan pada adhesi melanosit, kerusakan neurogenik, kerusakan biokimia, dan autotoksisitas.

1. Peranan Genetik pada Vitiligo


Survey epidemiologi dalam skala besar menunjukkan bahwa sebagian besar kasus vitiligo terjadi secara sporadik, walaupun terdapat 15-20% pasien yang memiliki satu atau lebih anggota keluarga tingkat pertama yang juga mengalami vitiligo. Secara umum, pola penurunan pada vitiligo tidak mengikuti pola penurunan Mendelian yang menunjukkan penurunan yang bersifat poligenik dan multifaktorial. Kasus vitiligo pada kembar monozigot didapatkan sebesar 23% menunjukkan bahwa baik peran genetik dan non genetik, terutama peranan lingkungan memainkan peranan yang sama penting dalam patogenesis vitiligo. Beberapa gen yang dihubungkan dengan fungsi imunitas diduga berperan dalam kejadian vitiligo, seperti lokus MHC, CTLA4, PTPN22, IL10, MBL2, dan NALP1.

Baru-baru ini dilakukan suatu studi genetik yang luas dilakukan pada penderita vitiligo dari ras Eropa Kaukasia beserta keluarganya dan mendapatkan sedikitnya 10 lokus genetik yang berbeda yang kemungkinan berhubungan dengan risiko vitiligo, dimana 7 lokus ini ternyata juga dihubungkan dengan penyakit autoimun lainnya. Vitiligo segmental tampaknya secara genetik sedikit berbeda dengan vitiligo vulgaris, dengan kejadiannya yang lebih sporadik, dan distribusi yang unilateral, menunjukkan kemungkinan mozaikisme somatik yang muncul secara de novo (Birlea dkk., 2012).

2. Hipotesis Autoimun


Terdapat berbagai bukti biologis yang menunjukkan adanya peranan autoimun pada vitiligo. Secara epidemiologi, vitiligo dikaitkan dengan beberapa penyakit autoimun baik pada pasien sendiri maupun pada keluarganya, yang menunjukkan adanya kemungkinan kelainan autoimun yang diturunkan.

Awalnya sistem imunitas humoral dikaitkan dengan patogenesis vitiligo dengan ditemukannya antibodi antimelanosit yang menargetkan berbagai antigen melanosit seperti tirosinase, tyrosinase-related protein-1, dan dopachrome tautomerase yang dapat menyebabkan kerusakan melanosit secara in vitro dan in vivo.

Saat ini, diduga bahwa antibodi ini adalah suatu respon humoral sekunder. Peranan yang lebih besar diduga dimainkan oleh infiltrat inflamasi yang ditemukan pada tepi lesi yang terutama terdiri atas limfosit T sitotoksik. Sel T ini menghasilkan profil sitokin tipe 1 dan terdapat secara bersamaan dengan melanosit epidermal, sehingga dihipotesiskan bahwa sel ini bersifat sitolitik aktif terhadap melanosit yang ada melalui granzyme/perforin pathway (Birlea dkk., 2012).

3. Hipotesis Biokimia


Terdapat beberapa bukti bahwa vitiligo adalah penyakit yang terjadi di seluruh epidermis, kemungkinan melibatkan baik melanosit dan keratinosit. Kelainan morfologi dan fungsional yang terjadi pada melanosit dan keratinosit kemungkinan memiliki peranan faktor genetik. Abnormalitas ultrastruktural dari keratinosit pada bagian perilesional kemungkinan berhubungan dengan gangguan aktivitas mitokondria yang diduga mempengaruhi produksi dari faktor pertumbuhan dan sitokin spesifik dari melanosit yang mengatur survival melanosit.

Temuan biokimia yang penting adalah adanya peningkatan hidrogen peroksida pada lesi yang kemungkinan sebagian disebabkan oleh menurunnya aktivitas antioksidan keratinosit dan melanosit. Gangguan sistem antioksidan menyebabkan melanosit lebih rentan baik terhadap sitotoksisitas imunologis maupun toksisitas yang diinduksi oleh reactive oxygen species (ROS) (Birlea dkk., 2012).

vitiligo

Manifestasi Klinis


Manifestasi klinis yang khas dari vitiligo adalah adanya makula berwarna putih susu dengan depigmentasi yang homogen berbatas tegas, dengan tepi konveks, yang tersebar secara diskret. Walaupun biasanya asimptomatis, keluhan gatal pada lesi vitiligo pernah dilaporkan. Lokasi predileksi adalah pada area yang terpapar sinar dan biasanya mengalami hiperpigmentasi seperti daerah wajah, periorifisium, permukaan dorsal tangan dan kaki, puting susu, daerah lipatan seperti aksila dan inguinal, serta regio anogenital, walaupun semua area tubuh dapat terkena.

Berbagai faktor pemicu pernah dilaporkan antara lain trauma fisik, paparan sinar matahari, stres psikologis, inflamasi, kehamilan, kontrasepsi, defisiensi vitamin, dan banyak lagi. Pada vitiligo didapatkan adanya fenomena Koebner dimana lesi dapat muncul pada area kulit yang mengalami trauma.

Secara umum lesi vitiligo berkembang perlahan, baik dari pelebaran secara sentrifugal dari lesi yang lama atau adanya pembentukan lesi yang baru. Leukotrikia (depigmentasi pada rambut yang terdapat pada lesi vitiligo) dapat terjadi secara bervariasi antara 10-60% dan dianggap sebagai indikasi kerusakan reservoir melanosit di dalam folikel rambut dan dihubungkan dengan respon terapi yang lebih buruk.

Perubahan rambut menjadi putih atau uban dilaporkan terjadi pada sekitar 37% pasien dengan vitiligo, walaupun hubungan klinis dari kedua kondisi ini belum dapat dipastikan (Alikhan dkk., 2011; Birlea dkk., 2012).

Diagnosis


Diagnosis dari vitiligo ditegakkan umumnya berdasarkan penilaian klinis yang mencakup distribusi, luas lesi dan perjalanan penyakit. Vitiligo European Task Force telah menetapkan suatu lembaran evaluasi dan sistem penilaian yang dapat sebagai digunakan sebagai standar penilaian klinis vitiligo. Rangkuman data yang terdapat dalam formulir penilaian vitiligo oleh VETF dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel Rangkuman informasi yang diperlukan berdasarkan formulir penilaian vitiligo menurut VETF (dikutip dari Taieb dan Picardo, 2007)

  • Fenotip kulit (Tipe kulit berdasarkan Fitzpatrick’s) Etnisitas
  • Umur onset Durasi penyakit
  • Aktivitas penyakit berdasarkan opini pasien (progresif, regresif, stabil dalam 6 bulan terakhir)
  • Episode repigmentasi sebelumnya, dan jika ada apakah spontan atau tidak (jabarkan detailnya)
  • Depigmentasi pada skar (Fenomena Koebner)
  • Stres sebagai faktor pemicu (saat onset penyakit atau memperburuk saat terjadinya flare)
  • Apakah terdapat gatal sebelum flare?
  • Penyakit tiroid, jika ada jabarkan detailnya termasuk adanya autoantibodi tiroid Riwayat keluarga dengan prematur hair graying
  • Riwayat keluarga dengan vitiligo (jika ada, jabarkan pohon silsilah keluarga)
  • Tipe dan durasi pengobatan sebelumnya (termasuk opini pasien apakah terapi berguna atau tidak)
  • Terapi saat ini (termasuk tanggal dimulainya terapi) Riwayat penyakit lain dan terapinya
  • Riwayat penyakit autoimun lainnya
  • Riwayat penyakit autoimun dalam keluarga (jabarkan detailnya) Adanya nevus halo (jika ada, berapa jumlahnya)
  • Vitiligo pada area genital
  • Pemeriksaan Global quality of life
  • Referensi berdasarkan foto klinis

Pemeriksaan biopsi kulit jarang diperlukan dalam menegakkan vitiligo. Beberapa diagnosis banding yang dapat dipertimbangkan saat diagnosis vitiligo dapat dilihat pada Tabel Diagnosis Banding Vitiligo (dikutip dari Birlea dkk., 2012).

Umumnya, secara histopatologi vitiligo akan menunjukkan kehilangan melanosit epidermis pada area yang terkena, dan kadang disertai infiltrat limfosit jarang pada dermis, perivaskular, dan perifolikuler terutama pada bagian tepi lesi awal dan lesi aktif yang kemungkinan menunjukkan adanya proses imunologis yang diperantarai oleh sel yang menyebabkan kerusakan melanosit in situ (Gawkrodger, 2008; Birlea dkk., 2012).

Pemeriksaan laboratorium bersifat tidak spesifik untuk diagnosis vitiligo, tetapi beberapa pemeriksaan laboratorium diperlukan sebagai skrining mengingat banyaknya kelainan autoimun yang dapat menyertai vitiligo. Beberapa pemeriksaan tersebut antara lain hitung sel darah lengkap, kadar hormon tiroid, dan antibodi antinuklear. Klinisi juga perlu mempertimbangkan pemeriksaan antitiroglobulin serum dan antibodi peroksidase antitiroid terutama jika penderita menunjukkan tanda dan gejala ke arah penyakit tiroid (Gawkrodger, 2008; Birlea dkk., 2012).

Tabel Diagnosis Banding Vitiligo (dikutip dari Birlea dkk., 2012)

DIAGNOSIS BANDING VITILIGO VULGARIS
Hipomelanosis yang Diturunkan
Piebaldisme
Sindrom Waardenburg’s Tuberosklerosis Hipomelanosis Ito

Penyakit Infeksi Tinea versikolor Sifilis sekunder
Kusta (tuberkuloid/lepromatosa)

Hipopigmentasi Pasca Inflamasi
Lupus eritematosus diskoid, skleroderma, liken sklerosus et atropikus, psoriasis

Hipomelanosis Paramaligna
Mikosis fungoides Melanoma kutaneus
Reaksi autoimun terhadap melanoma

Kelainan Idiopatik
Hipomelanosis gutata idiopatik

Depigmentasi Akibat Toksin
Depigmentasi akibat obat

DIAGNOSIS BANDING VITILIGO SEGMENTAL
Nevus Depigmentosus
Nevus Anemikus

Penilaian Derajat Keparahan


Saat ini terdapat berbagai metode untuk penilaian klinis vitiligo. Penilaian klinis vitiligo mencakup metode subjektif seperti penilaian langsung dengan cahaya tampak dan digital fotografi hingga penilaian yang objektif seperti colorimetry dan reflectance confocal microscopy. Beberapa peneliti mencoba membuat suatu sistem penilaian secara semi-kualitatif yang dapat digunakan dalam praktek klinis untuk membantu dalam menilai derajat keparahan serta aktivitas penyakit dan respon terhadap terapi pada vitiligo.

Beberapa sistem penilaian tersebut antara lain Vitiligo European Task Force Assessment (VETFa), Potential Repigmentation Index (PRI), dan Vitiligo Extent Tensity Index (VETI), Vitiligo Area Severity Index (VASI), dan Vitiligo Disease Activity (VIDA).

Sayangnya hingga saat ini belum terdapat konsensus yang disepakati mengenai sistem penilaian klinis vitiligo ini (Kawakami dan Hashimoto, 2011; Alghamdi dkk., 2012; Benzekri, 2013; Feily, 2014).

Sistem penilaian dari Vitiligo European Task Force, VETFa, terdiri dari luas lesi, stadium penyakit (staging), dan progresivitas penyakit (spreading). Luas lesi dinilai menggunakan metode rule of nine, staging dinilai berdasarkan pigmentasi pada kulit dan rambut dan dibagi menjadi stadium 0-3, sedangkan spreading digunakan untuk menilai progresivitas penyakit dan dibagi menjadi +1 (progresif), 0 (stabil), -1 (regresif) (Taieb dan Picardo, 2007; Kawakami dan Hashimoto, 2011).

Skor VASI diperkenalkan oleh Hamzavi dkk dan merupakan metode yang telah terstandarisasi serta sensitif untuk mengukur derajat dan persentase dari depigmentasi dan repigmentasi. Skor VASI ini secara konseptual analog dengan skor psoriasis area severity index (PASI) yang digunakan pada psoriasis. Menurut Alghamdi dkk, skor VASI bersama penggunaan lampu wood dan rule of nine merupakan metode yang paling baik yang tersedia untuk menilai lesi pigmentasi dan mengukur luas serta derajat vitiligo baik secara klinis maupun dalam penelitian dan uji klinis (Alghamdi dkk., 2012).

Dalam penghitungan skor VASI tubuh penderita dibagi menjadi 5 bagian yaitu tangan, ekstrimitas atas (tidak termasuk tangan), badan, ekstrimitas bawah (tidak termasuk kaki), dan kaki. Regio aksila dimasukkan dalam ekstrimitas atas sedangkan regio inguinal dan bokong dimasukan dalam ekstrimitas bawah. Satu hand unit, yang mencakup telapak tangan dan permukaan volar dari jari tangan diperkirakan sebanyak 1% dan digunakan untuk menilai jumlah area yang terlibat di setiap regio.

Derajat depigmentasi ditentukan berdasarkan gambaran lesi yang dinilai dengan skor 0%, 10%, 25%, 50%, 75%, 90%, 100%. Derajat 100% depigmentasi berarti tidak ada pigmen yang tampak, pada 90% terdapat bercak pigmen yang tampak, pada 75% area depigmentasi melebihi area pigmentasi, pada 50% area yang mengalami depigmentasi dan yang mengalami pigmentasi adalah sama banyak, pada 25% area pigmentasi melebihi area depigmentasi, pada 10% hanya terdapat bercak depigmentasi, dan 0% tidak terdapat bercak depigmentasi.

VASI = Ʃ(semua bagian tubuh) Hands Unit x Depigementasi

Panduan penilaian gambaran depigemntasi/repigmentasi dapat dilihat pada gambar dibawah ini. Untuk setiap bagian tubuh skor VASI ditentukan dengan menjumlahkan area vitiligo dalam hand units dan derajat depigmentasi dalam setiap hand unit yang diperiksa dengan skor minimal 0 sampai dengan skor maksimal 100 menggunakan rumus berikut (Hamzavi dkk., 2004; Kawakami dan Hashimoto, 2011):

vitiligo
Gambar Gambar panduan yang telah distandarisasi untuk memperkirakan derajat pigmentasi pada vitiligo (dikutip dari Hamzavi dkk., 2004).

Skor VIDA menggunakan skala 6 poin untuk menilai stabilitas dan progresivitas penyakit seiring berjalannya waktu. Sistem skoring ini dapat digunakan untuk membantu menilai efektivitas pengobatan dalam menghentikan dan mengembalikan area depigmentasi. Skor ini menggunakan penilaian pasien sendiri mengenai bagaimana perjalanan penyakitnya melalui teknik wawancara. Skor VIDA yang semakin rendah menunjukkan aktivitas penyakit yang semakin menurun (Bhor dan Pande, 2006; Alghamdi dkk., 2012).

Tabel Tabel Sistem Skor Vitiligo Disease Activity (VIDA) dalam skala 6 poin (Dikutip dari Njoo, 1999)
image
Keterangan: Vitiligo aktif mencakup adanya perluasan lesi lama maupun munculnya lesi baru

Penatalaksanaan


Mekanisme etiopatogenesis dari vitiligo yang belum dipahami dengan pasti menyebabkan hambatan dalam penatalaksanaan kondisi ini. Terdapat berbagai modalitas terapi yang dapat digunakan namun belum terdapat konsensus yang digunakan secara luas untuk pedoman dalam penatalaksanaan vitiligo. Vitiligo European Task Force membuat suatu panduan dalam penatalaksanaan vitiligo non-segmental dan segmental berdasarkan rekomendasi evidance based dan expert-based.

Rangkuman rekomendasi tersebut dapat dilihat pada tabel dibawah ini.

Tabel Rangkuman Pedoman Pengobatan pada Vitiligo (dikutip dari Taieb dkk., 2013)
image

Kortikosteroid topikal telah digunakan sejak tahun 1950an karena efek anti-inflamasi dan imunomodulasinya. Pilihan terapi ini banyak digunakan sebagai pilihan terapi pertama pada bentuk vitiligo yang terbatas bersama dengan inhibitor kalsineurin topikal. Kortikosteroid topikal memiliki hasil yang paling baik yaitu sebesar 75% repigmentasi pada daerah yang terpapar sinar matahari seperti wajah dan leher, sedangkan lesi pada akral berespon buruk. Inhibitor kalsineurin topikal telah digunakan sejak tahun 2002 terutama pada area dimana kortikosteroid topikal tidak dianjurkan untuk digunakan jangka panjang. Efektivitas inhibitor kalsineurin topikal dikatakan baik terutama pada area kepala dan leher (Taieb dkk., 2013).

Fototerapi yang saat ini menjadi pilihan pada vitiligo adalah menggunakan narrowband UVB (311 nm) terutama pada vitiligo aktif dengan lesi yang luas. Fototerapi menggunakan NB-UVB ini memiliki efek samping yang lebih rendah dibandingkan fotokemoterapi menggunakan psoralen dan UVA (PUVA) atau khellin dan UVA (KUVA) dengan efektivitas yang setara. Dalam suatu studi didapatkan 64% pasien dengan terapi NB-UVB mencapai lebih dari 50% perbaikan dibandingkan hanya 36% kelompok yang diterapi dengan PUVA untuk mencapai perbaikan yang setara. Saat ini dikembangkan alat targeted phototherapy menggunakan excimer atau lampu yang menghasilkan sinar dalam range UVB (puncak pada 308 nm) yang dapat menjadi pilihan pada lesi yang lebih terlokalisir (Majid, 2010; Taieb dkk., 2013).

Kostikosteroid oral dikatakan dapat menghambat aktivitas penyakit namun tidak efektif dalam repigmentasi vitiligo yang telah stabil. Adanya efek samping yang dihubungkan dengan penggunaan steroid jangka panjang membatasi penggunaan agen ini. Studi mengenai efektivitas kortikosteroid sistemik masih terbatas. Penggunaan oral pulse therapy dikatakan dapat meningkatkan efektivitas terapeutik steroid dan mengurangi efek sampingnya.

Studi oleh Radakovic-Fijan mendapatkan adanya hambatan terhadap aktivitas penyakit pada 88% penderita vitiligo aktif dengan menggunakan dexametason minipulse oral (Radakovic-Fijan dkk, 2001). Imunosupresan dan agen biologis lain yang dapat digunakan adalah siklofosfamid, siklosporin, dan anti-TNFα (Majid, 2010; Taieb dkk., 2013).

Adanya stres oksidatif di tingkat seluler selama progresivitas vitiligo menjadi dasar rasionalitas penggunaan antioksidan baik topikal maupun sistemik. Beberapa jenis antioksidan yang banyak digunakan pada vitiligo antara lain pseudokatalase, vitamin E, vitamin C, ubikuinon, asam lipoat, kombinasi katalase/superoxide dismutase dan ginkgo biloba. Terapi ini digunakan secara tunggal namun lebih banyak digunakan dengan kombinasi bersama fototerapi dengan tujuan untuk menghambat stres oksidatif yang dapat diinduksi oleh fototerapi itu sendiri sehingga dapat meningkatkan efektivitasnya. Uji terbuka menunjukkan antioksidan dapat menghambat progresi penyakit dan memicu repigmentasi.

Namun dari beberapa studi yang dilakukan jumlah subjek terbatas dan parameter hasil yang diukur belum konsisten sehingga belum dapat dilakukan perbandingan. Konfirmasi dengan penelitian lebih lanjut masih diperlukan sebelum merekomendasikan terapi antioksidan pada vitiligo (Taieb dkk., 2013).

Lebih spesifik mengenai pengobatan dengan menggunakan preparat SOD, terdapat beberapa studi yang menilai efektivitasnya sebagai terapi vitiligo. Kastovic dkk melakukan uji klinis dengan preparat SOD topikal yang dikombinasikan dengan pesudocatalase dan terapi UVB dan mendapatkan bahwa kombinasi ini dapat menjadi pilihan karena menyebabkan repigmentasi pada lebih dari 75% subjek penelitiannya (Kastovic dkk., 2007).

Doghim dkk membandingkan terapi topikal kombinasi SOD, katalase, dan UVB dengan kombinasi kalsipotriol, betametason, dan UVB mendapatkan bahwa terapi menggunakan kombinasi SOD dan katalase tampaknya tidak memberi efek tambahan yang signifikan (Doghim dkk., 2011). Sedangkan Naini dkk melakukan studi pilot randomized, double-blind, placebo-controlled dengan preparat SOD topikal dan mendapatkan belum ada perubahan yang signifikan pada area lesi dan repigmentasi perifolikular setelah diamati selama 6 bulan (Naini dkk., 2012).

Pembedahan dapat menjadi pilihan terutama pada kondisi vitiligo yang stabil dan terlokalisir. Pembedahan dilakukan dengan transplantasi melanosit pada lesi vitiligo dengan kulit normal yang berasal dari donor autolog. Beberapa metode pembedahan dapat dilakukan secara lokal dengan perawatan rawat jalan, namun transplantasi pada area yang luas memerlukan anestesia general. Resiko adanya kekambuhan setelah pembedahan juga harus menjadi pertimbangan dan dijelaskan kepada pasien sebelum dilakukan tindakan (Majid, 2010; Taieb dkk., 2013).

Perjalanan Penyakit dan Prognosis


Perjalanan penyakit dari vitiligo seringkali tidak dapat diprediksi, tetapi sebagian besar kondisi bersifat progresif lambat dan sulit untuk dikontrol dengan terapi. Beberapa lesi berkembang seiring waktu, tetapi lesi lainnya dapat menetap dalam kondisi stabil dalam jangka waktu yang lama. Beberapa parameter seperti durasi penyakit yang lama, adanya fenomena koebner, adanya leukotrikia, dan keterlibatan mukosa dikatakan dapat menjadi faktor prognostik buruk pada penderita (Birlea dkk., 2012).

Vitiligo adalah hipomelanosis idiopatik didapat ditandai dengan adanya makula putih meluas. Dapat mengenai seluruh bagian tubuh yang mengandung sel melanosit, misalnya rambut dan mata (Soepardiman, 2010).

Epidemiologi

Insidens yang dilaporkan berviasi antara 0,1 sampai 8,8%. Dapat mengenai semua ras dan kelamin. Awitan terbanyak sebelum 20 tahun. Ada pengaruh faktor genetik (Soepardiman, 2010).

Etiologi

Penyebab belum diketahui, berbagai faktor pencetus sering dilaporkan, misalnya krisis emosi dan trauma fisis (Soepardiman, 2010).

Gejala Klinis

Makula berwarna putih dengan diameter beberapa mililiter sampai beberapa sentimeter, bulat atau lonjong dengan batas tegas, tanpa perubahan epidermis yang lain. Kadang-kadang terlihat makula hipomelanotik selain makula apigmentasi.

Daerah yang sering terkena adalah bagian ekstensor tulang terutama diatas jari, periorifisial sekitar mata, mulut dan hidung, tibialis anterior, dan pergelangan tangan bagian fleksor (Soepardiman, 2010).

Diagnosis

Evaluasi klinis berdasarkan atas anamnesis dan gambaran klinis, Pemeriksaan histopatologi dan pemeriksaan biokimia (Soepardiman, 2010).

Penatalaksanaan

Pengobatan vitiligo saat ini masih kurang memuaskan. Sehingga penderita dianjurkan untuk memakai kamuflase agar kelainan tersebut tertutup dengan cover mask. Pengobatan sistemik adalah dengan trimetilpsoralen atau metoksi-psoralen dengan gabungan sinar matahari atau sumber sinar yang mengandung ultra violet gelombang panjang (Soepardiman, 2010).

Kata vitiligo berasal dari bahasa latin, vitellus, yang memiliki arti ‘veal’ (pucat, merah jambu). Penyakit ini adalah penyakit yang depigmentasi terbatas yang didapat, dan ditemukan pada semua ras (Hunter et al., 2002). Kata vitiligo mungkin berasal dari bahasa Yunani, vitelius, yang berarti bercak putih pada lembu (Habif, 2003).

Vitiligo adalah kehilangan pigmen yang didapatkan dan ditegakkan dengan pemeriksaan histologi dimana didapati tidak adanya melanosit epidermal (Habif, 2003). Vitiligo adalah penyakit hipomelanosis idiopatik yang didapat dengan adanya gejala klinis berupa makula putih yang dapat meluas dan dapat mengenai seluruh bagian tubuh yang mengandung sel melanosit, misalnya rambut dan mata (Soepardiman, 2011).

Etiologi dan Klasifikasi

Penyebab dari vitiligo belum diketahui dengan pasti dan terdapat berbagai faktor pencetus yang sering dilaporkan sebagai penyebab vitiligo, misalnya krisis ekonomi dan trauma fisis (Soepardiman, 2011). Selain dilihat dari etiologinya, menurut Soepardiman dalam buku Ilmu
Penyakit Kulit dan Kelamin (2011), vitiligo juga memiliki 2 bentuk yang memiliki ciri khas masing-masing, yaitu:

  1. Lokalisata, yang dapat dibagi lagi menjadi:

    • fokal: satu atau lebih makula pada satu area, namun tidak segmental,
    • segmental: satu atau lebih makula pada satu area dengan distribusi sesuai dermatom, misalnya pada satu tungkai,
    • mukosal: hanya terdapat pada membran mukosa.
  2. Generalisata
    Jarang penderita vitiligo lokalisata yang berubah menjadi generalisata. Hampir 90% penderita secara generalisata dan biasanya simetris. Vitiligo generalisata dapat dibagi lagi menjadi:

    • akrofasial: depigmentasi hanya terjadi di bagian distal ekstremitas dan muka, yang merupakan stadium mula vitiligo generalisata,
    • vulgaris: makula tanpa pola tertentu di banyak tempat,
    • campuran: depigmentasi yang terjadi menyeluruh atau yang hampir menyeluruh dan disebut vitiligo total (Halder dan Taliaferro, 2008).

Vitiligo merupakan kelainan piogenik yang multifaktoral dengan patogenesis yang rumit. Walaupun beberapa teori telah diusulkan untuk menjelaskan hilangnya melanosit pada epidermal di vitiligo, penyebab utama vitiligo masih belum diketahui. Perkembangan yang pesat telah terjadi pada 2 dekade yang lalu. Teori yang berkaitan dengan vitiligo adalah autoimun, sitotoksik, oksidan-antioksidan biokimia, neural, dan mekanisme virus yang merusak melanosit epidermal. Banyak studi juga menyatakan bahwa peran genetik sangat signifikan pada kasus vitiligo (Halder dan Taliaferro, 2008). Vitiligo dan beberapa penyakit autoimun lainnya dilaporkan berhubungan dengan adanya infeksi dari Human Immunodeficiency Virus (HIV) (Seyedalinahi et al., 2009).