Apakah yang anda ketahui tentang Tujuh Tradisi dalam Ilmu Komunikasi?

Tujuh Tradisi Komunikasi merupakan dasar-dasar dari teori-teori komunikasi yang memiliki kesamaan, sehingga dikelompokan menjadi tujuh tradisi komunikasi. Tradisi ini ditemukan oleh Robert Craig. Craig berpendapat bahwa ilmu komunikasi tidak dapat disatukan dalam satu lingkup yang besar. Teori-teori komunikasi tersebut dapat dikelompokan berdasarkan jenis-jenisnya.

Robert Craig menemukan cara untuk mengatur teori komunikasi yang beraneka ragam tersebut. Pertama-tama, kita perlu memahami bahwa terdapat beberapa kesamaan antara teori yang satu dengan yang lainnya. Kesamaan ini disebut dengan metamodel, karena hal ini merupakan model dari teori. Craig berpendapat bahwa semua teori memiliki manfaat untuk mendukung cara pandang tertentu untuk melihat dunia.

Apa saja tujuh tradisi tersebut dan apakah yang dimaksud dengan tujuh tradisi dalam ilmu komunikasi ?

1 Like

Teori Tujuh Tradisi merupakan gugatan terkait sifat multidisiplin dalam kajian komunikasi yang coba dijawab Robert T.Craig, seorang Professor Komunikasi dari University of Colorado, melalui serangkaian penelitian.

Beliau menemukan banyak sekali pendidikan tinggi yang menawarkan pendidikan komunikasi dan banyak sekali text book yang membahas teori-teori komunikasi. Tetapi diantara ini semua dia menemukan bahwa berbagai teori yang diajarkan dari berbagai pendidikan ini semua berjalan sendiri sendiri, Craig menyebutnya “there is no consensus on the field”.

Teori komunikasi sangat kaya dengan ide-ide tetapi gagal dalam jumlah cakupannya. Teori komunikasi tumbuh terus tetapi belum memberikan pemahaman apa sesungguhnya teori komunikasi itu. Craig menuliskan apa yang ditemukannya ini dalam bukunya Communication Theory as a Field (1999).

Dengan tegas dia mengatakan bahwa communication theory is not yet a coherent field of study seems inescapable (Craig, 1999).

Craig melihat bahwa tidak adanya koherensi dalam kajian komunikasi karena sifat multidisiplin yang dibawa oleh masing masing ilmuwan yang sering salah dalam penggunaannnya tetapi terus dipupuk dan dipertahankan.

Elaborasi Teori: Perspektif Tujuh

Tradisi Dengan keprihatinan inilah Robert T Craig secara optimis menawarkan communication theory as a field of study that integrattes seven traditions of thought with share focus on practical communication problems.

Menurutnya bahwa sebagai suatu kajian, ilmu komunikasi dapat memiliki teori yang koheren melalui suatu proses yang digambarkannya:

A field will emerge to the extent that we increasingly enggage as communication theoriests with socially important goals, questions, and controversies that cut across the various disciplinary traditions , substantive specialities, methodologises, and school of thought that presently divide us.

Komunikasi memungkinkan muncul sebagai suatu bidang kajian yang utuh asal ada kesadaran dari masing masing ilmuwan yang terlibat di dalamnya bahwa mereka memiliki tujuan, permasalahan atau bahkan perbedaaan yang dapat mengeluarkan mereka dari belenggu masing masing disiplin ilmu yang memisahkan diantara mereka.

Dibutuhkan dua persyaratan untuk melihat teori komunikasi sebagai suatu kajian keilmuan.

  1. a common understanding of the similarities and differences among theories, Metamodel (model of models)
  2. A new definition of theories , theories are form of discourse; a discourse about discourse (Metadiscourse)

Craig: Dialogical vs dialectical

Dalam mengawali idenya tentang tradisi teori komunikasi, Craig terlebih dahulu menggambarkan dengan jelas apa yang dimaksudkannya dengan tradisi.

Tradisi adalah something handed down from the past, but no living tradition is statis. Traditions are constantly changing. Sesuatu yang sudah kita miliki sejak dulu (waktu sebelumnya), yang tidak statis tetapi terus berkembang sesuai dengan jaman.

Lebih jauh Craig menegaskan bahwa traditions are not homogeneous. Every tradition is characterized by a history of argument about beliefs and values that are important to the tradition. Ini lebih menjelaskan bahwa dalam memelihara suatu tradisi peran nilai nilai yang sudah ada menjadi hal utama yang harus diperhatikan.

Untuk setiap tradisi yang diungkapkannya Craig memberikan indikator dari masing-masing antara lain dengan karakteristik definisi komunikasi dan hubungan yang terbentuk karena definisi tersebut; metadiskursif vacobulary, hal yang tidak bisa digugat (taken for granted) dalam metadikursif komunikasi dan penempatan metadiskursif dari masing-masing tradisi yang menunjukkan sisi menarik atau menantangnya.

Gambaran perspektif yang diungkapkan oleh Craig ini disarikan oleh Miller (2005) dalam bentuk seperti tabel di bawah ini:

Communication theory as Problems of Communication Theory as
Tradisi Retorika, Rhetorical The practical art of discourse Spcial exigency requiring collective deliberation and judment
Tradisi Semiotik, Semiotic Intersubyective mediation signs Misunderstanding or gap between subjective viewpoints
Tradisi Fenomenologi, Phenomenological Experience of otherness;dialogue Absence of, or failure to sustain, authentic human relationship
Tradisi Cybernetik, Cybernetic Information processing Noise, overload, underload, malfunction or bug in a system.
Tradisi Psikologi Sosial, Sociopsychological Expression, interaction and influence Situation requiring manipulation of causes of behavior to achieve specified outcomes.
Tradisi Sosial Budaya, Sociocultural (Re)production of social order Conlict, alineation, misalignment; failure of coordination
Tradisi Kritis, Critical Discusive reflection Hegemonic ideology, systematically distoted speech communication

Perlu ditekankan di sini dalam memandang penempatan masing-masing tradisi keilmuan komunikasi Craig mendasarkan pada konsep praktek komunikasi sehari hari dan sesuai dengan perkembangan dari tradisi itu sendiri.

Untuk itulah dia menempatkan tradisi retorika sebagai tradisi pertama dalam peletakannya karena menimbang retorika adalah praktek komunikasi yang paling jelas terlihat dan telah ada begitu lama sebagai sebuah tradisi. Dengan logika semacam ini pula bahwa tradisi kritikal mendapat tempat terakhir dalam penempatan Craig karena dianggapnya paling sikit (kurang) sebagai suatu bentuk praktek komunikasi dan juga muncul sebagai tradisi yang cukup baru.

Titik tolak lain yang juga harus diperhatikan dalam kajian Craig ini dia selalu menempatkan manakala tradisi-tradisi ini saling bertentangan atau juga tidak memenuhi kriteria yang ada maka langkah penting yang harus dilakukan adalah dengan cara dialog dan dialektikal. Kesadaran untuk saling melengkapi satu sama lain dan memberikan perhatian untuk perbedaan dari masing-masing teori.

Sumber : Prahastiwi Utari., “Perspektif Tujuh Tradisi dalam Teori Komunikasi”., Jurnal Komunikasi Massa Vol 4 No 2, Juli 2011

Craig menguraikan 7 (tujuh) tradisi pemikiran dalam teori-teori komunikasi, yaitu :

1. Tradisi Retorika

  • Memahami komunikasi sebagai pidato publik yang indah

  • Teori-teori dalam tradisi ini memahami komunikasi sebagai seni praktis (practical art).

  • Komunikator (speakers, media producers, writers) memahami persoalan sebagai hal yang perlu diatasi melalui pesan-pesan yang dirancang secara cermat.

  • Komunikator mengembangkan strategi, sering memakai pendekatan- pendekatan umum (daya tarik logis dan emosional) untuk mengarahkan khalayak.

  • Tradisi ini melihat karya komunikator diatur oleh seni dan metoda; bergantung pada perasaan bahwa kata-kata itu memiliki kekuatan, informasi berguna untuk membuat penilaian, dan komunikasi dapat dievaluasi dan diperbaiki.

  • Teori-teori retorika sering menentang pandangan yang menegaskan bahwa kata-kata bukanlah tindakan, penampakan bukanlah realitas, gaya bukanlah hal yang pokok dan opini bukanlah kebenaran.

2. Tradisi Semiotika

  • Memahami komunikasi sebagai proses pertukaran makna melalui tanda-tanda

  • Memfokuskan pada tanda-tanda dan simbol-simbol; memperlakukan komunikasi sebagai jembatan antara dunia privat dari individu-individu dengan tanda-tanda untuk mendapatkan makna.

  • Kekuatan semiotika bertumpu pada gagasan-gagasan tentang kebutuhan akan bahasa yang sama, identifikasinya tentang subyektivitas menjadi kendala untuk mencapai pemahaman, dan keterikatannya dengan makna yang beragam.

  • Teori-teori semiotika sering bertentangan dengan teori-teori yang menekankan bahwa kata-kata memiliki makna yang tepat, tanda-tanda merepresentasikan obyek atau bahasa yang bersifat netral.

3. Tradisi Fenomenologi

  • Memahami komunikasi sebagai pengalaman diri sendiri dan orang lain melalui dialog

  • Tradisi fenomenologi memberi perhatian pada pengalaman pribadi.

  • Komunikasi dilihat sebagai pertukaran pengalaman pribadi melalui dialog.

  • Dalam tradisi ini, wacana yang muncul mencakup istilah-istilah seperti exeperience, self, dialogue, genuine, supportiveness dan openness.

  • Istilah-istilah tersebut merupakan pendekatan teoritik ketika menegaskan kebutuhan akan kontak, penghormatan, pengakuan adanya perbedaan dan landasan bersama.

4. Tradisi Sibernetika

  • Memahami komunikasi sebagai pemrosesan informasi

  • Komunikasi dipahami sebagai kegiatan pemrosesan informasi, dan persoalan-persoalan yang dihadapi dikaitkan dengan noise, overload dan malfunction.

  • Tradisi sibernetika menjadi gagasan yang bisa diterima secara logis ketika muncul isu-isu yang berkaitan dengan pikiran, rasionalitas dan sistem yang kompleks.

  • Secara umum, tradisi ini menentang argumen-argumen yang membuat perbedaan antara mesin dengan manusia atau mengasumsikan hubungan liner sebab-akibat.

5. Tradisi Sosiopsikologi

  • Memahami komunikasi sebagai pengaruh antarpribadi

  • Memusatkan perhatian pada asek-aspek komunikasi yang mencakup ekspresi, interaksi dan pengaruh.

  • Wacana dan tradisi ini menekankan pada perilaku, variabel, efek, kepribadian dan sifat, persepsi, kognisi, sikap dan interaksi.

  • Sosiopsikologi menjadi tradisi pemikiran yang kuat, khususnya dalam situasi dimana kepribadian menjadi penting, penilaian menjadi bias oleh keyakinan dan perasaan, dan orang memiliki pengaruh yang nyata satu sama lain.

  • Tradisi sosiopsikologi menentang pandangan bahwa orang bersikap rasional, individu-individu mengetahui apa yang mereka pikirkan, dan persepsi merupakan jalur yang jelas untuk melihat apa yang nyata.

6. Tradisi Sosiokultural

  • Memahami komunikasi sebagai penciptaan realitas sosial

  • Tatanan sosial sebagai pusat kajian dan melihat komunikasi sebagai perekat masyarakat.

  • Persoalan dan tantangannya diarahkan pada konflik, alienasi dan kegagalan untuk melakukan koordinasi.

  • Ilmuwan dalam tradisi ini menggunakan bahasa yang mencakup elemen-elemen seperti masyarakat, struktur, ritual, aturan dan kultur.

  • Ilmuwan tersebut meniadakan argumen-argumen yang mendukung kekuatan dan tanggung jawab individu, penyatuan diri atau pemisahan interaksi manusia dari struktur sosial.

7. Tradisi Kritikal

  • Memahami komunikasi sebagai penolakan reflektif terhadap wacana yang tidak adil

  • Cenderung melihat komunikasi sebagai perencanaan sosial dari kekuasaan dan penindasan.

  • Teori-teori kritikal memberi respon terhadap persoalan-persoalan ideologi, kekuasaan dan dominasi.

  • Wacana kritikal mencakup istilah-istilah seperti ideology, dialectic, oppression, consciousness raising, resistance dan emancipation.

  • Tradisi kritikal merupakan pendekatan terhadap teori dalam situasi yang mencakup pengekalan kekuasaan, nilai-nilai kebebasan dan kesetaraan.

Teori Fenomenologi

Dalam tradisi penelitian teori ilmu sosial dan komunikasi terdapat beberapa pendekatan yang bisa dijadikan untuk memahami dan menganalisis gejala sosial yang terdapat ditengah-tengah masyarakat. Salah satu yang termasuk dalam pendekatan teori ilmu komunikasi adalah pendekatan fenomenologi. Tradisi fenomenologi memfokuskan perhatiannya terhadap pengalaman sadar seorang individu. Teori komunikasi yang masuk dalam tradisi fenomenologi berpandangan bahwa manusia secara aktif menginterpretasikan pengalaman mereka, sehingga mereka, dapat memahami lingkungannya melalui pengalaman personal dan langsung dengan lingkungan. Sehingga dapat dikatakan bahwa tradisi fenomenologi ini lebih memperhatikan pada penekanan persepsi dan interpretasi dari pengalaman individu-individu manusia.

Istilah fenomenologi secara etimologis berasal dari kata fenomena dan logos. Fenomena berasal dari kata kerja Yunani ―phainesthai‖ yang berarti menampak, dan terbentuk dari akar kata fantasi, fantom, dan fosfor yang artinya sinar atau cahaya. Dari kata itu terbentuk kata kerja, tampak, terlihat karena bercahaya. Dalam bahasa Indonesia berarti cahaya. Secara harfiah fenomena diartikan sebagai gejala atau sesuatu yang menampakkan.

Teori-teori dalam tradisi fenomenologis berasumsi bahwa orang-orang secara aktif menginterpretasi pengalaman-pengalamannya dan mencoba memahami dunia dengan pengalaman pribadinya. Stanley Deetz menyimpulkan tiga prinsip dasar fenomenologi. Pertama, Pengetahuan ditemukan secara langsung dalam pengalaman sadar, kita akan mengetahui dunia ketika kita berhubungan dengannya. Kedua, makna benda terdiri atas kekuatan benda dalam kehidupan seseorang. Dengan kata lain, bagaimana anda berhubungan dengan benda menentukan maknanya bagi anda. Asumsi ketiga adalah bahwa bahasa merupakan kendaraan makna. Kita mengalami dunia melalui bahasa yang digunakan untuk mendefinisikan dan mengekspresikan dunia itu.4 Dari ketiga prinsip fenomenologi yang dikemukakan oleh Stanley Deetz ini dapat diketahui bahwa pengetahuan yang dimiliki oleh seseorang diperoleh dari pengalaman yang telah dialami dan bahasa merupakan alat komunikasi untuk memaknai sesuatu. Proses pemaknaan tersebut dapat disebut interpretasi, interpretasi merupakan hal yang sangat penting dan sentral dalam teori fenomenologi.

Proses interpretasi merupakan hal yang sangat penting dan sentral dalam fenomenologi. Interpretasi adalah proses aktif pemberian makna dari suatu pengalaman.5 Menurut tradisi fenomenologi, interpretasi merupakan realitas bagi seorang indvidu.6 Dengan demikian proses interpretasi akan terus berkembang dan berubah-ubah sepanjang manusia itu hidup antara pengalaman dengan makna yang diberikan setiap kali menemui pengalaman baru. Dalam tradisi fenomenologi ini terbagi lagi ke dalam tiga bagian yaitu: 1) fenomenologi klasik; 2) fenomenologi persepsi; dan 3) fenomenologi hermenetik.7 Tokoh penting dalam teori fenomenologi persepsi adalah Maurice Merleau-Ponty yang pandangannya dianggap mewakili gagasan mengenai fenomenologi persepsi (phenomenology of perception) yang dinilai sebagai penolakan terhadap pandangan objektif namun sempit dari Husserl.

Menurut Maurice Merleau–Ponty seorang tokoh teori ini menyatakan bahwa manusia ialah makhluk yang memiliki kesatuan fisik dan mental yang menciptakan makna terhadap dunianya. Kita mengetahui sesuatu hanya melalui hubungan pribadi kita dengan sesuatu itu. Sebagai manusia kita dipengaruhi oleh dunia luar atau lingkungan kita, namun sebaliknya kita juga mempengaruhi dunia disekitar kita melalui bagaimana kita mengalami dunia

Persepsi adalah proses memberi makna pada sensasi sehingga manusia memperoleh pengetahuan baru. Persepsi mengubah sensasi menjadi informasi. Persepsi adalah pengalaman tentang objek, peristiwa, atau hubungan-hubungan yang diperoleh dengan menyimpulkan informasi dan menafsirkan pesan. Persepsi ialah memberikan makna pada stimuli inderawi (sensory stimuli). Persepsi kita keliru bisa berbeda-beda karena dipengaruhi oleh berbagai faktor, personal, situasional, fungsional dan struktural. Di antara faktor yang besar pengaruhnya dalam mempersepsi sesuatu adalah perhatian, konsep fungsional dan konsep struktural. Fenomenologi Schutz sebenarnya lebih merupakan tawaran akan cara pandang baru terhadap fokus kajian penelitian dan penggalian terhadap makna yang terbangun dari realitas kehidupan sehari-hari yang terdapat di dalam penelitian secara khusus dan dalam kerangka luas pengembangan ilmu sosial. Fenomenologi merupakan cara yang digunakan manusia untuk memahami dunia melalui pengalaman langsung. Fenomenologi menjadikan pengalaman sebenarnya sebagai data utama dalam memahami realitas. Apa yang dapat diketahui seseorang adalah apa yang dialaminya. Orang mengetahui pengalaman atau peristiwa dengan cara mengujinya secara sadar melalui perasaan dan persepsi yang dimiliki orang bersangkutan.

Asumsi pokok fenomenologi adalah manusia secara aktif menginterpretasikan pengalamannya dengan memberikan makna atas sesuatu yang dialaminya. Oleh karena itu, interpretasi merupakan proses aktif yang memberikan makna atas sesuatu tindakan kreatif yakni tindakan menuju pemaknaan. Fenomenologi yang diformulasikan oleh Husserl pada permulaan abad ke 20 menekankan dunia yang menampilkan dirinya sendiri kepada kita sebagai manusia. Tujuannya adalah agar kembali ke bendanya sendiri sebagaimana mereka tampil kepada kita dan menyampingkan atau mengurung apa yang telah kita ketahui tentang mereka. Dengan kata lain, fenomenologi tertarik pada dunia seperti yang dialami manusia dengan konteks khusus, pada waktu khusus lebih dari pernyataan abstrak tentang kealamiahan dunia secara umum

Referensi

http://digilib.uinsby.ac.id/14694/69/Bab%202.pdf