Apakah yang dimaksud dengan Taklid atau Taqlid?

Apakah yang dimaksud dengan Taklid atau Taqlid?

Taqlid menurut bahasa berasal dari bahasa Arab yaitu qalada, yuqalidu, taqlidan, yang berarti mengulangi, meniru dan mengikuti.

Para ulama ushul memberikan defenisi taqlid dengan “mengikuti pendapat seseorang mujtahid atau ulama tertentu tanpa mengetahui sumber dan cara pengambilan pendapat tersebut. Orang yang bertaqlid disebut mukallid.

Dari defenisi di atas terdapat dua unsur yang perlu diperhatikan dalam pembicaraan taqlid, yaitu:

  • Menerima atau mengikuti suatu perkataan seseorang
  • Perkataan tersebut tidak diketahui dasarnya, apakah ada dalam Al-Qur’an dan hadits tersebut.

Defenisi taqlid menurut para ahli ushul fiqih:

Taqlid menurut Imam Al-Ghazali dalam Al-Mustasyfa adalah:

“Taqlid adalah menerima suatu perkataan dengan tidak ada hujjah. Dan tidak ada taqlid itu menjadi jalan kepada pengetahuan (keyakinan), baik dalam urusan ushul maupun dalam urusan furu’.”

Al-Asnawi dalam kitab Nihayat Al-Ushul mendefinisikan:

“Mengambil perkataan orang lain tanpa dalil”

Ibnu Subki dalam kitab Jam’ul jawami mendefinisikan:

“Taqlid adalah mengambil suatu perkataan tanpa mengetahui dalil”.

Taklid atau Taqlid adalah mengikuti pendapat orang lain tanpa mengetahui sumber atau alasannya. Seperti seseorang itu mengikuti pendapat Imam Syafi’i tanpa mengetahui dalilnya atau hujjahnya. Orang seperti ini disebut Muqallid.

Hukum-hukum amaliyyah dapat kita bagikan kepada dua :

  • Hukum-hukum yang dapat diketahui tanpa memerlukan penelitian dan ijtihad, yaitu hukum-hukum yang telah ditetapkan oleh dalil yang qath’i dan yang dapat diketahui dengan segera. Ia disebut sebagai al-ma’lum minad din bid- Dloruroh .

    Contohnya ialah hukum tentang kewajiban shalat lima waktu, kewajiban puasa bulan Ramadlan, bilangan rakaat dalam shalat dan sebagainya. Ini semua dapat diketahui oleh semua umat Islam. Pengetahuan tentang hukumnya tidak memerlukan kepada penelitian terhadap dalil-dalilnya. Dalam masalah ini seseorang itu tidak dibenarkan bertaqlid, karena semua orang dapat mengetahuinya.

  • Hukum-hukum yang memerlukan penelitian dan ijtihad. Masalah-masalah yang berada di bawah kategori ini amat banyak sekali, seperti masalah yang hukum menyentuh perempuan ajnabiyah, apakah batal wudlu? Ini adalah masalah yang termasuk di dalam kategori ini. Sebab, masalah ini memang ada dalilnya dari Al- Qur’an. Tetapi dalilnya perlu diteliti terlebih dahulu untuk diketahui apakah hukum yang boleh dikeluarkan darinya. Dalam penelitian dan kajian ini, sudah semestinya terjadi perselisihan pendapat. Madzhab-madzhab dan perbedaan-perbedaan pendapat dikalangan ulama’ terjadi dalam masalah yang seumpama ini. Dalam masalah inilah orang diperbolehkan taqlid.

Kebanyakan ulama’ Ushul Fiqh mengatakan bahwa mereka yang tidak mampu untuk berijtihad wajib mengikuti dan mengambil pendapat atau fatwa dari para mujtahid. Menurut Al-Amidi, ibnu al- Najib dan Kamal al-Hummam, tidak wajib bertaqlid kepada seorang mujtahid tertentu. Dalam satu masalah, mereka boleh beramal dengan madzhab ini, kemudian dalam masalah lain mereka beramal dengan madzhab lain. Berdasarkan madzhab ini, jika kita bertaqlid dengan madzhab Syafi’i dalam satu-satu masalah, tidak semestinya kita bertaqlid dengan madzhab ini dalam semua masalah. Dibenarkan mengamalkan pendapat dari madzhab-madzhab lain.

Taqlid yang diharamkan

Taqlid yang diharamkan ialah:

  • Pertama Bertaqlid kepada seseorang tanpa mengindahkan Al-Qur’an dan sunnah.

  • Kedua Bertaqlid kepada seseorang yang tidak diketahui kemampuannya berijtihad.

Taqlid yang berkembang sekarang, khususnya di Indonesia ialah taqlid kepada buku, bukan taqlid kepada imam-imam mujtahid yang terkenal (Imam Abu Hanifah, Malik bin Anas, As Syafi`i, dan Hambali). Jamaludin al Qosini (w. 1332 H): “segala perkataan atau pendapat dalam suatu madzhab itu tidak dapat dipandang sebagai madzhab tersebut, tetapi hanya dapat dipandang sebagai pendapat atau perkataan dari orang yang mengatakan perkataan itu”.

Taqlid kepada yang mengaku bertaqlid kepada imam mujtahid yang terkenal, sambil menyisipkan pendapatnya sendiri yang ditulis dalam kitab-kitabnya. Taqlid yang seperti ini tidak dibolehkan oleh Ad Dahlawi, Ibnu Abdil Bar, Al Jauzi dan sebagainya.

Taqlid ada dua jenis : umum dan khusus.

  • Taqlid yang umum : seseorang berpegang pada suatu madzhab tertentu yang ia mengambil rukhshoh-rukhshoh- nya dan azimah-azimahnya dalam semua urusan agamanya. Dan para ‘ulama telah berbeda pendapat dalam masalah ini. Diantara mereka ada yang berpendapat wajibnya hal tersebut dikarenakan (menurut mereka, pent ) orang-orang muta-akhirin memiliki udzur (tidak mampu, pent) untuk ber-ijtihad; diantara mereka ada yang berpendapat haramnya hal tersebut karena apa yang ada padanya dari keharusan yang mutlak dalam mengikuti orang selain Nabi sholallohu alaihi wa sallam.

    Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata:

    “Sesungguhnya dalam pendapat yang mewajibkan taat kepada selain Nabi dalam segala perintah dan larangannya adalah menyelisihi ijma’ dan tentang kebolehannya masih dipertanyakan.”

    Beliau juga berkata :

    “Barangsiapa memegang suatu madzhab tertentu, lalu ia melaksanakan yang menyelisihi madzhabnya tanpa taqlid kepada ‘ulama lain yang memberinya fatwa dan tanpa istidlal dengan dalil yang menyelisihinya, dan tanpa udzur syar’i yang menunjukkan halalnya perbuatan yang dilakukannya, maka ia adalah orang yang mengikuti hawa nafsunya, pelaku keharoman tanpa ada udzur syar’i, dan ini adalah mungkar. Adapun jika menjadi jelas baginya apa-apa yang mengharuskan adanya tarjih pendapat yang satu atas yang lainnya, baik dengan dalil-dalil yang terperinci jika ia tahu dan memahaminya, atau ia melihat salah seorang ‘ulama yang berpendapat adalah lebih ‘aalim (tahu) tentang masalah tersebut daripada ‘ulama yang lain, yang mana ‘ulama tersebut lebih bertaqwa kepada Alloh terhadap apa-apa yang dikatakannya, lalu orang itu rujuk dari satu pendapat ke pendapat lain yang seperti ini maka ini boleh, bahkan wajib dan al-Imam Ahmad telah menegaskan akan hal tersebut.

  • Taqlid yang khusus : seseorang mengambil pendapat tertentu dalam kasus tertentu, maka ini boleh jika ia lemah/tidak mampu untuk mengetahui yang benar melalui ijtihad, baik ia lemah secara hakiki atau ia mampu tapi dengan kesulitan yang sangat.

Pada dasarnya hukum asal dari taklid adalah dilarang, ia menjadi dibolehkan ketika seseorang tidak mampu untuk berijtihad dan menggunakan potensi akalnya dalam memahami nash-nash Al- Qur’an dan As-Sunnah.