Apa saja Tingkatan-tingkatan Riya’ dalam Islam?

Riya’ merupakan suatu penyakit hati yang mana manusia tersebut merasa bangga terhadap dirinya sendiri dan memandang tinggi atas diri sendiri.

Apa saja tingkatan-tingkatan Riya’ dalam Islam?

Manusia yang melakukan perbuatan riya’ biasanya mempunyai penyabab yang ia gunakan untuk diriya’kan. Biasanya manusia yang berbuat riya’ karena ia mempunyai kelebihan-kelebihan yang ada di dalam dirinya. Seperti mempunyai ilmu yang tinggi, harta yang banyak, dan kelebihan-kelebihan yang lainnya.

Namun al-Ghazali mengelompokkan sesuatu yang menjadi penyebab riya’ ke dalam lima bagian. Yakni, kelompok yang dipergunakan oleh manusia untuk melakukan berhias diri kepada manusia. Misalnya, anggota badan, pakaian, ucapan, perbuatan, pengikut, dan hal-hal yang ada di luar tadi.

Riya’ dalam urusan agama dengan menggunakan anggota badan.


Riya’ yang demikian menurut al-Ghazali adalah memperlihatkan keadaan kurus dan pucat agar agar ia disangkanya orang yang keras berijtihad, besar prihatinnya terhadap urusan agama, serta menang takutnya pada akhirat. Dengan keadaan kurus ia menunjukkan kalau ia sedikit makannya dan dengan kepucatannya ia ingin menunjukkan kalau ia kurang tidur malam,dan dengan banyak berijtihad ia ingin menunjukkan kalau dirinya adalah orang yang sangat prihatin terhadap agama.

Sedangkan menurut Ahmad Farid, riya’ yang menampilkan badan di dalam agama adalah dengan memperlihatkan lekukan tubuh kepada orang lain agar ia diperhatikan seolah-olah ia adalah orang yang bersungguh-sungguh dalam melaksanakan ajaran agama, juga agar ia dilihat sebagai orang yang memiliki rasa sedih dan takut terhadap kehidupan akhirat.

Begitu juga yang dikatakan oleh Nawawi tentang manusia yang melakukan riya’ dalam agama yang menonjolkan anggota badan seperti muka pucat dan rambut acak-acakan. Padahal ia sendiri sebenarnya ingin menunjukkan kalau dirinya adalah seorang yang sangat memikirkan masalah agama. Sehingga ia tidak ada waktu untuk menyisir rambut.

Dengan demikian, al-Ghazali mengatakan, manusia yang berbuat riya’ dengan rambut yang tidak terurus secara rapi. Tujuannya hanyalah untuk menunjukkan pada penenggelaman lebih dalam cita-citanya pada agama. Sehingga ia tidak ada kesempatan untuk menyisir rambutnya. Cara-cara seperti ini jika telah ditampakkan dan diperlihatkan, maka manusia akan mencari petunjuk dengan cara-cara tersebut untuk urusan-urusan yang diinginkannya. Oleh sebab itu, maka nafsu akan mendorongnya untuk memperlihatkan cara-cara tersebut agar memperoleh kesenangan untuk dirinya.

Hampir senada dengan ini, mengecilkan suara, membiarkan matanya menjadi cekung dan bibirnya menjadi kering bertujuan untuk menunjukkan kalau ia selalu melakukan puasa. Juga wibaya syari‟atlah yang membuat suara dirinya menjadi kecil, serta karena laparlah yang membuat tubuhnya menjadi lemah dan lunglai.

Ibnu Qudamah juga mengatakan riya’ dalam agama tidak berbeda jauh dengan pendapat ulama lainnya. Ia mengatakan, riya’ dalam agama ialah memperlihatkan kelemahan dan kepucatan untuk menunjukkan bahwa hal itu karena ia mengerjakan kerasnya dalam menjalankan ibadah, serta rasa takutnya tentang kehidupan di akhirat sangat tinggi. Begitu juga memperlihatkan rambut yang kusut untuk diketahui oleh manusia bahwa dirinya adalah seorang yang sibuk dalam urusan agama, sehingga ia tidak sempat untuk menyisir rambut.

Oleh sebab itu, Ibnu Qudamah mengutip ucapan Nabi Isa as di dalam kitabnya,

Bila salah seorang di antara kalian berpuasa, maka hendaknya ia meminyaki rambut dan menyisirnya .”

Hal itu karena orang yang sedang melakukan puasa dikhawatirkan terkena penyakit riya’. Perbutan seperti ini adalah riya’ dari arah badan bagi ahli agama.

Begitulah perbuatan riya’ yang dikatakan oleh al-Ghazali bagi orang-orang yang yang ahli di dalam bidang keagamaan. Sedangkan orang-orang yang keduniawian bersikap riya’nya dengan memamerkan gemuknya badan, wajah yang tampan dan cantik, dan anggota tubuh yang otot-otonya kekar dan seimbang.

Riya’ dengan tingkah laku dan pakaian


Riya’ dalam tingkah laku dan pakaian seperti rambut yang tidak pernah disisir, mencukur kumis, menundukan kepala ketika sedang berjalan, pelan-pelan ketika bergerak, menetapkan bekas sujud pada dahi, memakai pakaian tebal, memakai pakaian bulu, menyingsingkan pakaian yang dekat dengan betis, dan yang lain-lainnya. Semuanya itu bisa digunakan untuk melakukan perbuatan riya’ agar dirinya bisa disebut sebagai seorang yang taat dan sebagai seorang yang sudah berada pada keadaan yang mengikuti hamba-hamba Tuhan yang shalih.

Ahmad Farid juga sesuai dengan apa yang dikatakan oleh al-Ghazali tentang riya’ yang berupa tingkah laku dan pakaian. Ia mengatakan, menyisir rambut, menegakkan kepala ketika sedang berjalan, bersikap santai ketika sedang berjalan, dan membiarkan bekas sujud menempel di wajahnya. Itu semua adalah perbuatan riya’ yang berbentuk tingkah laku dan pakaian. Dan ia mengharapkan orang lain melihat dirinya.

Termasuk perbuatan riya’ yang berbentuk tingkah laku dan pakaian lagi ialah memakai pakaian-pakaian yang bertambal-tambal, melakukan shalat di atas sajadah, memakai pakaian bagus yang bisa menyerupai ahli tasawuf. Manusia yang melakukan tingkah laku dan cara berpakaian seperti itu adalah manusia yang hatinya kosong dari pengetahuan, dengan tujuan agar manusia lain menyangka dirinya termasuk dari orang yang memilikimu.

Orang yang melakukan riya’ dengan cara berpakaian seperti ini, menurut al- Ghazali mempunyai beberapa taraf pula. Ada yang mencari tempat di dalam hati manusia shaleh dengan memamerkan sikap zuhudnya, serta berpakaian baju yang kotor, pendek, kasar, dan compang-camping pakaiannya. Ia bermaksud bersikap riya’ dengan memperlihatkan kalau dirinya tidak terlalu memperdulikan keduniaan.

Hal yang seperti ini ditegaskan pula oleh Ibnu Quddamah. Seseorang yang melakukan perbuatan riya’ dari arah penampilan ini juga bertingkat-tingkat. Di antara mereka ada yang mencari kedudukan di sisi orang-orang baik dengan menampilkan kezuhudan melalui pakaian yang bertambalan, kasar, dan kotor. Tujuannya agar ia disangka sebagai orang yang zuhud dalam keduniawian.

Seandainya orang yang seperti ini diminta untuk memakai pakaian setengah bersih yang dipakai oleh golongan ulama shalih, maka hal itu baginya adalah seperti akan disembelih, dia takut orang-orang akan berkata, “dulu ia adalah seorang yang zuhud, namun sekarang ia telah meninggalkan kehidupan zuhudnya.”

Orang-orang yang melakukan perbuatan riya’ semacam ini menurut al-Ghazali, hanya sekedar untuk menjaga martabatnya. Sehingga ia menggunakan dengan cara berpakaian yang tertentu, dan merasa berat untuk berpindah ke atas atau ke bawah karena khawatir dicela oleh orang lain. Hal yang seperti ini memang nyata di dalam kehidupan masyarakat, dimana orang-orang akan berpenampilan dengan mengikuti situasi kehidupan lingkungan masyarakat tersebut.

Riya’ dengan perkataan

Riya’ dibidang ini menurut al-Ghazali, biasanya dilakukan di dalam sebuah pengajian, memberikan nasehat-nasehat dan memberikan kata-kata bijak, menghafal hadis-hadis dan perkataan-perkataan para ulama untuk dipakai dalam bertukar pikiran guna untuk memperlihatkan banyaknya ilmu, juga membuktikan dirinya orang yang sangat memperhatikan keadaan para ulama dan orang-orang yang shalih.49

Farid menegaskan pula, riya’ dengan ucapan maka riya’ yang biasa digunakan oleh para ahli dalam ilmu agama dengan nasehat-nasehatnya yang baik. Juga peringatan yang dikatakannya dan kata-kata yang keluar dari dalam mulutnya itu untuk menunjukkan perhatian yang sangat besar terhadap keadaan yang ia miliki.

Kemudian al-Ghazali melanjutkan lagi yang termasuk riya’ perkataan ialah bertindak amar ma‟ruf nahi munkar di tengah-tengah orang banyak, memperlihatkan kemarahan terhadap sesuatu yang munkar juga bersedih hati terhadap terjerumusnya umat manusia kedalam perbuatan dosa. Berbicara dengan suara yang lembut dan melantunkan ayat-ayat suci al-Qur’an secara pelan-pelan agar menonjolkan kecemasan dan kesedihan.

Memperlihatkan keunggulan di dalam masalah ini, dan berdebat dengan tujuan mengalahkan lawan-lawannya agar orang-orang yang menyaksikan kejadian seperti ini mengetahui kalau dirinya adalah orang yang ahli dalam masalah ilmu agama.

Adapun orang-orang mempunyai harta yang banyak, bertindak riya’ dengan cara lisan. Dengan menghafalkan lagu-lagu dan pepatah-pepatah, serta mengeluarkan kata-kata yang indah, juga menghafalkan kata-kata yang sulit agar orang-orang pada merasa kagum dan dirinya terlihat sebagai orang yang pandai. Tetapi perbuatan seperti ini bermaksud untuk menarik hati orang lain.

Riya’ dengan perbuatan


Riya’ dalam amal perbuatan seperti riya’ orang yang melakukan shalat dengan berdiri agak lama, memperlambat mengangkat dari sujud dan ruku‟, menundukkan kepalanya, meninggalkan berpaling, memperlihatkan ketenangan dan ketentraman, dan berbuatan amal yang lainnya. Orang melakukan perbuatan riya’ seperti ini maka akan kelihatan ketika ia sedang melakukannya.

Seperti yang dikatakan oleh al-Ghazali, orang yang berbuat riya’ itu kadang-kadang mempercepat ketika sedang berjalan dalam keadaan sangat butuh. Oleh sebab itu, jika seseorang dari ahli dalam agama melihat kepada dirinya, maka ia akan kembali pada hormat dan menundukkan kepalanya. Karena ia merasa khawatir kalau suatu saat nanti ia dikatakan pada orang yang tergesah- gesah dan sedikit sekali rasa hormatnya.

Adapun riya’ amal perbuatan menurut Farid tidak jauh beda dengan apa yang dikatakan oleh al-Ghazali. Ia mengatakan, riya’ dengan amal perbuatan ialah ia melakukan sebuah perbuatan agar bisa dilihat oleh seseorang ketika sedang shalat yang cukup lama berdirinya, sujud dan ruku‟nya juga dilama-lamakan, juga selalu menundukkan kepala dan tidak pernah menoleh.

Riya’ dengan banyak massa


Riya’ yang terakhir menurut al-Ghazali ialah riya’ dengan banyaknya teman, banyak yang berkunjung ke kediamannya, dan banyak orang yang mau bergaul dengan dirinya. Misalnya orang yang merasa berat ketika dikunjungi oleh seseorang yang ilmunya tinggi dari kalangan para ulama, agar dikatakan bahwa si fulan itu telah berkunjung ke rumahnya Fulan, atau dikunjungi oleh seseorang yang ahli ibadah yang sangat terkenal.

Orang seperti ini, menurut al-Ghazali, merasa dirinya agar dikatakan oleh orang lain, bahwa orang-orang yang ahli dalam agama telah mengambil sebuah keberkahan setelah mengunjungi dirinya. Dan ahli agama bolak-balik menemui dirinya.

Adapun menurut pendapat Farid tentang riya’ dengan persahabatan dan kunjungan seperti halnya orang yang memaksakan dirinya untuk berkunjung ke rumah seorang alim dari kalangan ulama agar ia dikatakan sebagai seorang yang telah berkunjung ke rumahnya seorang ulama.

Inilah sesuatu yang penting tentang mana orang bersikap riya’ yang tujuannya ialah untuk mencari kehebatan, kemasyhuran, dan memburu tempat di hati orang banyak. Namun ada pula orang yang telah merasa cukup dengan keyakinan baik orang lain terhadap dirinya. Sudah berapa banyak para pendeta yang mengurung dirinya selama bertahun-tahun di dalam biaranya, begitupun beribadah menyingkirkan diri dari keramaian masyarakat ke atas gunung dalam masa yang begitu lama.

Referensi :

  • Muhammad Jamaluddin al-Qasimi, Petunjuk bagi Orang Beriman, Penerjemah Team Azzam ed. Abu Faiq.
  • Al-Ghazali, Ihya‟ „Ulumuddin: Menghidupkan kembali Ilmu-ilmu Agama, Penerjemah Ibnu Ibrahim Ba‟adillah.
  • Ahmad Farid, Zuhud dan Kelembutan Hati , Penerjemah Fuad Githa Perdana, (Depok: Pustaka Khazanah Fawa‟id, 2016).
  • Muhammad Nawawi, Terjemah Maraqil ‘Ubudiyah, Penerjemah Zaid Husein al- Hamid.
  • Al-Ghazali, Jiwa Agama, Penerjemah Maisir Thaib dkk, (Medan: Pustaka Indonesia, 1974)
  • Ibnu Quddamah, Muktashar Minhajul Qashidin, Penerjemah Izzudin Karimi, (Jakarta: Darul Haq, 2014).