Apakah yang dimaksud dengan Realisme dalam Hubungan Internasional?

realisme dalam hubungan internasional

Realisme adalah mazhab teori hubungan internasional. Realisme adalah “spektrum ide” yang berpusat pada empat ide utama, yaitu grupisme politik, egoisme, anarki internasional, dan politik kekuasaan.

Teori realisme merupakan salah satu teori yang paling dominan dalam Hubungan Internasional. Teori ini diprakarsai oleh beberapa filsuf besar yaitu; Hobbes, Machiavelli, Rousseau, Thucydides, Morgenthau, dan masih banyak lainnya.

Secara umum, teori realisme ini mengandung unsur kewaspadaan dimana penganut realisme menganggap orang lain adalah musuh yang harus diwaspadai dan tidak bisa dipercaya. Atau dalam bahasa Hubungan Internasional, negara lain merupakan musuh.

Mereka akan menomorsatukan kepentingan-kepentingan masing-masing yang, bagaimanapun, akan mereka tempuh dalam cara apapun. Walaupun harus menimbulkan konflik dalam mencapai kepentingannya. Maka dari itu, hal yang terpenting dalam penganut teori realisme adalah power.

Aktor-aktor harus terus menjaga dan memperbaiki power yang dimilikinya, baik itu soft-power maupun hard-power. Realisme mengajarkan untuk fokus pada kepentingannya daripada ideologinya. Dalam kaitannya, realisme memberikan sebuah panduan atau cara memaksimalkan kepentingan (interest).

Ide dan asumsi dasar kaum realis adalah:

  1. padangan pesimis atas sifat manusia;

  2. keyakinan bahwa hubungan internasional pada dasarnya konfliktual dan pada akhirnya konflik internasional diselesaikan melalui perang;

  3. menjunjung tinggi nilai-nilai keamanan dan kelangsungan hidup negara;

  4. skeptisme dasar bahwa terdapat kemajuan dalam politik internasional seperti yang terjadi dalam kehidupan politik domestik (Jackson & Sorensen, 1999).

Pandangan pesimis atas sifat manusia ini diungkapkan sangat jelas oleh Morgenthau dalam kutipannya “Politik adalah perjuangan memperoleh kekuasaan atas manusia, dan apa pun tujuan akhirnya kekuasaan adalah tujuan terpentingnya dan cara-cara memperoleh, memelihara, dan menunjukan kekuasaan menentukan teknik tindakan politik” (Morgenthau, 1965).

Thucydides, Hobbes, Machiavelli, dan kaum realis lainnya memiliki pandangan bahwa tujuan kekuasaan, alat-alat kekuasaan, dan penggunaan kekuasaan merupakan perhatian utama aktivitas politik.

Dengan demikian, kaum realis berjalan dengan asumsi dasar bahwa politik dunia berkembang dalam anarki internasional (Jackson & Sorensen, 1999).

Negara-negara di dunia, sebagai aktor utama, memiliki bentuk power yang beragam. Namun negara-negara yang memiliki power yang besar merupakan negara yang dianggap penting dalam internasional. Contoh konkritnya ada pada lembaga Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), dimana negara-negara terkuat di dunia diberi hak istimewa (hak veto) untuk menyetujui atau tidak menyetujui kebijakan internasional.

Dalam kata lain, dasar normatif realisme adalah keamanan nasional dan kelangsungan hidup negara, dan menganggap negara lain adalah sebuah ancaman.

Thucydides melihat hubungan antar-bangsa sebagai konflik dan kompetesi yang tidak dapat dihindari antara negara-negara Yunani kuno. Thucydides juga menekankan pilihan-pilihan terbatas yang disediakan bagi masyarakat dalam menjalankan kebijakan luar negeri (Jackson & Sorensen, 1999).

Sehingga dalam menentukan keputusan masyarakat sebaiknya menyadari konsekuensi dari keputusan yang diambil tersebut. Hal ini berhubungan dengan kehati-hatian dan kebijaksanaan dalam menjalankan kebijakan luar negeri diantara kultur-kultur teritori yang saling berbeda.

Studi Thucydides yang terkenal mengenai perang Peloponesian (431-404 SM), menjelaskan filsafat realisnya mengenai keadilan bukanlah perlakuan yang sama terhadap semua pihak namun tentang mengetahui tempatnya yang tepat, dan menyesuaikan pada realitas alami kekuatan yang berbeda. Dari sebenarnya yang kuat melakukan apa yang dengan kekuatan itu harus dilakukan dan yang lemah menerima apa yang harus mereka terima (Thucydides, 1972).

Ide-ide realisme klasik, seperti yang telah dijelaskan di atas, menyatakan bahwa setiap negara bertanggungjawab untuk mempertahankan kedaulatan dan keeksistensian negaranya melalui usaha yang dilakukannya sendiri.

Karena bagaimanapun juga, negara-negara lain tidak mungkin dapat diandalkan sementara kaum realis menganggap negara lain adalah ancaman. Kewaspadaan kaum realis menimbulkan kesan curiga terhadap negara-negara lain tidak peduli niat yang disampaikan baik ataupun buruk. Yang terpenting adalah mempertahankan keamanan negara dan mencapai kepentingannya.

Sebagai contoh, partai Nazi Jerman dan Czechoslovakia, Indonesia dengan Timor Timur, dimana negara yang lemah harus melakukan apa yang diperintahkan oleh negara yang kuat.

Elemen-elemen realisme diantaranya adalah statisme, pertahanan, dan self-help.

Statisme

Bagi kaum realis, negara adalah aktor utama dan kedaulatan berada pada prioritas yang berbeda. Prioritas pertama sebuah negara adalah untuk mengorganisir power di dalam negara secara merata. Yang kedua, untuk mengakumulasi power ke internasional.

Yang dimaksud power bagi kaum realis sendiri, menurut Morgenthau, adalah seseorang yang mengontrol pikiran dan perilaku orang lain (1948).

Dua poin penting dalam menjabarkan konsep power bagi kaum realis adalah;

  1. power adalah konsep yang berhubungan;
  2. power juga merupakan konsep yang relatif, tidak bisa langsung ditentukan melalui satu sisi saja (Dunne & Schmidt, 1999).

Pertahanan

Elemen realis yang kedua, pertahanan. Pertahanan dilakukan sebagai syarat untuk memperoleh tujuan-tujuan lain. Menurut Waltz, “dibalik motif pertahanan, tujuan-tujuan negara bisa saja ada banyak macamnya” (1979).

Dan perdebatan ini memunculkan dua argumen mengenai realisme berbasis pertahanan (defensif) dan realisme berbasis perlawanan (ofensif). Realisme defensif, Waltz dan Joseph Grieco (1997) berargumen bahwa negara memiliki keamanan sebagai prinsip kepentingan mereka dan bagaimanapun power hanya digunakan untuk mempertahankan negaranya.

Sedangkan penganut paham realisme ofensif, John Mearsheimer (1994) berargumen bahwa tujuan sesungguhnya sebuah negara adalah menciptakan hegemoni dalam sistem internasional. Negara, dalam pandangan ini, selalu menginginkan kekuasaan dan tidak pernah puas.

Namun semua ini kembali lagi pada asumsi dasar realisme, yaitu kecurigaan terhadap negara lain hingga menganggap negara lain adalah ancaman. Jadi, pada dasarnya, elemen realis lebih condong terhadap konsep pertahanan dimana negara hanya bersikeras untuk mempertahankan wilayah dan kedaulatannya dari berbagai intervensi pihak asing.

Self help

Yang ketiga, mengenai self-help, merupakan suatu bentuk pertolongan individu yang dimiliki dan dilakukan oleh suatu negara ketika tidak ada negara lain yang membantu. Yang pada dasarnya realisme merupakan paham yang independen. Tidak bergantung pihak-pihak lain, karena pihak lain belum tentu dapat dipercaya.

Mereka hanya mempercayai diri sendiri dan mau tak mau mereka juga harus mempersiapkan pertolongan dan perlawanan bagi diri mereka sendiri. Menurut Waltz, self-help selalu diperlukan dalam setiap perbuatan (1979).

Dalam politik internasional, struktur dari sistem tidak dibatasi dengan pertemanan, kepercayaan, dan kehormatan; melainkan hanya kondisi ketidakpastian yang dihasilkan oleh pemerintahan global (Dunne & Schmidt, 1999).

Sumber

Realisme politik ketika menganalisis hubungan internasional selalu mendasarkan pandangan mereka pada realitas, pada apa yang ada, dan bukan pada apa yang seharusnya, seperti yang diklaim oleh kaum idealisme politik. Di dunia nyata, menurut kaum realis, konflik sudah diambang pintu karena sifat kekerasan yang melekat di dalam diri manusia dan karena jalan yang dipilih oleh penduduk dunia lebih tertarik untuk mengorganisasikan bentuk negara yang berdaulat dan independen yang cenderung tidak menghormati otoritas di luar atau di atas negaranya. Pemikiran kaum realis dengan demikian berlandaskan pada pencarian kekuatan dan dominasi yang berasal dari sifat manusia sebagai alasan dasar bagi konflik (Sorensen, 2003).

Mereka juga cenderung menjadi determinis dan yakin bahwa ada kekuatan- kekuatan kausal yang berada di luar kemampuan manusia—ada hukum-hukum obyektif yang menjadikan pola-pola tingkah laku tertentu pasti berlaku, tidak dapat dihindarkan, terutama sekali dalam hubungan internasional. Ini berarti bahwa kaum realis tidak begitu yakin pada kemampuan akal pikiran manusia untuk mencari pemecahan-pemecahan jitu terhadap masalah-masalah yang dihadapinya. Secara demikian realisme politik mengandung unsur-unsur oportunisme dan menekankan pada ekspediensi dalam arti sangat terpengaruh oleh lingkungan yang ada dan mengambil langkah-langkah yang paling pragmatis dalam memecahkan masalah, sungguhpun langkah-langkah itu tidak benar untuk jangka waktu yang panjang.

Realis juga beranggapan bahwa prinsip-prinsip moral tidak dapat diterapkan untuk memahami perilaku politik negara. Sebagaimana yang dinyatakan oleh Morgenthau, bahwa “realisme politik tidak memerlukan pembenaran moral, akan tetapi ia memerlukan pembedaan yang tajam antara apa yang dikehendaki dan apa yang mungkin, antara apa yang diharapkan di mana pun kapan pun” (Morgenthau, 1985). Kalangan realis juga menolak penerapan prinsip-prinsip moral dalam analisis politik internasional karena perbedaan mendasar antara politik internasional dan politik domestik. Di tingkat domestik terdapat otoritas-otoritas berkuasa yang dapat mengatur moralitas individu, sementara di dunia internasional tidak ada otoritas berkuasa yang dapat mengatur kehidupan negara karena hubungan antar negara berlangsung dalam lingkungan yang anarkis.

Karena itulah, seorang yang sangat liberalis pun, seperti Stanley Hoffman, bahkan mengatakan bahwa “dalam suatu masyarakat anarkis dari bangsa-bangsa yang hidup dalam keadaan ‘tidak damai’ atau ‘keadaan perang’, semua yang bergantung pada pandangan John Locke ataupun Thomas Hobbes akan melihat hal yang sama ketika dihadapkan pada masalah- masalah dunia. Akan selalu ada yang namanya perasaan ketidakamanan. Tidak semua negara atau pelaku dapat sama-sama aman selama belum tercapai dunia yang bebas dari ancaman dan permusuhan” (Hoffman, dalam Bertram, 1988).

Pertanyaannya adalah, mengapa kaum realis begitu pesimis terhadap kondisi politik internasional? Mengapa kaum realis begitu meyakini ancaman keamanan, konflik, dan anarki menjadi hal yang mutlak dan akan terus berlangsung selama negara masih menjadi unit politik yang independen? Menurut Vioti dan Kauppi, setidaknya ada empat hal pokok yang bisa menjawabnya (Viotti & Kauppi, 1999 dan Andre Pareira, 1999).

1. Pertama, negara dipandang sebagai pelaku utama sekaligus pelaku terpenting (state are the principal or most important actors). Dalam asumsi ini, negara dipandang sebagai unit utama dalam analisis, baik ketika orang membahas masyarakat politik zaman Yunani Kuno (polis) maupun analisis masyarakat politik modern (nation state), dan studi HI adalah studi hubungan di antara unit-unit masyarakat politik. Seorang realis yang menggunakan konsep sistem, mendefinisikan terminologi sistem dalam pengertian sistem internasional yang melibatkan negara sebagai elemen-elemen dalam sistem tersebut.

Elemen-elemen lain bukan negara di dalam sistem internasional, seperti organisasi internasional, multinational coorperation, transnational groups juga merupakan aktor, tetapi perannya kurang penting dibandingkan negara.

2. Kedua, negara dipandang sebagai kesatuan aktor (state is viewed as a unitary actor). Untuk tujuan analisis, seorang realis melihat negara ibaratnya sesuatu mahkluk yang terbungkus oleh sel-sel kehidupan yang keras (as being encapsulated by metaphorical hard sell). Sebuah negara berhadapan dengan dunia luar yang juga merupakan suatu unit yang terintegrasi.

Dalam pengertian ini negara dilihat sebagai otoritas tertinggi, yang perwujudannya oleh pemerintah, dan pemerintah adalah representasi negara yang menyuarakan dengan satu suara yang sama untuk kepentingan negara secara keseluruhan. Sehingga apabila terjadi sesuatu di dalam sistem negara yang berhubungan dengan lingkungan di luar negara, negara (pemerintah) melakukan intervensi untuk mengambil suatu tindakan, peran aktor non- negara yang berbeda pandangan dengan negara (pemerintah) diarahkan untuk kepentingan kebijaksanaan yang terpusat dan dikontrol oleh negara.

3. Ketiga, negara secara esensial diasumsikan sebagai aktor yang rasional (state is essentially a rational actor). Asumsi ini berhubungan dengan proses pembuatan keputusan politik luar negeri, yang seharusnya mencakup perumusan tujuan, pertimbangan-pertimbangan alternatif dalam pengertian ketersediaan kapabilitas negara, pertimbangan kemungkinan berbagai macam alternatif yang bisa digunakan dengan disertai pertimbangan keuntungan dan kerugian untuk masing-masing alternatif yang digunakan.

Asumsi ini juga memperhitungkan bahwa unsur kemanusiaan dari para pembuat keputusan yang mungkin saja menimbulkan persepsi yang salah tentang lingkungan yang dihadapi yang bisa mengarahkan politik luar negeri tidak sesuai dengan tujuan.

4. Keempat, keamanan nasional merupakan isu utama dan menempati tempat teratas di samping isu-isu lainnya (national security is on top of the list within the hierarchy of international issue) sehingga aspek militer dan isu-isu politik yang berhubungan dengan masalah keamanan nasional mendominasi perpolitikan dunia. Seorang realis juga biasanya memusatkan perhatiannya pada potensi konflik yang ada di antara aktor negara, dalam rangka memperhatikan atau menjaga stabilitas internasional, mengantisipasi kemungkinan kegagalan upaya penjagaan stabilitas, memperhitungkan manfaat dari tindakan paksaan sebagai salah satu cara pemecahan terhadap perselisihan, dan memberikan perlindungan terhadap tindakan pelanggaran wilayah perbatasan.

Oleh karena itu, power adalah konsep kunci. Dalam kacamata realis, keamanan militer dan isu-isu strategis tergolong kepentingan utama dan mengacu pada kategori politik berbobot tinggi (high politics), sedangkan ekonomi dan isu-isu sosial dilihat oleh kaum realis sebagai hal yang biasa, kurang penting atau mempunyai bobot politik yang rendah (low politics).

Meskipun keempat pandangan di atas merupakan prinsip umum dari realisme, namun realisme bukanlah teori tunggal. Realisme dapat dikelompokkan lagi menjadi dua pendekatan, yaitu “realisme klasik” dan “neo-realisme.” Tak hanya itu, neo-realisme pun dibagi lagi menjadi dua varian: defensif dan ofensif.

Penganut paham realisme klasik seperti Hans J. Morgenthau percaya bahwa negara, seperti halnya manusia, memiliki hasrat yang tak pernah terpuaskan untuk mendominasi yang lainnya dan pada akhirnya membawa mereka pada peperangan.

Sebaliknya, neo-realis defensif yang dimapankan oleh Kenneth Waltz, justru mengabaikan sifat alamiah manusia dan memfokuskan analisisnya pada dampak yang dihasilkan sistem internasional. Bagi Waltz (1979), sistem internasional terdiri dari sejumlah kekuatan besar, yang masing- masing berusaha untuk bertahan karena sistem berjalan secara anarkis (suatu kondisi yang dihasilkan karena tidak adanya otoritas sentral yang dapat mengaturnya). Di dalam kondisi yang anarkis seperti itu, setiap negara akan mempertahankan dirinya sendiri. Untuk itu, kata Waltz, kondisi ini telah memaksa negara-negara lemah menjadi berupaya untuk mengimbangi negara-negara yang kuat. Sejalan dengan Waltz, seorang neo-realis ofensif John J. Mearsheimer (2001), mengatakan bahwa struktur sistemlah yang menentukan bagaimana negara berperilaku, bagaimana cara mereka memandang satu sama lain dan ini bisa berakibat pada apa yang disebut dengan anarki internasional.

Akan tetapi Waltz dan Mearsheimer memiliki perbedaan pandangan dalam menjelaskan tujuan negara. Mearsheimer, misalnya, percaya bahwa setiap negara akan berupaya untuk menjadi kekuatan hegemon dan lebih agresif daripada yang dibayangkan oleh Waltz. Tujuan negara menurut Mearsheimer adalah untuk mendominasi seluruh sistem, dan menjadi pihak yang berkuasa di kawasan dunia (Kreisler, 2002).

Jika anda adalah yang terbesar, tidak akan negara manapun yang berani menentang anda karena anda begitu berkuasa. Ambillah belahan bumi Barat sebagai contoh, di mana AS sejauh ini merupakan negara yang paling berkuasa di kawasan ini. Di kawasan itu, tidak akan ada negara seperti Kanada, Guetamala, Kuba, ataupun Meksiko yang akan berpikir untuk berani melawan atau berperang dengan AS karena kekuatan AS terlalu besar bagi mereka. Berbeda dengan Waltz. Menurutnya, pandangan Mearsheimer itu tidak tepat. Karena dengan menjadi begitu berkuasa, dan ketika suatu negara bergerak ke arah sana, negara lain pasti akan berupaya untuk mengimbangi dan melawannya.

Meski ada perbedaan pandangan dalam hal keutamaan unit analisis dan tujuan negara dari varian-varian realisme di atas, secara prinsip mereka menyepakati satu hal bahwa sistem politik internasional akan selalu berjalan secara anarkis dikarenakan memang tidak adanya otoritas tunggal (baca: LBB atau PBB) yang bisa membuat dunia menjadi jauh lebih harmonis.