Apakah yang dimaksud dengan prinsip-prinsip perubahan (Principles of Change)?

Perubahan dalam organisasi merupakan isu penting dalam suatu perusahaan, perubahan dapat memberikan kesempatan bagi organisasi untuk meningkatkan kinerja dari yang sebelumnya.

Apakah yang dimaksud dengan prinsip-prinsip perubahan (Principles of Change) ?

Menurut John P. Kotter di dalam bukunya bertajuk Leading Change ia mengatakan bahwa sebagian besar perubahan gagal dan hanya 30% yang bisa dikatakan berhasil. Dari penyebab kegagalan yang dijumpai kemudian Kotter merumuskan sebuah solusi yang kemudian dikenal dengan Delapan Prinsip dalam menciptakan perubahan.

1. Menciptakan Urgensi untuk Berubah

Menciptakan urgensi menurut Kotter sangat penting karena pada kenyataannya banyak organisasi yang telah merasa puas dengan kondisinya saat ini. Ini juga pernah terjadi pada saat di tahun 80an saat Xerox mendominasi pasar foto kopi dunia sehingga mereka menjadi lupa diri sehingga diserbu oleh pesaingnya. Hal ini karena saat itu Xerox telah puas dengan posisinya sebagai yang memegang kendali pasar foto kopi.

Tujuan menciptakan urgensi untuk berubah adalah: mengkaji kondisi pasar dan kenyataan-kenyaan yang dijumpai di persaingan; identifikasi krisis atau kemungkinan krisis yang dihadapi dan peluang-peluang yang ada.
Dengan menciptakan urgensi setiap saat maka diharapkan karyawan akan tergerak melakukan perubahan. Dalam tahapan ini setidaknya mencakup hal-hal berikut:

  • Menciptakan situasi krisis di organisasi dimana banyak sekali kelemahan-kelemahan dan kesalahan-kesalahn di dalam organisasi

  • Hilangkan kesan bahwa organisasi memiliki kelebihan-kelebihan fasilitas

  • Tetapkan target yang sangat tinggi sehingga menantang dan menyebabkan kehebohan di dalam organisasi

  • Tunjukkan data-data yang menunjukkan kinerja perusahaan yang kurang bagus kepada seluruh karyawan sehingga mereka menyadari perlunya melakukan perbaikan

  • Paksakan interaksi dengan pihak-pihak yang tak puas dengan perusahaan: pelanggan, pemasok dan pemangku kepentingan

  • Gunakan konsultan untuk menunjukkan penilaian yang jujur dan relevan dengan kondisi perusahaan

  • Komunikasikan secara intensif tentang peluang masa depan kepada karyawan termasuk imbalan yang akan diperoleh bila sukses menggapai peluang dan penalti bagi mereka yang gagal mencapainya

2. Membangun Koalisi Yang Kokoh

Tentu yang dimaksud koalisi ini dalam konteks semangat positif untuk bersama-sama menuju perubahan yang diinginkan, bukan untuk memenangkan suatu golongan atau parati tertentu dalam konteks bernegara, misalnya.

Mengapa koalisi diperlukan?

Alasannya sederana, suatu perubahan butuh adana keterlibatan dari individu-individu yang mengalami perubahan. Kata kuncinya hanya satu: keterlibatan. Individu yang merasa dilibatkan akan terpanggil untuk berkomitmen tinggi menindak-lanjuti rencana perubahan yang disepakati. Orang yang memiliki komitmen tinggi akan serta merta menindak-lanjuti dengan tindakan-tindakan nyata menuju perubahan. Sedangkan yang namanya perubahan perlu adanya tindakan-tindakan nyata sehingga sesuatu bisa dikatakan berubah bila sudah ada tindakan. Coba renungkan contoh-contoh ini:

  • Sampah atau kotoran yang terletak di sebuah pojokan ruangan akan tetap berada di situ bila tak ada seorangpun yang tergerak untuk mengambilnya dan membuang ke tempat sampah, meski prosedur terkait kebersihan ruangan telah diformalkan.

  • Suatu rancangan (blue print) sebuah bangunan tak akan menjadi wujud rumah bila tak ada yang membangunnya.

  • Suatu rencana pemasaran yang telah dikonsep dan disusun dengan baik dan rinci taka akan memberikan perubahan apa-apa bia tak ada pemasar atau penjual yang menjalankannya

  • Suatu perubahan proses kerja tak akan terlaksana bila individu-individu yang terlibat tak mau mengikuti perubahan proses tersebut.

3. Mengembangkan Visi dan Strategi Perubahan

Menurut Kotter kejelasan terhadap visi yang akan dicapai dalam menggawangi perubahan merupakan hal yang tak boleh disepelekan. Meski banyak yang mengatakan bahwa visi seringkali menjadi sejenis mimpi yang tak kan pernah tercapai, namun dengan artikulasi yang baik mealui suatu metafora yang tepat maka akan dapat dicapai pemahaman terhadap gambaran masa depan suatu organisasi. Jack Welch pada saat masih memimpin GE (General Electric) mengartikulasikan visi yang mudah dipahami: selalu nomer satu atau dua di pasar pada setiap bisnis yang diterjuni. Bila tak nomer satu atau nomer dua maka usaha tersebut harus diperbaiki (fix) dalam waktu dua tau tiga tahun atau dijual (sell) atau ditutup (close). Rumus sederhana ini mudah sekali dipahami oleh segenap manager dan karyawan GE di seluruh dunia sehingga mereka tahu diri bila bisnisnya tak mendapatkan posisi nomer satu atau dua, mereka harus melakukan kerja keras untuk fix, sell atau close.

Sebuah bengkel otomotif ingin meningkatkan penjualannya dua kali lipat pada suatu tahun fiskal tertentu. Manajemen Puncak bengkel mengkomunikasikan visi tersebut dalam suatu tema sederhana dengan mencanangkan poster besar bertuliskan 2 X. Pada setiap kesempatan Manajer selalu mendengungkan simbol 2 X (dua kali) secara berulangkali. Ketika ditanya tentang keuntungan apa harus dua kali ia tetap bersikukuh bahwa yang terpenting adalah penjualan (revenue) meningkat menjadi dua kali. Pada kesempatan lain sang Manajer mengatakan bahwa ia siap menghadapi kenyataan bahwa keuntungan tak sepenuhnya mencapai dua kali namun setidaknya bila ia bisa mencapai dua kali penjualan setidaknya ia telah menguasai pasar dan pelanggan yang merupakan hal paling fundamental mempertahankan kesinambungan bisnisnya. Baginya pertumbuhan pendapatan itu sangat penting ditinjau dari keberlanjutan usahanya.

Visi mencakup hal terkait dengan ‘apa’ yang ingin dicapai atau dirubah, belum mencakup bagaimana meraihnya. Untuk itu perlu disusun strategi pencapaiannya termasuk bagaimana menyusun strategi perubahan untuk menuju kondisi yang diinginkan. Dalam hal GE, Jack Welch atau Manager harus tahu secara pasti bagaimana meraih target yang diinginkan supaya bisnisnya mencapai posisi nomer 1 atau nomer 2.

Strategi perubahan mencakup empat komponen penting yang harus dipertimbangkan: sasaran yang ingin dicapai, realitas yang dihadapi, pilihan-pilihan yang ada, dan langkah tindak lanjut. Untuk memudahkan penyusunan rencana perubahan saya selalu menggunakan suatu cara yang diuraikan dalam buku bertajuk You Know How To Be Great yaitu secara mudah disingkat dengan GROW model, yang merupakan singkatan dari Grow – Realities – Options – Way forward:

  • Goals merupakan uraian ringkas tentang sasaran perubahan yang ingin dicapai, misalnya peningkatan penjualan menjadi dua kali lipat; menjadi pemimpin pasar nomer 1 atau nomer 2, dst.

  • Realities menguraikan secara komprehensif kenyataan-kenyataan yang dihadapi yang bisa menjadi pengganjal (kendala) atau bahkan mempermudah (kekuatan) dalam upaya mencapai sasaran yang ditetapkan. Misalnya bila itu kendala mencakup: keterbatasan jalur distribusi, sistem pengendalian penjualan yang belum terpadu, kompetensi SDM yang belum memadai, dan sebagainya. Sedangkan faktor kekuatan yang mempermudah pencapaian sasaran adalah: kekuatan merek (brand image), kualitas produk dan layanan, harga yang bersaing, dan sebagainya.

  • Options menguraikan alternatif strategi yang bisa dipilih oleh perusahaan atau organisasi yang bersangkutan. Dalam mengembangkan alternatif ini sebenarnya di sinilah kunci strategi sebenarnya dalam segi perencanaan. Misalnya bila telah diketahui dengan baik realitas di atas, sebuah perusahaan yang mengalami kendala dalam hal jalur distribusi, misalnya mengembangkan strategi “Aliansi dengan Perusahaan Lain” atau “Membangun Sendiri Jalur Distribusi Baru”. Masing-masing diuraikan dengan baik resikonya, misalnya kalau alternatif kedua dipilih, yakni membangun sendiri jalur distribusi maka konsekuensinya besar di investasi dan waktu yang lama untuk membangunnya karena harus membangun infrastruktur dan relasi baru dengan distributor baru. Sementara bila alternatif pertama yang dipilh maka ada resiko bahwa perusahaan yang menjadi mitra tak bisa dipercaya, meski biaya investasinya lebih rendah.

  • Way Forward pada dasarnya merupakan tindakan konkrete yang diperlukan setelah pilihan di atas telah diputuskan. Misalnya bila diputuskan memilih alternatif kedua, yaoitu membangun sendiri jalur distribusi maka perlu diuraikan langkah tindak-lanjut termasuk penanggung-jawab setiap langkah dan rentang waktu serta biaya diperlukan. Misalnya: titik mana saja yang diperlukan adanya jalur distribusi baru, infrastruktur apa yang dibutuhkan, berapa biayanya, bagaimana sumber pendanaan diperoleh, dan seterusnya.

4. Mengkomunikasikan visi perubahan

Begitu pentingnya visi perubahan sehingga kegiatan mengkomunikasikannya menjadi prinsip ke empat yang harus diperhatikan untuk memastikan bahwa semua karyawan memahaminya dengan baik. Tujuan mengkomunikasikan visi ini bertujuan untuk mendapatkan pemahaman yang sama bagi semua karyawan dan memotivasi mereka untuk bekerjasama. Derajat kepentingan masalah komunikasi ini sangat tinggi mengingat keberhasilan sebuah perubahan adalah bila semakin banyak orang yang terlibat. Dengan semakin banyaknya yang terlibat maka tumbuh rasa memiliki dari perubahan tersebut.

Inti komunikasi yang dilakukan harus memenuhi syarat pokok: sederhana sehingga mudah dimengerti, menggunakan bahasa operasional / teknis sehingga bisa menggalang keterlibatan dan yang tak kalah pentingnya adalah adanya manfaat yang jelas dengan adanya perubahan yang akan dilakukan. Alasan tersebut harus berorientasi kepada hasil, misalnya dengan mengungkapkan data kompetitif tentang semakin ketatnya persaingan sehingga dicapai pemahaman yang menyeluruh dari semua karyawan.

5. Memberdayakan langkah tindak-lanjut yang pokok (utama)

Prinsip ke lima ini peting karena justru di sinilah biasanya banyak perusahaan atau organisasi gagal melakukan perubahan. Ini merupakan hal yang umum ditemui karena, umumnya di Indonesia, kita lebih sering dan rajin menyusun perencanaan namun sangat lemah dalam implementasi. Sebabnya bisa beraneka ragam, misalnya rencana yang tadinya dibuat ternyata terlalu besar dan sulit diimplementasi sedangkan untuk mengulang lagi prosesnya akan memerlukan waktu yang lama dan bisa jadi membosankan karena mengulang lagi proses perencanaan. Yang kemudian terjadi adalah menjalankan kegiatan tanpa didasari dengan perencanaan yang sebelumnya dibuat. Di sinilah nilai dari sebuah perencanaan yang praktis dan implementable menjadi sangat dibutuhkan. Untuk itu, perlu ditekankan bahwa hal-hal yang direncanakan memang berisi atau terkait dengan hal-hal yang benar-benar do-able sehingga tak menjadi rencana yang muluk-muluk.

Sebagai contoh dari prinsip nomer 4 dimana sudah ditetapkan strateginya adalah membangun jalur distribusi sendiri, maka tindak lanjut dari rencananya adalah:

  • Melibatkan banyak orang dalam menjalankan setiap rencana yang disepakati

  • Memberdayakan karyawan untuk berani mengambil keputusan dari penugasan yang diberikan kepadanya

  • Memberikan bimbingan teknis (entoring) dan bimbingan pengembangan (coaching) untuk menghadapi setiap tantangan yang dihadapi

  • Memberikan penghargaan (apresiasi) bagi karyawan yang berhasil mengatasi kendala yang dihadapi, atau memiliki ide-ide implementasi yang brilian untuk memotivasi karyawan tersebut dan seluruh karyawan

  • Memprioritaskan program reward and recognition dan pada saat yang genting baru menerapkan punishment karena perubahan yang sukses harus diniati dengan pikiran positif dari perencanaan hingga implementasi

  • Seorang pimpinan jangan melakukan implementasi sendiri karena akan merusak semangat pemberdayaan yang merupakan hal kunci dalam melakukan perubahan

6. Menciptakan quick wins

Yang disebut dengan quick wins adalah hal-hal yang bisa segera dilakukan, menggunakan sumber daya yang ada, dan memberikan dampak cukup signifikan terhadap perubahan. Definisi “segera” adalah tenggat waktu sebelum mencapai 90 (sembilan puluh) hari.

Misalnya dalam kasus jalur distribusi, misalnya dalam tiga bulan sudah bisa membangun lima (5) titik distribusi dengan , misalnya, menghidupkan kembali titik distribusi yang dulu pernah ada namun tak terbina dengan baik. Hasil penjualn dengan terbangunnya lima titik distribusi ini sebaiknya dipantau sehingga akhirnya pada bulan ke 4 bisa dilihat peningkatan penjualan dari titik distribusi yang baru ini. Hal ini penting dilakukan agar karyawan lebih bersemangat lagi dalam melakukan perubahan karena telah memberikan hasil yang positif dalam upaya peningkatan penjualan. Bagaimana bila ternyata lima titik distribusi ini tidak menghasilkan peningkatan penjualan? Tak perlu panik, justru ini merupakan pembelajaran bagi organisasi untuk secara bersama memecahkan permasalahan ini dengan mengidentifikasi penyebabnya secara bersamaan sehingga kegiatan bersama ini akan meningkatkan motivasi dan membangun kerja tim yang solid.

Bisa jadi pemilihan titik distribusinya kurang tepat atau bahkan boleh jadi strategi ini tak memberikan dampak signifikan. Tim secara bersamaan harus menyepakati tindakan apa yang harus dilakukan; apakah menghentikan proses penambahan titik distribusi atau memberikan kesempatan tiga bulan ke depan untuk meberikan waktu yang cukup mengukur hasilnya.

Satu hal yang harus dicatat adalah tujuan mengapa quick wins dilakukan takni untuk menyemangati karyawan tentang perubahan yang sedang terjadi. Untuk itu perlu ditekankan batas waktu tiga bulan penting disikapi. Bila sebuah quick wins dijalankan dalam waktu tiga bulan maka sudah tak bisa dikatakan quick wins karena momentumnya sudah hilang dan semangat perubahan bisa jadi kendor.

7. Konsolidasi manfaat perubahan

Manfaat perubahan sedapat mungkin harus bisa dikuantifisir agar bisa diukur dan kemudian dievaluasi. Dalam kasus peningkatan penjualan yang ditargetkan dua kali maka dalam satu semester harus bisa diukur dampak dari upaya perubahan terhadap peningkatan penjualan. Bila tahun sebelumnya dibukukan omzet Rp. 100 Milyar maka pada 6 bulan pertama jumlah penjualan sebesar Rp. 100 Milyar harus sudah bisa dibukukan. Syukur bila jumlahnya melebihi Rp. 100 Milyar agar pada akhir tahun tercapai Rp. 200 Milyar.

Konsolidasi manfaat perubahan tentunya tak sekedar kuantitas saja namun juga hal-hal yang sifatnya soft seperti, misalnya: sikap baru dalam berurusan dengan mitra, pendekatan baru terhadap pelanggan, pelayanan prima berkesinambungan, peningkatan response time dalam menanggapi keluhan pelanggan, dan masih banyak hal lainnya. Tujuan dari kegiatan ini adalah untuk memastikan bahwa strategi yang telah dipilih ternyata efektif (atau tidak efektif) yang funsingnya adalah untuk pembelajaran. Pada saat awal karis saya di perushaan PT Metrodata di tahun 1985, suatu hari saat saya datang ke kantor di meja saya sudah ada sebuah apel dengan digantung tulisan “We surpass our target this quarter. Congratulations!” Rupanya hari itu CEO dengan sengaja merayakan kemenangan karena saat itu perusahaan melebihi target penjualna yang ditetapkan kantor pusat di Amerika.

Bila manfaat perubahan ini dirasakan juga oleh pelanggan, maka tak ada salahnya mengundang pelanggan yang merasakan manfaat tersebut untuk datang di perusahaan memberikan opininya terhadap perubahan yang dilakukan perusahaan. Hal ini pernah saya alami ketika instansi yang saya fasilitasi mendapat apresiasi terhadap program manajemen perubahan yang berhasil merubah sikap dan perilaku sehingga insansi tersebut yang juga berhubungan sebagai stakeholder merasakan adanya perubahan fundamental tersebut.

8. Memantapkan perubahan sebagai bagian dari budaya

Prinsip ke delapan ini tentunya baru bisa dijalankan bila perubahan yang dilakukan membuahkan hasil positif dan kemudian perlu dilestarikan menjadi budaya baru di organisasi atau perusahaan yang bersangkutan. Dalam hal contoh bengkel otomotif di atas, misalnya perubahan dalam cara melayani ternyata memberikan dampak yang signifikan maka perlu dilestarikan sebagai budaya baru yang harus dilakukan dan menjadi kebiasaan sehari-hari. Beberapa tahun lalu saya pernah ke bengkel langganan saya yang menerapkan kebijakan di bengkelnya bahwa tamu (pemilik mobil) tak diperkenankan masuk mendekati area bengkel mobil dengan alasan agar tidak mengganggu montir yang sedang bekerja.

Beberapa bulan kemudian bengkel tersebut merubah bangungan bengkel sehingga ruang tunggu yang tadinya berdinding tembok diganti dengan kaca sehingga tamu bisa melihat dari jauh mobil yang sedang diperbaiki. Dengan cara ini tamu menjadi tenteram karena bisa melihat sendiri apakah mobilnya sedang digarap montir atau tidak. Selain itu, bengkel juga menugaskan seorang karyawan yang bertindak sebagai communicator yang memberikan update mengenai kondisi mobil menjembatani antara montir dengan pemilik mobil. Ternyata cara ini memberikan dampak positif dan bengkel menjadi berkembang maju. Cara baru ini kemudian dilestarikan karena memang dampaknya positif.

Pelestarian perubahan menjadi budaya organisasi tentu tak terbatas kepada perubahan teknis, misalnya seperti yang dilakukan bengkel otomotif di atas, namun bisa juga perubahan dalam pendekatan personal dalam melayani nasabah. Misalnya, cara atau proses dalam menangani pemesanan di sebuah rumah makan cepat saji, proses penyambutan tamu hotel, cara penanganan keluhan nasabah, dan sebagainya.