Apakah yang dimaksud dengan Persekusi?

Persekusi/per·se·ku·si/ /pérsekusi/ v pemburuan sewenang-wenang terhadap seorang atau sejumlah warga dan disakiti, dipersusah, atau ditumpas;

Memersekusi/me·mer·se·ku·si/ v menyiksa, menganiaya: tanpa memikirkan lagi keadilan atau kemanusiaan

Apakah yang dimaksud dengan Persekusi ?

Artikel Persekusi Para Pemelintir, oleh Nasihin Masha, saya rasa sudah dapat menjelaskan secara gamblang dan mudah ke khalayak umum terkait dengan istilah Persekusi.


REPUBLIKA.CO.ID, Tiba-tiba saja publik Indonesia dihebohkan oleh kosa kata “persekusi”. Objeknya adalah adanya orang-orang yang terkena tindakan akibat perbuatannya di media sosial. Awalnya adalah membuat status atau tulisan di facebook, twitter, atau instagram. Umumnya adalah mereka memberikan penilaian yang negatif terhadap seseorang atau sesuatu. Lalu orang-orang itu dicari alamatnya dan kemudian didatangi. Mereka akan diminta untuk meminta maaf secara tertulis di atas meterai, diucapkan secara verbal dan divideokan serta membuat status meminta maaf di media sosialnya. Di antara mereka ada yang dikata-katai, diancam, bahkan ada yang mendapat tindakan fisik.

Contohnya adalah yang menimpa Fiera Lovita. Awalnya ia membuat status di facebook yang berbunyi “masi ada yg berkoar2 klo ulama mesumnya kena fitnah, loh … dianya kaburr, mo ditabayyun polisi beserta barbuk ajah ga berani”. Dari status ini arahnya adalah ke Habib Rizieq Syihab. Lovita adalah seorang dokter yang tinggal di Solok, Sumatera Barat. Akunnya sempat terkena suspend sehingga tak bisa diakses. Kini sudah bisa dibuka lagi. Status-statusnya yang terkait dengan itu sudah tidak ada lagi. Namun pernyataan permohonan maafnya masih bertengger. Dari postingannya, juga terlihat ia memberikan nada positif pada Ahok. Akibat kasus ini, Kapolres Solok dicopot.

Lovita bukan satu-satunya, karena masih ada yang mengalami nasib serupa. Ada yang menyebutkan bahwa jumlahnya sekitar 52 orang. Lokasinya konon di seluruh Indonesia. Lalu hebohlah publik Indonesia dengan kosa kata persekusi. Tak hanya dari kalangan awam tapi juga dari aparat dan pejabat. Betulkah tindakan orang-orang itu adalah persekusi?

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), persekusi diartikan sebagai

“pemburuan sewenang-wenang terhadap seorang atau sejumlah warga yang kemudian disakiti, dipersusah, atau ditumpas”.

Dari makna leksikal ini apa yang menimpa Lovita seolah memenuhi unsur untuk disebut persekusi. Walaupun masih harus ditelisik apakah betul sewenang-wenang? Apakah disakiti? Apakah dipersusah? Apakah ditumpas? Karena itu sebaiknya hati-hati. Apalagi kejadian ini juga berdimensi hukum maka rujukannya tak boleh hanya bersandar pada kamus. Tapi juga harus menimbang pengertian lain, misalnya dari sisi hukum. Apalagi sebagian pihak yang diduga melakukan tindakan terhadap pihak seperti Lovita ada yang sempat digelandang polisi. Dalam sistem hukum Indonesia, kita tak mengenal tindak pidana persekusi.

Kata persekusi ada dalam Statuta Roma. Statuta ini merupakan bagian dari produk Perserikatan Bangsa-Bangsa dalam pembentukan Mahkamah Pidana Internasional (ICC). Statuta lahir di Roma pada 1998. Sedangkan ICC berkedudukan di Den Haag, Belanda. Pada Pasal 1 disebutkan bahwa pembentukan ICC ini untuk menangani “kejahatan paling serius” (the most serious crimes of international concern). Ada empat jenis kejahatan yang masuk dalam kategori tersebut (Pasal 5), yaitu, kejahatan genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan, kejahatan perang, dan kejahatan agresi. Adapun ihwal persekusi masuk ke dalam Pasal 7, yang membahas tentang kejahatan terhadap kemanusiaan.

Pasal 7 (1) mengulas tentang apa itu kejahatan terhadap kemanusiaan;

“Untuk keperluan Statuta ini, ‘kejahatan terhadap kemanusiaan’ berarti salah satu dari perbuatan berikut ini apabila dilakukan sebagai bagian dari serangan meluas atau sistematik yang ditujukan kepada suatu kelompok penduduk sipil, dengan mengetahui adanya serangan itu”.

Ada 11 jenis kejahatan terhadap kemanusiaan, termasuk di dalamnya adalah persekusi, yang masuk pada poin h. Bunyinya adalah:

“Persekusi terhadap suatu kelompok yang dapat diidentifikasi atau kolektivitas atas dasar politik, ras, nasional, etnis, budaya, agama, gender sebagai didefinisikan dalam ayat 3, atau atas dasar lain yang secara universal diakui sebagai tidak diizinkan berdasarkan hukum internasional, yang berhubungan dengan setiap perbuatan yang dimaksud dalam ayat ini atau setiap kejahatan yang berada dalam jurisdiksi Mahkamah”.

Adapun pengertian persekusi itu sendiri ada di dalam Pasal 7 (2) pada poin g. Di situ disebutkan bahwa

“Persekusi berarti perampasan secara sengaja dan kejam terhadap hak-hak dasar yang bertentangan dengan hukum internasional dengan alasan identitas kelompok atau kolektivitas tersebut”.

Dari pengertian ini jelas sekali bahwa unsur penting dalam persekusi adalah perampasan, sengaja, kejam, hak dasar, identitas.

Sekarang pertanyaannya adalah, apakah hak dasar itu? Banyak sekali varian pendapat tentang hal ini. Namun merujuk pada kovenan internasional tentang hak sipil dan politik (ICCPR), di antara hak dasar itu adalah

  • hak hidup;
  • hak menentukan nasib sendiri;
  • kebebasan dan keamanan pribadi dari penangkapan dan penahanan sewenang-wenang;
  • perlakuan yang manusiawi dan menghormati martabat yang melekat jika terjadi perampasan kebebasannya;
  • kebebasan bergerak dan memilih tempat tinggal;
  • persamaan di muka hukum;
  • kebebasan menetap di suatu wilayah negara;
  • hak praduga tak bersalah;
  • perlindungan wilayah privat;
  • kebebasan berpikir dan menyatakan pendapat, berkeyakinan, dan beragama;
  • kebebasan berkumpul secara damai;
  • kebebasan berserikat;
  • hak menikah;
  • perlindungan anak di bawah umur;
  • hak ikut dalam pemerintahan, hak dipilih dan memilih, dan hak mendapatkan akses pelayanan umum;
  • serta hak dan perlindungan terhadap minoritas.

Tentu masih bisa ditambah di bidang ekonomi dan budaya.

Pertanyaan berikutnya adalah dalam semua kejadian yang kini dihebohkan itu apakah ada perampasan hak dasar yang sengaja dan kejam? Semua itu tak terjadi. Karena itu istilah yang lebih tepat untuk semua kejadian itu adalah tindak pidana yang lain seperti mengancam atau menganiaya, yang ada di KUHP. Sehingga secara leksikal lebih tepat menggunakan istilah intimidasi. Dalam KBBI pengertian indimidasi adalah

“tindakan menakut-nakuti (terutama untuk memaksa orang atau pihak lain berbuat sesuatu); gertakan; ancaman”.

Karena itu penggunaan diksi persekusi oleh aparat hukum atau pejabat negara bahkan pegiat hak asasi manusia terhadap kasus yang terjadi belakangan ini merupakan upaya berlebihan, pandir, bahkan bisa dikategorikan kekerasan verbal itu sendiri.

Seorang kawan yang merupakan pejabat negara yang memahami benar pengertian persekusi dan konsekuensinya dalam dunia internasional mengatakan “mau membela mereka yang kena intimidasi malah bikin kesan bahwa sesuatu yang maha buruk sedang terjadi di Indonesia”. Karena itu ia menyitir sebuah peribahasa lama yang sudah jarang diucapkan: ibarat menghindari kentut malah terpijak kotoran. Duh!

Saat ini memang era narasi terburuk dalam sejarah Indonesia, ada degradasi intelektual yang akut. Tak lagi malu menjadi pandir.

Persekusi merupakan salah satu bentuk tindakan yang termasuk dalam kejahatan terhadap kemanusiaan. Persekusi telah diakui sebagai salah satu bentuk kejahatan terhadap kemanusiaan sejak 1993 dengan diadopsinya Statuta Pengadilan Internasional untuk Rwanda (ICTR). Setahun kemudian, dalam Statuta Pengadilan Internasional untuk Kejahatan di Bekas Negara Yugoslavia (ICTY) persekusi juga dimasukkan sebagai salah satu bentuk kejahatan terhadap kemanusiaan. Kedua Statuta ini memiliki persamaan dalam pengaturan mengenai persekusi sebagai bentuk kejahatan terhadap kemanusiaan apabila dilakukan dalam konteks serangan meluas atau sistematik terhadap penduduk sipil. Persekusi haruslah dilakukan dengan niat mendiskriminasi atas dasar ras, politik atau agama.

Dalam perkembangan hukum pidana internasional, definisi persekusi mengalami perluasan dengan berlakunya Statuta Roma. Dalam Pasal 7 Statuta Roma, persekusi juga termasuk dalam salah satu bentuk kejahatan terhadap kemanusiaan. Dalam pengaturan Statuta Roma, persekusi didefinisikan sebagai: Pembatasan hak-hak dasar secara sengaja dan serius yang bertentangan dengan hukum internasional, berlandaskan identitas kelompok atau kolektifitas.

Perbedaan pengaturan dalam Statuta Roma dibandingkan Statuta ICTR dan Statuta ICTY adalah perluasan cakupan persekusi sebagai salah bentuk kejahatan terhadap kemanusiaan, yang dapat kita lihat dalam Pasal 7 ayat (1) huruf(h):

“Persekusi terhadap suatu kelompok yang dapat diidentifikasi atau kolektivitas atas dasar politik, ras, kewarganegaraan, etnis, budaya, agama, gender sebagaimana didefinisikan dalam ayat 3, atau atas dasar lain yang secara universal dilarang berdasarkan hukum internasional, yang berhubungan dengan setiap perbuatan yang dimaksud dalam ayat ini atau setiap kejahatan yang berada dalam jurisdiksi Mahkamah”.

Apabila sebelumnya persekusi hanya mencakup tindakan pembatasan hak dasar dengan unsur diskriminatif berdasarkan ras, politik, atau agama, maka dalam Statuta Roma dasar persekusi menjadi diperluas sebagaimana paragraf diatas. Dalam menentukan ada atau tidaknya persekusi, menurut Prof. David Cohen menekankan adanya dua tingkat pembuktian yang harus dilakukan:

  • Pertama, unsur kontekstual dari persekusi, yaitu pengetahuan dari pelaku bahwa tindakannya merupakan bagian dari serangan yang sistematis atau meluas terhadap penduduk sipil.

  • Kedua, adanya dasar mendiskriminasi korban, kelompok atau kolektivitas dimana mereka menjadi bagin darinya: politik (tidak harus terinstitusionalisasi), ras, kewarganegaraan, etnis, budaya, agama, gender, atau dasar lain yang secara universal dilarang berdasarkan hukum internasional. Pelaku persekusi bisa siapa saja, tidak hanya pemerintah atau organ-organ Negara, tetapi juga masyarakat sipil.

Persekusi dalam kerangka hukum di Indonesia telah memberlakukan UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM yang mengadopsi genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan sebagai bentuk pelanggaran HAM berat. Persekusi sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan diatur dalam Pasal 9 huruf (h). Maka persekusi sebagai pelanggaran HAM berat dapat diproses berdasarkan UU No. 26 Tahun 2000.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia jilid III dijelaskan bahwa Persekusi terdiri dari 1 (satu) suku kata yaitu persekusi (per-se-ku-si) yang artinya adalah pemburuan semenang-menang terhadap seseorang atau sejumlah warga dan disakiti, dipersusah atau ditumpas.

Jika diperhatikan pengertian persekusi sebagaimana yang telah dijelaskan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) jilid III di atas dapat disimpulkan bahwa persekusi merupakan tindakan kejahatan yang sengaja dilakukan oleh seseorang atau kelompok terhadap seseorang atau kelompok atau sejumlah warga lainnya yang didalamnya terjadi tindakan menyakiti, mempersusah dan menumpas seseorang, kelompok atau warga tersebut.

Dalam hal ini merupakan sebuah tindak pidana, Persekusi merupakan sebuah tindak pidana yang sangat meresahkan masyarakat. Maka untuk itu, pelaku yang melakukan persekusi akan dijatuhi hukuman pidana dengan dikenai bebarapa pasal yang terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Seperti Pasal 368 tentang pemerasan, Pasal 369 tentang pengancaman, Pasal 351 tentang Penganiayaan, Pasal 170 tentang Pengeroyokan dan lain-lainnya. Untuk lebih jelasnya mengenai pasal-pasal di atas, dapat dilihat penejlasannya di bawah ini:

  • Pasal 368 KUHP tentang pemerasan yaitu “Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, memaksa seorang dengan kekerasan atau ancaman kekerasan untuk memberikan barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang itu atau orang lain, atau supaya membuat hutang maupun menghapuskan piutang, diancam karena pemerasan dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan”.

  • Pasal 369 KUHP tentang pengancaman yaitu “Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum. dengan ancaman pencemaran baik dengan lisan maupun tulisan, atau dengan ancaman akan membuka rahasia, memaksa seorang supaya memberikan barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang itu atau orang lain. atau supaya membuat hutang atau menghapuskan piutang, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun”.

  • Pasal 351 tentang Penganiayaan yaitu “(1) Penganiayaan diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah, (2) Jika perbuatan mengakibatkan luka-luka berat, yang bersalah diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun. (3) Jika mengakibatkan mati, diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun. (4) Dengan penganiayaan disamakan sengaja merusak kesehatan. (5) Percobaan untuk melakukan kejahatan ini tidak dipidana”.

  • Pasal 170 tentang Pengeroyokan yaitu “Barang siapa dengan terangterangan dan dengan tenaga bersama menggunakan kekerasan terhadap orang atau barang, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun enam bulan”.

Polisi menegaskan aksi persekusi merupakan tindakan melawan hukum, ada 4 proses hukum untuk menjerat pelaku persekusi yaitu :

  • Apabila memasuki rumah atau kantor tanpa seijin oleh pemilik rumah atau kantor yang kemudian tidak diharapkan kehadirannya pelaku bisa dikenakan Pasal 167 ayat 1 KUHP yang ancaman hukumannya satu tahun penjara.

  • Proses hukum kedua, pelaku persekusi yang melakukan tindakan pememaksaan dapat dijerat Pasal 335 KUHP yang ancaman hukumannya 5 tahun penjara.

  • Apabila membawa satu orang, dua orang kemudian ke suatu tempat terpisah, yang dalam hal ini yang bersangkutan tidak bisa berbuat apa-apa. Dalam keadaan yang terpaksa, ia (korban) tidak bisa berhubungan dengan dunia luar, maka ini bisa dikategorikan sebagai sebuah penculikan.

  • Jika pelaku persekusi melakukan penganiayaan maka akan dijerat dengan Pasal 351 KUHP dengan hukuman 2 tahun penjara. Apabila penganiayaan itu dilakukan bersama-sama maka jeratan pasal yang dikenakan yakni Pasal 170 KHUP tentang pengeroyokan dengan ancaman hukuman penjara 5 tahun (Sitompul, 2008).

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Persekusi adalah pemburuan sewenang-wenang terhadap seorang atau sejumlah warga dan disakiti, dipersusah atau ditumpas. Adapun memersekusi (kata kerja persekusi) adalah menyiksa, menganiaya tanpa memikirkan lagi keadilan atau kemanusiaan, mereka (lawan politiknya) bagai iblis.

Selain itu istilah Persekusi menurut Sufmi Dasco Ahmad, anggota Komisi III DPR menilai bahwa “Persekusi yang dimaksud KBBI berbeda dengan yang dilakukan Ormas-ormas tertentu di Indonesia. Justru, Persekusi itu bisa ditujukan pada kelompok penjahat bermotor yang membabibuta menganiaya korbannya di jalanan.”

Meskipun istilah persekusi masih mengandung banyak penafsiran, namun istilah kejahatan persekusi (persecution) ini setidak-tidaknya telah dirumuskan secara jelas dalam Statuta Roma tentang Pengadilan Pidana Internasional (Rome Statute of the International Criminal Court) pada 17 Juli 1998. Ada 124 negara pihak (state parties) dari statuta ini. Kebetulan Indonesia belum termasuk di dalamnya. Tidak bisa sembarangan menggunakan istilah persekusi (persecution) yang dalam hukum internasional Statuta Roma tentang ICC mengakui tiga jenis kejahatan luar biasa yang dapat diadili di ICC, yaitu pembunuhan massal (genosida), kejahatan atas kemanusiaan (crimes against humanity), dan kejahatan perang (war crimes)

Maka perbuatan Persekusi (bahasa Inggris: persecution ) adalah perlakuan buruk atau penganiyaan secara sistematis oleh individu atau kelompok terhadap individu atau kelompok lain, khususnya karena suku, agama, atau pandangan politik. Persekusi adalah salah satu jenis kejahatan kemanusiaan yang didefinisikan di dalam Statuta Roma Mahkamah Pidana Internasional. Timbulnya penderitaan, pelecehan, penahanan, ketakutan, dan berbagai faktor lain dapat menjadi indikator munculnya persekusi, tetapi hanya penderitaan yang cukup berat yang dapat dikelompokkan sebagai persekusi.

Dalam Statuta Roma tentang Pengadilan Pidana Internasional tersebut, kejahatan persekusi setara dengan kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes against humanity) sebagaimana diatur dalam Pasal 7(h). Untuk masuk kategori tindak pidana ini, perbuatan penyerangan itu dilakukan secara tersebar luas atau sistematis terhadap kelompok sipil dengan kesadaran oleh pelaku.

Ini artinya suatu kejahatan untuk dapat dikategorikan sebagai persekusi apabila memenuhi enam unsur kejahatan. Keenam unsur tersebut adalah sebagai berikut:

  • Pertama, pelaku kejahatan secara nyata menghilangkan hak-hak dasar orang lain.

  • Kedua, pelaku kejahatan menargetkan seseorang atau sekelompok orang atas dasar identitas yang berbeda.

  • Ketiga, orang atau kelompok yang disasar atas dasar politik, ras, kewarganegaraan, etnik, budaya, agama, gender atau atas alasan lain yang secara universal dilarang dalam hukum internasional.

  • Keempat, yang harus dipenuhi untuk dikategorikan sebagai kejahatan persekusi, perbuatan itu dikaitkan dengan perbuatan mana pun sebagaimana diatur dalam Pasal 7 ayat 1 (di antaranya pembunuhan, pembasmian, perbudakan, deportasi atau pemindahan paksa penduduk, pemenjaraan atau tekanan-tekanan kebebasan fisik yang kejam yang melanggar peraturan dasar hukum internasional, penyiksaan, penculikan/penghilangan paksa, kejahatan apartheid) atau kejahatan lain yang menjadi yurisdiksi ICC.

  • Kelima, kejahatan itu dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas dan sistematik yang ditujukan kepada sekelompok sipil tertentu.

  • Unsur keenam, pelaku kejahatan (persekusi) mengetahui bahwa perbuatannya merupakan atau dengan niat menjadi bagian serangan yang meluas dan sistematis terhadap kelompok sipil tertentu.

Sedangkan istilah persekusi menurut Kabag Mitra Biro Penerangan Masyarakat (Penmas) Divisi Humas Polri Kombes Awi Setiyono menerangkan persekusi merupakan perburuan sewenang-wenang terhadap seseorang atau sekelompok orang yang mem-posting sesuatu melalui medsos. Perburuan itu dengan maksud untuk mempersusah, meng- intimidasi, atau menumpas oleh sekelompok orang yang memiliki pandangan berbeda dengan kelompok tersebut terhadap konten yang telah di- posting .

Meskipun definisi persekusi dan implikasi moralnya yaitu “apa yang salah” belum mendapat banyak perhatian dari banyak akademisi, namun Jaakko Kuosmanen (2014) telah menetapkan definisi persekusi dengan membongkar asumsi umum berdasarkan kasus historis. Menurutnya, agar sebuah pelanggaran dianggap sebagai bentuk persekusi, ada tiga syarat yang diperlukan, tapi tidak mencukupi, kondisi yang harus ditetapkan:

  • Ancaman asimetris dan sistemik;

  • Bahaya berat dan berkelanjutan;

  • Sasaran diskriminatif yang tidak adil.