Apakah yang dimaksud dengan masyarakat madani (civil society)?

MASYARAKAT MADANI ( CIVIL SOCIETY )

A. Pengertian Masyarakat Madani ( Civil Society )

Sekitar pertengahan abad XVIII dalam tradisi Eropa pengertian dari istilah civil society di anggap sama pengertiannya dengan istilah negara (state) yakni suatu kelompok/kekuatan yang mendominasi seluruh kelompok masyarakat lain. Akan tetapi pada paruh abad XVIII, terminologi ini mengalami pergeseran makna. State dancivil society dipahami sebagai dua buah entitas yang berbeda, sejalan dengan proses pembentukan sosial (social information) dan perubahan-perubahan struktur politik dan Eropa sebagai pencerahan (enlightenment) dan modernisasi dalam mengahadapi persoalan duniawi. Pendapat ini diungkapkan oleh AS Hikam tahun 1999.

Selanjutnya, istilah masyarakat madani di Indonesia diperkenalkan oleh Dr. Anwar Ibrahim, ketika menyampaikan ceramah dalam acara Festival istiqlal II tahun 1995 di Jakarta, sebagai terjemahan dari civil society dalam bahasa Inggris, atau al-Mujtama’al-madani dalam bahasa Arab, adalah masyarakat yang bermoral yang menjamin keseimbangan antara kebebasan individu dan stabilitas masyarakat, dimana masyarakat memiliki daya dorong usaha dan inisiatif individual (Prasetyo, et al. 2002: 157). Adapun yang memaknai civil society identik dengan “masyarakat berbudaya”(civilized society). Lawannya, adalah “ masyarakat liar”(savage society).

B. Sejarah Pemikiran Masyarakat Madani (Civil Society).

Untuk memahami masyarakat madani terlebih dahulu harus di bangun paradigma bahwa konsep masyarakat madani ini bukan merupakan suatu konsep yang final dan sudah jadi, akan tetapi merupakan sebuah wacana yang harus dipahami sebagai sebuah proses. Oleh karena itu, untuk memahaminya haruslah di analisis secara historic. Menurut Manfred, Cohen dan Arato serta M. Dawam Rahardjo, wacana masyarakat madani sudah mengemuka pada masa Aristoteles. Disini ada beberapa fase tentang sejarah pemikiran masyarakat madani.

C. Syarat Terbentuknya Masyarakat Madani.

Banyak pendapat tentang pembahasan syarat-syarat terbentuknya masyarakat madani. Elemen dasar terbentuknya masyarakat madani menurut Rasyid dalam Barnadib (2003:63) adalah (1) masyarakat yang memiliki moral dan peradaban yang unggul, menghargai persamaan dan perbedaan (plural), keadilan, musyawarah, demokrasi; (2) masyarakat yang tidak bergantung pada pemerintah pada sector ekonomi;(3) tumbuhnya intelektualis yang memiliki komitmen independent; dan (4) bergesernya budaya paternalistic menjadi budaya yang lebih modern dan lebih independent.

D. Karakteristik Masyarakat Madani

Penyebutan karakteristik civil society dimaksudkan untuk menjelaskan, bahwa dalam merealisir wacana civil society diperlukan prasyarat yang bersifat universal. Prasyarat ini tidak dapat dipisahkan satu sama lainnya, melainkan satu kesatuan integral yang menjadi dasar dan nilai bagi eksistensi civil society. Karakteristik tersebut antara lain adalah free public sphere, demokrasi, toleransi, pluralism, keadilan,sosial (social justice) dan berkeadaban.

Berikut karakteristik masyarakat madani :

  1. Free Public Sphere (wilayah publik yang bebas).
    Yang di maksud dengan istilah “ free public sphere” adalah adanya ruang public yang bebas sebagai sarana dalam mengemukakan pendapat. Pada ruang public yang bebaslah individu dalam posisinya yang setara mampu melakukan transaksi-transaksi wacana dan praksis politik tanpa mengalami distorsi dan kekhawatiran.

  2. Demokrasi.
    Demokrasi adalah prasyarat mutlak lainnya bagi keberadaan civil society yang murni (genuine). Tanpa demokrasi, masyarakat sipil tidak mungkin terwujud. Secara umum demokrasi adalah suatu tatanan social politik yang bersumber dan dilakukan oleh, dari, dan untuk warga negara.

  3. Toleransi.
    Toleransi adalah sikap saling menghargai dan menghormati perbedaan pendapat. Lebih dari sikap menghargai pandangan berbeda orang lain, toleransi, mengacu kepada pandangan Nurcholish Majid, adalah persoalan ajaran dan kewajiban melaksanakan ajaran itu.

  4. Pluralisme.
    Kemajemukan atau pluralism merupakan prasyarat lain bagi civil society. Namun, prasyarat ini harus benar-benar di tanggapi dengan tulus ikhlas dari kenyataan yang ada, karena mungkin dengan adanya perbedaan wawasan akan semakin bertambah.

  5. Keadilan Sosial.
    Keadilan dimaksudkan untuk menyebutkan keseimbangan dan pembagian yang proporsional terhadap hak dan kewajiban setiap warga negara dalam semua aspek kehidupan.

Sumber : http://agungsukron99.blogspot.co.id dikutip pada tanggal 12 September 2017 pukul 19.00 WIB

Wacana masyarakat madani mulai popular sekitar awal tahun 90-an di Indonesia dan masih terdengar asing pada sebagian dari kita. Konsep ini awalnya berkembang di Barat, dan berakhir setelah lama terlupakan dalam perdebatan wacana sosial modern, dan kemudian mengalami revitalisasi terutama ketika Eropa timur dilanda gelombang reformasi di tahun-tahun pertengahan 80-an hingga 90-an. Mengenai wacana tentang masyarakat madani masih dalam perdebatan, namun beberapa kalangan ada yang berpendapat bahwa masyarakat madani adalah persamaan dari kata civil society.

Civil Society sebagai sebuah konsep yang berasal dari pergolakan politik dan sejarah masyarakat Eropa Barat yang mengalami proses transformasi dari pola kehidupan feodal menuju kehidupan masyarakat industri kapitalis. Proses sejarah dari masyarakat Barat, perkembangannya bisa diruntut mulai dari Cecero sampai pada Antonio Gramsci dan De’Tocquville bahkan menurut Manfred Ridel, Cohen dan Arato serta M Dawam Raharjo, pada masa Aristoteles wacana civil society sudah dirumuskan sebagai system kenegaraan dengan menggunakan istilah koinonia politike yaitu sebuah komunitas politik tempat warga terlibat langsung pada percaturan ekonomi dan politik serta pengambilan keputusan. Konsep civil society kemudian dikembangkan oleh filosof John Locke dari istilah Civillian Govermant (pemerintahan sipil) yang berasal dari bukunya Civilian Goverment pada tahun 1960. Buku tersebut mempunyai misi menghidupkan pesan masyarakat dalam menghadapi kekuasaan-kekuasaan mutlak para raja dan hak istimewa para bangsawan.

Locke (1632-1704) dan Rossean (1712-1778) membuka jalan pemberontakan terhadap dominasi kekuasaan dan kesewenangan dan pada akhirnya melahirkan revolusi Perancis 1789, sehingga permulaan abad XIX muncul pemikiran-pemikiran cemerlang yang mengobarkan pembentukan masyarakat madani yang menjadi simbol bagi realita dengan di penuhi berbagai kontrol terhadap kesewenang-wenangan kekuasaan elit yang mendominasi kekuasaan Negara yang mencakup banyak partai, kelompok, perkumpulan, himpunan, ikatan sebagai lembaga kekuasaan.

Ciri-Ciri Masyarakat Madani


Masyarakat madani atau civil society merupakan salah satu bentuk konsep ideal menuju demokrasi, apabila sudah terwujud, masyarakat madani mempunyai indikasi-indikasi yang sesuai dengan perspektif masyarakat madani itu ditafsiri dan didefinisikan.

Menurut Syamsuddin, secara umum masyarakat madani dapat diartikan sebagai suatu masyarakat atau institusi yang mempunyai ciri-ciri antara lain : Kemandirian, toleransi, keswadayaan, kerelaan menolong satu sama lain dan menjujung tinggi norma dan etika yang telah disepakati bersama-sama. Secara historis upaya untuk merintis institusi tersebut sudah muncul sejak masyarakat Indosesia mulai mengenal pendidikan modern dan sisitem kapitlisme global serta modernisasi yang memunculkan kesadaran untuk mendirikan orgnisasi-orgnisasi modern seperti Budi Utomo (1908), Syarikat Dagang Islam (1911), Muhammadiyah (1912) dan lain-lain.

Menurut perspektif A.S Hikam, civil society merupakan wacana yang berasal dari Barat dan lebih mendekati subtansinya apabila tetap di sebutkan dengan istilah aslinya tanpa menterjemahkan dengan istilah lain atau tetap berpedoman dengan kosep de’ Tocquiville merupakan wilayah sosial terorganisir yang yang mempunyai ciri-ciri antara lain: Kesukarelaan (Voluntary), Keswasembadaan (self-generating), Keswadayaan (self-supporting), serta kemandirian tinggi berhadapan dengan Negara dan keterkaitan dengan norma-norma atau nilai-nilai hukum yang di ikuti oleh warganya. Civil society adalah suatu wilayah yang menjamin berlangsungnya prilaku tindakan dan refleksi mandiri kemudian tidak terkungkung oleh kondisi material serta tidak terserap dalam kelembagaan politik yang resmi.

Banyaknya LSM yang mempuyai kekuatan untuk memposisikan diri dalam hubungannya dengan kebijakan-kebijakan pemerintah merupakan wujud adanya masyarakat madani. Negara tidak terlalu kuat mengekang gerakan-gerakan peberdayaan politik, ekonomi, maupun budaya atau sebaliknya mendukung selama hal itu masih dalam koridor hukum yang dilakukan oleh LSM-LSM, hal itu merupakan indikasi terbentuknya msyarakat madani.

Sebagaimana penjelasan diatas bahwa subtansi civil society dan masyarakat madani mempunyai persamaan meskipun tidak semuanya atau ciri dari keduanya tidak terlalu berbeda jauh. Kelompok yang cenderung memakai istilah masayarakat madani menekankan bahwa salah satu cirinya adalah adaya masyarakat yang patuh hukum, berkeadilan, dan adanya hubungan check and balance antara Negara dengan masyarakat Gambaran bentuk masyarakat masa depan yang di inginkan umat manusia yang mengakui harkat manusia adalah hak-hak dan kewajibannya dalam masyarakat yaitu masayarakat madani, dapat juga dijelaskan dengan karakteristik sebagai berikut menurut H. A. R. Tilaar:

  • Masyarakat yang mengakui hakikat kemanusiaan yang bukan sekedar mengisi kebutuhannya untuk hidup (proses humanisasi) tetapi untuk eksis sebagai manusia.

  • Pengakuan hidup bersama manusia sebagai mahluq sosial melalui sarana Negara. Negara menjamin dan membuka peluang kondusif agar para anggotanya dapat berkembang untuk merealisasikan dirinya dalam tatanan vertikal (antara manusia dengan Tuhan) atau tatanan horizontal (mausia dengan manusia). Interaksi kedua tatanan tersebut penting karena tanpa orientasi kepada Tuhan maka tatanan kehidupan bersama tidak bermakna. Tuhan adalah sumber nilai yang mengatur keseluruhan kehidupan manusia.

  • Manusia yang mengakui karakteristik tersebut dan mengakui hak asasi manusia dalam kehidupan yang demokratis adalah yang disebut masayarakat madani (civil society)

Masyarakat Madani dalam Perspektif

Permasalahan yang terus melanda ilmu-ilmu sosial hingga saat ini adalah ketidakmampuan menjelaskan apa dan bagaimana seharusnya tatanan ideal sebuah masyarakat. Civil Society , yang selama ini menjadi sebuah paradigma ideal mengenai masyarakat dalam diskursus para ahli di Barat, terus mengalami kebingungan dan distorsi konseptual ketika pemahaman itu harus diaplikasikan dalam aktifitas masyarakat riil. Walhasil, teori-teori yang dihasilkan oleh ilmu- ilmu sosial pasca renaisans ini terbatas pada wacana yang tidak pernah membumi.

Namun, jauh empat belas abad yang lalu, telah berdiri sebuah masyarakat yang mampu melakukan lompatan besar peradaban dengan berdirinya sebuah komunitas yang bernama Masyarakat Madinah. Transformasi radikal dalam kehidupan individual dan sosial mampu merombak secara total nilai, simbol, dan struktur masyarakat yang telah berakar kuat dengan membentuk sebuah tatanan baru yang berlandaskan pada persamaan dan persaudaraan. Bentuk masyarakat Madinah inilah, yang kemudian ditransliterasikan menjadi “masyarakat madani”, merupakan tipikal ideal mengenai kosepsi sebuah masyarakat Islam.

Gagasan masyarakat madani sudah tentu tidak terbentuk begitu saja dalam format seperti dewasa ini sebagaimana yang kita ketahui. Bahkan pemikiran ini akan masih terus berkembang akibat dari sebuah proses pengaktualisasian yang bergerak dinamis atas konsep tersebut di lapangan. Bangunan wacana masyarakat madani memiliki rentang waktu pembentukan yang sangat panjang sebagai hasil dari akumulasi pemikiran yang akhirnya membentuk pola seperti yang dikenal sekarang ini.

Kemunculan konsep masyarakat madani adalah suatu bukti akan dinamika intelektual muslim dalam usaha memaknai ajaran Islam terkait dengan kehidupan modern, terutama dalam problem politik dan kebangsaan. Konsep masyarakat madani sering dianggap sebagai sebuah alternative untuk mewujudkan pemerintahan yang ideal (good government) dalam suatu Negara.

Sebagai sebuah wacana kefilsafatan, wacana masyarakat madani bisa disejajarkan dengan isu human right dan demokrasi, bahkan dalam pemikiran keislaman tidak kalah hebohnya dengan isu pluralisme yang pada kenyataannya memang berjalan berdampingan dengan isu ini. Semangat beberapa wacana ini adalah pemahaman akan keberadaan hak, baik sebagai individu dan kelompok masyarakat. Serta perlakuan tidak adil yang dirasakan ditengah adanya perbedaan, dan juga penghapusan dominasi yang satu terhadap yang lain.

Di Indonesia sendiri ada beberapa intelektual yang mengusung wacana ini yang pada umumnya mereka dalam beberapa hal berbeda dalam memaknai masyarakat madani namun mereka memiliki keprihatinan yang sama, terutama soal kekuasaan pemerintah yang terlampau kuat. Sementara itu masyarakat madani juga dipahami sebagai lawan dari masyarakat militer, karenanya terkadang dipopulerkan dengan menggunakan istilah “masyarakat sipil ( civil society )”, dan Mansour Fakih adalah diantara tokoh yang menggunakan pendapat ini.2 Kita dapati Indonesia sendiri sebagai contoh kasus, pemikiran seperti ini cukup beralasan karena munculnya wacana masyarakat madani sebagai counter terhadap dominasi ABRI (nama waktu zaman orde baru untuk tentara dan polisi di Indonesia).

Istilah masyarakat madani diterjemahkan dari bahasa Arab mujtama’ madani , yang diperkenalkan oleh Prof. Naquib Al-Attas, seorang ahli sejarah dan peradaban Islam dari Malaysia, pendiri ISTAC.3 Sebagian kalangan menolak untuk menyetarakan istilah masyarakat madani dengan civil society . Karena istilah “masyarakat madani” dan civil society berasal dari dua system budaya yang berbeda. Masyarakat madani berasal dan merujuk pada tradisi Arab-Islam pada zaman nabi Muhammad, sedangkan civil society merujuk pada tradisi Barat non- Islam.

Maka bila dikaitkan dengan konteks asal istilah ini muncul, perbedaan itu bisa menimbulkan makna yang berbeda. Oleh karena itu, pemaknaan lain di luar konteks asalnya akan merusak makna aslinya. Ketidak sesuaian pemaknaan ini akan berdampak pada kelompok masyarakat yang menjadi sasaran aplikasi konsep tersebut, serta para interprener yang akan mengaplikasikannya.

Masyarakat Madinah hasil pembentukan nabi Muhammad secara teoritis mengandung persamaan ( egalitarian ), toleran dan terbuka, begitu juga masyarakat sipil yang berkembang dalam masyarakat Barat, masyarakat sipil Barat berkembang dalam semangat pembebasan ( liberalisme ) sehingga masyarakat yang dihasilkannya pun lebih menekankan peranan individu dan kebebasan individu, namun sementara itu persoalan keadilan sosial dan ekonomi masih belum nyata. Sedangkan dalam masyarakat madani, keadilan adalah merupakan satu pilar utamanya.

Perbedaan lain antara masyarakat madani dan civil society adalah masyarakat madani lahir dari dalam buaian dan asuhan petunjuk Ilahi, sedangkan civil society ialah hasil dari modernitas, sedangkan modernitas merupakan buah dari gerakan renaisans , yaitu sebuah gerakan masyarakat sekuler yang meminggirkan Tuhan. Sehingga civil society mempunyai moral-transendental yang rapuh karena meninggalkan Tuhan. Dengan alasan ini Maarif mendefinisikan masyarakat madani sebagai sebuah masyarakat yang terbuka, egaliter, dan toleran atas landasan nilai-nilai etik-moral transcendental yang bersumber dari wahyu Allah.

Civil society atau masyarakat madani merupakan konsep yang memiliki banyak arti dan sering dimaknai secara berbeda. Namun semua ahli sepakat bahwa harus ada partisipasi yang bersifat sukarela dari sebagian warga masyarakat, tidak termasuk perilaku yang dilakukan karena keterpaksaan. Beberapa ahli juga menyepakati adanya aktivitas politik melalui lembaga-lembaga nonprofit semacam nongovernment organization (NGO).

Sejarah civil society pada awalnya merupakan konsep sekuler karena adanya penentangan ilmuwan pada kekuasaan gereja (yang absolut) di abad pertengahan. Kemudian berlanjut pada lahirnya sikap liberal yang mengakui hakhak individu untuk mengartikulasikan otonomisasi di setiap pilihan-pilihan hidupnya. Akibat adanya sikap liberal ini maka ia membutuhkan ruang umum (public sphere) dan jaminan hukum (law) serta public discourse. Karena itu, berbicara civil – dengan segala variannya – tentu meniscayakan adanya “lahan atau ruang” (sebagai basis kognitif) dan “nilai-nilai” (sebagai basis petunjuk dan harapan), serta tentu saja kesiapan rasional yang argumentatif.

Lahan civil society sendiri dapat berupa negara (law-governed state) atau kesepakatan-kesepakatan rasional masyarakat. Sementara nilai-nilai (values) dapat berasal dari agama (religi), suku (tribal), ras, etnos, ideologi, dan pengetahuan. Tumbuhnya civil society memiliki kaitan yang amat signifikan terhadap tumbuhnya rejim-rejim yang mengusung demokrasi sebagai paham dan ideologinya. Dalam paham demokrasi pemerintah menyediakan kesempatan yang sangat luas kepada semua individu dalam lapangan ekonomi dan seiring dengan meningkatnya kesejahteraan warga negara membuat masyarakat memiliki posisi tawar terhadap kebijakan pemerintah.

Masyarakat madani merupakan masyarakat modern yang bercirikan kebebasan dan demokratis dalam berinteraksi di masyarakat yang semakin plural dan heterogen dalam kondisi seperti ini, masyarakat diharapkan mampu mengorganisasikan dirinya dan tumbuh kesadaran diri untuk mewujudkan peradaban.

Kriteria Civil Society


Beberapa kriteria yang dapat dijadikan parameter untuk merujuk masyarakat madani adalah:

  1. Terpenuhinya kebutuhan dasar individu, keluarga dan kelompok dalam masyarakat
  2. Berkembangnya modal manusia (human capital) dan modal sosial (social capital) yang kondusif bagi terbentuknya kemampuan melaksanakan tugas-tugas kehidupan dan terjalinya kepercayaan dan relasi sosial antar kelompok.
  3. Tidak adanya diskriminasi dalam berbagai bidang pembangunan; dengan kata lain terbukanya akses terhadap berbagai pelayanan sosial.
  4. Adanya hak, kemampuan dan kesempatan bagi masyarakat dan lembagalembaga swadayauntuk terlibat dalam berbagai forum dimana isu-isu kepentingan bersama dan kebijakan publik dapat dikembangkan.
  5. Adanya kohesifitas antar kelompok dalam masyarakat serta tumbuhnya sikap saling menghargai perbedaan antar budaya dan kepercayaan.
  6. Terselenggaranya sistem pemerintahan yang memungkinkan lembagalembaga ekonomi, hukum, dan sosial berjalan secara produktif dan berkeadilan sosial.
  7. Adanya jaminan, kepastian dan kepercayaan antara jaringan-jaringan kemasyarakatan yang memungkinkan terjalinnya hubungan dan komunikasi antar mereka secara teratur, terbuka dan terpercaya.

Masyarakat madani yang hendak diwujudkan antara lain berkarakteristik sebagai berikut:

  1. Masyarakat beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa yang memiliki pemahaman mendalam akan agama serta hidup berdampingan dan saling menghargai perbedaan agama masingmasing.

  2. Masyarakat demokratis dan beradab yang menghargai adanya perbedaan pendapat serta mendahulukan kepentingan bangsa di atas kepentingan individu, kelompok dan golongan.

  3. Masyarakat yang menghargai hak asasi manusia untuk mengeluarkan pendapat, berkumpul, berserikat, hak atas penghidupan yang layak, hak memilih agama, hak atas pendidikan dan pengajaran serta hak untuk memperoleh pelayanan dan perlindungan hukum yang adil.

  4. Masyarakat tertib dan sadar hukum yang direfleksi dari adanya budaya malu bila melanggar hukum.

  5. Masyarakat yang kreatif, mandiri dan percaya diri, memiliki orientasi kuat pada penguasaan ilmu pengetahuan dan tehnologi

  6. Masyarakat yang memiliki semangat kompetitif dalam suasana kooperatif, penuh persaudaraan dengan bangsa-bangsa lain dengan semangat kemanusiaan universal pluralistik.

AS. Hikam mengambil pemikiran Alexis De Tocqueville mengenai ciri-ciri masyarakat madani merumuskan 4 ciri utama dari masyarakat madani yaitu:

  1. Kesukarelaan, yang artinya suatu masyarakat madani bukanlah merupakan suatu masyarakat paksaan atau karena indoktrinasi.

  2. Keswasembadaan, masyarakat tidak tergantung kepada negara, juga tidak tergantung kepada lembaga atau organisasi lain. Setiap anggota masyarakat mempunyai harga diri yang tinggi yang percaya akan kemampuan sendiri untuk berdiri sendiri bahkan untuk dapat membantu sesama yang lain yang kekurangan. Anggota masyarakat bertanggung jawab terhadap dirinya sendiri dan masyarakatnya.

  3. Kemandirian tinggi terhadap negara, negara dianggap sebagai kesepakatan bersama sehingga tanggung jawab lahir dari kesepakatan tersebut adalah juga tuntutan dan tanggungjawab dari masing-masing anggota. Inilah negara yang berkedaulatan rakyat.

  4. Keterikatan pada nilai-nilai hukum yang disepakati bersama, berarti suatu masyarakat madani adalah suatu masyarakat yang berdasarkan hukum dan bukan negara kekuasaan.

Persyaratan Menuju Masyarakat Madani


Gagasan tentang sistem kehidupan masyarakat madani membutuhkan beberapa persyaratan untuk dapat diimplementasikan. Persyaratan yang diperlukan yaitu:

  1. Pertama, pemahaman yang sama (one standard).
  2. Kedua, adanya keyakinan (confidence) dan saling percaya (social trust).
  3. Ketiga, satu kesatuan atau satu hati dan saling tergantung,
  4. keempat, perlu adanya kesamaan pandangan menuju masyarakat madani.

Upaya kerja keras dan daya tahan yang tinggi diperlukan untuk mewujudkan masyarakat madani, untuk menghadapi berbagai kendala dan tantangan yang berhubungan dengan struktur sosial maupun berkaitan dengan keadaan masyarakat Indonesia. Nurcholish Majid menyatakan bahwa keharusan masyarakat untuk ikut mengambil peran dalam mewujudkan masyarakat berperadaban, masyarakat madani di Indonesia, karena terbentuknya merupakan bagian mutlak dari cita-cita kenegaraan yaitu mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Berkaitan dengan upaya perubahan tersebut Jimly Asshiddiqie menawarkan tiga agenda perubahan yaitu:

  1. Agenda Reformasi institusional, yaitu terbentuknya institusi yang kuat dan fungsional;
  2. Reformasi instrumental, yaitu upaya pembaharuan mulai dari konstitusi sampai pada peraturan-peraturan pada tingkat rendah;
  3. Reformasi budaya yang menyangkut orientasi pemikiran, pola-pola perilaku dan tradisi yang berkembang dalam kehidupan masyarakat.

Menurut Jimly ketiga agenda itu sekarang sedang berlangsung tetapi tingkat kecepatan antara satu bidang dengan bidang yang lain tidak sama, disamping itu tidak semua orang memiliki tingkat kesadaran dan pemahaman yang sama. Dari agenda perubahan ini berbagai upaya perlu dilakukan untuk mewujudkan masyarakat madani baik yang bersifat jangka pendek maupun panjang:

  1. Pertama, peluang perubahan jangka pendek menyangkut perubahan pada pemerintahan, politik, ekonomi dan hukum. Sebagaimana tuntutan masyarakat era Reformasi, terciptanya pemerintahan bersih menjadi prasarat untuk tumbuh dan berkembangnya masyarakat madani jelas menuntut performance pemerintahan yang bersih sebagai sebuah pemerintahan yang efisien dan efektif , bersih dan profesional.

  2. Kedua, peluang perubahan jangka panjang bidang kebudayaan dan pendidikan. Reformasi budaya yang menyangkut orientasi pemikiran, polapola perilaku dan tradisi yang berkembang dalam masyarakat perlu dikembangkan dalam rangka mendukung proses pelembagaan dan mekanisme kehidupan kenegaraan yang diidealkan.

    Bidang pendidikan, menyiapkan sumber daya manusia yang berwawasan dan berperilaku madani melalui pendidikan. Konsep masyarakat madani merupakan bagian dari tujuan pendidikan nasional. Sistem pendidikan yang dikembangkan harus mampu membangun komposisi manusia untuk mempersiapkan pendidikan yang lebih baik.

    Pendidikan harus disusun sesuai dengan kondisi lingkungan masyarakat baik masa kini maupun antisipasi masa mendatang. Pembaharuan pendidikan Islam diupayakan untuk memberdayakan potensi umat disesuaikan dengan karakteristik dan kehidupan masyarakat madani, yaitu demokratis, partisipasi sosial yang tinggi dan supremasi hukum.

    Sektor pendidikan memiliki peran strategis dan fungsional dalam membangun masyarakat madani Indonesia. Artinya pendidikan dalam hal ini pendidikan Islam, diupayakan untuk menghasilkan manusia-manusia yang bertaqwa, berkeadaban dan berbudaya demokratis, berkeadilan, egaliteran, menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, mengharagai masyarakat yang mempunyai paham keagamaan yang berbeda-beda, penuh toleransi, partisipasi dan solidaritas sosial, menjunjung tinggi hukum, menegakkan hukum dan peraturan yang berlaku.

Azra (2003) mendefinisikan masyarakat madani sangat bergantung pada kondisi sosio-kultural suatu bangsa, karena bagaimanapun konsep masyarakat madani merupakan bangunan terma yang lahir dari sejarah pergulatan bangsa Eropa Barat. Di Indonesia, terma masyarakat madani mengalami penerjemahan yang berbeda-beda dengan sudut pandang yang berbeda pula.

Anwar Ibrahim (dalam Azra, 2003) menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan masyarakat madani adalah sistem sosial yang subur yang diasaskan kepada prinsip moral yang menjamin keseimbangan antara kebebasan perorangan dengan kestabilan masyarakat. Masyarakat mendorong daya usaha serta inisiatif individu baik dari segi pemikiran, seni, pelaksanaan pemerintahan mengikuti undang-undang dan bukan nafsu atau keinginan individu menjadikan keterdugaan atau predictability serta ketulusan atau transparency sistem.

Sedangkan menurut Hikam (dalam Azra, 2003) pengertian civil society adalah wilayah-wilayah kehidupan sosial yang terorganisir dan bercirikan antara lain kesukarelaan, keswasembadaan, dan keswadayaan, kemandirian tinggi berhadapan dengan negara, dan keterkaitan dengan norma-norma atau nilai-nilai hokum yang diikuti oleh warganya. Kemudian sebagai ruang politik, civil society merupakan suatu wilayah yang menjamin berlangsungnya perilaku, tindakan dan refleksi mandiri, tidak terkungkung oleh kondisi kehidupan material, dan tidak terserap di dalam jaringan-jaringan kelembagaan politik resmi.

Berbagai pengistilahan tentang wacana masyarakat madani di Indonesia tersebut, secara substansial bermuara pada perlunya penguatan masyarakat (warga) dalam sebuah komunitas negara untuk mengimbangi dan mampu mengontrol kebijakan negara yang cenderung memposisikan warga negara sebagai subjek yang lemah.

Karakteristik Masyarakat Madani (Civil Society)


Penyebutan karakteristik masyarakat madani dimaksudkan untuk menjelaskan bahwa dalam merealisasikan wacana masyarakat madani diperlukan prasyaratprasyarat yang menjadi nilai universal dalam penegakan masyarakat madani. Karakteristik tersebut dijelaskan oleh Azra (2003) antara lain sebagai berikut:

  1. Free Public Sphere
    Free public sphere adalah adanya ruang publik yang bebas sebagai sarana dalam mengemukakan pendapat. Pada ruang publik yang bebaslah individu dalam posisinya yang setara mampu melakukan transaksi-transaksi wacana dan praksis politik tanpa mengalami distorsi dan kekhawatiran.

  2. Demokratis
    Demokratis merupakan satu entitas yang menjadi penegak wacana masyarakat madani, dimana dalam menjalani kehidupan, warga negara memiliki kebebasab penuh untuk menjalankan aktivitas kesehariannya, termasuk dalam berinteraksi dengan lingkungannya. Demokratis berarti masyarakat dapat berlaku santun dalam pola hubungan interaksi dengan masyarakat sekitarnya dengan tidak mempertimbangkan suku, ras dan agama.

  3. Toleran
    Toleran merupakan sikap yang dikembangkan dalam masyarakat madani untuk menunjukkan sikap saling menghargai dan menghormati aktivitas yang dilakukan oleh orang lain. Toleransi ini memungkinkan akan adanya kesadaran masing-masing individu untuk menghargai dan menghormati pendapat serta aktivitas yang dilakukan oleh kelompok masyarakat lain yang berbeda.

  4. Pluralisme
    Menurut Madjid (dalam Azra, 2003), konsep pluralisme ini merupakan prasyarat bagi tegaknya masyarakat madani. Pluralisme menurutnya adalah pertalian sejati kebhinekaan dalam ikatan-ikatan keadaban. Bahkan pluralisme adalah juga suatu keharusan bagi keselamatan umat manusia antara lain melalui mekanisme pengawasan dan pengimbangan.

  5. Keadilan Sosial (Social Justice)
    Keadilan dimaksudkan untuk menyebutkan keseimbangan dan pembagian yang proporsional terhadap hak dan kewajiban setiap warga negara yang mencakup seluruh aspek kehidupan. Hal ini memungkinkan tidak adanya monopoli dan pemusatan salah satu aspek kehidupan pada suatu kelompok masyarakat. Secara esensial, masyarakat memiliki hak yang sama dalam memperoleh kebijakankebijakan yang ditetapkan oleh pemerintah.

Peran Civil Society dalam Good Governance

Dalam praktek governance dijelaskan dalam World Bank (dalam Endarti, 2005), peran masyarakat sama penting dan sejajar dengan peran pemerintah dan sektor swasta dalam pembuatan keputusan dan penyelenggaraan pelayanan publik. Dengan demikian partisipasi masyarakat merupakan salah satu dari karekteristik penting dalam praktek governance.

Partisipasi dimaknai sebagai keterlibatan masyarakat yaitu sebuah proses dimana para stakeholders sebagai partisipan saling mempengaruhi dan berbagi kontrol atas inisiatif pembangunan, keputusan, dan juga sumberdaya yang akan mempengaruhi mereka. Partisipan bukanlah aktor tunggal melainkan dapat dibagi dalam stakeholders dalam entitas pemerintahan nasional, seperti menteri, parlemen, dan juga agen sektor publik di level sub-nasional, yaitu pemerintahan kabupaten, DPRD, dan sebagainya. Selain itu yang perlu ditekankan disini adalah partisipasi dari aktoraktor di luar pemerintahan dan sektor swasta yang sudah dibahas di atas.

Partisipasi masyarakat sebagai pilar utama demokrasi sangat dibutuhkan dalam menjalankan good governance. Sedangkan untuk menuju demokrasi menurut Thoha (dalam Endarti, 2005) perlu terlebih dahulu dibangun civil society atau masyarakat madani. Dimana dengan adanya kekuatan civil society ini berarti negara telah berhasil melakukan pemberdayaan kepada rakyat, dan telah ada pengakuan atas hubungan yang erat antara kekuatan pemerintah, kekuatan rakyat sipil, dan kekuatan sektor privat.

Berdasarkan penjelasan diatas maka dapat disimpulkan bahwa peran masyarakat sama pentingnya dengan peran pemerintah dan swasta. Untuk mewujudkan demokrasi maka dibangunlah civil society atau masyarakat madani, dalam bentuk Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM).