Apakah yang dimaksud dengan liberalisme?

Penganut paham liberal menganggap bahwa realisme tidaklah efektif untuk dijadikan sebagai perspektif Hubungan Internasional. Menurutnya, realisme terlalu berpikiran sempit menganggap aktor-aktor lain adalah musuh atau ancamannya.

Baik kedaulatan dan hubungan internasional dapat dicapai melalui cara damai tanpa harus menimbulkan konflik dan perang. Masyarakat internasional mengkritik realisme sebagai teori hubungan internasional yang fokusnya terlalu sempit dan gagal menangkap perluasan politik internasional yang merupakan perspektif-perspektif hubungan internasional yang berbeda.

Salah satu kritik emansipatoris, Ken Booth (1991), menyatakan bahwa permainan kaum realis tentang politik kekuatan dan strategi militer sekarang sudah kuno sebab keamanan sekarang merupakan masalah lokal di dalam negara yang tidak terorganisasi dan lemah. Dapat diketahui bahwa penindasan-penindasan yang dilakukan oleh negara besar terhadap negara kecil sudah lebih dari sekedar paham realisme.

Walaupun dengan alasan penindasan itu untuk kebaikan negaranya sendiri, tetap saja kaum liberalis menganggap segala sesuatu dapat diselesaikan dengan damai. Apabila dibandingkan keduanya memiliki tradisi yang sangat berkebalikan.

Asumsi-asumsi dasar liberal adalah

  1. pandangan positif tentang sifat manusia;
  2. keyakinan bahwa hubungan internasional dapat bersifat kooperatif daripada konfliktual;
  3. percaya terhadap kemajuan (Jack & Sorensen, 1999).

Pola pikir liberalisme internasional

Beberapa pola pikir konstituen utama dari liberalisme menurut Tim Dunne (1999) yang pertama adalah liberalisme internasional yang berfokus pada tatanan alam yang mendukung masyarakat. Filsuf Skotlandia, Adam Smith memperjelas statement ini sebagai individu yang dengan mengejar self-interest mereka sendiri, secara tidak langsung individu-individu tersebut telah mempromosikan kebaikan bersama (n.d.).

Walaupun Smith percaya bahwa harmoni alam antara individu dengan negara tidaklah menyalurkan harmoni antara negara-negara (Wyatt-Walter, 1996).

Jadi inti dari ide liberalisme internasional adalah ada pada menciptakan harmoni alam dari kepentingan-kepentingan dalam politik internasional.

Pola pikir idealisme

Pola pikir yang kedua adalah idealisme. Seperti liberalisme internasional, idealisme juga dimotivasi oleh keinginan untuk mencegah terjadinya perang. Idealis, seperti J. A. Hobson, berpendapat bahwa imperialisme barat-lah yang menyebabkan konflik dalam politik internasional.

Bagi Hobson, imperialisme lahir dari konsumsi rendah dalam negara-negara maju kapitalis (Dunne, 1999).

Dari kasus-kasus diatas membuat negara-negara mencari keuntungan di luar negeri yang mana secara tidak langsung akan membawa ke berbagai bentuk kompetisi dan berakhir pada peperangan.

Idealisme berbeda dengan keyakinan tentang pentingnya untuk membangun tatanan internasional. Idealis berkebalikan dengan internasionalis yang mana kemerdekaan negara adalah bagian dari problema hubungan internasional dan bukanlah bagian dari solusi.

Inti dari pola pikir idealis adalah pembentukan organisasi internasional untuk memfasilitasi perubahan perdamaian, gencatan senjata, arbitrasi, dan paksaan (jika diperlukan).

Sebagai hasil dari pemikiran idealis adalah terbentuknya Liga Bangsa-Bangsa (LBB). Dan akhir dari pemikiran idealisme seiring berakhir dengan berkahirnya Liga Bangsa-Bangsa (LBB).

Pla pikir liberalisme institusional

Yang ketiga adalah liberalisme institusional. Menurut penganut pola pikir liberalisme institusional, dibentuknya organisasi internasional di dunia adalah perlu karena dengan hal tersebut, masyarakat internasional akan lebih teratur dan hidup dengan damai.

Dengan adanya organisasi internasional, otomatis disana akan tercipta bentuk kerjasama internasional pula. Seperti apa yang disampaikan oleh beberapa filsuf, institusi internasional lebih dari sekedar ciptaan negara kuat, melainkan kepentingan yang independen, dan mereka dapat memajukan kerjasama antara negara-negara (Keohane, 1989; Young, 1989; Rittberger, 1993; Levy et. al, 1995).

Paham liberalisme institusional pada dasarnya berfungsi memajukan kerjasama internasional dan mengurangi masalah-masalah yang berkaitan dengan ketidak-percayaan negara satu dengan yang lain melalui kerjasama.

Liberalisme memiliki pesaing utama yaitu neorealisme. Bisa diketahui bahwa keduanya memiliki perbedaan yang signifikan. Pada paham liberalisme aktor lebih bersifat optimis dan terbuka, sebaliknya dengan neorealisme mereka lebih pesimis dan tertutup.

  • Perdebatan utama antara kaum liberalis dan realis sebenarnya terletak pada sekitar Perang Dingin Kedua, berkenaan dengan sifat manusia. Dimana kaum liberalis lebih bersifat memandang positif terhadap sifat manusia dan tidak dengan realis (Jackson & Sorensen, 1999).

    Pandangan yang berbeda mengenai sifat manusia ini kemudian memisahkan liberalis dengan realis. Kemudian perdebatan mengenai sifat manusia ditinggalkan karena sangat disadari sifat manusia sangat kompleks, tidak bisa dengan mudah ditebak.

  • Penyebab yang kedua, ada pengaruh dari gerakan behavioral dalam ilmu politik dimana pengaruh tersebut menyebabkan para penstudi menjauhi studi tentang tindakan manusia (Jackson & Sorensen, 1999).

    Beberapa bentuk ketidaksetujuan atau kritik kaum realis terhadap paham liberalis adalah ketika negara-negara menjalin kerjasama melalui institusi, beberapa negara masih melakukannya atas dasar kepentingannya sendiri. Selain itu, menurut kaum neorealis anarki tidak dapat dihilangkan. Dan sepanjang anarki berlaku, tidak ada jalan melepaskan diri dari self-helping dan dilema keamanan. Dalam kata lain, optimisme kaum liberalis tidaklah terjamin.

Sumber

Pada tahun 1950-an, Eric Havelock berpendapat bahwa batas kata liberal yang digunakan dalam konteks politik cukup luas untuk diberikan kepadasekelompok ahli teori politik Yunani Kuno, sebagaimana yang ia sebutkan dalam bukunya The Liberal Temper in Greek Politics. Sejarawan Amerika lainnya, J. Salwyn Schapiro, mengakui bahwa Socrates tidak memiliki gagasan tentang apa itu yang disebut ‘hak alami’ dari setiap individu. Namun tetap menggambarkannya sebagai liberalis terkemuka di zaman kuno. Dibalik asumsi-asumsi tersebut, banyak juga penentangan ihwal awal mulam unculnya liberalisme dari zaman Yunani dan Romawi Kuno. Karena pada dasarnya demokrasi dan liberalisme adalah dua konsep yang berbeda

Sebagaimana seperti argumen yang dikemukakan oleh Alan Ryan (2012) yang menentang argumen sebelumnya yang menyatakan bahwa liberalisme mulai dari zaman Yunani dan Romawi Kuno. Tidak ada alasan politik mengapa liberalisme bisa tidak muncul di Athena pada abad ke-4 SM, tetapi agama dan etnis di Yunani sangatlah berbeda. Di lain kata, liberalisme membutuhkan intelektual dan moral tertentu. Prospek konseptualisasi masalah morl dan politik tidak ada dalam kehidupan zaman Kuno, tetapi mereka juga tidak membutuhkan struktur sosial, ekonomi, maupun politik.

Di balik perdebatan panjang atas bagaimana tonggak awal kemunculan liberalisme, perlu diketahui bahwa liberalisme lahir bukan diciptakan oleh golongan pedagang dan industri, melainkan lahir dari golongan intelektual atas keresahan ilmiah dan artistik umum pada abad pertengahan (Subakti, 1992).

Keresahan tersebut disambut baik oleh golongan pedagang, bahkan hal tersebut digunakan sebagai tuntutan politik untuk golongan kerajaan-gereja agar tidak terlalu mengekang kebebasan bereskpresi. Tuntutan ini bukan semata-mata untuk menjalankan kehidupan secara bebas, tetapi juga agar membuka akses lebih lebar dalam mencari keuntungan. Adapun tokoh-tokoh liberalisme yang terkenal seperti John Locke,Rousseau, Montesquieu, John Stuart Mill.

Elemen Utama Liberalisme


Dalam membahas Liberalisme, kita tidak hanya perlu tau apa yang dimaksud dengan ideologi tersebut namun kita harus mengetahui pembahasan apa yang dinilai fundamental dalam ideologi ini dan gagasan yang megarahkan kemajuannya.

  • Kebebasan Sipil /Civil Liberty.
    Hal pertama yang dikritisi oleh Liberalisme ialah pemerintahan yang dinilai sewenang-wenang, sehingga kebebasan yang harus diusung pertama ialah hak untuk diperlakukan sesuai hukum yang ada. Hal ini dinilai krusial karena sebelumnya, struktur pemerintahan monarki di Eropa yang terkadang membuat kekuasaan mereka Arbitary, sehingga solusi yang dinilai terbaik ialah adanya hukum yang telah mengatur hukuman untuk setiap pelanggaran yang dilakukan,ketimbang pembuatan persekusi dan siksaan oleh para penguasa (dalam konteks ini Raja sebagai pemimpin negara). Hal ini pertama kali disusung oleh Parlemen Inggris pada abad ke-17 (Hobhouse, 1991), dimana Kebabasan dan unsur Liberty pertama dimuat didalam Petition of Right dan nantinya pada Habeas Corpus Act. Sehingga langkah awal menuju argumen"kebebasan" pada realitanya ialah tuntutan adanya sebuah hukum. Hal ini tentunya merupakan simbol dari kebebasan universal, yaitu adanya pembatasan, karena tanpa adanya fondasi dari pembatasan untuk manusia, akan timbulnya ketidakadilan dimana seseorang dapat menjadi bebas bertindak semaunya karena memiliki kekuasaan yang arbitary.

  • Kebebasan Fiskal
    Setelah revolusi Prancis, penarikan pajak menjadi topik utama dalam menuju kebebasan/Liberalisme. Dalam mengusung kebebasan fiskal ini tentu saja tidak segampang dalam merumuskan suatu hal yang eksak seperti hukum, dimana kebijakan hukum dapat bersifat universal tanpa perlu diganti, kebijakan yang berhubungan dengan permasalahan pajak dan dalam konteks ini fiskal, tidak dapat diterapkan hal yang sama, dan harus bersifat dinamis. Sehingga konsep Liberalisme pada akhirnya memiliki konklusi bahwa dalam mengusung kebebasan harus adanya pembatasan kekuasaan Eksekutif dimana urusan taksasi ini harus ada representasi yang mengatur, sehingga pada akhirnya kebebasa fiskal ini berkembang menjadi kebebasan politik pada abad ke-17.

  • Kebebasan Individual
    Kebebasan individual ini megacu kepada kebebasan individu dalam memeluk agama, berbicara, menulis, dan kebebasan lainnya yang ada dan berkaitan dengan individu itu sendiri, hal ini diartikan sebagai kebebasan individu tersebut dalam mengutarakan isi dari pikirannya sendiri. Tentunya dalam menerapkan kebebasan individual setiap manusia memiliki batasan dimana dalam menerapkan kebebasannya ia tak boleh menganggu-gugat kebebasan orang lain, sehingga tidak menimbulkan polemik pada kebebasan sipil yang diatur oleh hukum.

  • Kebebasan Ekonomi
    Kebebasan Ekonomi ini mulai terancam ketika era Indsutrialisasi, dimana sturktur ekonomi yang berkembang ialah pekerja dan pemilik modal, struktur ini dapat mengancam para pekerja yang dalam teori posisinya lebih lemah karena ia bergantung secara ekonomi kepada pekerjaan itu, sehingga tidak memiiki “kebebasan” karena terbatas oleh kontrak, namun para simpatis liberal memiliki argumen bahwa dengan adanya kontrak, timbul pula kebebasan untuk berasosiasi selama asosiasi tersebut tidak merugikan pihak tertentu.

  • Kebebasan Domestik
    Dalam kehidupan domestik, liberalisme pada dasarnya menerapkan konsep anti arbitary kedalam kehidupan rumah tangga, dimana ia memprevensi kedudukan sang suami atau kepala rumah tangga yang sewenang-wenang dan berpotensimengancam kebebasan individual dan well being keluarganya, dalam hal iniLiberalisme menekankan beberapa poin:

    • Kedudukan istri dalam rumah tangga ialah sebagai seseorang yang memiliki kebebasan dan responsibilitas selayaknya seorang manusia dewasa, yang berhak memiliki properti individu, menuntut dan dintuntut, memiliki bisnis individu, dan memiliki perlindungan hukum terhadap
      suaminya.

    • Melihat pernikahan sebagai contractual agreement sesuai dengan hukum yang berlaku, dan hanya meihat aspek spiritual hanya dari perspektifagama pelaku saja (menjadikannya personal)

    • Menjamin kesehatan fisik dan mental anak dengan adanya sanksi untukorang tua yang melakukan neglect dan/ kekerasan terhadap anak.

Istilah “liberalisme”, berasal dari kata latin “liber” yang berarti “ bebas”, awalnya merujuk pada falsafah kebebasan. Secara umum, istilah ‘liberal’ ini ada, semata-mata untuk menjelaskan gerakan politik dan intelektual luar biasa ini” yang telah mendorong terciptanya peradaban modern melalui kebebasan individu, pembangunan ekonomi pasar bebas, dan pembatasan peran pemerintah. Namun, dalam perkembangan sejarahnya, “liberalisme” berubah arti sama sekali, dengan menyatakan bahwa perlunya campur tangan pemerintah didalam perekonomian. Menurut penulis sendiri “Liberalisme” adalah paham yang mewujudkan modernisasi didalam pembangunan yang siklus sejarahnya dalam pembangunan dimulai melalui kebebasan individu, ekonomi pasar bebas, pembatasan peran pemerintah, dan campur tangan pemerintah didalam pembangunan demi mewujudkan kesejahteraan melalui perekonomian.

Ada dua macam liberalisme, yakni liberalisme klasik dan liberalisme modern. Liberalisme klasik timbul pada awal abad ke -16. Sedangkan liberalisme modern mulai muncul sejak abad ke – 20. Pembedaan versi liberalisme klasik dan versi modern muncul dalam hubungannya yang terkait pada prinsip-prinsip liberalisme yang dibawakan oleh tokoh-tokoh liberalisme klasik dan tokoh liberalisme modern.

Dalam perkembangannya, ada dua corak liberalisme, liberalisme yang dipelopori oleh John Locke dan liberalisme yang dipelopori oleh Jean Jacques Rousseau. John Locke berpendapat bahwa kebebasan yang menjadi nilai dasar liberalisme dipahami sebagai ketidakhadiran intervensi eksternal dalam aktivitasaktivitas individu. Kebebasan adalah hak properti privat. Karenanya, pemerintah bersifat terbatas (minimal) terhadap kehidupan warganya. Untuk itu harus ada aturan hukum yang jelas dan lengkap dalam menjamin kebebasan sebagai hak properti privat ini. Corak liberalisme ini kemudian mendasari dan menginspirasi munculnya libertarianisme yang dipelopori oleh Alexis de Tocqueville, Friedrich von Hayek dan Robert Nozick.

Di sisi lain Rousseau berpendapat bahwa pemerintah harus tetap berfungsi menjamin terlaksananya kebebasan individu dalam masyarakat. Corak liberalisme ini selanjutnya mendasari dan menginspirasi munculnya liberalisme egalitarian, dengan tokohnya antara lain John Rawls dan Ronald Dworkin. Liberalisme ini berusaha menyatukan ide kebebasan dan kesamaan individu dalam masyarakat. Pemerintah dibutuhkan untuk meredistribusikan nilainilai sosial dalam melaksanakan dan mencapai kebebasan dan kesamaan individu-individu dalam masyarakat.

Paham liberalisme menitikberatkan pada kebebasan individu, dimana masyarakat menolak adanya pembatasan baik oleh agama maupun pemerintahan. Akan tetapi kebebasan tersebut tetap harus dapat dipertanggungjawabkan. Adanya kebebasan individu di liberalisme ini membantu masyarakat dalam mengembangkan ide. Perbedaan ide yang ada memunculkan kemajemukan di masyarakat. Oleh karena itu, masyarakat dengan ide yang sama akan berkumpul menjadi satu membentuk sebuah komunitas. Berbagai komunitas yang muncul ini menimbulkan adanya kontrak sosial dalam masyarakat. Hal itu harus diimbangi dengan sikap pluralisme agar tumbuh rasa saling menghargai antara satu sama lain.

Liberalisme memandang perang sebagai bentuk pemerintahan yang tidak demokratis, militeristik dan untuk kepentingan para penguasa sendiri. Perang dimulai oleh kelas militer untuk memperluas kekuasaan dan kekayaan melalui penaklukan wilayah. Menurut Brurchill, untuk mengatasi hal tersebut maka diperlukannya system pemerintahan yang demokrasi dan perdagangan bebas. Proses dan lembaga demokrasi akan memutuskan kekuasaan elit penguasa dan mencegah kecenderungan mereka menggunakan kekerasan. Perdagangan bebas akan membantu dalam mengatasi masalah ekonomi dan menyatukan masyarakat dalam suatu komunitas (Burchill, 2009). Dalam penelitian ini, penulis akan fokus dalam membahas liberalisme politik yang menekankan hubungan kerjasama dan demokrasi. Liberalisme memiliki tiga bentuk (Dunne, 2001), yaitu:

  • Liberal institusionalisme: pentingnya peran aktor non negara yang plural seperti Multi National Cooperation (MNC), Non Goverment Organization (NGO), International Non Goverment Organization (INGO). Para aktor ini berperan dalam meningkatkan interaksi antar negara melalui integrasi dan kerjasama.
  • Liberal internasionalisme: berfokus pada ketergantungan ekonomi yang dapat menciptakan kesejahteraan dalam masyarakat.
  • Idealisme: perdamaian dunia bukan merupakan sesuatu yang terjadi secara natural. Perdamaian dapat dicapai melalui perjuangan dan proses collective security.

Liberalisme percaya terhadap kapasitas umat manusia untuk memecahkan masalah melalu tindakan kolektif. Lebih lanjut lagi menurut idealis, perdamaian dan keamanan mengarahkan tindakan kolektif yang ditujukan negara agresif untuk menghalangi maupun menghentikannya. Ketidakamanan menjadi penyebab perang seperti yang terjadi di Myanmar. Maka dari itu perdamaian dapat tercipta melalui adanya kerjasama antara Indonesia dan Myanmar.

Konsep otonomi individu dalam pandangan liberalisme tidak hanya berupa kebebasan individu dalam bertindak dan memilih cara hidup yang baik. Namun, juga untuk mengkritisi, merevisi dan bahkan meninggalkan nilai dan cara hidup yang telah dipilihnya. Karena menurut liberalisme, siapa pun dapat keliru dalam pilihan hidupnya. Tindakan seperti ini bebas dilakukan oleh siapa pun jika nilai dan pilihan hidupnya semula tidak lagi tampak berharga untuk dikejar dan tidak lagi sesuai dengan nilai yang mereka yakini saat ini. Dengan demikian, otonomi individu tidak harus ditundukkan oleh keanggotaannya pada suatu kelompok, seperti kelompok agama, etnis dan sebagainya. Mereka bebas untuk tetap berada atau menarik diri dari kelompoknya.

Setiap orang bebas memilih konsep tentang hidup yang baik, meskipun sangat berbeda dengan nilai dan pilihan hidup anggota komunitas yang lain. Namun, konsep tersebut tidak boleh melanggar prinsip keadilan. Orang-orang dengan konsep hidup yang berbeda-beda akan saling menghormati, bukan karena hal ini mempromosikan satu cara hidup bersama. Namun, karena mereka mengakui bahwa tiap-tiap orang memiliki klaim pertimbangan yang sama. Tidak ada tugas khusus yang ditetapkan komunitas terhadap individu. Tidak ada kelompok atau praktek sosial tertentu yang memiliki kewenangan di luar penilaian dan kemungkinan penolakan individu. Tidak ada yang “ditetapkan untuk seseorang” atau tidak ada yang berwewenang memberikan penilaian terhadap seseorang selain nilai yang ditetapkan oleh orang tersebut.

Referensi:

Kekes, John, 1997, Against Liberalism , Cornell University Press, N.York

Kymlicka, Will, 1992, Liberalism, Community and Culture , Clarendon Press, Oxford

Ridha Aida. 2005. Liberalisme dan Komunitarianisme: Konsep tentang Individu dan Komunitas. Jurnal Demokrasi Vol. iv No. 2

Liberalisme merupakan paradigma berfikir dan kebudayaan yang tengah menjadi mainstream dunia. Dimana atmosfir pemikiran maupun konstelasi kemanusiaan kontemporer didominasi paradigma liberal ini. Berbagai perubahan yang melahirkan idiom-idiom global, seperti kebebasan pers, pasar bebas, serta demokrasi, nampaknya tidak dapat dilepaskan dari liberalisme sebagai titik tolaknya. Idiom-idiom tersebut secara imperatif memaksakan perubahan di berbagai kawasan dunia, tidak hanya dalam hal tatanan politik dan ekonomi, melainkan juga pada budaya, bahkan agama sekalipun.

Liberalisme muncul karena adanya kebutuhan setiap individu di Barat membentuk tata nilai yang mengatur diri mereka sendiri, sebagai dampak atas perkembangan kesadaran humanistik yang menempatkan manusia sebagai pusat semesta intelektual. Hak-hak eksklusif kelompok tertentu sebagai pemegang otoritas kekuasaan untuk menentukan berbagai kebijakan dan tata aturan yang diwariskan secara turun-temurun digugat meski mengatasnamakan Tuhan. Ini dikarenakan adanya kebutuhan setiap individu untuk ikut serta membentuk tata aturan dan nilai yang mengatur diri mereka sendiri (Tolchah, 2016).

Kata-kata liberal diambil dari bahasa Latin liber artinya bebas dan bukan budak atau suatu keadaan dimana seseorang itu bebas dari kepemilikan orang lain. Makna bebas kemudian menjadi sebuah sikap kelas masyarakat terpelajar di Barat yang membuka pintu kebebasan berfikir ( The old Liberalism ). Dari makna kebebasan berfikir inilah kata liberal berkembang sehingga mempunyai berbagai makna.

Secara politis liberalisme adalah ideologi politik yang berpusat pada individu, dianggap sebagai memiliki hak dalam pemerintahan, termasuk persamaan hak dihormati, hak berekspresi dan bertindak serta bebas dari ikatan-ikatan agama dan ideologi (Simon Blackburn, Oxford Dictionary of Philosophy ). Dalam konteks sosial liberalisme diartikan sebagai adalah suatu etika sosial yang membela kebebasan ( liberty ) dan persamaan ( equality ) secara umum (Coady, C. A. J. Distributive Justice ). Menurut Alonzo L. Hamby, PhD, Profesor Sejarah di Universitas Ohio, liberalisme adalah paham ekonomi dan politik yang menekankan pada kebebasan (freedom), persamaan ( equality ), dan kesempatan ( opportunity ) (Brinkley, Alan. Liberalism and Its Discontents ).

Sejarahnya paham liberalisme ini berasal dari Yunani kuno, salah satu elemen terpenting peradaban Barat. Namun, perkembangan awalnya terjadi sekitar tahun 1215, ketika Raja John di Inggris mengeluarkan Magna Charta , dokumen yang mencatat beberapa hak yang diberikan raja kepada bangsawan bawahan. Charta ini secara otomatis telah membatasi kekuasaan Raja John sendiri dan dianggap sebagai bentuk liberalisme awal ( early liberalism ).

Perkembangan liberalisme selanjutnya ditandai oleh revolusi tak berdarah yang terjadi pada tahun 1688 yang kemudian dikenal dengan sebutan The Glorious Revolution of 1688 . Revolusi ini berhasil menurunkan Raja James II dari England dan Ireland (James VII) dari Scotland) serta mengangkat William II dan Mary II sebagai raja. Setahun setelah revolusi ini, parlemen Inggris menyetujui sebuah undang-undang hak rakyat ( Bill of Right ) yang memuat penghapusan beberapa kekuasaan raja dan jaminan terhadap hak-hak dasar dan kebebasan masyarakat Inggris. Pada saat bersamaan, seorang filosof Inggris, John Locke, mengajarkan bahwa setiap orang terlahir dengan hak-hak dasar ( natural right ) yang tidak boleh dirampas. Hak-hak dasar itu meliputi hak untuk hidup, hak untuk memiliki sesuatu, kebebasan membuat opini, beragama, dan berbicara. Di dalam bukunya, Two Treatises of Government (1690), John Locke menyatakan, pemerintah memiliki tugas utama untuk menjamin hak-hak dasar tersebut, dan jika ia tidak menjaga hak-hak dasar itu, rakyat memiliki hak untuk melakukan revolusi.

Singkatnya pada abad ke 20 setelah berakhirnya perang dunia pertama pada tahun 1918, beberapa negara Eropa menerapkan prinsip pemerintahan demokrasi. Hak kaum perempuan untuk menyampaikan pendapat dan aspirasi di dalam pemerintahan diberikan. Menjelang tahun 1930-an, liberalisme mulai berkembang tidak hanya meliputi kebebasan berpolitik saja, tetapi juga mencakup kebebasan-kebebasan di bidang lainnya; misalnya ekonomi, sosial, dan lain sebagainya. Tahun 1941, Presiden Franklin D. Roosevelt mendeklarasikan empat kebebasan, yakni kebebasan untuk berbicara dan menyatakan pendapat ( freedom of speech ), kebebasan beragama ( freedom of religion ), kebebasan dari kemelaratan ( freedom from want ), dan kebebasan dari ketakutan ( freedom from fear ). Pada tahun 1948, PBB mengeluarkan Universal Declaration of Human Rights yang menetapkan sejumlah hak ekonomi dan sosial, di samping hak politik.

Jika ditilik dari perkembangannya liberalisme secara umum memiliki dua aliran utama yang saling bersaing dalam menggunakan sebutan liberal. Yang pertama adalah liberal klasik atau early liberalism yang kemudian menjadi liberal ekonomi yang menekankan pada kebebasan dalam usaha individu, dalam hak memiliki kekayaan, dalam kebijakan ekonomi dan kebebasan melakukan kontrak serta menentang sistim welfare state . Yang kedua adalah liberal sosial . Aliran ini menekankan peran negara yang lebih besar untuk membela hak-hak individu (dalam pengertian yang luas), seringkali dalam bentuk hukum anti-diskriminasi.

Selain kedua tren liberalisme diatas yang menekankan pada hak-hak ekonomi dan politik dan sosial terdapat liberalisme dalam bidang pemikiran termasuk pemikiran keagamaan. Liberal dalam konteks kebebasan intelektual berarti independen secara intelektual, berfikiran luas, terus terang, dan terbuka. Kebebasan intelektual adalah aspek yang paling mendasar dari liberalisme sosial dan politik atau dapat pula disebut sisi lain dari liberalisme sosial dan politik. Kelahiran dan perkembangannya di Barat terjadi pada akhir abad ke 18, namun akar-akarnya dapat dilacak seabad sebelumnya (abad ke 17). Di saat itu dunia Barat terobsesi untuk membebaskan diri mereka dalam bidang intelektual, keagamaan, politik dan ekonomi dari tatanan moral, supernatural dan bahkan Tuhan.

Pada saat terjadi Revolusi Perancis tahun (1789) kebebasan mutlak dalam pemikiran, agama, etika, kepecayaan, berbicara, pers dan politik sudah dicanangkan. Prinsip-prinsip Revolusi Perancis itu bahkan dianggap sebagai Magna Charta liberalisme. Konsekuensinya adalah penghapusan Hak-hak Tuhan dan segala otoritas yang diperoleh dari Tuhan; penyingkiran agama dari kehidupan publik dan menjadinya bersifat individual. Selain itu agama Kristen dan Gereja harus dihindarkan agar tidak menjadi lembaga hukum ataupun sosial. Ciri liberalisme pemikiran dan keagamaan yang paling menonjol adalah pengingkaran terhadap semua otoritas yang sesungguhnya, sebab otoritas dalam pandangan liberal menunjukkan adanya kekuatan diluar dan diatas manusia yang mengikatnya secara moral. Ini sejalan dengan doktrin nihilisme yang merupakan ciri khas pandangan hidup Barat postmodern yang telah disebutkan diatas.

Kelebihan ideologi liberal:

  1. Mendorong masyarakat untuk terus berkembang dan berkretivitas, sebab tidak adanya batasan antar individu.
  2. Setiap manusia memiliki hak yang sama, baik dalam bidang sosial, politik, ekonomi, agama maupun budaya
  3. Adanya persaingan antar individu, sehingga individu tersebut dapat berkembanga dengan baik dan dapat menghasilkan produk-produk yang berkualitas tinggi.
  4. Tidak adanya paksaan dalam memilih atau mengikuti partai politik yang ada di negara tersebut.
  5. Dalam bidang ekonomi sangat maju, karena di negara yang menganut ideologi liberalisme ini mengedepankan untuk mencari sebuah keuntungan.

Kekurangan ideologi liberal:

  1. Seorang individu yang memiliki modal lebih banyak cenderung menguasai negara, maka dari itu akan berakibat adanya kesenjangan antara yang miskin dan kaya. Dalam arti lain, yang kaya semakin kaya, yang miskin akan semakin miskin.
  2. Memunculkan adanya kelompok masyarakat yang menganggap dirinya lebih tinggi dari kelompok lainnya.
  3. Adanya pers yang dilakukan oleh pihak swasta, yang menyebabkan pemerintahan sulit untuk melakukan pembatasan dan pengontrolan. Dimana pers sebagai media masa dan media komunikasi yang sangat efektif untuk medukung misi dan kepentigan mereka.
  4. Pemerintah sulit dalam melakukan pemerataan pendapatan, dikarenakan adanya persaingan yang bersifat bebas. Sehingga akan menyebabkan orang yang memiliki modal akan memiliki pendapatan yang besar dan golongan pekerja hanya memiliki pendapatan kecil.
  5. Adanya monopili yang dilakukan oleh orang kaya terhadap orang kecil atau miskin yang dapat merugikan masyarakat kecil

Ciri-ciri ideologi liberal/liberalisme

Pada masa kini, liberalisme dianggap dapat tumbuh dalam sistem pemerintahan demokrasi, karena dalam sistem demokrasi juga mementingkan kebebasa individu walaupun kebebasan tersebut tidak seperti liberalisme. Liberalisme memiliki ciri-ciri sebagai berikut:

  1. Adanya beberapa kewajiban dan hak yang bersifat mutlak dan tidak bisa dilanggar oleh kekuasaan apapun.
  2. Anggota masyarakat memiliki kebebasan intelektual yang meliputi kebebasan berbicara, kebebasan beragama, dan kebebasan pers.
  3. Pemerintah hanya dapat mengatur sebagian kehidupan masyarakat, sehingga masyarakat dapat belajar banyak membuat keputusan dalam kehidupan masing-masing.
  4. Kekuasaan dari seseorang terhadap orang lain merupakan hal yang buruk, sehingga dalam paham ini tidak boleh adanya perbudakan.
  5. Negara dikatakan sejahtera apabila semua masyarakat atau sebagian besar masyarakatnya merasa berbahagia.

Sumber:

Tolchah, Moch. 2016. Pendidikan dan Faham Liberalisme. Jurnal At-Ta’dib . 3:(2). 163-178.