Apakah yang dimaksud dengan Karbon dioksida?

Karbondioksida

Setiap makhluk didunia ini nebgeluarkan gas Co2 sebagai hasil samping pernapasannya. Apakah yang dimaksud dengan Karbon dioksida?

Konsentrasi gas karbon dioksida (CO2) telah meningkat sejak awal Revolusi Industri, asap dari hasil pembakaran oleh mesin-mesin industri menyebabkan polusi di udara sehingga meningkatkan gas CO2 di atmosfer (Miller, 2009; Rizki, Bintoro, & Hilmanto, 2016; Samiaji, 2011). Menurut Miller (2009); Samiaji (2011) konsentrasi gas CO2 di era pra-industri adalah sebesar 278 ppm, sedangkan pada tahun 2005 sebesar 379 ppm. Menurut (Indrawati, Hermawan, & Huboyo, 2015) tingginya pola konsumsi dan pertumbuhan ekonomi di era saat ini akan menyebabkan konsentrasi CO2 di atmosfer meningkat dua kali lipat dalam kurun waktu 100 tahun mendatang jika dibandingkan padaawal zaman industri yaitu sekitar 580 ppm. Jumlah gas CO2 yang tertimbun di atmosfer diperkirakan telah mencapai 50% (Pambudi, Rahardjanto, Nurwidodo, & Husamah, 2017). Banyaknya konsentrasi gas CO2 inilah yang menyebabkan perubahan iklim secara global.

Menurut Indrawati et al . (2015) dampak perubahan iklim secara global dapat membahayakan kesehatan manusia dan akan berdampak pada menurunnya kualitas lingkungan. Menurut Samiaji (2011); Sari, Dewi, & Parameswari (2015) perubahan yang dapat dirasakan adalah naiknya temperatur global sebesar 0.74˚C. Apabila suhu global meningkat lebih dari 2.5˚C, maka 20%-30% spesies tumbuhan dan hewan akan terancam punah, dampak lain yang ditimbulkan adalah peningkatan kandungan kelembaban udara di daerah tropis rendah dan pengurangan kandungan kelembaban udara di daerah sub tropis tinggi (Samiaji, 2011).

Tinjauan Tentang Serapan Karbon Dioksida (CO2)


Penyerapan karbon dioksida dari atmosfer merupakan proses absorbsi gas karbon dioksida yang dilakukan tumbuhan melalui proses fotosintesis, dimana gas karbon dioksida yang diabsorbsi oleh tumbuhan akan diubah menjadi gula, oksigen dan air (Hidayati, Mansur, & Juhaeti, 2013; Sukmawati, Fitrihidajati, & Indah, 2015; Sutaryo, 2009). Hasil fotosintesis tersebut kemudian akan didistribusikan ke seluruh tubuh tumbuhan, dimana nantinya akan disimpan sebagai materi organik dalam biomassa tumbuhan, proses ini disebut dengan proses sekuestrasi ( C- sequestration ) (Bazlin, Mulyanto, & Arfiati, 2017; Chanan, 2012; Hairiah, Ekadinata, Sari, & Rahayu, 2011; Pambudi et al ., 2017). Pengukuran jumlah karbohidrat hasil fotosintesis yang tersimpan dalam tubuh tumbuhan hidup (biomassa) dapat mendeskripsikan jumlah karbon dioksidayang terdapat di atmosfer yang diabsorbsi oleh tumbuhan (Bazlin et al ., 2017; Windusari, Sari, Yustian, & Zulkifli, 2012), sehingga proses fotosintesis dapat dijadikan sebagai parameter untuk mengukur kemampuan tumbuhan dalam mengabsorbsi karbon dioksida (Sukmawati et al ., 2015). Oleh karena itu, proses sekuestrasi karbon dapat digunakan sebagai alat untuk mengurangi emisi karbon dari bahan bakar fosil serta dapat menyeimbangkan konsentrasi CO2 di atmosfer (Korones & Rovas, 2010).

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Pambudi et al . (2017) mengenai serapan karbon dioksida di blok Puyer Ranu Pani Taman Nasional Bromo Tengger Semeru, diketahui bahwa serapan CO2 di kawasan tersebut sebesar 775.69 ton/ha, biomassa sebesar 146.55 ton/ha, kadar karbon sebesar 211.55 ton/ha, serta kandungan karbon tumbuhan bawah dan seresah sebesar 4.47 x 10-8. Penelitian tersebut menunjukkan betapa besarnya peran hutan sebagai penyerap karbon untuk mengurangi emisi gas rumah kaca di permukaan bumi.

2 Likes

Gas CO2 adalah bahan baku bagi fotosintesis dan laju fotosintesis dipengaruhi oleh kadar CO2 di udara (Ardiansyah 2009). June (2006) menyatakan peningkatan kadar CO2 di atmosfer akan merangsang proses fotosintesis, meningkatkan pertumbuhan dan produktivitas tanaman tanpa diikuti oleh peningkatan kebutuhan air. Pengaruh fisiologis utama dari kenaikan CO2 adalah meningkatnya laju fotosintesis di dalam daun, akibat peningkatan laju fotosintesis tersebut akan menyebabkan terjadinya penimbunan karbohidrat di daun (Darmawan & Baharsjah 1983).

Menurut Salisbury dan Cleon (1995) jumlah karbon yang ditambat melalui proses fotosintesis tiap tahunnya diperkirakan berkisar antara 70-120 trilyun ton dan diperkirakan sekitar duapertiga dari produktivitas ini terjadi di daratan, hanya sepertiganya yang berlangsung di laut dan samudera. Dengan demikian, keberadaan tumbuhan di wilayah perkotaan sangat diperlukan dalam menyerap gas CO2 dan mengatasi efek rumah kaca.

Pengukuran Daya Rosot CO2


Pengukuran daya rosot tanaman terhadap karbondioksida (CO2) telah dilakukan oleh beberapa peneliti. Penelitian secara mendalam tentang kemampuan pohon menyerap karbon telah dilakukan oleh International Centre for Research in Agroforestry (ICRAF), Southeast Asian Regional Center for Tropical Biology ( BIOTROP), Institut Pertanian Bogor (IPB), Departemen Kehutanan dan Kementerian Negara Lingkungan Hidup (Dephut 2005).

Pusat Litbang Hutan dan Konservasi Alam telah meneliti kemampuan penyerapan CO2 berbeda-beda menurut lokasi, jenis pohon hutan dan umur tegakan (Dephut 2005). Hutan dan taman kota dapat menyerap CO2 namun hutan kota dianggap memiliki kelebihan dalam menyerap gas ini dibandingkan dengan taman, karena hutan kota lebih luas daripada taman. Selain itu, biomassa hutan jauh lebih banyak daripada taman karena terdiri dari beberapa strata ketinggian dari yang paling rendah sampai yang tinggi, juga pepohonan hutan memiliki diameter tajuk dan kerapatan daun yang jauh lebih besar daripada taman. Tanaman hutan kota baik di dalam maupun di luar kota akan menyerap CO2 melalui proses fotosintesis yang kemudian menghasilkan gas oksigen (O2) yang sangat diperlukan oleh manusia dan hewan (Dahlan 2004).

Jo & McPherson (1995) dalam Dahlan (2004) menyatakan hasil penelitian pada hutan kota di Chicago dapat menyerap CO2 sebesar 0,32-0,49 kg/m2. Hasil Pusat Litbang Hutan dan Konservasi Alam tentang kemampuan pohon dalam menyerap CO2 menunjukan bahwa akasia ( Acacia mangium) berumur enam tahun yang terdapat di Pusat Penelitian Benakat, Sumatera Selatan mempunyai kandungan CO2 sebesar 16,64 ton/ha/tahun, lebih besar dari kandungan CO2 tegakan akasia berumur 10 tahun yang terdapat di Jawa Barat yang hanya sebesar 9,06 ton/ha/tahun (Dephut 2005). Selain itu, menurut Widyastama (1991) dalam Dahlan (1992) menyatakan tanaman baik sebagai penyerap gas CO2 dan penghasil oksigen adalah damar ( Agathis alba ), bunga kupu-kupu ( Bauhinia purpurea ), Lamtoro gung ( Leucaena leucocephala ), akasia ( Acacia auriculiformis ) dan beringin ( Ficus benjamina ), sedangkan menurut Sugiharti (1998) kaliandra ( Calliandra sp. ), flamboyan ( Delonix regia ) dan kembang merak ( Caesalpinia pulcherrima ) merupakan tanaman yang efektif dalam menyerap gas CO2 dan sekaligus tanaman tersebut relatif kurang terganggu oleh pencemaran udara.

Menurut Sedjo dalam Tampubolon et al. (2000), satu hektar hutan dapat menjerap 6,24 ton karbon setiap tahun. Kapasitas rosot karbon suatu hutan sangat dipengaruhi oleh daur (umur), tipe, fungsi hutan, jenis dan tingkat pertumbuhan tanaman serta kualitas tapak. Hutan muda mempunyai tingkat penjerapan karbon yang lebih tinggi dibanding dengan hutan tua yang hanya mampu mengikat carbon stock saja. Jenis pohon yang cepat tumbuh ( growing species ) yang ditanam pada tapak yang berkualitas akan menghasilkan riap tinggi sehingga dapat mengikat karbon dalam jumlah tinggi dalam biomassanya.

Menurut Purwaningsih (2007), pengukuran daya rosot karbondioksida dapat dilakukan dengan menggunakan metode pengukuran kandungan karbohidrat pada tumbuhan. Hasil pengukuran tersebut dikonversikan sehingga diperoleh daya rosot karbondioksida pada tumbuhan.

1 Like