Apakah yang dimaksud dengan identifikasi sosial?

image

Identifikasi sosial atau social identification merupakan proses kognitif dimana individu menganggap dirinya memiliki kualitas atau karakteristik yang sama dengan kelompok sosial tertentu (Swann dkk., 2011). Identifikasi sosial juga sering dikenal dengan istilah identifikasi kelompok (group identification/in-group identification).

Apakah yang dimaksud dengan identifikasi sosial secara lebih detail?

identifikasi sosial

Sebelum kita membahas definisi identifikasi kelompok, perlu kita pahami terlebih dahulu terkait dengan bagaimana individu mempersepsi dirinya serupa dengan anggota kelompoknya.

Group-level self-definition merupakan dimensi yang menggambarkan bagaimana individu mempersepsi dirinya serupa dengan anggota kelompoknya atau prototipe kelompok. Dimensi ini terdiri dari dimensi individual self- stereotyping dan in-group homogeneity. Self-investment merupakan dimensi yang merujuk pada derajat pentingnya keanggotaan kelompok bagi individu.

Dimensi ini terdiri dari dimensi solidarity, satisfaction, dan centrality.

  • Solidarity
    Solidarity didefinisikan sebagai keterikatan individu terhadap kelompok dan komitmen terhadap sesama anggota kelompok. Selain itu, solidarity juga diasosisasikan dengan kedekatan psikologis individu terhadap kelompok serta koordinasi dengan sesama anggota kelompok.

  • Satisfaction
    Satisfaction didefinisikan sebagai perasaan positif yang dimiliki individu sebagai anggota kelompok. Satisfaction juga diasosiasikan dengan upaya mempertahankan evaluasi positif mengenai kelompok.

  • Centrality
    Centrality merupakan persepsi individu yang menganggap bahwa kelompok tersebut merupakan hal yang penting dalam kehidupannya. Hal ini kemudian membuat individu lebih sensitif terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kelompok atau hubungan kelompoknya dengan kelompok lain.

  • Individual Self-stereotyping
    Individual self-stereotyping merupakan proses dimana individu mempersepsi dirinya sama dengan rata-rata orang dalam kelompoknya atau orang yang menjadi prototipe kelompok. Dalam dimensi ini, individu akan merasa memiliki banyak kesamaan atau mirip dengan kebanyakan orang dalam kelompoknya.

  • In-group Homogeneity
    In-group homogeneity mengacu pada proses dimana individu menganggap anggota kelompoknya memiliki karakteristik yang homogen yang berbeda dengan karakteristik kelompok lain yang relevan. Dimensi ini juga diasosiasikan dengan kecenderungan individu untuk mempertahankan
    keberbedaan kelompoknya dari kelompok lain.

Identifikasi Sosial

Identifikasi sosial merupakan konsep yang lahir dari teori yang dikembangkan oleh Tajfel (1970), yakni Social Identity Theory. Social Identity Theory atau SIT merupakan salah satu teori yang menjelaskan perilaku individu dalam kelompok dengan menggunakan pendekatan top down, setelah sebelumnya muncul Realistic Conflict Theory dari Sherif (1958).

Dalam Realistic Conflict Theory, Sherif (1958) memberikan pandangan baru untuk menyeimbangkan pandangan lama mengenai hubungan antarkelompok yang bersifat bottom up, yakni menganggap bahwa perilaku kelompok dipengaruhi oleh trait masing-
masing anggota kelompok.

Dengan kata lain, menurut pendekatan bottom up, pemicu terjadinya konflik antarkelompok adalah trait atau patologi tertentu yang membuat individu-individu dalam kelompok menunjukkan perilaku agresif dan intoleran (Hogg & Abrams, 2000).

Sherif (1958) kemudian melakukan studi pada sekelompok siswa dan menemukan bukti bahwa perilaku individu dalam kelompok dapat dipicu oleh faktor yang berasal dari kelompok itu sendiri, dalam hal ini tujuan kelompok.

Menurutnya, saat dua kelompok memiliki tujuan yang sama yang hanya bisa diperoleh dengan saling mengalahkan, maka hubungan antarkelompok yang tercipta adalah kompetisi dan disharmoni, sedangkan saat kelompok memiliki tujuan yang sama yang hanya bisa diperoleh dengan kerja sama antarkelompok, maka yang tercipta adalah hubungan antarkelompok yang kohesif dan harmonis.

Meski selanjutnya dapat memberikan sumbangsih besar bagi studi hubungan antarkelompok, Realistic Conflict Theory bukanlah kesimpulan akhir dari penjelasan mengenai hubungan antarkelompok.

Tajfel (1974) mengemukakan bahwa sebelum individu membenci atau tidak menyukai atau bahkan melakukan diskriminasi terhadap suatu kelompok, ia harus memiliki kedekatan atau rasa memiliki terhadap kelompok yang jelas berbeda dengan kelompok yang dibencinya tersebut. Menurutnya, dalam studi Sherif, terdapat peran kategorisasi dan identifikasi individu terhadap kelompoknya, namun hal ini tidak dibahas secara fokus dan mendalam olehnya. Oleh karena itu, Tajfel (1974) mencetuskan teori yang dinamakan Social Identity Theory untuk melengkapi Realistic Conflict Theory.

Ide mengenai teori tersebut muncul dari temuan Tajfel (1970) dalam studi eksperimental yang dikenal sebagai “minimal group experiment”. Dalam studi tersebut, ia ingin melihat pengaruh kategorisasi kelompok terhadap perilaku antarkelompok pada kondisi kelompok minimal, yaitu kondisi dimana tidak ada interaksi antar individu, kekerasan di masa lalu, konflik kepentingan, keuntungan material yang diperoleh individu dari kelompok, maupun informasi mengenai identitas individu yang berada dalam ingroup maupun outgroup.

Dengan kriteria tersebut, ia bermaksud menciptakan kelompok yang bersifat sementara dan tidak memiliki tujuan tertentu. Selanjutnya, partisipan diminta menentukan besaran poin yang akan diberikan kepada anggota ingroup dan outgroup.

Hasilnya menunjukkan bahwa individu cenderung memberikan poin lebih besar kepada anggota ingroup. Dengan kata lain, sikap dan perilaku mementingkan kelompok sendiri (ingroup) dibandingkan kelompok lain (outgroup) pada individu tetap muncul meski tidak adanya tujuan kelompok yang jelas. Hal ini menunjukkan bahwa kategorisasi sosial dan identifikasi sosial dapat mempengaruhi perilaku antarkelompok.