Susilo mengatakan bahwa Fasisme merupakan salah satu paham yang menyemai terjadinya PD II yang menelan korban hampir 50 juta orang. Hitler dengan partai Nazinya yang berhaluan ultranasionalis dan fasis, Kaisar Hirohito di Jepang ingin menguasai Asia Raya dengan mengusung fasisme militeristik, Benito Mussolini dari Italia melakukan gerakan fascio de combatimento yang bercita-cita membentuk Italia Raya dengan mengusung fasisme pula (Susilo, 2009: 94-95).
Kata fasisme pada awalnya hampir tidak dikenal di masyarakat Eropa sampai tahun 1920, namun menjadi dikenal ketika kata fasisme digunakan oleh Benito Mussolini dari Italia sebagai nama gerakan revolusioner barunya. Kata fasisme itu sendiri berasal dari bahasa Latin fasces yang berarti ikatan. Fasces merupakan serumpun batang yang diikatkan di kapak sebagai tanda penghargaan atas wewenang dan keadilan petugas hukum pada masa Romawi Kuno (Purcell, 2000).
George Mosse (Suhelmi, 2004: 333) memandang bahwa fasisme sebagai manifestasi kekecewaan terhadap kebebasan, sebagaimana yang dikemukakannya bahwa:
- Fasisme merupakan manifestasi kekecewaan terhadap kebebasan individual ( individual freedom ) dan kebebasan berpikir ( freedom of thought ). Bagi orang yang menganut fasisme, ia merasakan kebebasan justru dalam belenggu anti-kebebasan
Wilkinson berpendapat bahwa istilah fasisme telah dikaitkan dengan perlakuan yang kejam, sebuah sinonim bagi orang-orang yang mengombinasian kebencian rasial dan menyukai kebrutalan dengan hasrat untuk mendapatkan kekuasaan (Wilkinson, 2005).
Fasisme merupakan pemberontakan besar totaliter kedua setelah komunisme terhadap cara hidup Barat yang liberal. Pengaturan pemerintahan dan masyarakat di sebuah negara yang menganut fasisme dilakukan secara totaliter oleh suatu kediktatoran partai-tunggal yang sangat nasionalis, rasialis, militeris, dan imperialis (Ebenstein, 2006).
Negara fasisme dipimpin oleh seorang diktator. Kediktatoran pada abad ke-20 dibedakan menjadi seorang figur militer yang mendapatkan kekuasaan lewat kudeta militer, dan tokoh politik dengan jalan tersendiri mampu mendapatkan kekuasaan mutlak di negaranya (Archer, 2007: 21). Sehingga dengan berbagai cara, para diktator ini mempertahankan tambuk kekuasaannya meski dengan menyingkirkan pesaingnya bahkan teror melalui polisi-polisi rahasia serta penyiksaan terhadap rakyatnya sendiri. Meskipun demikian, ada beberapa diktator yang baik seperti Tito dari Yugoslavia yang dianggap pahlawan oleh sebagian besar rakyatnya (Archer, 2007).