Apakah yang dimaksud Cleavage Structure?

Cleavage Structure


Politik aliran diperkenalkan sebagai kerangka teoretis dari Clifford Geertz untuk menjelaskan pemilahan karakteristik masyarakat di Jawa yang terkait dengan kecenderungan ideologi politik. Geertz memilah-milah masya- rakat Jawa ke dalam tiga kelompok kategoris yaitu santri, abangan, dan priyayi. Kelompok santri merupakan golongan yang mempelajari ajaran Islam secara intensif dan mempraktikan nilai serta tradisi Islam di dalam kehidupan sehari-harinya. Kaum santri biasanya berkembang di institusi pendidikan Islam yang bernama pesantren. Kelompok abangan merepresentasikan masyarakat yang meskipun berasal sebagian besarnya dari kalangan Muslim tetapi memilih untuk tidak menonjolkan aspek keagamaan (Islam) dalam kehidupan sosial dan politiknya. Kaum abangan lebih tertarik untuk mengadopsi gagasan-gagasan politik universal yang tidak terkait dengan ajaran agama (Islam). Sementara kelompok priyayi merepresentasikan nlai-nilai golongan aristokrasi Jawa yang pandangan religiusnya masih menjalankan nilai-nilai Hindu. Mereka biasanya menempati posisi struktur pemerintahan dan memegang kekuasaan otoritatif.

Pola pemilahan basis ideologi politik atau aliran telah lama mendapatkan kritik karena dinilai kurang akurat bahkan untuk menganalisis pemilu 1955 sekalipun (Watson, 2004). Skema teori politik aliran terlalu menyederhanakan struktur sosial masyarakat di Indonesia yang kompleks. Selain yang dikategorikan seba- gai santri, abangan, dan priyayi, terdapat karakteristik lain yang tidak dapat digolongkan secara simplistik ke dalam tiga golongan tersebut. Perkembangan sosial politik berlangsung justru semakin mengaburkan konsepsi politik aliran. Azra (2004), misalnya, tidak melihat adanya indikasi politik aliran dalam pemilu 2004. Ia berkesimpulan bahwa dinamika politik yang digerakkan oleh kompetisi pemilu di Indonesia semakin ditentukan oleh kepentingan, sehingga analisis politik aliran semakin tidak relevan untuk digunakan lagi.

Cleavage Structure di Indonesia


Konsepsi politik aliran masih relevan dalam menjelaskan konfigurasi elite politik dan basis ideologi massa di Indonesia. Dalam konfigurasi partai politik, meskipun di tingkat elite mereka terdorong untuk bertindak pragmatis, tetapi di kesempatan lain partai-partai seringkali memanfaatkan isu- isu dan identitas agama untuk menarik simpati. Partai-partai Islam akan terus berupaya untuk menyimbolkan diri, walau tidak membatasi diri, sebagai representasi kalangan santri dan orientasi kebijakan yang pro terhadap syariat atau pro mendudukkan Islam dalam politik (Pepinsky, Liddle, & Mujani, 2012).

Dalam upaya memahami bagaimana sentimen agama dapat menjalar secara kolektif dalam dinamika politik, perlu kiranya mengulas tentang sejarah politik Indonesia modern yang diwarnai oleh perbedaan landasan ideologi yang hingga saat ini masih mempengaruhi pembelahan poros kekuatan politik. Berdasarkan klasifikasi partai yang menggunakan skema aliran politik, golongan santri diwakili oleh partai Islam. Pada era Orde Lama terdapat beberapa partai Islam terkemuka seperti Partai Masyumi, Partai NU, dan Partai Tarbiyah Indonesia. Di era Orde Baru, pada tahun 1973, Suharto melakukan fusi partai-partai menjadi tiga partai demi menciptakan stabilitas politik. Partai-partai Islam pada waktu itu digabungkan ke dalam Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Setelah reformasi 1998, partai-partai Islam menjamur tetapi terus berkurang akibat tidak mampu bersaing meraih suara pemilu. Beberapa partai Islam yang bertahan hingga pemilu 2014 adalah PKS, PPP, PAN, PKB, dan PBB, dengan catatan PAN dan PKB tidak berasaskan pada Islam tetapi memiliki akar pendukung dari dua organisasi Islam terbesar, yakni Muhammadiyah dan NU.

Golongan abangan diidentikan dengan partai nasionalis kiri yang di era Orde Baru diwakili oleh Partai Murba dan PKI. Pada Orde Baru, PKI sudah dibubarkan oleh pemerintah, sedangkan PNI, Partai Murba, dan partai-partai Kristen digabungkan menjadi Partai Demokrasi Perjuangan (PDI) yang banyak diintervensi oleh rezim Suharto (Ufen, 2006). Pada era reformasi, Megawati Sukarnoputeri mendirikan PDI Perjuangan (PDIP) yang menolak tunduk kepada Suharto. Di era reformasi, partai yang paling dikenal berhaluan sekular dan dekat dengan gagasan kiri adalah PDIP karena sejarah mereka yang merupakan penggabungan partai-partai nasionalis, sosialis, dan Kristen (Singh, 2003). Sementara kalangan priyayi sulit untuk diidentikkan dengan partai tertentu. Dengan karakteristik nilai-nilai aristokrasi Jawa, barangkali Partai Golkar di era Suharto memiliki ciri yang paling dekat dengan golongan priyayi. Namun, sekali lagi perlu diingat bahwa pemilahan-pemilahan partai berdasarkan politik aliran memang terlalu mengeneralisir dan menyesatkan apabila konteks pembahasannya tidak diuraikan secara jelas. Dalam artikel ini, klasifikasi ideologi tersebut digunakan untuk melihat korelasinya dengan aspek sosiologis dari akar massa pendukung partai atau tokoh politik.

Skema politik aliran juga tercermin dalam penyatuan partai oleh Soeharto untuk menguasai dan mengendalikan lawan-lawan politiknya pada 1973. Partai-partai yang berhaluan nasionalis-sekuler maupun Islam diperbolehkan sebagai formalitas demokrasi. Ideologi yang di anut oleh kedua partai pesaingnya tidak terlepas dari pengamatan penguasa pada saat itu. Orang- orang rezim penguasa senantiasa hadir sebagai pendukung pemerintah di dalam kedua partai yang berlawanan ideologi tersebut. Politik rezim Orde baru menerapkan politik kultural untuk meredam lawan politiknya oposisi (Budiman, 2006). Meskipun pemerintah Orde Baru memecah kekuatan politik berdasarkan ideologi basis pendukungnya, ideologi politik lain selain dari Pancasila tidak diperbolehkan berkembang. Upaya ini ditujukan untuk menciptakan kon- disi politik yang stabil dalam menopang pertumbuhan ekonomi dan kekuasaan rezim.

Namun demikian, kekuatan ideologi sekuler kiri dan Islamis tidak benar-benar habis. Sebagian dari mereka tetap bergerilya secara tersembunyi. Megawati terus berjuang melawan intervensi Suharto pada PDI dan ber- hasil menggalang kekuatan di 1990an. Muncul juga kekuatan muda dari golongan kiri yang kemudian akan melahirkan Partai Rakyat Demokrat (PRD) yang digerakkan oleh FX Rudi Gunawan dan Budiman Sudjatmiko. Sementara itu elemen-elemen pergerakan dari kalangan Islamis mengembangkan sel-sel di kampus (seperti yang ditunjukkan oleh cikal bakal PKS) untuk menghindari sikap represif rezim Suharto. Semangat eksistensi mereka tersulut oleh peristiwa revolusi Islam dan kebangkitan gerakan Islam muda di Timur Tengah pada 1970an. Di penghujung 1990an, mereka mendirikan partai politik (PKS) dan turut serta dalam kekuatan besar dalam menentang rezim Orde Baru. Krisis ekonomi yang menghantam sejak 1997 menjadi katalis kebangkitan kelompok-kelompok oposisi Orde Baru, termasuk dari kalangan berhaluan nasionalis kiri dan Islamis.

Pada 1998, kekuatan nasionalis-sekular yang selama pemerintahan Orde Baru meng- alami tindakan represif kemudian bangkit. Megawati, yang sejak pertengahan 1990an memobilisasi gerakan perlawanan terhadap Orde Baru, kemudian mendirikan PDI Perjuangan. Pada Pemilu 1999, PDIP di bawah komando Megawati langsung mendapatkan suara 34 persen dan memenangkan pemilu pada saat itu. Partai Golkar yang menjadi pesakitan selama aksi reformasi ternyata masih mendapatkan kepercayaan dari pemilih dan menduduki peringkat ke dua dalam pemilu, yaitu dengan 22,4 persen suara. Sementara partai-partai Islam marak bermunculan. Di antara lusinan partai Islam dan berbasis Muslim, beberapa yang utama adalah PPP, PAN, PKB, PBB, dan PK (kemudian menjadi PKS).

Meskipun mendapatkan status sebagai pemenang pemilu, PDIP gagal menempatkan ketua umumnya Megawati sebagai presiden. Hal tersebut disebabkan sejumlah partai Islam yang didukung oleh Partai Golkar menggalang kekuatan bersama yang mengusung Abdurrahman Wahid, dari PKB, sebagai presiden. Megawati kemudian didaulat menjadi wakil presiden. Alasan penjegalan Megawati bernuansa agama. PPP mengatakan bahwa presiden dari kalangan perempuan tidak dapat diterima dalam teologi Islam sejak suatu hadis mengatakan pemimpin dari laki-laki harus diutamakan. Tetapi di balik itu, kekhawatiran munculnya kekuatan kiri seiring berkuasanya PDIP juga menjadi alasan kuat. Sejak tahun 1994, terdapat tuduhan kepada Megawati bahwa partai PDI telah diinfiltrasi oleh elemen-elemen komunis (Eklof, 2004)

Sementara kalangan Islam di Indonesia memiliki trauma sejarah dengan para pendukung komunis. Sebelum tragedi pemberontakan PKI pada September 1965, terjadi pembantaian- pembantaian berdarah yang dilakukan oleh pemberontak PKI terhadap ulama-ulama pada 1948 yang dibalas dengan pembantaian terhadap PKI pada 1965. Namun pada 1998 terjadi tragedi pembantaian dukun santet di Banyuwangi terhadap orang-orang Islam. Muncul suatu kesimpulan bahwa pihak yang berada di belakang tragedi itu adalah keturunan-keturunan PKI yang dendam terhadap ulama (Wardhana, Manan, & Atmadja, 2001), yang menandakan memori permusuhan antara PKI-Islam tidak luntur.

Periode Abdurrahman Wahid berlangsung singkat, hanya dua tahun. Ironisnya, ia digulingkan oleh sebagian besar pendukungnya di pemilihan presiden 1999. Beberapa penye- babnya adalah dugaan skandal Bulog yang melibatkan Wahid. Tetapi selain itu, faktor politis diduga menjadi penyebab utamanya, yaitu ketidaksinkronan Wahid dengan kom- ponen-komponen pendukungnya yang sudah 1966 tentang pelarangan ajaran komunisme dan Marxisme. Kedua langkah tersebut sangat ditentang oleh kalangan Islam. Sementara itu, partai-partai lainnya merasa gerah dengan beberapa kebijakan pemerintahan Wahid yang mengabaikan kepentingan politik mereka. Posisi presiden kemudian dijabat oleh Megawati dan wakil Presidennya adalah Hamzah Haz, dari PPP, yang sebelumnya amat menentang pencalonan Megawati dengan alasan teologisnya. Peristiwa tersebut menjadi bukti bahwa isu agama masih menjadi faktor penting dalam friksi politik yang mendorong pergantian rezim.

Pemerintahan Megawati pun tidak berlangsung lama setelah kalah dalam Pemilu 2004 yang dilakukan secara langsung. Pada putaran pertama terdapat lima pasang calon yaitu Wiranto-Solahudin Wahid (Partai Golkar), Megawati-Hasyim Muzadi (PDIP), Amin Rais-Siswono (PAN), Yudhoyono-Jusuf Kalla (Partai Demokrat, PBB, PKPI), dan Hamzah Haz-Agung Gumelar (PPP). Menariknya para kandidat didominasi oleh tokoh berlatar belakang organisasi keagamaan terkemuka. Solahudin Wahid, Hasyim Muzadi, Hamzah Haz berasal dari kalangan NU. Sementara Amien Rais pada waktu itu merupakan ketua umum Muhammadiyah. Konfigurasi tokoh Islam pada kandidat Pilpres menunjukkan representasi Muslim masih kuat dalam konteks pemilu, tetapi mencair dengan kalangan nasionalis sekuler. Seperti pada pasangan Megawati-Hasyim Muzadi (PDIP-NU) dan Amien Rais-Siswono (PAN/Muhammadiyah-GMNI1).

Pada putaran pertama, pasangan Yudhoyono-Jusuf Kalla dan Megawati-Hasyim Muzadi mengungguli kandidat-kandidat lainnya dengan suara 33,57 persen dan 26,62 persen. Menjelang putaran kedua terjadi pengelompokan partai pendukung pada kedua kandidat. Pada barisan Megawati-Hasyim Muzadi terdapat PDIP, Partai Golkar, PPP, PBR, PDS, PNI Marhaenisme, PKPB dengan total suara 54,75 persen. Sementara Yudhoyono-Jusuf Kalla hanya mendapatkan tambahan dukungan dari PKS. Meskipun PKB dan PAN tidak menyatakan dukungan secara resmi, tetapi suara mereka mengalir ke Yudhoyono-Jusuf Kalla (Pusat Penelitian Politik LIPI, 2004).

Meskipun dikotomi santri-sekuler telah mencair dalam tataran institusional, upaya- upaya perebutan dukungan basis massa Muslim masih berlangsung dengan keras. Megawati berupaya mendapatkan dukungan dari kalangan Islam tradisionalis dengan menggandeng Hasyim Muzadi, tokoh NU, sebagai kandidat wakil presiden. Namun, dukungan NU terpecah setelah Abdurrahman Wahid memerintahkan anak-anak perempuannya menemani Yudho- yono berkunjung ke beberapa pesantren besar. Di sisi lain, berdasarkan hasil poling pasangan Megawati-Hasyim Muzadi kurang memungkinkan memenangkan pemilu. Watak golongan NU yang pragmatis dan lebih memilih di pihak yang paling berpeluang menang telah mengalirkan dukungan pemilih muslim tradisionalis terhadap Yudhoyono (Mietzner, 2009). Dengan dukungan dari basis massa PAN dan PKS, Yudhoyono berhasil menyatukan basis dukungan Muslim tradisionalis dan modernis yang turut mengantarkannya meme- nangkan pemilu dengan raihan 60,62 persen suara. Yudhoyono-Jusuf Kalla kemudian membangun pemerintahan yang terdiri dari hampir semua partai besar dan menengah, kecuali PDIP.

Menjelang pemilu 2009, popularitas dan elektabilitas Yudhoyono masih tidak tertandingi. Ia menjadi magnet bagi partai-partai lain untuk menjadi bagian pendukungnya. Yudhoyono berpasangan dengan Budiono yang didukung oleh Partai Demokrat, PKS, PKB, PKNU, PPP dan PBB. Sementara dua pasangan kandidat lainnya yaitu Megawati-Prabowo diusung oleh PDIP dan Partai Gerindra dan Jusuf Kalla- Wiranto diusung oleh Partai Golkar, PAN, dan Hanura. Menariknya, sebagian besar partai- partai Islam berada di barisan Yudhoyono- Budiono yang kemudian memenangkan pemilu dengan suara 60,8 persen. Namun, hasil tersebut sama sekali tidak menandakan daya tarik partai- partai Islam pada ajang pemilu 2009. Sebaliknya, suara partai-partai Islam dalam pemilu legislatif 2009 justru mengalami penurunan yaitu menjadi 29 persen dari 37 persen di pemilu sebelumnya. Faktor utama kemenangan Yudhoyono-Budiono adalah elektabilitas Yudhoyono yang kokoh di berbagai polling (Firmanzah, 2011).

Menurut Aspinall (2010), kemunduran elektoral partai-partai Islam dalam pemilu 2009 menandakan lunturnya politik aliran. Menguatnya peran media massa dan model-model kampanye yang modern dan kreatif melemahkan perilaku pemilih berdasarkan identitas kolektif. Partai-partai dengan citra identitas kolektif yang kuat, seperti PDIP dan PKB, mengalami penurunan suara yang drastis. Indikasi lain melemahnya politik aliran adalah berhasilnya partai-partai yang menggunakan pesona personal yang kuat, seperti Partai Demokrat dan Partai Gerindra. Periode 2009 menunjukkan kebangkitan pola pemilih individual yang merujuk pada karakter kandidat.

Tetapi, politik aliran bukan berarti tidak lagi berlaku, setidaknya di basis massa. Sikap bersahabat Yudhoyono terhadap partai-partai Islam dan ormas-ormas Islam menunjukkan bahwa politik aliran masih dianggap sebagai variable penting dalam menjaga keseimbangan dukungan politik terhadap pemerintah. Bertahannya PDIP sebagai partai non-peme- rintah dan cenderung bersikap sebagai partai oposisi memberikan dampakmenguatnya kembali tanda-tanda politik aliran menjelang pemilu 2014.