Benarkah Ada Yang Namanya Toxic Parents?

Terlepas dari kewajiban sebagai orang tua yang harus dijalankan ketika sudah memiliki anak, orang tua juga manusia biasa yang punya segudang kelemahan. Kelemahan-kelemahan itu tidak bisa selamanya ditutupi dari anak dan seringkali juga berdampak pada anak. Kelemahan ini bisa datang dari karakter bawaan pribadi, dampak pengalaman masa lalu ataupun juga kondisi yang sedang dihadapi saat ini. Belakangan saat istilah toxic parents mencuat seiring dengan banyaknya curhatan anak tentang orang tuanya di media sosial, saya jadi berpikir, apakah istilah itu benar-benar layak untuk digunakan? Dan kalau toxic parents benar-benar ada bagaimana cara menyikapinya?

4 Likes

Istilah “toxic” sendiri sebenarnya tidak pandang bulu.
Toxic parents, toxic siblings, toxic friends, siapapun itu bisa saja disebut “toxic”.
Namun, toxic ini bukanlah suatu fakta, melainkan suatu opini.
Kebenarannya adalah sesuatu yang relatif.
Jadi kalau ditanya layak atau tidak, jawabannya bergantung pada sudut pandang kita masing-masing.

Untuk menghadapinya ortu yang “toxic”, coba kenali lagi sifat mereka: mengapa mereka bersikap seperti itu, apa tujuan mereka. Mungkin setelah berasumsi, boleh tanyakan ke mereka secara langsung dan sesopan mungkin agar kita tau jawaban dari mereka.

Jika memang terlalu sulit bagi mereka untuk berubah, tak apa. Anggap itu sebagai kekurangan mereka. Kita yang memiliki prinsip yang lebih baik, seharusnya sadar dan justru bisa mengisi kekurangan itu.

Lagipula hidup ini bukan tentang tua-muda dan tidak selamanya tentang ortu-anak.
Siapapun yang tau tentang yang "baik" dan yang "buruk" boleh saling mengingatkan.

Also remember that you don’t have to close your mouth just because you’re young.

3 Likes

Toxic adalah istilah untuk seseorang yang “beracun” atau sifat pribadi yang suka menyusahkan dan merugikan orang lain, baik itu secara fisik ataupun emosional. Lalu, apakah orang tua apa bisa dikatakan sebagai ”toxic parent” ? Apakah orang tua yang sudah membesarkan kita dapat menyakiti sang anak ?

Jawabannya sangat memungkinkan bahwa orang tua bisa dikatakan sebagai ”Toxic parent” karena orang tua juga manusia, yang memiliki kelemahan dan keterbatasan, orang tua bukanlah sosok yang sempurna. Bahkan orang tua yang bertujuan untuk memberikan yang terbaik untuk anaknya, masih bisa dikatakan sebagai toxic parent karena pola asuh atau treatment yang diberikan pada sang anak ini secara tidak langsung menyakiti hati anak atau memberi dampak buruk pada psikologis anak.

Biasanya hal ini terjadi pada kasus orang tua yang suka membanding-bandingkan anaknya dengan orang lain. Orang tua sering memunculkan figur eksternal untuk memberi contoh figur/sosok yang diharapkan. Misalnya dengan perkataan yang seperti ini

“Coba lihat si Marsya, dia rajin belajar makanya dia selalu dapat ranking 1. Kamu kok nggak bisa sama kayak dia?”

Perkataan seperti ini mungkin orang tua lontarkan utuk mendorong sang anak agar lebih baik, atau sebagai motivasi dia untuk belajar lebih giat. Namun sudahkan orang tua menanyakan terkait progress yang sudah sang anak lakukan ? Bisa saja sang anak bukannya tidak giat belajar, tetapi dia memang sulit memahami materi dengan cepat, atau dia butuh sosok untuk mendampingi dia belajar dalam memahami materi pelajaran sekolah. Ternyata bisa saja, orang tua tidak pernah memperhatikan bagaimana anaknya belajar. Karena orang tua cenderung hanya menanyakan hasil, tidak pernah mengapresiasi sebuah proses.

Mengkritik anak sudah seharusnya diiringi dengan apresiasi yang positif. Sehingga anak tidak merasa bahwasannya dia sedang disudutkan, melainkan dia merasa didukung oleh orang di sekitarnya.

2 Likes

Saya agak setuju dengan statment ini. tetapi, dilain sisi juga kurang setuju. Saya setuju dengan statement :

Lagipula hidup ini bukan tentang tua-muda dan tidak selamanya tentang ortu-anak.
Siapapun yang tau tentang yang “baik” dan yang “buruk” boleh saling mengingatkan.

Memang tidak dipungkiri kalau baik dan buruk boleh saling mengingatkan. Tetapi, dalam kasus yang sedang dibicarakan di sini adalah perihal orang tua yang memang jelas menjadi “toxic”. Bukan bermaksud melawan, tetapi beberapa karakteristik orang tua menjadi agen pereduksi atau perusak karakteristik maupun harapan dan mimpi kita. Uniknya, kejadian toxic sering terjadi pada masa seorang anak menginjak masa remaja atau dewasa.

Kita tidak dapat memungkiri kalau zaman makin berubah sehingga pola kebudayaan yang tercipta juga berbeda. Semisal, pada zaman orang tua kita remaja, seorang wanita tidak baik keluar malam-malam. Tetapi, pada zaman ini, wanita keluar malam-malam bukan berarti meurujuk pada konotasi negatif seperti zaman lalu. Dan, permasalahannya adalah orang tua kita mengecam kasus seperti ini padahal apa yang dilakukan tidak merujuk ke perlakuan pada zaman lalu. Hipotesis yang bisa diambil adalah orang tua masih “membanggakan” budaya masa lalu seakan kebenaran itu harus terwariskan. Kebenaran tidak pernah mencapai titik absolut! Kebenaran adalah relatif! Dan, orang tua harus tahu bahwa kebenaran itu relatif!

Memang dalam beberapa kasus yang kita ketahui bahwa anak-anak benar-beanr melakukan kesalahan. tetapi, dalam beberapa hal yang bersifat relatif masih bisa menjadi pertimbangan antara anak dan orang tua. Cara menyikapi yang terbaik adalah dengan sering-sering melakukan diskusi antara anak dengan orang tua agar tahu celah-celah yang harus diperbaiki agar tidak merugikan kedua pihak, baik mimpi seorang anak dan harapan seorang orang tua.

2 Likes

Betul sekali jadi menurut saya toxic itu adalah sebuah opini yangmana tiap individu memiliki pengertian yang berbeda-beda. Sebelum kita merasa dilingkungan yang toxic mungkin alangkah baiknya melihat apakah diri kita juga toxic? karena bisa jadi diri kita adalah salah satu yang toxic di mata orang lain.

Saya rasa tidak ada toxic parents yang ada adalah setiap orang tua memiliki cara mendidik masing-masing. Yang terpenting sih kita sebagai anak dapat mengambil yang baik dan tidak meniru yang buruk dari orang tua. Ibarat kata didikan orang tua jadikan pengalaman untuk diri agar kedepannya kita bisa menjadi orang tua yang lebih baik lagi.

Mungkin saja jika ada sikap orang tua yang kita rasa kurang pas, terus gimana sih sikap kita?

Yang paling penting adalah jangan sampai melawan orang tua, seburuk apapun orang tua kita. Bicaralah dengan nada yang tenang karena jika api bertemu api akan semakin menjadi-jadi. Pada intinya jangan beroppini ketika dalam posisi emosi, karena itu tidak akan menyelesaikan melainkan malah akan memperkeruh suasana.

2 Likes

Tanpa disadari sebenarnya para orang tua selalu menerapkan pola asuh yang terbaik untuk anak-anaknya, tetapi bisa jadi pola asuh yang diberikan ini memiliki dampak yang buruk untuk perkembangan si anak “jika” diberikan dengan cara yang salah. Bahkan hingga saat ini, masih banyak isu terkait tentang toxic parents yang sering dibicarakan. Banyak anak-anak yang mendapatkan perhatian, kasih sayang, kesenangan dan cinta kasih dari orang tua dengan cara yang salah.

Sebenarnya toxic parents ini cenderung kepada tindakan orang tua yang tidak mau mengerti atau memahami setiap individu dari anak-anaknya, tidak bertanggung jawab atas perilaku yang dilakukan oleh si anak. Penyebab dari adanya toxic parents sebenarnya dapat dicermati ketika orang tua memiliki trauma saat kecil yang sudah sangat membekas pada dirinya, bisa juga dengan adanya gangguan mental. Jadi menurut saya, sebenarnya toxic parents itu bisa terjadi dan benar adanya.

Tanda atau ciri dari toxic parents ini sebenarnya dapat dilihat dari bagaimana orang tua bersikap terhadap anaknya seperti kurang empati dan egois terhadap anak, menyalahkan atau mengkritik secara berlebihan tentang apa yang dilakukan oleh si anak, kurang menghargai, hingga menunut sesuatu yang berlebihan yang dapat dikatakan diluar dari kemampuan si anak dan juga selalu mengungkit apa yang telah dilakukan untuk anak-anaknya.

Cara yang tepat untuk mengatasi toxic parents adalah dengan :

  1. Mengalihkan pembicaraan kepada sesuatu yang bersifat positif seperti pencapaianmu selama di sekolah / kuliah, atau mungkin menanyakan hal yang menyenangkan yang dilakukan orang tuamu di hari itu.
  2. Mencari kesibukan di luar rumah seperti menkuni hobimu atau hal lain yang mampu memberikan rasa bangga pada orang tuamu sehingga mereka bisa mendukung apa yang dirimu lakukan.
  3. Jangan memaksa mereka untuk merubah perilakunya. Ketika orang tua melakukan kesalahan, cobalah untuk lebih fokus kepada mengontrol diri saat menanggapi pembicaraan orang tua agar tidak menyinggung perasaannya.

Kalau berbicara mengenai perlakuan orang tua terhadap anaknya, kita tidak bisa menetapkan bagaimana standar yang tepat. Setiap orang tua mendidik anaknya dipengaruhi oleh banyak faktor, seperti budaya, ekonomi, pendidikan, hingga psikologis. Namun, seperti yang terjadi dalam realita, tidak semua anak mampu menerima perlakuan dari orang tua mereka. Dari rasa ketidaksukaan inilah orang tua dianggap toxic oleh anak.

Anak dalam proses tumbuh kembangnya akan mulai berpikir dan mempunyai prinsipnya sendiri. Terkadang mereka merasa apa yang orang tua mereka lakukan tidak seharusnya dilakukan. Anak-anak juga telah memiliki dunianya sendiri dan bermacam kondisi yang tidak bisa terus-menerus mengandalkan pemikiran dan perlakuan dari orang tua.

Toxic parents memang nyata terjadi di masyarakat. Terlepas dari masalah pola pengasuhan yang berbeda-beda, namun beberapa memang berakibat buruk pada anak. Karakteristik toxic parents cenderung kurang memahami apa yang sebenarnya anak-anak mereka butuhkan, sehingga orang tua terus yakin dengan prinsipnya sendiri. Bahkan, pada kasus yang lebih parah, terdapat orang tua yang tidak memperlakukan anaknya dengan layak. Sebenarnya anak berhak mencari solusi yang terbaik dan mengutarakan keluh kesahnya. Bisa dimulai dengan menanyakan secara baik-baik apa latar belakang mereka melakukan dan berusaha memahami nilai di balik hal tersebut. Namun, jika sudah terlewat batas, harus segera ditemukan tindakan lanjutan. Bagaimanapun, anak-anak tidak seharusnya mendapatkan perbuatan yang terus-menerus melukainya (secara mental maupun fisik).

Saya melihat pendapat kak @Lintangip menunjukan bahwa terdapat kemungkinan anak untuk memiliki prinsip hidup yang berbeda dengan orang tuanya. Nah, hal yang perlu diingat adalah tidak selamanya perbedaan prinsip menandakan terjadinya toxic parents. Saya melihat fenomena toxic parents bukan karena anak dan orang tua memiliki prinsip hidup yang berbeda sehingga anak menilai bahwa orang tua tidak memiliki pola pengasuhan yang baik, tetapi lebih pada penerimaan antara anak dengan orang tua mengenai keadaan yang dimilikinya sehingga menimbulkan komunikasi untuk mencegah terjadinya toxic parents.

Sebagai referensi, walau bersumber dari buku fiksi saya menyajikan sebait novel Salah Asuhan karya Abdul Moeis tahun 1928

”…segala agama berkata ,bahwa anak yang durhaka kepada itu akan berdosa…”(Salah Asuhan: 65)

Anak sebenarnya sudah memiliki takdir (red. keadaan) bahwa apabila durhaka pada orang tua akan berdosa, oleh karena itu setiap orang pada umumnya memiliki prinsip yang sama bahwa anak harus berbakti pada orang tua. Nah prinsip ini bisa diterima oleh kedua belah pihak yaitu orang tua dan anak, tetapi untuk mendefinisikan berbakti yang seperti apa mengakibatkan perlunya komunikasi antara anak dan orang tua. Kalau tidak ada komunikasi, skenario terburuk maka orang tua akan memanfaatkan anak dengan dalih durhaka=dosa.

Toxic parents nyata adanya, komunikasi adalah sikap mendasar untuk mengatasinya…

Menetapkan batasan dengan toxic parents memang terlihat cukup sulit, terlebih jika masih tinggal dalam satu rumah. Untuk menetapkan batasan ini kita harus bersikap tegas dan percaya diri dalam berkomunikasi tanpa memancing respons negatif dari lawan bicara. Komunikasikan dengan orangtua apa saja hal yang membuat kita merasa tidak nyaman dan bahagia. Sesekali bisa mengatakan “tidak” jika memang yang mereka katakan tidak sesuai dengan keinginan kita. Namun, pastikan memberi alasan yang jelas agar mereka tidak memaksa lagi.

Ketika orangtua sedang mengutarakan kemauannya yang bukan kehendak kita atau mengkritik tanpa memberi dukungan, sebisa mungkin jangan terbawa emosi dan berdebat dengan mereka. Alih-alih menyelesaikan masalah, berdebat justru hanya akan memperburuk hubungan dengan mereka. Lebih baik alihkan pembicaraan ke arah yang positif agar mereka lupa dengan pembahasan yang tidak mengenakkan tersebut. Misalnya, kamu bisa membahas pencapaian kita atau mungkin menanyakan hal menyenangkan apa saja yang orangtua alami di hari itu.

Sesekali luangkan waktu menyendiri untuk mengisi ulang energi fisik dan mental . Bisa melakukan me time dengan berbagai cara, misalnya dengan staycation di hotel, pergi ke pantai, mendaki gunung, atau sekadar menyendiri di taman dan menikmati suasana yang tenang. Selain itu, me time juga membuat pikiran lebih rileks, sehingga kamu akan lebih sabar dalam menghadapi toxic parents. Me time juga merupakan cara untuk mencintai diri sendiri. Hal ini penting untuk meningkatkan kepercayaan diri yang mungkin terluka karena toxic parents.