Apakah tafsiran firman Allah Swt dapat dilakukan oleh selain rasul dan utusannya?

al-Quran

Allah pada beberapa ayat al-Quran berfirman bahwa Kami menurunkan ayat-ayat kami sedemikian jelas dan terang supaya boleh jadi mereka berpikir dan mengingat. Pada ayat 44 surah al-Nahl, Allah Swt berfirman,

“Dan Kami turunkan kepadamu Al-Qur’an agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka merenungkan.”

Dalam penafsiran sebagian ayat-ayat al-Quran, penafsir menyebutkan bahwa maksud dari ayat ini tengah menyinggung satu masalah tertentu, sementara makna ayat berbicara tentang satu masalah universal.

Apakah penafsiran seperti ini, bukan merupakan penafsiran yang mengikut pada pendapat sendiri (tafsir birra’i) dan menyimpangkan firman Allah? Apakah para penafsir yang mulia menafsirkan firman Allah Swt dengan akalnya yang cenderung salah? Bagaimana mereka menafsirkan dan menyatakan bahwa maksud Allah Swt adalah seperti ini?

Menurut Mannā‟ Khalīl al-Qaṭṭān, Tafsir secara bahasa mengikuti wazan “taf’il”, yang berasal dari akar kata al-fasr yang berarti menjelaskan, menyingkap dan menampakkan atau menerangkan makna yang abstrak. Kata at-tafsīr dan al-fasr mempunyai arti menjelaskan dan menyingkap yang tertutup. Pengertian inilah yang dimaksud di dalam Lisan al-Arab dengan “Kasyf al-Mughaththah” (membukakan sesuatu yang tertutup) atau membuka dan menjelaskan maksud yang sukar dari suatu lafal.

Istilah tafsir merujuk kepada Alquran sebagaimana tercantum dalam ayat 33 dari al-Furqan:

Tiadalah kaum kafir itu datang kepadamu membawa sesuatu yang ganjil , melainkan kami menganugerahkan kepadamu sesuatu yang benar dan penjelasan tafsir yang terbaik.

Dengan demikian, pengertian tafsir menurut istilah ialah penjelasan atau keterangan terhadap maksud yang sukar memahaminya dari ayat-ayat Alquran dengan mengacu pada pemahaman secara komprehensif tentang Alquran, penjelasan makna yang dalam, menggali hukum-hukumnya, mengambil hikmah dan pelajaran yang terdapat di dalamnya.

Tafsir Alquran kemudian disebut dengan ilmu penelitian Alquran. Oleh karena itu, tafsir dapat dilakukan oleh orang-orang selain Rasul dan utusan-Nya. Orang yang melakukan Tafsir Al-Quran disebut Mufassir.

Syarat-Syarat Mufassir


Seorang mufassir agar dapat menafsirkan Alquran diperlukan persyaratan yang harus dipenuhi. Orang yang dapat menafsirkan Alquran hanya orang yang memiliki keahlian dan menguasai ilmu tafsir (ilmu pengetahuan tentang Alquran), sedangkan orang yang belum banyak mengerti tentang ayat dan tata cara menafsirkan Alquran dan tidak menguasai ilmu tafsir tidak diperbolehkan menafsirkan Alquran, hal ini dimaksudkan agar jangan sampai Alquran ditafsirkan hanya sesuai dengan hawa nafsu keinginan mufassir, sehingga tidak sesuai dengan maksud yang dikehendaki Allah dalam menurunkan firmannya.

Adapun syarat-syarat yang harus dimiliki oleh seorang mufassir adalah sebagai berikut:

  1. Akidah yang benar, sebab akidah sangat berpengaruh terhadap jiwa pemiliknya dan seringkali mendorongnya untuk mengubah nash-nash dan berkhianat dalam penyampaian berita. Apabila seseorang menyusun sebuah tafsir, maka ditakwilkannya ayat-ayat yang bertentangan dengan akidahnya dan membawanya kepada madzhabnya yang batil guna memalingkan manusia dari mengikuti golongan salaf dan dari jalan petunjuk.

  2. Bersih dari hawa nafsu, sebab hawa nafsu akan mendorong pemiliknya untuk membela kepentingan madzhabnya sehingga ia menipu manusia dengan kata- kata halus dan keterangan menarik seperti dilakukan golongan Qadariyah, Syi‟ah Rafidah, Mu‟tazilah, dan para pendukung fanatic madzhab sejenis lainnya.

  3. Menafsirkan lebih dahulu, Alquran dengan Alquran, karena suatu yang masih global pada satu tempat telah diperinci di tempat yang lain dan sesuatu yang dikemukakan secara ringkas di suatu tempat telah diuraikan di tempat lain.

  4. Mencari penafsiran dari sunnah, karena sunnah berfungsi sebagi pensyarah Alquran dan penjelasnya. Alquran telah menyebutkan bahwa semua hukum (ketetapan) Rasulullah berasal dari Allah.

  5. Apabila tidak didapatkan penafsiran dalam sunnah, hendaklah meninjau pendapat para sahabat karena mereka lebih mengetahui tentang tafsir Alquran; mengingat merekalah yang menyaksikan qarinah dan kondisi ketika Alquran diturunkan di samping mereka mempunyai pemahaman (penalaran) sempurna, ilmu yang sahih dan amal yang saleh.

  6. Apabila tidak ditemukan juga penafsiran dalam Alquran, sunnah maupun dalam pendapat para sahabat, maka sebagian besar ulama, dalam hal ini, memeriksa pendapat tabi’in (generasi setelah sahabat), seperti Mujahid bin Jabr, Sa‟id bin Jubair, „Ikrimah maula (sahaya yang dibebaskan oleh) Ibn Abbas, „ata‟ bin Abi Raba, Hasan Al-Bashri, Masruq bin Ajda‟, Sa‟id bin Al- Musayyab, Ar-Rabi‟ bin Anas, Qatadah, Dahlak bin Muzahim, dan tabi‟in lainnya. Di antara tabi‟in ada yang menerima seluruh penafsiran dari sahabat, namun tidak jarang juga berbicara tentang tafsir ini dengan istinbath (penyimpulan) dan istidlal (penalaran dalil) sendiri. Tetapi yang harus menjadi pegangan dalam hal ini adalah penukilan yang sahih.

  7. Mempunyai pengetahuan bahasa Arab dengan segala cabangnya, karena Alquran diturunkan dalam bahasa arab dan pemahaman tentangnya amat bergantung pada penguraian nmufradat (kosa kata) lafadz-lafadz dan pengertian- pengertian yang ditunjukkannya menurut letak kata-kata dalam rangkaian kalimat. Tanpa memahami secara mendalam tentang bahasa Alquran, maka besar kemungkinan bagai seorang mufassir akan melakukan penyimpangan dan kesalahan penafsiran. Jika seseorang tidak dapat memahami makna ayat, kosa kata, dan idiom secara literal (harfiyah) maka akan terjerumus kepada kesalahan dan menyebabkan terjadinya penafsiran yang controversial.

  8. Pengetahuan tentang pokok-pokok ilmu yang berkaitan dengan Alquran seperti ilmu qira‟ah karena dengan ilmu ini diketahui bagaimana cara mengucapkan lafadz-lafadz Alquran dan dapat memilih mana yang lebih kuat di antara berbagai ragam bacaan yang diperkenankan, ilmu tauhid, dengan ilmu ini diharapkan mufassir tidak menta‟wilkan ayat-ayat berkenaan dengan hak allah dan sifat-sifatnya secara melampaui batas hak-Nya, dan ilmu usul terutama usulut tafsir dengan mendalami masalah-masalah kaidah-kaidah yang dapat memperjelas sesuatu makna dan meluruskan maksud-maksud Alquran seperti pengetahuan tentang asbabun nuzul, nasikh mansukh, dan lain sebagainya. Tanpa mengetahui kesemuanya itu seorang mufassir tidak akan dapat menjelaskan arti dan maksud ayat dengan baik dan benar.

  9. Pemahaman yang cermat sehingga mufassir dapat mengukuhkan sesuatu makna atas yang lain atau menyimpulkan makna yang sejalan dengan nash-nash syari’at.

  10. Mengetahui hal ihwal manusia dan tabiatnya, terutama dari orang-orang Arab pada masa turunnya Alquran, agar mengerti keselarasan hukum-hukum Alquran yang diturunkan untuk mengatur perbuatan-perbuatan mereka.

Kode Etik atau Adab Seorang Mufassir


Selain mempunyai ilmu pengetahuan yang luas tentang tafsir, para mufassir perlu memiliki dan menampakkan tingkah laku terpuji, budaya yang bagus dan etiket yang indah dan bersahaja.

Adapun etika atau adab yang harus dimiliki oelh seorang mufassir adalah:

  1. Niat yang baik dan tujuan yang murni, setiap amal perbuatan itu bergantung pada niat. Orang yang mempunyai ilmu-ilmu syariat hendaknya mempunyai tujuan dan tekad membangun kebaikan umum, berbuat baik kepada Islam dan membersihkan diri dari tujuan-tujuan duniawi agar Allah meluruskan langkahnya dan memanfaatkan ilmunya sebagai buah keikhlasannya.

  2. Berakhlak baik, karena seorang mufassir dalam Islam menempati posisi yang signifikan sebagai pendidik dan pembina pola pikir Alquran, maka perlu memiliki kepribadian yang baik dan merefleksikan akhlak yang terpuji. Mufassir harus memancarkan mata air ilmu pengetahuan kepada murid- muridnya yang bermanfaat dan berguna. Kemudian mufassir membacakan tafsirnya dan menjelaskan kata-katanya agar murid-muridnya memperoleh ilmu pengetahuan yang murni melalui penyampaiannya.

  3. Taat dan beramal, Karena ilmu lebih dapat diterima melalui orang yang mengamalkannya. Perilaku mulia sang penafsir akan menjadi panutan yang baik bagi pelaksanaan masalah-masalah agama yang ditetapkannya.

  4. Kebenaran dan keakuratan dalam periwayatan, karena mufassir tidak boleh membicarakan atau menulis sesuatu kecuali dengan menyelaraskan apa yang telah diriwayatkan supaya selamat dari kesalahan dan kesesatan, baik dalam ejaan maupun kaidah tata bahasa.

  5. Tawadlu’ dan lemah lembut, Karena kesombongan ilmiah merupakan dinding kokoh yang menghalangi antara seorang alim dengan kemanfaatan ilmunya. Oleh karena itu, agar bermanfaat seorang mufassir harus rendah hati dan tidak sombong dengan cara yang alami agar bermanfaat.

  6. Memiliki jiwa mulia, karena seorang mufassir harus menjauhkan dirinya dari hal‐hal yang remeh serta tidak mendekati dan meminta‐minta kepada penguasa.

  7. Terus terang dalam kebenaran, maksudnya adalah jihad yang paling utama dengan menyatakan kebenaran didepan raja yang dhalim. Oleh sebab itu, sangat diperlukan keterusterangan di dalam menyampaikan kebenaran.

  8. Tingkah laku yang baik, karena seorang mufassir harus mempunyai wibawa dan harga diri dalam menyampaikan didepan public, baik dari segi duduknya, pekerjaannya, gaya berjalan, maupun tingkah lakunya tanpa dibuat-buat.

  9. Ketabahan dan keikhlasan, karena mufassir hendaknya tidak tergesa‐gesa dalam bicara, tapi henndaknya berbicara dengan tenang, mantap dan jelas kata demi kata kepada masyarakat.

  10. Persiapan dan rancangan yang baik, karena dalam mempersiapkan dan menempuh langkah-langkah penafsiran secara ilmiah dan sistematik seperti memulakannya dengan menyebut asbab al-nuzul, makna kata, kosa-kat dan idiom, memberi penerangan kepada aspek-aspek balaghah dan i`rab yang mana penentuan makna bergantung kepadanya, menjelaskan makna umum dan menghubungkannya dengan kehidupan sebenarnya yang dialami oleh umat manusia pada masa itu serta membuat kesimpulan dan menentukan poin-poin penting Alquran.