Apakah sistem multi partai dengan sistem presidensiil merupakan kombinasi yang baik?

Mengacu kondisi per-politik-an di Indonesia yang menerapkan sistem pemerintahan Presidensiil tetapi mempunyai jumlah partai politik yang banyak. Bagaimana pendapat anda ?

Sistem multi partai dengan sistem presidensiil dianggap kombinasi yang tidak sesuai. Sistem multi partai dalam pemerintahan presidensiil berakibat pada rendahnya keberlanjutan stabilitas demokrasi (Mainwaring).

Mainwaring menyebutkan tiga alasan utamanya, yaitu

1) Presidensiil multi partai cenderung menghasilkan imobilitas dan jalan buntu (deadlock) eksekutif-legislatif yang kemudian membuat destabilitas demokrasi.

Imobilitas dan deadlock ini disebabkan oleh dua hal yaitu:

  • Sistem presidensiil dapat menghasilkan pemerintahan minoritas (minority government) dan kekuasaan eksekutif lemah, di mana kondisi ini menyebabkan imobilitas. Presidensiil tidak menjamin bahwa pemenang pemilu eksekutif juga memperoleh kursi mayoritas di parlemen. Jika presiden berasal dari partai minoritas di parlemen maka presiden akan kesulitan mensukseskan agenda-agenda yang membutuhkan dukungan parlemen.

  • Sistem presidensiil kurang mampu menyelesaikan persoalan ketika persoalan itu muncul. Pada presidensiil, masa pemilu dan jabatan presiden sudah ditetapkan serta adanya pemisahan kekuasaan menjadikannya tidak memiliki jalan keluar yang terlembaga untuk menghindari jalan buntu. Presiden tidak dapat membubarkan parlemen dan tidak dapat melaksanakan pemilu yang dipercepat.
    Presiden kemudian seperti menjadi bebek lumpuh (lame duck). Sementara itu parlemen juga tidak dapat melengserkan Presiden kecuali dengan pemakzulan dengan syarat yang berat. Dalam banyak kasus Presiden kemudian berusaha mencari jalan keluar ekstra konstitusional. Beberapa langkah yang ditempuh di antaranya adalah amandemen konstitusi untuk memperluas kekuasaannya, mengeluarkan dekrit, atau memobilisasi massa untuk menekan parlemen.

2) Multi partai menghasilkan polarisasi ideologi dari para bipartai.

3) Dalam presidensiil multi partai kesulitan membangun koalisi inter partai.

Presidensiil multi partai rawan bagi stabilitas demokrasi terkait dengan absennya insentif untuk membentuk koalisi, sementara itu pada sistem parlementer di sepanjang waktu mengembangkan insentif untuk memproduksi koalisi mayoritas. Dengan kata lain, logika politik rezim parlementer adalah kooperasi dan konsensus, sedangkan logika politik rezim presidensiil adalah konflik tersembunyi.

Terdapat tiga penjelasan mengapa sistem presidensiil tidak memberikan insentif bagi terbentuknya koalisi.

  • Pertama, akibat langsung dari prinsi pemisahan kekuasaan: survavilitas jabatan presiden tidak tergantung pada berbagai jenis dukungan legislatif; seorang presiden tidak membutuhkan kerjasama dengan partai lain kecuali dengan partainya sendiri, dan lebih dari itu partai tidak mendukung pemerintahan meskipun partai-partai itu bergabung dalam pemerintahan.

  • Kedua, watak dari pemilu presiden juga memberikan insentif untuk menghindari kooperasi. Kooperasi mensyaratkan kompromi dan kemungkinan modifikasi posisi untuk mengakomodasi partner, sebuah situasi yang presiden kemungkinan menolak. Presiden berkompetisi dalam distrik yang bersifat nasional, berbeda dengan legislatif yang lebih bersifat parokial.

  • Ketiga, politik presidensiil adalah zero-sum, winner take all yang itu mempersulit untuk kerjasama atau membentuk koalisi.

Dalam sistem presidensiil, jabatan presiden adalah penghargaan tertinggi dalam proses politik. Karena presiden adalah tunggal maka menjadi tidak mungkin untuk membentuk koalisi.

Sistem pemerintahan presidensial sering dianggap memiliki masalah bawaan. Linz (1994) menyebut fenomena ini sebagai “the perils of presidentialism.”

Karakteristik dasar sistem presidensial adalah keterpisahan antara eksekutif dan legislatif (executive is not dependent on legislative) dan baik presiden (kepala eksekutif) maupun anggota legislatif sama-sama dipilih langsung rakyat.

Masalah bawaan itu ada tiga, yaitu :

  • Dual legitimacy. Karena sama-sama dipilih rakyat maka baik presiden maupun legislatif memiliki legitimasi yang sama kuat. Anggota legislatif misalnya tidak dapat meng-klaim sebagai lebih mewakili rakyat dibanding presiden. Bila ada konflik diantara kedua lembaga ini, maka kemungkinan yang terjadi adalah kebuntuan.

  • Rigidity. Baik legislatif maupun presiden memiliki masa jabatan yang tetap. Kecuali karena alasan-alasan seperti kriminal atau penghianatan terhadap konstitusi, seorang presiden tidak dapat dijatuhkan ditengah jalan. Maka bila ada ketidakpuasan terhadap presiden misalnya tidak ada jalan lain kecuali menunggu hingga berakhirnya masa jabatan presiden.

  • Majoritarian tendency. Ketika seorang presiden memiliki kecenderungan mengabaikan legislatif (imperial president) atau ketika presiden merasa menghadapi legislatif yang tidak bersahabat (legislatif dikuasai oposisi atau divided government), maka dia dapat atau akan mencari celah-celah konstitusional dan politik untuk memperluas kekuasaannya. Ini dapat berujung pada makin lemahnya legislatif dan rejim politik menjadi otoritarian. Salah satu alasan inilah yang membuat para ahli seperti Linz beranggapan bahwa sistem presidensial lebih rawan mengalami kejatuhan demokrasi (democratic breakdown).

Masalah dalam sistem presidensial menjadi lebih buruk ketika ia digabungkan dengan sistem multipartai (Mainwaring, 1993; Shugart & Carey, 1992; Stepan & Skach, 1994).

Dalam sistem presidensial multipartai, presiden yang terpilih cenderung akan tidak memiliki dukungan mayoritas di legislatif. Banyaknya partai yang ikut pemilu (termasuk partai presiden) membuat sangat sulit bagi satu partai untuk memenangkan pemilu secara mayoritas. Ini berujung pada minoritasnya dukungan presiden di legislatif, sekalipun partainya adalah partai pemenang pemilu.

Dalam sistem multipartai biasanya dukungan mayoritas legislatif diperoleh melalui koalisi. Namun, karena presiden tidak tergantung pada legislatif, insentif untuk membentuk koalisi tidaklah sebesar sistem parlementer.

Presiden tetap dapat membentuk pemerintahan tanpa melibatkan partai-partai di
legislatif. Ini berarti dia sangat mungkin berhadapan dengan legislatif yang memusuhinya. Hasilnya adalah hubungan eksekutif-legislatif yang terus menerus tegang dan konflik yang berujung pada kebuntuan (deadlock).

Dampaknya adalah pemerintahan sulit memiliki kinerja yang baik.

Pertanyaannya adalah apa yang membuat sistem ini tetap dapat berjalan sekalipun memiliki masalah bawaan yang serius?

Secara umum, pembahasan mengenai penguatan presidensialisme multipartai, mencoba melihat berbagai variabel yang mungkin (institusional maupun non-institusional) yang dapat membantu sistem ini dalam hal:

  • Memastikan dukungan yang cukup bagi presiden di legislatif
  • Mengurangi jumlah partai di parlemen
  • Mengurangi kemungkinan divided government
  • Memperkuat dan meningkatkan kualitas kinerja pemerintahan