Apakah Puncak Beragama adalah Berperilaku Baik Kepada Orang Lain ?

Banyak mengatakan bahwa dalam beragama, orang lain tidak perlu untuk menilai dari seberapa banyak kita dalam menjalankan ritual ibadah agama kita, tetapi dengan seberapa besar pengaruh kebaikan kita terhadap orang lain yang berada di sekitar kita, serta membuat orang lain disekitar kita merasa nyaman berada dalam lingkungan kita. Dengan paradigma tersebut dapat dijelaskan bahwa parameternya adalah kebermanfaatan.

Kalau pendapat saya pribadi, puncak dalam beragama tidak hanya berperilaku baik kepada orang lain. Lebih dari itu, puncak beragama adalah mengimplementasikan seluruh sifat-sifat Allah dalam mengarungi kehidupan. Bila hal tersebut telah dicapai pastinya manusia yang berkaitan selalu mengusahakan memperlakukan sesama manusia dan alam sebagaimana Allah bertindak. Dan orang yang dianggap berhasil melakukan hal tersebut layak disebut khalifah Allah di bumi.

Lalu, bagaimana dengan pendapat Anda?

Pada dasarnya, ajaran Islam tidak hanya menekankan perintah untuk menebarkan kebaikan pada orang lain, tetapi juga menebarkan kebaikan pada seluruh alam.

Berkaitan dengan berperilaku baik kepada orang lain, umat Islam seharusnya tidak hanya cukup dengan berperilaku baik dengan orang lain, dalam artian tidak mergikan orang lain, tetapi lebih daripada itu, yaitu melakukan sesuatu yang berguna untuk orang lain. Bukankah sebaik-baiknya umat Islam adalah yang paling berguna untuk orang lain ?

Hal itu juga ditegaskan dalam Firman-Nya, yaitu,

”…Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.al-Ma’idah ayat 2

Dalam ayat diatas sangat jelas diceritakan bahwa kita, sebagai manusia, diminta untuk saling tolong menolong antar sesama untuk tujuan yang baik, tujuan yang mempunyai manfaat bagi seluruh alam semesta beserta isinya.

Apabila hal tersebut dilakukan, maka akan terjadi efek berantai, seperti efek bola salju, dimana tatanan sosial yang ada menjadi sangat indah karena segala masalah yang ada diselesaikan dengan cara berjamaah.

Selain itu, setiap kita akan melakukan sesuatu, disunahkan untuk membaca Bismillahir Rahmanir Rahiim. Disitu sangat jelas bahwa terdapat dua sifat Allah yang dijadikan dasar ketika kita melakukan sesuatu, yaitu sifat Ar-Rahman dan Ar-Rahim. Bahkan dibeberapa literatur mengatakan bahwa sifat Allah Ar-Rahman dan Ar-Rahim adalah sifat Allah yang utama.

Pada salah satu literatur yang saya baca, Ar Rahman dapat diartikan sebagai Maha Pengasih yang dipahami sebagai pemberian. Oleh karena itu, ketika muncul pertanyaan mengapa Ar Rahman disebut terlebih dahulu dibandingkan dengan Ar Rahim, maka jawabanya adalah untuk dapat menyayangi diperlukan tahapan pemberian terlebih dahulu.

Kalau dianalogikan dengan hubungan manusia, maka untuk dapat menyayangi seseorang, sebaiknya anda banyak memberi kepada orang tersebut, sehingga akan muncul rasa sayang yang besar padanya. Contoh yang paling mudah adalah rasa sayang orang tua kepada anaknya, bagaimana sejak kecil kita hanya diberi, diberi dan diberi oleh orangtua kita.

Tetapi, terkadang kita malah lupa, dengan membalik konsep Ar Rahman dan Ar Rahim menjadi Ar Rahim dan Ar Rahman, dimana kita mempunyai pemahaman bahwa muncul rasa sayang terlebih dahulu baru kita mau memberi.

Begitu juga terhadap seluruh alam, ajaran Islam mangajarkan kepada kita untuk selalu menjaganya dengan baik, agar dapat dimanfaatkan oleh manusia itu sendiri. Banyak ayat al Qur’an yang menegaskan bahwa segala sesuatu baik di langit maupun di bumi, ditundukkan Allah bagi manusia untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka (QS. al-Ja’siyah: 13). Laut, sungai, matahari, bulan, siang dan malam dijadikan sebagai sarana kemakmuran hidup manusia (QS. Ibrahim: 32-34), binatang ternak diciptakan Allah untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia (QS. an-Nahl: 5), laut ditundukkan kepada manusia sebagai sarana komunikasi dan untuk digali serta dimanfaatkan kekayaannya (QS. Fatir:12 dan an-Nahl:14).

Tetapi, selain keberkahan alam dan seisinya yang sudah diberikan oleh Allah swt kepada manusia untuk dimanfaatkan oleh manusia, manusia juga dituntut untuk menjaganya, hal itu sesuai dengan Firman-Nya berikut ini,

“Kerusakan di darat dan laut terjadi akibat perbuatan tangan manusia sendiri; Allah merasakan kepada mereka sebagai (akibat) perbuatan mereka, supaya mereka kembali ke jalan yang benar” (QS. Rum : 41)

Berkaitan dengan pertanyaan apakah cukup dengan mengimplementasikan sifat Ar Rahman dan Ar Rahim sudah mewakili “puncak beragama” atau haruskah seluruh sifat-sifat Allah (asmaul husna) diimplementasikan oleh manusia sehingga manusia tersebut dapat meraih “puncak agama” ?

Pada dasarnya tidak semua sifat Allah dapat disematkan kepada manusia, walaupun manusia tersebut berusaha untuk mendekatinya, misalnya sifat Al-Muhyii = Yang Maha Menghidupkan dan Al-Mumiit = Yang Maha Mematikan, karena urusan hidup dan mati merupakan urusan Allah swt. Bahkan sifat inipun, dibeberapa literatur, tidak boleh disebut sendiri-sendiri, harus berangkai yaitu “Muhyi Wa Mumit” (yang menghidupkan dan yang mematikan). Sama seperti “Ya Dhar, Ya Nafi‟ (wahai yang menimpakan mudharrat dan menganugrahkan manfaat).

Pada dasarnya, saya sepakat apabila kita diminta untuk selalu berusaha meng-implementasi-kan sifat-sifat Allah yang memang kita dapat mendekati sifat-sifat Allah tersebut, misalnya Al-Kariim (Yang Maha Mulia atau yang Maha Pemurah), Al-Aziiz (Yang Maha Kuat dan Mengalahkan Sesuatu), Al-Lathiif (Yang Maha Lembut), Al-Khabiir (Yang Maha Mengetahui), Al-Khaaliq (Yang Maha Pencipta) dan lain sebagainya.

Wallahu A’lam Bishawab