Apakah perlu memiliki hati yang suci dulu agar dapat memiliki akhlak yang mulia?

Dalam keseharian, akhlak atau yang sering juga dikenal sebagai etika/moral menjadi hal penting dalam kepribadian seseorang dalam bermasyarakat. Akhlak berasal dari bahasa arab, yaitu akhlaq (bentuk jamak dari kata khuluq ) yang berarti budi pekerti, perangai, tingkah laku, atau tabiat.

Dalam penjelasan lain, khuluq adalah ibarat dari kelakuan manusia yang membedakan baik dan buruk, lalu disenangi dan dipilih yang baik untuk dipraktikkan dalam perbuatan, sedang yang buruk di benci dan dihilangkan (Ainain, 1985: 186).

Nah, akhlak baik/mulia inilah yang perlu dimiliki setiap individu demi kebaikan dirinya sendiri maupun kemaslahatan bersama. Kedudukan akhlak mulia dalam agama pun sangat dijunjung tinggi, sebagaimana yang telah dibicarakan dalam sebuah hadist :

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ سُئِلَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ أَكْثَرِ مَا يُدْخِلُ النَّاسَ الْجَنَّةَ فَقَالَ تَقْوَى اللَّهِ وَحُسْنُ الْخُلُقِ وَسُئِلَ عَنْ أَكْثَرِ مَا يُدْخِلُ النَّاسَ النَّارَ فَقَالَ الْفَمُ وَالْفَرْجُ

Artinya : Dari Abu Hurairah radhiallahu anhu, ia berkata, Rasulullah shallallahu alaihi was sallam pernah ditanya tentang sesutu yang paling banyak memasukkan seseorang ke dalam Surga, maka beliaupun menjawab, ‘Takwa kepada Allah dan akhlak yang mulia.’ Dan beliau juga ditanya tentang sesuatu yang paling banyak memasukan orang ke dalam Neraka, maka beliau menjawab, ‘Mulut dan kemaluan.’ (HR. At Tirmidzi)

Lalu, apa hubungannya antara hati dan akhlak? Apakah perlu kita memiliki hati yang suci terlebih dahulu agar dapat memiliki akhlak yang mulia?

Menurut Imam Al-Ghazali (1998) dalam pembagian 3 jenis hati berkenaan dengan bolak-baliknya, hati yang bersih adalah hati yang dibangun dengan keimanan dan ketaqwaan yang kokoh dan penuh dengan akhlak yang terpuji. Hati ini tidak akan mudah terpesona dengan ayat-ayat tipuan dari syaitan. Hati yang bersih ini akan melahirkan rasa syukur, sabar, takut (khauf), ridha, tawakkal dan sebagainya.

Dalam Islam, ada 3 pokok ajaran yang saling berhubungan, yaitu :

  • Aqidah, berisi kepercayaan pada hal ghaib
  • Syari’ah, berisi perbuatan sebagai konsekuensi dari kepercayaan
  • Akhlak, berisi dorongan hati untuk berbuat sebaik-baiknya meskipun tanpa pengawasan pihak lain, karena percaya Allah Maha Melihat dan Maha Mengetahui.

Ketiga hal tersebut adalah pokok ajaran Islam. Ibarat sebuah pohon, aqidah adalah akarnya, syari’ah adalah batangnya, dan akhlak adalah daun dan buahnya. Jika akar dan batangnya baik, maka akan menghasilkan pula daun dan buah yang baik.

Seseorang yang mengaku telah beriman, maka ia harus mematuhi Syari’ah. Syariah sendiri adalah segala peraturan agama yang telah ditetapkan Allah SWT untuk umat islam, baik dari Al-Qur’an maupun dari sunnah Rasulullah SAW, yang diberikan kepada manusia melalui para Nabi agar manusia hidup selamat di dunia maupun di akhirat.

Ibarat lainnya, dalam sebuah sekolah, aqidah merupakan kepintaran seorang murid, syari’ah adalah ujian, dan akhlak adalah nilai yang dihasilkan. Kita tidak bisa mengatakan seorang murid itu pintar sebelum ia melaksanakan ujian agar dapat dilihat bagaimana hasil/nilai sebagai bukti relavan dari kepintaran murid tersebut.

Maka, tidak cukup bagi seorang muslim hanya dengan mengatakan bahwa ia sudah beriman, maka ia akan menjadi seseorang yang telah beriman. Seseorang yang mengaku telah beriman, maka ia harus melaksanakan syari’ah yang telah ditetapkan Allah, hingga pada akhirnya, akhlak baiklah yang akan menjadi hasil akhir dari keimanannya.

Pengklasifikasian pokok ajaran Islam ini didasarkan pada sebuah hadist yang diriwayatkan Abu Hurairah, yaitu:

عَنْ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَيْضاً قَالَ : بَيْنَمَا نَحْنُ جُلُوْسٌ عِنْدَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَاتَ يَوْمٍ إِذْ طَلَعَ عَلَيْنَا رَجُلٌ شَدِيْدُ بَيَاضِ الثِّيَابِ شَدِيْدُ سَوَادِ الشَّعْرِ، لاَ يُرَى عَلَيْهِ أَثَرُ السَّفَرِ، وَلاَ يَعْرِفُهُ مِنَّا أَحَدٌ، حَتَّى جَلَسَ إِلَى النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم فَأَسْنَدَ رُكْبَتَيْهِ إِلَى رُكْبَتَيْهِ وَوَضَعَ كَفَّيْهِ عَلَى فَخِذَيْهِ وَقَالَ: يَا مُحَمَّد أَخْبِرْنِي عَنِ اْلإِسْلاَمِ، فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم : اْلإِسِلاَمُ أَنْ تَشْهَدَ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ وَتُقِيْمَ الصَّلاَةَ وَتُؤْتِيَ الزَّكاَةَ وَتَصُوْمَ رَمَضَانَ وَتَحُجَّ الْبَيْتَ إِنِ اسْتَطَعْتَ إِلَيْهِ سَبِيْلاً قَالَ : صَدَقْتَ، فَعَجِبْنَا لَهُ يَسْأَلُهُ وَيُصَدِّقُهُ، قَالَ: فَأَخْبِرْنِي عَنِ اْلإِيْمَانِ قَالَ : أَنْ تُؤْمِنَ بِاللهِ وَمَلاَئِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ وَتُؤْمِنَ بِالْقَدَرِ خَيْرِهِ وَشَرِّهِ. قَالَ صَدَقْتَ، قَالَ فَأَخْبِرْنِي عَنِ اْلإِحْسَانِ، قَالَ: أَنْ تَعْبُدَ اللهَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ تَرَاهُ فَإِنَّهُ يَرَاكَ

“Pada suatu hari ketika Nabi SAW bersama kaum muslimin, datang seorang pria menghampiri Nabi SAW dan bertanya, „Wahai Rasulullah, apa yang dimaksud dengan iman?‟ Nabi menjawab, „Kamu percaya pada Allah, para malaikat, kitab-kitab yang diturunkan Allah, hari pertemuan dengan Allah, para rasul yang diutus Allah, dan terjadinya peristiwa kebangkitan manusia dari alam kubur untuk diminta pertanggungjawaban perbuatan oleh Allah‟. Pria itu bertanya lagi,‟Wahai Rasulullah, apa yang dimaksud dengan Islam?‟ Nabi menjawab, „Kamu melakukan ibadah pada Allah dan tidak menyekutukan-Nya, mendirikan shalat fardhu, mengeluarkan harta zakat, dan berpuasa di bulan Ramadhan‟. Pria itu kembali bertanya, „Wahai Rasulullah, apa yang dimaksud ihsan?‟ Nabi menjawab, „ Kamu beribadah kepada Allah seolah-olah kamu melihat-Nya. Apabila kamu tidak mampu melihatnya, yakinlah bahwa Allah melihat perbuatan ibadahmu‟…”(Al-Bayan, Kitab Iman, No.5)

Haruskah kita beriman dan bersyariat dulu agar bisa memiliki akhlak yang mulia? Bukankah hati dan akal saja sudah cukup bagi kita untuk membedakan yang baik dan yang buruk?

Benar, manusia dengan hati nuraninya dapat juga menentukan ukuran baik dan buruk, sebab Allah memberikan potensi dasar kepada manusia berupa tauhid. Allah Swt. berfirman:

وَإِذْ أَخَذَ رَبُّكَ مِنْ م بَنِي آدَمَ مِنْ ظُهُوْرِهِمْ ذُرِّيِّتَهُمْ وَأَشْهَدَهُمْ عَلَى أَنْفُسِهِمْ أَلَسْتُ بِرَبِّكُمْ قَالُوْا بَلَى شَهِدْنَا أَنْ تَقُوْلُوْا يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِنَّا كُنَّا عَنْ هَذَا غَافِلِيْنَ

Artinya: “Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): “Bukankah Aku ini Tuhanmu?” Mereka menjawab: “Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi”. (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: “Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)”.” (QS. al-A’raf (7): 172).

Namun demikian, harus diakui bahwa fitrah manusia tidak selalu dapat berfungsi dengan baik. Pendidikan dan pengalaman manusia dapat mempengaruhi eksistensi fitrah manusia itu. Dengan pengaruh tersebut tidak sedikit fitrah manusia menjadi kotor dan tertutup sehingga tidak lagi dapat menentukan baik dan buruk dengan benar. Karena itulah ukuran baik dan buruk tidak dapat diserahkan kepada hati nurani belaka, tetapi harus dikembalikan kepada wahyu yang terjamin kebenarannya (Yunahar Ilyas, 2004: 4).

Akal pikiran manusia juga sama kedudukannya seperti hati nurani di atas. Kebaikan atau keburukan yang diperoleh akal bersifat subjektif dan relatif. Karena itu, akal manusia tidak dapat menjamin ukuran baik dan buruknya akhlak manusia. Hal yang sama juga terjadi pada pandangan umum masyarakat. Yang terakhir ini juga bersifat relatif, bahkan nilainya paling rendah dibandingkan kedua standar sebelumnya. Hanya masyarakat yang memiliki kebiasaan (tradisi) yang baik yang dapat memberikan ukuran yang lebih terjamin.

Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa ukuran baik dan buruknya akhlak manusia bisa diperoleh melalui berbagai sumber. Dari sekian banyak sumber yang ada, hanyalah sumber al-Quran dan Sunnah Nabi yang tidak diragukan kebenarannya. Sumber-sumber lain masih penuh dengan subyektivitas dan relativitas mengenai ukuran baik dan buruknya. Karena itulah ukuran utama akhlak Islam adalah al-Quran dan Sunnah. Dan inilah yang sebenarnya merupakan bagian pokok dari ajaran Islam. Apapun yang diperintahkan oleh al-Quran dan Sunnah pasti bernilai baik untuk dilakukan, sebaliknya yang dilarang oleh al-Quran dan Sunnah pasti bernilai baik untuk ditinggalkan.

DAFTAR PUSTAKA

Hamzah Ya’qub. 1988. Etika Islam: Pembinaan Akhlaqulkarimah (Suatu Pengantar). Bandung: CV Diponegoro. Cet. IV.

Jalil, M. H. (2016). Konsep hati menurut Al-Ghazali. Reflektika , 11 (1), 59-71.

Muzaki. 2009. PRINSIP DASAR AKHLAK MULIA PENGANTAR STUDI KONSEP-KONSEP DASAR ETIKA DALAM ISLAM . Yogyakarta: Debut Wahana Press & FISE UNY