Apakah perbedaan Hukum Pidana dan Perdata

Perbedaan Hukum Pidana dan Perdata

Sumber: jensenforcourtofappeals
Dewasa ini masih banyak ilmu-ilmu hukum khususnya Pidana dan Perdata yang belum diketahui oleh orang awam, walaupun sudah banyak yang mencoba menjelaskan, tetapi penjelasan tersebut masih terlalu sulit untuk ditangkap dan diolah oleh orang awam. Bagaimanakah anda menjelaskan perbedaan hukum Pidana dan Perdata dengan kalimat yang sederhana dan mudah dipahami?

  • perbedaan definisi :
    a. Hukum Pidana = Hukum pidana merupakan hukum yang mengatur hubungan antara anggota masyarakat (warga negara) dengan negara yang menguasai tata tertib dalam masyarakat itu. Itu sebabnya hukum pidana disebut juga sebagai hukum publik atau hukum negara. bagi masyarakat yang melanggar peraturan perundang-undangan dapat berakibat diterapkannya sanksi berupa pemidanaan dan/atau denda bagi para pelanggarnya. Contohnya perkosaan, perzinahan, pencurian, pembunuhan.
    b. Hukum Perdata = Merupakan hubungan hukum antara orang yang satu dengan yang lan dengan menitikberatkan kepentingan perseorangan. Itu sebabnya Hukum perdata disebut juga sebagai hukum privat atau hukum sipil. Disini yang termasuk hukum perdata adalah Hukum keluarga, Hukum harta kekayaan, Hukum benda, Hukum Perikatan dan Hukum Waris.

  • Perbedaan sumber hukum yang digunakan :
    a. Hukum Pidana = Segala peraturan hukum pidana dimuat dalam satu Kitab Undang-Undang Hukum Pidana atau yang popular disingkat dengan KUHP. KUHP menjadi acuan utama para perangkat penegak hukum (polisi, hakim dan jaksa) dalam mengadili suatu perkara.
    b.Hukum Perdata = sumber hukum yang digunakan untuk perkara perdata. Hukum perdata mengacu pada satu Kitab Undang-Undang Hukum Perdata/ KUHPer. Lebih populer lagi kitab KUHPer disebut dengan BW atau Burgelijk Wetboek.

  • Perbedaan dalam mengadili dan dalam pelaksanaannya :
    a. Hukum Pidana = proses beracara pidana di pengadilan langsung bersumber atau datang pada inisiatif penuntut umum atau jaksa. Dalam proses mengadili, hukum acara pidana mengatur cara mengadili perkara pidana di muka pengadilan pidana oleh seseorang yang disebut dengan hakim pidana.
    b. Hukum Perdata = proses beracara perdata di pengadilan langsung bersumber atau datang pada inisisatif dari pihak berkepentingan yang dirugikan. Dalam proses mengadili, hukum acara perdatanya mengatur cara mengadili perkara perdata di muka pengadilan perdata oleh seseorang yang disebut dengan hakim perdata. Jika dalam suatu kasus terjadi pelanggaran norma hukum perdata, maka kasus hokum tersebut akan ditindaki oleh pengadilan setelah adanya pengaduan oleh pihak yang merasa dirugikan oleh pihak yang lain. Pihak yang mengadukan pelanggaran nantinya disebut sebagai penggugat dan pihak yang dilaporkan akan disebut sebagai tergugat dalam perkara tersebut.

sumber : informasitips.com - Diese Website steht zum Verkauf! - Informationen zum Thema informasitips.

1 Like

Kesimpulan berdasarkan artikel yang saya baca,

Pengertian Hukum Perdata, berdasarkan pendapat para ahli, secara sederhana adalah rangkaian peraturan-peraturan hukum yang mengatur hubungan hukum antara orang yang satu dengan orang yang lain, atau antara subyek hukum yang satu dengan subyek hukum yang lain, dengan menitik beratkan pada kepentingan perseorangan, dimana ketentuan dan peraturan dimaksud dalam kepentingan untuk mengatur dan membatasi kehidupan manusia atau seseorang dalam usaha untuk memenuhi kebutuhan atau kepentingan hidupnya. Dalam praktek, hubungan antara subyek hukum yang satu dengan yang lainnya ini, dilaksanakan dan tunduk karena atau pada suatu kesepakatan atau perjanjian yang disepakati oleh para subyek hukum dimaksud.

Pengertian Hukum Pidana secara umum adalah keseluruhan aturan hukum yang memuat peraturan – peraturan yang mengandung keharusan, yang tidak boleh dilakukan dan/atau larangan-larangan dengan disertai ancaman atau sanksi berupa penjatuhan pidana bagi barang siapa yang melanggar atau melaksanakan larangan atau ketentuan hukum dimaksud. Sedangkan sanksi yang akan diterima bagi yang melanggarnya sudah ditentukan oleh peraturan perundang-undangan dimaksud. Bersumber dari KUHP (Kitab Undang-undang Hukum Pidana) maka sanksi pidana pada pokoknya terdiri atas pidana mati, pidana penjara, pidana kurungan dan pidana denda.

(source : belajar ilmu hukum: PERBEDAAN HUKUM PERDATA DENGAN HUKUM PIDANA)

1 Like

Hukum Pidana

Hukum pidana itu terdiri dari norma-norma yang berisi keharusan-keharusan dan larangan-larangan yang (oleh pembentuk undang-undang) telah dikaitkan dengan suatu sanksi berupa hukuman, yakni suatu penderitaan yang bersifat khusus. Dengan demikian dapat juga dikatakan, bahwa hukum pidana itu merupakan suatu sistem norma-norma yang menentukan terhadap tindakan-tindakan yang mana (hal melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu dimana terdapat suatu keharusan untuk melakukan sesuatu) dan dalam keadaan-keadaan begaimana hukum itu dapat dijatuhkan, serta hukuman yang bagaimana yang dapat dijatuhkan bagi tindakantindakan tersebut.

Hukum pidana itu adalah bagian dari hukum publik yang memuat/berisi ketentuan-ketentuan tentang:

  1. Aturan umum hukum pidana dan (yang dikaitkan/berhubungan dengan) larangan melakukan perbuatan-perbuatan (aktif/positif maupun pasif/negatif) tertentu yang disertai dengan ancaman sanksi berupa pidana (straf) bagi yang melanggar larangan itu.

  2. Syarat-syarat tertentu (kapankah) yang harus dipenuhi/harus ada bagi si pelanggar untuk dapat dijatuhkannya sanksi pidana yang diancamkan pada larangan perbuatan yang dilanggarnya.

  3. Tindakan dan upaya-upaya yang boleh atau harus dilakukan negara melalui alat-alat perlengkapannya (misalnya Polisi, Jaksa, Hakim), terhadap yang disangka dan didakwa sebagai pelanggar hukum pidana dalam rangka usaha negara menentukan, menjatuhkan dan melaksanakan sanksi pidana terhadap dirinya, serta tindakan dan upaya-upaya yang boleh dan harus dilakukan oleh tersangka/terdakwa pelanggar hukum tersebut dalam usaha melindungi dan mempertahankan hak-haknya dari tindakan negara dalam upaya negara menegakkan hukum pidana tersebut.

hukum pidana mengatur tentang:

  1. Larangan untuk melakukan suatu perbuatan;
  2. Syarat-syarat agar seseorang dapat dikenakan sanksi pidana;
  3. Sanksi pidana apa yang dapat dijatuhkan kepada seseorang yang melakukan suatu perbuatan yang dilarang (delik);
  4. Cara mempertahankan/memberlakukan hukum pidana.

Menurut sudarto fungsi hukum pidana itu dapat dibedakan sebagai berikut.

  1. Fungsi yang umum
    Hukum pidana merupakan salah satu bagian dari hukum, oleh karena itu fungsi hukum pidana juga sama dengan fungsi hukum pada umumnya, yaitu untuk mengatur hidup kemasyarakatan atau untuk meyelenggarakan tata dalam masyarakat;

  2. Fungsi yang khusus
    Fungsi khusus bagi hukum pidana adalah untuk melindungi kepentingan hukum terhadap perbuatan yang hendak memperkosanya (rechtguterschutz) dengan sanksi yang berupa pidana yang sifatnya lebih tajam jika dibandingkan dengan sanksi yang terdapat pada cabang hukum lainnya. Dalam sanksi pidana itu terdapat suatu tragic (suatu yang menyedihkan) sehingga hukum pidana dikatakan sebagai “mengiris dagingnya sendiri” atau sebagai “pedang bermata dua”, yang bermakna bahwa hukum pidana bertujuan untuk melindungi kepentingan-kepentingan hukum (misalnya: nyawa, harta benda, kemerdekaan, kehormatan).

    Namun jika terjadi pelanggaran terhadap larangan dan perintahnya justru mengenakan perlukaan (menyakiti) kepentingan (benda) hukum si pelanggar. Dapat dikatakan bahwa hukum pidana itu memberi aturan-aturan untuk menanggulangi perbuatan jahat. Dalam hal ini perlu diingat pula, bahwa sebagai alat social control fungsi hukum pidana adalah subsidair, artinya hukum pidana hendaknya baru diadakan (dipergunakan) apabila usaha-usaha lain kurang memadai.

Hukum Perdata

Berdasarkan pendapat Wiryono Prodjodikoro, pengertian hukum perdata adalah Rangkaian peraturan-peraturan perihal perhubungan-perhubungan hukum antara orang-orang atau badan-badan hukum satu dengan yang lain tentang hak-hak dan kewajiban-kewajiban mereka terhadap masing-masing dan terhadap suatu benda, perhubungan hukum mana yang tidak bersifat hukum pidana, yaitu yang tidak disertai kemungkinan mendapat hukum pidana, dan yang bersifat hukum tata-usaha pemerintahan, yaitu yang tidak mengenai badan-badan pemerintah dalam menjalankan kekuasaan dan kewajibannya.

Asas-asas dalam hukum perdata antara lain:

  1. Hakim Bersifat Menunggu

    Hakim bersifat menunggu memiliki makna bahwa inisiatif untuk mengajukan tuntutan hak diserahkan sepenuhnya kepada pihak-pihak yang berkepentingan, sedangkan hakim hanya bersikap menunggu datangnya tuntutan hak yang diajukan kepadanya ( judex ne procedat ex officio ). Sikap menunggu dari hakim ini tidaklah dapat diartikan bahwa hakim berhak menolak perkara yang diajukan kepadanya. Ketentuan Pasal 16 ayat (1) UU Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman berbunyi bahwa “Pengadilan tidak boleh menolak untuk menerima dan mengadili sesuatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak atau kurang jelas melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya”34 Ketentuan tersebut dapat dimaknai bahwa terdapat kewajiban hakim untuk menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum yang terdapat dalam masyarakat, sebagaimana diatur pada Pasal 28 UU Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman. Asas ini bertitik tolak pada anggapan bahwa hakim mengetahui akan hukumnya ( ius curia novit ). Pengaturan asas ini juga terdapat pada Pasal 118 HIR dan Pasal 142 RBg.

  2. Hakim Bersifat Pasif

    Pengertian hakim bersifat pasif dapat ditinjau dari dua segi, yaitu Apabila ditinjau dari segi inisiatif datangnya perkara maka ada atau tidaknya gugatan tergantung kepada para pihak yang berkepentingan yang merasa dan dirasa bahwa haknya atau kepentingannya telah dilanggar orang lain. Apabila gugatan tersebut tidak diajukan para pihak maka hakim tidak akan mengadili perkara yang bersangkutan (nemo judex sine actore).

  3. Peradilan Yang Terbuka Untuk Umum
    Sifat hukum acara perdata ini merupakan aspek fundamental. Sebelum perkara mulai disidangkan maka Ketua Majelis Hakim harus menyatakan bahwa sidang harus dinyatakan “dibuka” dan “terbuka untuk umum”, selama undang- undang tidak menentukan lain dan apabila hal itu tidak terpenuhi maka mengakibatkan putusan hakim batalnya demi hukum (Pasal 19 ayat (1) dan (2) UU Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman).

  4. Mendengar Kedua Belah Pihak Yang Berperkara
    Di dalam pemeriksaan perkara perdata di persidangan, hakim harus memperlakukan sama kedua belah pihak yang bersengketa, tidak memihak, dan sama-sama didengar. Asas bahwa kedua belah pihak harus didengar lebih dikenal dengan asas audi et alteram partem, hakim tidak boleh menerima keterangan dari salah satu pihak sebagai yang benar. Berkaitan dengan pengajuan alat bukti yang dilakukan di muka sidang harus dihadiri oleh kedua belah pihak (Pasal 132 huruf a, Pasal 121 ayat (2) HIR, Pasal 145 ayat (2), Pasal 157 RBg).

  5. Putusan Harus didasari Alasan-Alasan
    Dalam hal pemberian putusan, semua putusan pengadilan harus memuat alasan-alasan putusan yang dijadikan dasar untuk mengadili (Pasal 25 UU Nomor 4 Tahun 2004, Pasal 184 ayat (1), Pasal 319 HIR, Pasal 195, Pasal 618 RBg). Alasan-alasan atau argumentasi itu dimaksudkan sebagai pertanggungjawaban hakim daripada putusannya terhadap masyarakat, para pihak, pengadilan yang lebih tinggi dan ilmu hukum, sehingga oleh karenanya mempunyai nilai obyektif.

  6. Beracara Dikenakan Biaya
    Asas ini diatur dalam Pasal 121 ayat (4), Pasal 182, Pasal 183 HIR, Pasal 145 ayat (4), Pasal 192-194 RBg. Biaya perkara ini meliputi biaya kepaniteraan, pemanggilan para pihak serta biaya meterai. Bagi pihak yang tidak mampu untuk membayar biaya perkara, dapat mengajukan perkara secara cuma-cuma .

  7. Tidak Ada Keharusan Mewakilkan
    Ketentuan dalam RIB tidak mewajibkan kedua belah pihak yang berperkara untuk meminta bantuan dari seorang ahli hukum. Akan tetapi apabila dari kedua belah pihak memerlukan bantuan hukum hal itu mungkin karena di dalam suatu proses yang memerlukan pengetahuan tentang hukum dan kecakapan teknis, perlu kedua belah pihak yang berselisih dibantu oleh seorang ahli, agar supaya segala sesuatu dapat berjalan dengan selayaknya (Pasal 123 HIR, Pasal 147 RBg).