Apakah penyebab awal Konflik Palestina dengan Israel ?

Pernahkah Anda berpikir mengapa konflik antara Israel dan Palestina tidak kunjung usai? Lalu, apakah yang menjadi penyebab awal konflik tersebut ?

Pendudukan Israel atas tanah Palestina, tidak terlepas dari peran kaum Yahudi. Kaum Yahudi, yang merupakan satu dari tiga agama samawi, merupakan satu bangsa yang tersebar diseantero dunia selama berabad-abad. Sejarah panjang bangsa Yahudi memproyeksikan citra pelestarian Yudaisme, suatu keyakinan dan praktek keagamaan yang memungkinkan integrasi sosial bangsa Yahudi.

Beberapa gelombang diaspora atau perantauan bangsa Yahudi telah membuat bangsa ini kehilangan komunitas politiknya. Namun, para perantau yang menyebar di beberapa bagian dunia terutama di benua Eropa, tetap memelihara integrasi sosial bangsa Yahudi. Yudaisme diduga kuat mengambil peran penting dalam kelangsungan proses ini, yaitu melalui konformitas atau penyamaan penampilan orang Yahudi terhadap agamanya dan pelestarian komunalisme. Sejarah, bahasa, tradisi dan kebiasaan telah memelihara konsep kemasyarakatan Yahudi yang bersifat integralistik.

Sampai menjelang pertengahan abad 19, perkembangan sosial ekonomi di Eropa secara jelas menandai peneguhan kembali semangat integralistik bangsa Yahudi. Masih sama dengan masa panjang sebelumnya, nasionalitas Yahudi tetap bersifat simbolik, belum menjadi aspirasi politik. Peran mitologik dan messianik pemimpin Yahudi dalam penyelamatan manusia menjadi inti konsep nasionalitas Yahudi. Tanah Palestina hanya mengilhami nasioanalitas sebatas pengakuan kepemilikan sepihak. klaim sejarah terhadap tanah Palestina terjadi, namun sampai menjelang pertengahan abad 19 bangsa Yahudi Eropa tidak menetapkannya sebagai sasaran pemenuhan aspirasi objektifnya.

image

Dari dasar kesadaran diatas, para penganjur emansipasi internal Yahudi yang umumnya berasal dari kalangan terpelajar menegaskan makna moralitas kekuasaan dengan pengertian kesadaran nasionalitas bangsa Yahudi. Bagi mereka, bangsa Yahudi harus memiliki tanah wilayah, tempat pemerintahan yang berfungsi menyelenggarakan kekuasaan. Tidak ada pilihan lain, bangsa Yahudi harus memiliki negara sendiri agar bisa sederajat dengan bangsa-bangsa di dunia. Namun kesadaran nasionalitas yang terwujud dalam gerakan nasioanalis Zionis bukan merupakan kekuatan inti kolonial. Nasionalitas Yahudi modern berwujud gerakan kebangsaan yang bertujuan menegakkan kekuasaan Yahudi di tanah Paletina, mengikuti ajaran agama Yahudi. Jadi Yudaisme menjadi ideologi gerakan nasionalis Yahudi yang secara resmi menamakan diri sebagai gerakan atau organisasi Zionis.

Motivasi kembali ke tanah Bani Israel, yang menjadi seruan keagamaan Yahudi, merupakan sumber kekuatan gerakan nasionalis Yahudi. Para pendukung gerakan nasioanalis berpendapat bahwa penguasaan tanah Palestina merupakan proses normalisasi bangsa Yahudi, sebagai suatu bangsa yang memilki tanah wilayah. Normalisasi bangsa Yahudi tampaknya hanya bisa dicapai melalui penegasan keyakinan keagamaan karena persyaratan keabsahan legal untuk menguasai wilayah sulit terpenuhi.

Gerakan nasionalis Yahudi memiliki keanehan, kalau bukan keunikan. Nasionalisme Yahudi telah berpisah dengan tanah yang menjadi basis suatu nasioalitas berabad-abad lamanya. Nasioalisme ini juga aneh karena tumbuh berpuluh tahun di negeri perantauan. Jelas, nasionalisme Yahudi tidak berjenis pembebasan wilayah dari kekuasaan bangsa asing, melainkan semacam pendakuan kesejarahan oleh bangsa Yahudi. Oleh karena itu bangsa Arab tidak bisa menjadi pendukungnya.

image
Gambar Gerakan Nasionalisme Yahudi

Selain itu, terdapat hal lain yang tak kalah penting, yang menjadi common platform bagi Yahudi untuk mengintegrasi Bangsa Yahudi di seluruh dunia. Munculnya Nazi Jerman, sebagai salah satu kekuatan besar dunia, menjadi batu sandungan terjal umat Yahudi. Kebijakan berbau SARA yang digulirkan pemerintahan Adolf Hitler, pemimpin utama Nazi yang bermuara pada pengaggungan ras Arya dan mendisposisikan golongan lain, termasuk Yahudi.

Pentas pertama bermula di tahun 1933, dengan naiknya Nazi ke tampuk kekuasaan. Terjadi perampasan terhadap toko-toko Yahudi , tak jarang pula pemukulan-pemukulan, serta pemboikotan terhadap bisnis-bisnis Yahudi. Pentas kedua digelar dengan diperundang-undangkannya Nurenberg Laws di tahun 1935, yang berisi pencabutan hak suara semua orang yang memiliki “darah Yahudi” , termasuk orang-orang yang mempunyai kakek nenek orang Yahudi. Pentas ketiga terjadi pada tahun 1939, dengan penangkapan massal terhadap 20.000 orang Yahudi, membawa serta pula penganiayaan fisik yang dilakukan secara sistematis dan penawanan-penawanan massal yang pertama kali di kamp-kamp konsentrasi. Selain itu, sebagian dari mereka juga di kirim ke Jerman sebagai budak pekerja, seperti yang dialami oleh ratusan ribu orang Yahudi yang berasal dari Eropa Timur.

Mereka mengalami siksaan yang tidak terperi. Penyiksaan demi penyiksaan tersebut berakhir pada penghilangan nyawa secara massal orang- orang Yahudi. Prosedur pembunuhan massal tersebut adalah sebagai berikut: orang-orang Yahudi, atau Ceko, atau Polandia, atau Rusia ditangkapi, dibariskan ke daerah yang sepi dan dipaksa telanjang, antri di depan parit-parit, kemudian diberondong dengan senapan. Mereka yang tersungkur di sepajang tepian parit, mati atau terluka, lalu disorong ke dalam parit-parit oleh tentara-tentara atau bulldozer dan semuanya kemudian ditimbun dengan lumpur. Baik yang mati maupun yang masih hidup, dewasa, anak-anak, maupun yang masih bayi. Semua Einsatzhruppen (pasukan khusus pemusnah orang Yahudi) ini bertanggung jawab atas pembunuhan tidak saja bagi jutaan bangsa Yahudi, tetapi juga terhadap umat kristiani2.

Kesadaran nasionalitas bangsa Yahudi menjadi realitas politik ketika kelompok-kelompok studi Hovevei Zion (kekasih Zion) mulai membicarakan kemungkinan perebutan kembali tanah leluhur dalam beberapa diskusi di banyak kota di wilayah Pale, Austria, pada 1870-an. Pembicaraan ini menegaskan kebutuhan tanah wilayah bagi bangsa Yahudi sebagai kelengkapan prinsip nasionalitasnya. Pembahasan tentang permasalahan penegakkan prinsip nasionalitas Yahudisme luas menjadi diskusi-diskusi terbuka kalangan Hovevei Zion di Eropa Timur pada 1890-an. perluasan pembicaraan umum tentang pembicaraan kembali tanah leluhur menjadi meluas ke seluruh dunia setelah Leon Pinsker mengupas permasalahan internal emansipasi internal Yahudi dalam buku Self Emancipation , terbit pada 1882.

Gerakan Zionis dengan tujuan membentuk kembali bangsa Yahudi di Palestina pertama kali menjadi wacana umum pada 1886 melalui ungkapan ideologis Nathan Birnbaum, Zionisme. Beberapa tahun ungkapan ini tidak mempunyai pengertian yang jelas, hanya menyebutkan keperluan bangsa Yahudi memiliki national home . pengertian Zionisme ini kemudian menunjuk penegasan hubungan Yahudi dengan Palestina sebagai tanah leluhur. Sesuai dengan suasana politik di Eropa pada waktu itu. Zionisme diberi pengertian pula sebagai paham yang menjunjung tinggi liberalisme dan penentuan nasib sendiri.

Kesadaran nasionalitas bangsa Yahudi, terutama di kalangan cerdik cendekia, mengalami transformasi menjadi kekuatan riil berupa organisasi- organisasi Zionis,. Sesudah organisasi-organisasi Zionis melakukan serangkaian kongres dunia mulai kongres di Bazel, Swiss, pada 1897 agenda politik pembentikan negara Yahudi menjadi semakin bulat. Kongres Basel, Swiss yang diikuti oleh 204 delegasi Yahudi dari 16 negara telah menyusun program perwujudan agenda politik awal.

Theodore Herzl, ketua Organisasi Zionis Dunia dalam kongres ini telah menegaskan urgensi pembentukan negara Yahudi bagi seluruh aktualisasi bangsa Yahudi karena kesulitan menegakkan keyakinan keagamaan di luar wilayahnya sendiri. Sebelum kongres itu, Herzl aktif menyerukan pembentukan negara Yahudi di Rumania dan Uni Soviet. Semula, Herzl cenderung mendorong gerakan asimilasi Zionis dengan Eropa. Namun, Herzl kemudian membuang pemikiran asimilasi karena tidak realistik.

Sebagai gantinya, obsesi pembentukan negara Yahudi merupakan pilihan terbaik karena terbebas dari prasangka rasial dan keagamaan di Eropa. Hal ini berarti bahwa cita-cita pembentukan negara Yahudi bisa mendorong perlawanan bangsa Yahudi terhadap tindakan persekusi yang mengganas dalam Perang Dunia II. Perlawanan Yahudi berlangsung melalui milisinya yang menjadi bagian tentara Inggris berperang melawan Jerman. Gagasan pembentukan negara Yahudi bahkan bisa mendorong proses rekonsiliasi itu terjadi mengikuti peran negara Yahudi dalam gugus eksistensi intenasional yang menjamin bangsa Yahudi bermartabat sama dengan bangsa lain.

Untuk sesegera mungkin memantapkan cita-citanya, Herzl mendatangi kesultanan Ottoman guna meminta sebuah daerah otonomi yang nantinya digunakan sebagai tempat bermukim bangsa Yahudi. Sebagai bahan pertimbangan, Herzl akan memberikan sejumlah bantuan yang dibutuhkan kesultanan Ottoman kala itu. Namun, Sultan Abdul Hamid (1876-1909) dengan tegar menentang dan menolak semua keinginan Yahudi dengan responnya terhadap usulan Herzl dengan ucapan sebagai berikut

“saya nasihatkan kepadanya untuk tidak pernah menjalankan hal tersebut. saya tidak berdaya untuk menjual walau satu dari negeri ini, karena itu bukan milik saya, tapi milik rakyat. Bangsaku mendapat pemerintahan yang besar ini dengan tumpahan darah. Mereka berperang dengan bersimbah darah. Kami juga akan menyelimutinya dengan darah kami guna menghalau para perampas negeri kami. Saya tidak akan menerima pemisahan (daerah) untuk tujuan apapun juga.”

Organisasi Zionis Dunia menetapkan perjuangan melaksanakan agenda politik pembentukan national home bagi bangsa Yahudi di Palestina melalui penetapan hukum publik. Tampaknya hukum publik berarti hukum Liga Bangsa- Bangsa. Organisasi Zionis juga menetapkan strategi pelaksanaan agenda dengan pengandalan dukungan kekuatan Eropa. Jelas, kekuatan Eropa merujuk peran penting pemerintah Inggris dalam badan internasional dan percaturan politik dunia. Agenda politik organisasi Zionis merupakan jawaban nyata harapan bangsa Yahudi melakukan pembentukan negara Yahudi yang terlihat dari imigrasi bangsa Yahudi ke Palestina gelombang pertama (1882-1884) dan gelombang kedua (1885-1991). Aliya (migrasi Yahudi) pertama dan kedua melibatkan 25.000 orang Yahudi. Organisasi Zionis berharap gelombang Aliya akan mendatangkan simpati badan internasional dan pemerintah Inggris.

Kekuatan riil kesadaran nasionalitas bangsa Yahudi tercermin pada pembentukan komunitas Yahudi di Palestina. Para pemukim tinggal di daerah pertanian membentuk Kibbutz , suatu pemukiman pedesaan unik. Kibbutz membentuk kerjasama produksi dan distribusi kebutuhan konsumsi di kalangan warganya. Peningkatan jumlah pemukiman telah mendorong pembentukan Yishuv , suatu komunitas pemukiman dengan menyelenggarakan sistem sosial, ekonomi, dan politik khusus. Yishuv mempunyai institusi –institusi pendidikan, politik dan militer. Penyelenggaraan Yishuv merupakan perwujudan konsep komunalisme, sebagai kelanjutan sstem ekonomi Yahudi Eropa. Integrasi sosial Yahudi yang terbina dalam sistem otonomi yang memiliki solidaritas etnik yang kuat. Ikatan primordial seperti ini membuat komunitas Yahudi menjadi bersifat organik, dimana kepentingan perorangan tenggelam dalam kepentingan kelompok.

Untuk meluluskan niatnya, organisasi Zionis tersebut membuat suatu lembaga khusus yang menangani kebutuhan umat Yahudi yang pindah ke negara barunya. Program mereka bertujuan memantapkan penguatan identitas Yahudi di segala aspek. Program tersebut antara lain mempromosikan imigrasi bangsa Yahudi. mendawamkan bahasa dan budaya Hebrew dan menyediakan kebutuhan- kebutuhan keagamaan bagi komunitas baru.

Bangsa Palestina dari sejak awal telah menggalang aksi untuk menghadang proyek Zionis ini. Konflik berdarah pertama yang terjadi adalah antara Petani Palestina dan pendatang Zionis tahun 1886. Para petani telah membuat petisi kepada kesultanan Ottoman sebagaimana juga media surat kabar gencar mengekspos bahaya Zionis al-Karmal dan Filistin .

Bermodal pemaknaan baru Zionisme, organisasi Zionis berusaha mendapat dukungan pemerintah Inggris dengan menggerakan keterlibatan Yahudi dalam Perang Dunia I mendukung pasukan sekutu. Strategi Zionis ini berhasil menggerakan perhatian pemerintah Inggris lebih besar membantu pembentukan negara Yahudi. Dukungan Inggris bermula dengan kemunculan pandangan Lord Arthur Balfour. menteri luar negeri Inggris, yang memihak pembentukan national home bagi bangsa Yahudi di Palestina. Pandangan ini tertuang dalam surat Balfour kepada Lord Rothschild, terkenal sebagai Deklarasi Balfour, bertanggal 2 November 1917. Mungkin dengan maksud menjaga netralitas pemerintah Inggris, pandangan Balfour menyebutkan penghormatan terhadap hak sipil dan agama masyarakat non-Yahudi yang ada di Palestina.

Dukungan Inggris ini amat penting bagi keberhasilan pembentukan negara Israel terutama karena Inggris sudah menguasai wilayah Palestina sejak 1917. Dalam konferensi Perdamaian Paris 1919, Chaim Weizman, pengganti Theodore Herzl, menegaskan penerimaan dukungan deklarasi Balfour dengan segera bereaksi positif memobilisasi para migran. Pertumbuhan penduduk Yahudi di Palestina yang besar memungkinkan pembentukan negara dan pemerintahan Yahudi. Hal ini sesuai visi negara Yahudi Herzl tentang tanah palestina berpenduduk mayoritas Yahudi yang disampaikan pada 1897, saat kongres pertama Organisasi Zionis Dunia berlangsung. Kenyataan menunjukkan bahwa sampai menjelang pembentukkan negara Israel, penduduk Yahudi hanya berjumlah kurang lebih separuh penduduk Arab. Rencana pemebentukan negara Yahudi bagi bangsa Yahudi tampak telah mengakibatkan penghancuran secara sistematis penduduk Arab melalui pembantain dan pengusiran.

Peristiwa-Peristiwa Penting Seputar Konflik Palestina-Israel


Konflik Palestina-Israel merupakan konflik kemanusiaan yang bekepanjangan. Sampai tulisan ini ditulis, belum ada tanda-tanda penyelesaian ataupun finalitas yang berkomitmen mengakhiri konflik tersebut. perundingan perdamaian kerapkali diselenggarakan, namun selalu berakhir pada keadaan yang tidak lebih baik dari sebelumnya, bahkan tak jarang, mengalami dead lock . Kesepakatan gencatan senjata hanyalah sementara. Tidak lama setelah itu, kembali terjadi aksi saling serang di antara keduanya. Perselisihan kedua negara ini diperkeruh dengan hadirnya aktor-aktor internasioanal yang turut ambil bagian dalam perseteruan ini.

Berikut ini merupakan peristiwa-peristiwa bersejarah, yang menjadi key story kronologi konflik Palestina-Israel;

Konferensi Zionis Dunia 1897

Konferensi Zionis Dunia, yang diselenggarakan di Basel, Swiss, tahun 1897 bisa dikatakan sebagai sumbu dari meletupnya keinginan bagsa Yahudi untuk mendirikan suatu negara Yahudi. Isi pokok dari pertemuan tersebut adalah pengejawantahan Pendirian akan suatu negara Yahudi yang berdaulat, dipadang penting karena negara tersebut nantinya bukan hanya berfungsi sebagai tempat tinggal umat Yahudi, melainkan sebagai penegasan bahwa bangsa Yahudi mempunyai martabat yang sama dengan bangsa lainnya di dunia.

Selain itu, dengan membentuk satu negara tersebut, mempunyai fungsi pokok sebagai tempat penampungan masyarakat Yahudi dunia, terutama Eropa, yang saat itu menderita, disebabkan oleh pemasungan hak-hak kenegaraan di negara-negara Eropa. Hal ini menjadi sinyalemen bahwa bangsa Yahudi dapat lepas dari kawalan isu anti-semitisme. Pembunuhan besar-besaran di Jerman dan Uni Soviet, seakan telah menjadi katalisator yang menunjukan era diaspora Yahudi haruslah diakhiri.

Di konferensi Ini, muncul satu nama yang dikenal sejarah sebagai bapak Zionis dunia, yakni Theodore Herzl. Sebagai pucuk pimpinan organisasi Zionis dunia, ia menyeru kepada kaum Yahudi dunia untuk merapatkan barisan dan bersatu. Herzl dapat diumpamakan sebagai figur yang mampu mengkristalkan perjuangan generasi intelektual Yahudi berikutnya, untuk serius menangani pendirian satu negara independen Yahudi.

Perang 1948

image
Gambar Puluhan Ribu orang Palestina diusir dari tanah airnya

Dalam Konferensi Sufar pada tanggal 6 September 1947, Dewan Umum PBB mengambil suatu kebijakan solutif bagi konflik Palestina-Israel. Perhelatan ini menghasilkan suatu keputusan bahwa wilayah Palestina, harus dibagi menjadi dua bagian, yag satu untuk bangsa Arab, yang lainnya dialokasikan bagi umat Yahudi. Keputusan ini terangkum dalam resolusi PBB bo. 181. pembagian wilayah ini, didukung oleh AS dan Rusia, namun tidak bagi Palestina.

Menanggapi resolusi tersebut, warga Palestina merasa dianaktirikan oleh PBB. Bagaimanapun, secara legalitas disebutkan bahwa mereka adalah penghuni “resmi” tanah Palestina. Untuk membendung pengaruh kaum Yahudi menguasai Palestina, warga muslim membentuk barikade-barikade tempur yang bertujuan memukul mundur tentara-tentara Yahudi. Sekumpulan perwira ini, dipimpin oleh tokoh-tokoh agama lokal, seperti Abdul Qadir Al-Husaini, yang membentuk Jihad Al-Muqaddas . Di samping itu, Liga Arab juga berhasil menghimpun para pejuang Arab yang berasal dari luar Palestina.

Ketika itu, bangsa Arab Palestina kurang mendapat perhatian dari para pemimpin dunia Arab. Keadaan ini, membuat bangsa ini berjuang sendiri hanya dengan dibantu oleh para legiun perang Arab non-Palestina. Dilihat dari segi persenjataan, keadaannya jauh dari tingkatan modern. Mereka banyak menggunakan senjata-senjata tua yang daya jangkaunya sangatlah pendek. Selain itu, keadaan para sukarelawan Arab merupakan keadaan menyedihkan lainnya. Mereka tidak mempunyai koordinasi yang bagus, buta peta geografis, dan kecakapan kepemimpinan yang kurang memadai. Bahkan yang lebih parah, mereka kerapkali kekurangan persenjataan, sehingga para pejuang Palestina harus rela berbagi senjata dengan mereka. Padahal, persenjataan Palestina jumlahnya jauh dari kata cukup.

Keadaan ini berbanding terbalik dengan keadaan barikade tempur Zionis. Secara kuantitas, mereka lebih besar dibanding pasukan Arab. Pasukan Yahudi berjumlah 70 ribu, sedangkan jumlah gabungan tentara Arab hanya 24 ribu. Selain itu, mereka juga didukung oleh tentara dan persenjataan modern Inggris. Hagana (Pasukan resmi Zionis) juga dibantu oleh pasukan Irgun dan Geng Stern . Kedua kelompok militer tersebut, sebenarnya masih berasal dari tubuh Hagana , hanya saja mereka mempunyai kebijakan militer sendiri, semisal Irgun yang begitu kritis terhadap kebijakan Inggris. Irgun memisahkan diri dari Hagana pada 1931. Sedangkan Geng Stern sendiri, merupakan sempalan dari Irgun.

Peperangan ini berhasil dimenangkan oleh pasukan Zionis-Inggris. Mereka berhasil merebut 78 % tanah Palestina. Kemenangan Zionis, menyebabkan gejolak sosial yang besar bagi rakyat Palestina. Perang tersebut berakibat terlantarnya 2/3 bangsa Palestina dari kampung halaman mereka (ditelantarkan secara paksa sekitar 800 ribu dari jumlah semula 1.237.000 orang) ke negeri lain.

Di tahun ini pula, pada sore hari tanggal 14 Mei 1948, Ben Gurion, yang kelak menjadi presiden pertama Israel, mendeklarasikan berdirinya negara Yahudi “Israel”, sekaligus mencatatkan dirinya sebagai presiden pertama negara tersebut. Menurut Sejarawan Afghanistan, Tamim Ansary, perang ini dikenang Israel sebagai perang kemerdekaan mereka, tetapi disebut oleh bangsa Arab sebagai bencana.

Sekalipun peperangan 1948 dimenangkan oleh pasukan Zionis, pasukan Arab berhasil menciptakan semacam teror mental bagi perwira-perwira Zionis. Minimal, mereka berhasil menunjukan taji bahwa sebenarnya kehadiran kaum Zionis adalah personifikasi dari umat yang menindas si empunya tanah. peperangan ini menjadi semacam sinyalemen awal keseriusan bangsa Palestina mengusir para penjajah Zionis.

Agresi 1956

Pada dekade 1950-an, para pejuang Palestina meningkatkan tensi teror mereka terhadap Israel. Mereka tidak bisa menerima begitu saja, klaim sepihak dengan menjadikan tanah mereka sebagai bagian dari negara Israel. Secara sporadis, mereka menggunakan banyak variasi serangan yang merepotkan tentara Israel. Boleh dikatakan, perang ini merupakan momentum awal kristalisasi kegeraman bangsa Arab internasional atas Israel. Hal ini ditunjukkan dengan ikut sertanya Mesir, sebagai salah satu negara Arab terkemuka, membatu Palestina memerangi Israel.

Pada fase ini, bangsa Palestina seakan semakin terintegrasi ke dalam kesadaran nasional sebagai bangsa yang sedang dijajah. Mereka banyak melancarkan operasi penerobosan tapal batas untuk menyelamatkan harta benda keluarga-keluarga yang terusir. Selain itu, mereka juga kerapkali melakukan serangan pembalasan terhadap musuh. Di wilayah Gaza, Ikhwanul Muslimin cabang Palestina membentuk satuan milisi yag melakukan banyak operasi rahasia, mereka bergabung dengan penduduk badui Naqab. Milisi ini, dilatih oleh seorang tokoh militer Ikhwanul Muslimin bernama Abdul Mun‟im Abdurrauf, yang terkenal di kalangan Ikhwanul Muslimin sebagai ahli strategi militer. Operasi “Bus” di bulan Februari 1953, merupakan salah satu bukti betapa pasukan aliansi Badui-Ikhwanul Muslimin tidak bisa dipandang sebelah mata. Dalam serangan ini, tercatat 13 tentara Israel menjadi korban.

Serangan pasukan Palestina di atas, ditanggapi Israel dengan balasan yang lebih kejam dan keras. Sebagai contoh, sebagaimana yang terjadi pada peristiwa Qabiyyah berdarah tanggal 14-15 Oktober 1953 yang menyebabkan 67 orang syahid . Pada kesempatan lain, tepatnya tanggal 28 Februari 1955, kekuatan Zionis melakukan pembantaian di Gaza. Sebanyak 33 orang luka-luka dan 39 meninggal dari pihak Palestina akibat serangan tersebut. kejadian ini, menjadi semacam opini internasional berisi tuntutan perang terhadap Israel. Mesir menyambut tuntutan tersebut dengan mengirimkan sepasukan yang dipimpin oleh Mustafa Hafiz guna membantu legiun Palestina. Kekuatan Mesir membuat milisi perang Palestina melonjak, dan berhasil memukul mundur pasukan Israel dalam beberapa kesempatan.

Menanggapi campur tangan Mesir, pada tanggal 29 Oktober 1956 Israel meladeninya dengan membentuk “tentara segitiga pendobrak” (Israel, Inggris, dan Perancis). Pasukan gabungan ini mempunyai beberapa tugas penting, yakni; mematahkan serangan bangsa Palestina, membuka jalur pelayaran kapal di Laut Merah-baik dengan membuka terusan Suez maupun dengan membuka embargo pelabuhan Elat-dengan menguasai keduanya. Keikutsertaan Inggris dan Perancis bukanlah tanpa sebab. Sejak lama,Inggris bercita-cita menguasai Terusan Suez. Bagi Perancis, kehancuran Mesir adalah prioritas penuntasan dendam , karena negara ini mendukung revolusi di Al-Jazair, negara yang sebelumnya berada dalam kekuasaan Perancis.

Pertempuran ini berakhir dengan kekalahan Mesir dan Palestina. beberapa wilayah yang penting, seperti Sinai dan Gaza, dapat dikuasai oleh pasukan gabungan Israel tersebut. Inggris dan Perancis mengambil bagian dalam penggempuran bandara-bandara Mesir, serta berhasil menduduki pelabuhan-pelabuhanya.

Perang 1967


Gambar Tentara Israel merayakan kemenangan dalam perang 6 hari

Perang 1967, tepatnya terjadi pada 5 Juni 1967, merupakan babak lanjutan dari puncak ketegangan di Timur Tengah sebelumnya. tidak saja melibatkan warga Palestina sebagai gerilyawan, tetapi konflik ini juga diramaikan dengan keterlibatan dua negara besar, Mesir dan Syria, yang memposisikan diri sebagai lawan dari tentara Israel. Mesir yang sebelumnya mengalami kekalahan, berharap dapat membalaskan dendamnya, bukan saja mengalahkan, tetapi juga menguasai daerah Israel. Dengan ikut sertanya Syria, negara besar di tataran Arab selain Mesir, menjadikan perang ini menempati skala yang lebih besar, ketimbang perang sebelumnya.

Perang ini menjadi semacam “pembuktian kedua” bahwa sesungguhnya Israel merupakan negara yang tak mudah ditaklukan. Isarel yang didukung oleh peralatan tempur super canggih di masanya, ditambah dengan jumlah tentara yang mempunyai semangat tinggi dalam berperang, mampu memukul mundur serta memporak-porandakan pertahanan pasukan gabungan dua negara tersebut.

Pada pertempuran tersebut, mereka menyerang Bandar udara Mesir dan Syria dan membombardir pangkalan militer udara terbesar milik kedua negara tersebut lewat serangan darat secara sporadik. Untuk kali kedua ini, Israel benar-benar tidak mengendurkan serangannya. Jika pada peperangan sebelumnya ia mampu menjatuhkan satu negara, kali ini dua negara mampu dibenamkan oleh Israel, dalam beberapa kasus termasuk pula Jordania.

Kemenangan ini, mempunyai arti yang sangat positif bagi Israel. Tidak saja sebagai bukti munculnya “singa baru” di Timur Tengah, tetapi juga berkesempatan memperluas pengaruh, dengan menduduki daerah-daerah penting. Israel berhasil mencaplok dataran tinggi Golan, yang sebelumnya masuk dalam teritorial Syria. Semenanjung Sinai, Gaza, dan Yerussalem, pun mampu direbut Israel dari Mesir dan Jordania. Namun, yang cukup menakjubkan, peperangan ini dimenangkan oleh Israel hanya dalam waktu 6 hari, sungguh merupakan rekor tersendiri dalam sejarah peperangan sepanjang sejarah manusia.

Perang 1973

Perang 1973, dapat dikatakan sebagai perang pembalasan negara-negara Arab jilid II. Secara umum, negara-negara Arab hampir saja dapat memenangkan pertempuran ini, jika saja Amerika Serikat (AS) tidak melakukan intervensi lebih dalam dengan membantu melobi Anwar Sadat, Presiden Mesir yang menggantikan Nasser, untuk mengendurkan serangannya.

Dalam perang ini, sebenarnya, Israel masih saja mendapatkan suplai dari negara sekutunya, AS, dalam bentuk pengadaan pesawat-pesawat tempur, tank, dan alat-alat berat laiannya. Namun, dengan semangat pembalasan, disertai dengan persiapan yang matang tentara gabungan Arab mampu memukul mundur kesatuan tempur Israel. Syria sedikit demi sedikit merangsek masuk untuk menguasai kembali daerah Golan, sedangkan pasukan Mesir, berhasil menduduki sebagian daerah Sinai.

Menyadari dirinya semakin tersudutkan, pihak Tel Aviv mengontak Henry Kissiinger, Menteri Luar Negeri AS, guna mendiskusikan masalah tersebut kepada Presiden AS Richard Nixon. Hasil pembicaraan tersebut menyimpulkan bahwa AS siap mengirim armada tempurnya dalam jumlah besar, guna membantu tentara Israel.

Menyadari hal tersebut, Mesir berhasil meyakinkan pemerintah Moskow untuk membantunya. Atas dasar memperkuat jalinan kerjasama dengan sekutu Arabnya, Uni Soviet dan Jerman Timur menyiapkan sepasukan tempur guna menambah daya gedor menghadapi aliansi Israel-AS. Pihak Moskow menambah jajaran kekuatan tempur laut dengan menambah 12 kapal tempur dan mulai bergerak ke Iskadariyah.

Menyadari akan timbulnya bentrokan dengan skala yang lebih besar, pihak Washington mengadakan pembicaraan-pembicaraan yang lebih solutif kepada pihak Moskow dan Sadat. Hasil dari pembicaraan ini, adalah mereka setuju untuk mengakhiri ketegangan tersebut dengan menyepakati gencatan senjata dengan batas waktu yang tidak ditentukan9. Jika saja, tidak ada campur tangan asing, perang ini dapat dimenangkan oleh tentara gabungan Arab.

Pseudo-Perdamaian Palestina-Israel

Konflik Palestina-Israel merupakan isu klasik yang sampai detik ini masih saja berlangsung. Perdamaian-perdamaian yang terlaksana, mulai dari Camp David (1978) ke Oslo (1995), masih saja berada dalam wilayah retorika. Kedua negara tersebut terkesan tidak serius dalam upaya mengakhiri ketegangan skala global itu. AS yang kerapkali menjadi sponsor, pun tak sanggup untuk mengakhiri perselisihan itu.

Simha Flapan menilai,

“…kesepakatan perdamaian tidak selalu menyentuh beberapa elemen- elemen khusus yang sejatinya wajib dicari solusinya. Seringkali, kesimpulan- kesimpulan pertemuan perdamaian kedua negara tersebut, jauh dari dinamisasi menuju persaudaraan kedua belah pihak. yang terjadi, malah tindakan-tindakan brutal Israel yang semakin menebarkan kesengsaraan pada penduduk Palestina. perdamaian adalah omong kosong, tanpa adanya resolusi yang tidak saja serius, namun mengikat dan wajib untuk dilaksanakan….”

Menurutnya,

“…jalan yang paling memungkinkan guna menggapai perdamaian, adalah dengan bernegosiasi dengan PLO. PLO ( Palestine Liberation Orgaization ) adalah sebuah wadah resmi, yang dibentuk oleh Mesir dan negara-negara Arab pada 196410, yang mempunyai misi memperjuangkan kebebasan utuh bangsa Palestina. PLO yang merupakan induk dari organisasi- organisasi liberasi Palestina adalah corong suara rakyat Palestina. semakin eksis negosiasi dengan PLO , semakin terbuka kesempatan menghadirkan perdamaian antar-kedua belah pihak….”

Selain menciptakan dialog intensif dengan PLO, menurut Simha, “…hal lain yang harus diperhatikan, adalah upaya untuk merekonstruksi kebijakan internal pemerintahan Israel. Keadaan Knesset (Parlemen Israel) yang didominasi oleh segolongan pejabat yang menghendaki pencaplokan menyeluruh wilayah Palestina- bahkan dalam jangka yang lebih lama, berambisi mencaplok Jordania dan Syria guna membentuk negara Israel raya- haruslah segera diakhiri. Parlemen Israel, haruslah diduduki oleh orang-orang yang pro-perdamaian. Jika sudah demikian, maka kemungkinan untuk mengamandemen kebijakan-kebijakan despotik dapat diredusir dan dihilangkan diganti dengan good policy yang mengarah pada penciptaan iklim filantropis dan kekeluargaan bagi kedua entitas tersebut.

Henry Cattan dalam tulisannya yang berjudul The Palestinian Problem: A Palestinian Point of View , menambahkan bahwa perdamaian haruslah dijaga dengan keadilan. Perdamaian yang telah tercipta, jika tidak diimbangi dengan penegakkan keadilan yang merata, adalah omong kosong. Namun, keadilan juga perlu membutuhkan recognition atas pemenuhan hak-hak bangsa Palestina, terutama pengakuan eksistensi tinggal atau menempati di tanah yang sejak lama telah menjadi tempat berpijaknya. Ini merupakan esensi daripada problem Palestina yang tidak saja menyebabkan kegelisahan di tataran regional, bak bola salju, kegelisahan ini menjadi mengkristal menjadi common problem yang hingga sekarang belum terselesaikan.

Referensi :

  • M. Hamdan Basyar dkk , Problematika Minoritas Muslim di Israel (Jakarta: Pusat Penelitian Politik LIPI, 2002).
  • Max I. Dimont, Kisah Hidup Bangsa Yahudi (Masaseni,2002).
  • Muhsin M. Shaleh, Palestina; Sejarah, Perkembangan, dan konspirasi (Jakarta:Gema Insani Press, 2002).
  • Ilan Pappe, Pembersihan Etnis Palestina (Jakarta, PT Elex Media Komputindo,2009), h.
  • Tamim Ansary, Dari Puncak Bagdad: Sejarah Dunia Versi Islam (Jakarta, Zaman, 2010).
  • Richard Rosecrance , Kebangkitan Negara Dagang (Jakarta, PT Gramedia Pustaka Utama, 1991).
  • Reza Sihbudi, Menyandera Timur Tengah (Bandung: MIzan, 2007).
  • Simha Flapan, “Zionism and The Arab Question”, dalam Syafiq Mughni, ed , An Anthology of Contemporary Middle Eastern History (Montreal, Indonesia-Canada Islamic Higher Education Project).

Konflik Israel-Palestina bermula dari resolusi PBB yang membagi wilayah Palestina. Wilayah dibagi menjadi tiga bagian yaitu wilayah Arab-Palestina, wilayah Israel, dan Yerussalem yang dikelola dunia internasional. Pembagian tersebut tidak disetujui oleh mayoritas penduduk Palestina karena wilayah Israel pembagiannya lebih luas dibandingkan wilayah Palestina.

Israel mendeklarasikan diri sebagai sebuah negara pada 14 Mei 1948 setelah resolusi PBB, rakyat Palestina tidak menyetujuinya dan terjadilah konflik yang berkepanjangan diantara keduanya. Konflik ini pun melibatkan negara Arab lainnya karena penduduk Palestina merupakan suku yang berasal dari Arab.

Perhatian dunia internasional tertuju pada konflik kedua negara ini, hal tersebut disebabkan karena banyaknya korban yang berjatuhan dari konflik Israel-Palestina. Nuansa politik dan agama pun dominan diperlihatkan dalam konflik ini.

Konflik Israel-Palestina adalah konflik yang menjadi isu internasional, ada beberapa faktor yang menyebabkan konflik ini terjadi baik secara politis dan teologis. Yerussalem misalnya, kota tiga iman ini menjadi salah satu wilayah yang vital baik bagi Israel yang beragama Yahudi, Palestina yang mayoritas beragama Islam dan bagi pemeluk Kristiani.

Harapan kedamaian bagi kedua negara ini tampaknya masih jauh dalam pandangan, betapa tidak setelah enam puluhan tahun lebih konflik, titik terang perdamaian masih jauh. Bahkan beberapa saat yang lalu, pemberitaan Agresi Militer Israel ke Jalur Gaza sangat mengiris hati karena banyaknya jumlah korban, hingga ribuan penduduk Palestina. Penyelesaian konflik harus segera diupayakan, negara adidaya Amerika Serikat harus memperhatikan kondisi dan melihat dari segi kemanusiaan bukan hanya secara politis semata. Bagaimana kondisi terkini di Gaza dan apa yang melatarbelakangi agresi terhadap Gaza dilakukan akan dijelaskan kemudian.

Sejarah Konflik Israel-Palestina


Konflik Israel-Palestina merupakan konflik yang berlangsung begitu lama, enam puluhan tahun konflik ini bergulir belum menemui titik terang. Kadangkala konflik terjadi karena adanya ingatan kultural yaitu pemikiran yang diturunkan pada generasi ke generasi dan terus menerus direproduksi disebabkan ketegangan di masa lampau yang tidak terselesaikan.

Bagi bangsa Yahudi, tanah merupakan hal yang cukup krusial. Sejarah panjang mereka yang terusir dua kali dari tanah Palestina pada masa kekaisaran Romawi dan Babilonia membuat mereka harus berdiaspora hingga muncul suatu gerakan ideologis nasionalis yaitu Zionisme.

Menurut Leonard C. Efapras (2012) Zionisme adalah “Kombinasi yang dihidupi dari berbagai aspirasi termasuk diantaranya bangkitnya nasionalisme di Eropa dan dunia Arab,…” namun menelisik lebih dalam Zionisme adalah penolakan/ negasi terhadap kehidupan diaspora (shelilat ha-galut). Secara ringkas Zionisme menolak kehidupan diaspora Yahudi yang sudah berumur berabad-abad itu, yang diwarnai dengan penganiayaan, pengusiran, migrasi, dan asimilasi. Bagi Zionisme dampak dari diaspora membentuk Yahudi yang berwatak budak, impoten, tergantung pada belas kasihan orang lain, pengecut, licik, lemah, dan berjiwa dangkal.”

image

Sejarah penindasan yang dialami Yahudi- Israel membuat mereka menginginkan sebuah negara atau yang disebut “Tanah Terjanji” untuk menjadi tempat tinggal mereka. Konflik Israel- Palestina seringkali digambarkan sebagai konflik Yahudi-Islam dan bahkan salah satu Kota Suci Jerussalem pun di klaim oleh Yahudi sebagai wilayah yang dijanjikan Tuhan pada mereka yang selama ini tertindas.

Eko Marhaendy mengungkapkan bahwa “ Pembagian Jerusalem, menjadi bagian Israel dan bagian Palestina, sulit untuk dilaksanakan karena peta demografi tidak mudah diubah menjadi peta politik. Meskipun peta tersebut telah terbagi sebagai wilayah yang dihuni orang-orang Israel dan wilyah lain yang dihuni orang-orang Palestina, Jerusalem akan semakin sulit dibagi karena ia merupakan simbol tiga agama besar yang letaknya saling berdekatan ”.

Ada beberapa faktor yang menguatkan Israel mengklaim wilayah yang semula wilayah Palestina, yaitu sebagai berikut.

  • Kitab Perjanjian Lama Bab Genesis 15:18 yang mengatakan: Pada hari ini Tuhan membuat perjanjian dengan Ibrahim melalui firman, ‘Untuk keturunanmu Aku berikan tanah ini, dari Sungai Mesir hingga Sungai Besar Eufrat’

  • Deklarasi Balfour pada bulan November 1917 M oleh Arthur James Balfour yang sebelumnya atas kesepakatan Sykes Picot dan pembagian daerah kekuasaan di Timur Tengah dengan Prancis. Dalam deklarasi tersebut dikatakan:

    Pemerintah Inggris menyetujui didirikannya sebuah tanah air bagi bangsa Yahudi di Palestina, dan berusaha dengan sebaik-baiknya untuk melancarkan pencapaian tujuan ini, setelah dipahami secara jelas bahwa tidak akan dilakukan sesuatu yang dapat merugikan hak-hak sipil dan hak-hak keagamaan komunitas non Yahudi yang ada di Palestina, atau hak-hak dan status politik yang dinikmati oleh setiap bangsa Yahudi di negara lain” (Bakar, 2008)

Resolusi Majelis Umum PBB No. 181 tahun 1947 M yang membagi Palestina menjadi tiga wilayah. Wilayah Palestina, Wilayah Israel dan Jerussalem sebagai zona internasional.

Hingga sekarang ini, konflik masih terus berlanjut. Berikut adalah Kronologi Konflik Israel-Palestina secara singkat.

Tahun Peristiwa Deskripsi
1917 Deklarasi Balfour 2 November 1917 Inggris memenangkan Deklarasi Balfour yang dipandang pihak Yahudi dan Arab sebagai janji untuk mendirikan tanah air bagi kaum Yahudi di Palestina.
1922 Mandat Palestina
1936-1939 Revolusi Arab Pimpinan Amin al Husein yang menyebabkan tidak kurang 5000 warga Arab terbunuh
1947 Rencana pembagianwilayah oleh PBB 29 November 1947, Perserikatan Bangsa-Bangsa menyetujui untuk mengakhiri Mandat Britania untuk Palestina dari tanggal 1 Agustus 1948 dengan pemecahan wilayah mandat
1948 Deklarasi Negara Israel Israel diproklamirkan pada tanggal 14 Mei 1948, sehari kemudian langsung diserang oleh tentara dari Libanon, Yordania, Mesir, Irak, dan negara Arab lainnya. Israel berhasil memenangkan peperangan dan merebut + 70% dari luas total wilayah mandat PBB Britania Raya.
1949 Persetujuan gencatan senjata 3 April 1949, Israel dan Arab sepakat untuk melakukan gencatan senjata. Israel mendapat kelebihan 50 persen lebih banyak dari yang diputuskan rencana pemisahan PBB
1956 Perang Suez 29 Oktober 1965, Krisis Suez, sebuah serangan meliter terhadap Mesir dilakukan oleh Britania Raya, Perancis dan Israel.
1964 Organisasi PembebasanPalestina (PLO) Berdiri Mei 1964, Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) resmi berdiri, tujuannya untuk menghancurkan Israel.
1967 Perang enam hari Resolusi Khartoum Dikenal dengan perang Arab-Israel 1967, merupakan peperangan antara Israel menghadapi gabungan tiga negara Arab: Mesir, Yordania dan Suriah, yang mendapatkan bantuan aktif dari Irak, Kuwait, Arab Saudi, Sudan dan Aljazair. Perang tersebut berlangsung selama 132 jam 30 menit. Sebuah pertemuan 8 pemimpin negara Arab pada tanggal 1 September 1967 karena terjadinya perang enam hari. Resolusi ini berlanjut ke perang Yom Kippur tahun 1973.
1968 Palestina menuntut pembekuan Israel Perjanjian Nasional Palestina dibuat, dan secara resmi Palestina menuntut pembekuan Israel.
1970 War of Attrition Setelah perang enam hari (5-10 Juni 1967), terjadi insiden serius di Terusan Suez. Tembakan pertama dilepaskan 1 Juli 1967, ketika pasukan Mesir menyerang patroli Israel, dan ini merupakan awal dari perang War of Attrition .
1973 Perang Yom Kippur Dikenal juga dengan Perang Ramadhan pada tanggal 6-26 Oktober 1973 karena bertepatan dengan bulan ramadhan. Perang ini merupakan perang antara pasukan Israel melawan koalisi negara-negara Arab yang dipimpin oleh Mesir dan Suriah, terjadi pada hari raya Yom Kipur , hari raya yang paling besar dalam tradisi orang-orang Yahudi.
1978 Kesepakatan Camp David Ditandatangani pada tanggal 17 September 1978 di Gedung Putih yang diselenggarakan untuk perdamaian di Tmur Tengah. Jimmy Carter (Presiden Amerika Serikat) memimpin perundingan rahasia yang berlangsung selama 12 hari antara Presiden Mesir, Anwar Sadat, dan Perdana Menteri Israel, Menachem Begin.
1982 Perang Libanon Perang antara Israel dan Libanon yang terjadi pada tanggal 6 Juni 1982 ketika angkatan bersenjata Israel menyerang Libanon Selatan.
1990-1991 Perang Teluk
1993 Kesepakatan damai antara Palestina dan Israel 13 September 1993, Israel dan PLO sepakat untuk saling mengakui kedaulatan masing-masing. Pertemuan Yaser Arafat dan Israel Yitzhak Rabin berhasil melahirkan kesepakatan OSLO. Rabin bersedia menarik pasukannya dari Tepi Barat dan Jalur Gaza serta memberi Arafat kesempatan menjalankan sebuah lembaga semi otonom yang bisa memerintah di kedua wilayah. Arafat mengakui hak negara Israel untuk eksis secara aman dan damai.
1996 Kerusuhan terowongan al-Aqsha Israel sengaja membuka terowongan Masjid al Aqsha untuk memikiat para turis dan membahayakan fondasi mesjid bersejarah, pertempuran berlangsung beberapa hari.
1997 Israel menarik pasukannya dari Hebron, Tepi Barat
1998 Perjanjian Wye River Oktober 1998, Perjanjian Wye River yang berisi penarikan Israel dan dilepaskannya tahanan politik dan kesediaan Palestina untuk menerapkan butir-butir perjanjian Oslo, termasuk soal penjualan senjata ilegal.
2000 KTT Camp David
2002 Israel membangun tembok pertahanan di tepi Barat diiringi rangkaian serangan bunuh diri Palestina
2002 Israel membangun tembok pertahanan di tepi Barat diiringi rangkaian serangan bunuh diri Palestina
2004 Mahkamah Internasional menetapkan pembangunan batas pertahanan menyalahi hukum internasional dan Israel harus merobohkannya
2005 Mahmud Abbas terpilih menjadi Presiden 9 Januari 2005, Mahmud Abbas dari al Fatah terpilih sebagai Presiden Otoritas Palestina menggantikan Yaser Arafat yang wafat pada 11 November 2004 Juni 2005, pertemuan Mahmud Abbas dan Ariel Sharon di Yerusalem. Mahmud Abbas mengulur Jadwal Pemili karena mengkhawatirkan kemenangan diraih pihak Hammas Agustus 2005, Israel hengkang dari pemukiman Gaza dan empat wilayah pemukiman di Tepi Barat
2006 Hamas memenangkan Pemilu Januari 2006, Hammas memenangkan kursi Dewan Legislatif, menyudahi dominasi fatah selama 40 tahun
2008 Januari-Juli, ketegangan meningkat di Gaza. Israel memutus suplai listrik dan gas, Hamas dituding tidak mampu mengendalikan kekerasan November 2008, Hamas batal ikut serta dalam pertemuan univikasi Palestina yang dilaksanakan di Kairo, Mesir. Serangan roket kecil berjatuhan di wilayah Israel. 26 Desember 2008, Agresi Israel ke Jalur Gaza. Israel melancarkan Operasi Oferet Yetsuka, yang dilanjutkan dengan serangan udara ke pusat-pusat operasi Hamas.

Problematika antara Israel-Palestina adalah sebuah konflik antara orang Israel dan orang Palestina dalam memperebutkan otoritas tanah yang mana kedua belah pihak mengklaim mempunyai hak yang sama atas tanah tersebut. Dalam penelitian ini tanah yang diperebutkan itu disebut Tanah Suci. Konflik perebutan Tanah Suci ini dimulai pada 1967 ketika Israel menyerang Mesir, Yordania, dan Suriah serta berhasil merebut Sinai, Jalur Gaza, dataran tinggi Golan (Suriah), dan Yerussalem.

Konflik ini kemudian meluas tidak hanya antara Israel dan Palestina, tetapi juga antara Israel dan bangsa Arab bahkan lebih luas lagi merambah persoalan agama antara Islam dan Yahudi. Dari kedua kubu ini tidak semua orang Yahudi menginginkan hal yang sama atas pendirian negara Yahudi dan tidak pula semua orang Palestina menolaknya. Sulit menemukan solusi yang tepat menghadapi konflik antara kedua negara tersebut. Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) menjadi “mandul” dan negara-negara yang mencoba menyelesaikan konflik, seperti Amerika Serikat dan Rusia juga tidak mampu menjembatani perdamaian.

Salah satu yang menjadi latar belakang konflik adalah pemahaman atas agama yang dianut keduanya, yaitu Islam dan Yahudi. Sebagaimana telah disebutkan di atas bahwa umat Islam dan umat Yahudi sama-sama menganggap tanah Palestina adalah hak masing-masing mereka. Bangsa Palestina mengklaim tanah itu hak mereka, karena mereka sudah menetap di sana selama beberapa abad. Sementara bangsa Yahudi sebagai pendatang pada abad kontemporer menganggap tanah itu telah dijanjikan oleh Tuhan mereka dan mereka pernah menetap di sana.

Tanah yang diperebutkan ini disebut Tanah Suci, karena di atas tanah itu berdiri Masjid al-Aqsa yang menjadi kiblat pertama umat Islam. Tepat di bawah masjid itu terdapat Tembok Ratapan yang juga disakralkan oleh umat Yahudi. Oleh karena itu, tanah tersebut mengandung nilai historis dan nilai keagamaan yang tinggi bagi Agama Islam dan Yahudi.

Pada tanggal 14 Mei 1948 kaum Zionis memproklamirkan berdirinya negara Israel. Sehari setelah Zionis memproklamirkan pendirian negara Israel, negara-negara Arab seperti Suriah, Lebanon, Mesir, Irak, dan Palestina menyerbu Israel. Inilah perang pertama dalam konflik Israel-Palestina. Perang ini dimenangkan oleh Israel, sehingga para penduduknya menyebut “Perang Kemerdekaan” atau “Perang Kebebasan”.

Di sisi lain bagi Bangsa Palestina perang ini adalah bencana. Kekalahan perang mengakibatkan banyaknya warga yang tewas. Kemenangan Israel dalam perang ini otomatis memperluas wilayah kekuasaannya di tanah Palestina, sehingga banyak warga Palestina yang harus mengungsi karena tanah tempat tinggalnya diambil paksa oleh bangsa Israel.

Berbagai upaya perdamaian telah dilakukan oleh kedua belah pihak. Salah satu upaya tersebut adalah dipertemukannya kedua pemimpin dari kedua negara tersebut. Kesepakatan ini secara resmi ditandatangani pada tanggal 13 September 1993 di Washington di bawah pengawasana Presiden Clinton yang dihadiri oleh Yaser Arafat dan Yitzhak Rabin. Di pihak Palestina ditandatangani oleh Mahmud Abbas dan di pihak Israel ditanda tangani oleh Shimon Peres, sebagaimana ini juga ditanda tangani oleh kedua menteri luar negeri AS dan Rusia selaku saksi.

Persoalan Israel-Palestina ini bukan lagi permasalahan lokal kedua negara, namun telah menjadi pusat perhatian dunia. Sebagaimana penulis uraikan di atas bahwa konflik ini tidak lagi antara Palestina dan Israel, namun juga Arab-Barat dan Islam-Yahudi. Oleh karena itu, kajian mengenai konflik Israel-Palestina ini menarik dan penting untuk diteliti.

Dari seluruh penjabaran di atas tentang konflik Israel- Palestina, dapat disimpulkan beberapa poin. Pertama, sejarah koflik yang terjadi antara Israel-Palestina telah berlangsung cukup lama. Konflik tersebut membuat banyak perubahan dan menjatuhkan banyak korban baik di kubu Palestina maupun di pihak Israel. Perubahan pada peta tanah Palestina sangat terlihat (sebagaimana peta terlampir) dari tahun ke tahun karena diambil oleh Negara Israel. Korban yang berjatuhan dari tahun 1987-2011 mencapai angka 7978 untuk Palestina dan 1503 untuk korban di pihak Israel.

Kedua, faktor yang paling menonjol dalam konflik Israel-Palestina adalah faktor teologis (agama) dari kedua belah pihak. Yahudi menganggap mereka sebagai bangsa pilihan dibandingkan dengan bangsa yang lain. Anggapan ini kemudian berlanjut bahwa tanah Palestina yang sekarang diduduki Israel itu adalah Tanah Suci yang dijanjikan oleh Tuhan kepada bangsa mereka.

Dalam agama Islampun demikian, tanah Palestina bagi mereka sangat suci. Meskipun mereka tidak mengklaim tanah tersebut sebagai tanah yang dijanjikan Tuhan kepada mereka, namun bangsa Palestina mempunyai beberapa tempat suci di Palestina, salah satunya Masjid al-Aqsha, di Yerussalem. Kemudian muslim percaya bahwa banyak nabi berasal dari Palestina dan mengukir sejarah di tempat itu.

Ketiga, faktor penting lain yang menyebabkan tidak selesainya konflik yang terjadi antara Israel-Palestina adalah politik dan ekonomi (hegemoni Barat). AS dan sekutunya selalu berada dalam barisan terdepan dalam konflik atau perdamaian. Hal ini dikarenakan secara konstelasi politik, AS harus mempunyai tempat strategis di kawasan Timur Tengah untuk lebih memudahkan pengaruh mereka di sana. Hal ini juga berujung pada penguasaan ekonomi di kawasan Timur Tengah yang kaya, khususnya minyak dan gas.

Amerika sebagai negara maju membutuhkan banyak energi guna menjalankan ekonomis negaranya. Sementara Palestina sendiri mendapat dukungan dari negeri muslim Arab, seperti Mesir, Iran, Arab Saudi, dan Lebanon. Mereka mendukung Palestina selain sebagai sesama muslim juga karena sama-sama bangsa Arab.