Apakah menyerupai suatu kaum secara otomatis akan menjadi bagian dari kaum tersebut?

Dasar yang paling sering digunakana adalah hadist berikut ini

Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

“Barangsiapa menyerupai suatu kaum, maka ia termasuk dari kaum tersebut.” (HR Imām Abū Dāwūd dalam Sunannya dan dishahihkan oleh Ibnu Hibban)

Apakah menyerupai suatu kaum secara otomatis akan menjadi bagian dari kaum tersebut ?

Siapa yang menyerupai suatu kaum, maka ia termasuk bagian dari mereka” (HR: Abu Dawud)

Kesahihan hadis tersebut sebenarnya masih diperdebatkan ulama. Ada yang mengatakan sahih, tapi tidak sedikit pula yang berpendapat hadis ini dhaif (lemah).

Redaksi lengkap dari hadist tersebut diatas adalah sebagai berikut,

Diriwayatkan oleh Abu Daawud no. 4031, Ahmad 2/50 & 2/92, Ath-Thabaraaniy dalam Musnad asy-Syaamiyyiin no. 216, ‘Abdun bin Humaid dalamAl-Muntakhab no. 846, Ibnu Abi Syaibah 5/313 & 12/531, Abu Ya’laa Al-Maushiliy sebagaimana dibawakan Al-Bushairiy dalam Ittihaaful-Khairah no. 5437 & 6205, Ibnul-‘Arabiy dalam Mu’jam-nya no. 1137, Ad-Diinawawiy dalam Al-Mujaalasah wa Jawaahirul-‘Ilmino. 147, Al-Baihaqiy dalam Syu’abul-Iimaanno. 1199, Al-Harawiy dalam Dzammul-Kalaamno. 476, Al-Khathiib dalam Al-Faqiih wal-Mutafaqqih2/73, Tamaam Ar-Raaziy dalam Al-Fawaaidno. 770, Ibnul-Jauziy dalam Tabliis Ibliis1/170, Muhammad bin Nashr Ar-Ramliy dalamTafsiir ‘Athaa’ Al-Khurasaaniy*[no. 395, Al-Mizziy dalam Tahdziibul-Kamaal 34/324, Adz-Dzahabiy dalam As-Siyar15/509, dan Ibnu Hajar dalam Taghliiqut-Ta’liq3/444; dari beberapa jalan, dari ‘Abdurrahmaan bin Tsaabit bin Tsaubaan : Telah menceritakan kepada kami Hassaan bin ‘Athiyyah, dari Abul-Muniib Al-Jurasyiy, dari Ibnu ‘Umar, ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam :

“Aku diutus dengan pedang menjelang hari kiamat hingga hanya Allah semata lah yang disembah, tidak ada sekutu bagi-Nya; dijadikan rizkiku di bawah bayangan tombakku; dan dijadikan kehinaan dan kerendahan bagi siapa saja yang menyelisihi perkaraku. Barangsiapa menyerupai suatu kaum, maka ia termasuk golongan mereka”.

Ibnu Hajar al-‘Asqalani dalam Fathul Bari menjelaskan perbedaan pendapat ini dikarenakan perawi bernama ‘Abdul Rahman Ibn Tsabit Ibn Tsauban. Ulama berbeda pendapat dalam menilai ‘Abdul Rahman ini. Sebagaimana dicatat al-Dzahabi dalam Siyar A’lam al-Nubala’, al-Nasa’i mengatakan ‘Abdur Rahman laysa bi tsiqah; Ahmad Ibn Hanbal berpendapat riwayat hadisnya munkar; Yahya Ibn Ma’in menilai laysa bihi ba’s; Ibnu ‘Adi mengatakan hadisnya tetap ditulis sekali pun dhaif.

Andaikan hadis ini kita katakan sahih, namun apakah ini dapat dijadikan dalil larangan menyerupai nonmuslim? Menurut Kiai Ali Mustafa Ya’qub, hadis ini tidak dapat dijadikan dalil keharaman menyerupai nonmuslim dalam hal berpakaian, rambut, dan sejenisnya. Kecuali jika tasyabbuh (menyerupai) tersebut terjadi dalam hal pakaian khas keagamaan nonmuslim dan tasyabbuh dalam bidang akidah dan ibadah.

Oleh karenanya, hadis tasyabbuh di atas tidak boleh digeneralisir maknanya sebab akan bertentangan dengan hadis lain yang lebih sahih. Dalam Shahih al-Bukhari disebutkan Ibnu ‘Abbas pernah berkata:

“Sesungguhnya Rasulullah SAW menyukai untuk menyamai Ahlul Kitab dalam hal yang tidak diperintahkan (di luar masalah keagamaan)” (HR: al-Bukhari)

Dalam beberapa hal, khususnya persoalan mu’amalah dan tidak berkaitan dengan akidah, justru Rasulullah SAW tidak sekaku yang kita bayangkan. Terkadang beliau juga mengikuti penampilan ahlul kitab dan model sisiran rambut mereka. Hal ini sebagaimana yang disaksikan langsung oleh Ibnu ‘Abbas.

Memang ada beberapa hadis sahih yang memerintahkan agar umat Islam harus berbeda dengan nonmuslim. Misalnya dalam riwayat al-Bukhari dikatakan khaliful yahud (berbedalah dengan orang Yahudi). Namun perlu digarisbahawi, hadis seperti ini muncul dalam konteks perang antara muslim dengan nonmuslim. Pada waktu itu belum ada pembeda khusus antara kedua belah piha,k melainkan dari penampilan fisik. Maka dari itu, Rasulullah SAW menyuruh memanjangkan jenggot dan mencukur kumis untuk membedakan muslim dengan orang kafir.

Dengan demikian, pada situasi damai, antara muslim dan nonmuslim, keduanya dapat berjalan bergandeng tangan dan berkerja sama. Meskipun beda agama, maka pembedaan fisik antara keduanya tidak diperlukan lagi. Wallahu a’lam.

Referensi :