Apakah Menentang Pernikahan Gay Termasuk Bentuk Diskriminasi?

Indonesia di mata dunia terkenal dengan negara yang memiliki demokrasi yang sangat baik, namun dengan demokrasi ini justru memicu timbulnya intoleransi yang tak terbelenggu, tak terkecuali tindakan intoleransi besar-besaran terhadap kaum minoritas seperti kaum LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender). Di beberapa daerah di Indonesia umumnya menolak keras keberadaan LGBT, maka ketika membicarakan hak-hak dasar warga negara, komunitas LGBT banyak menemukan kesulitan dan benturan sosial.

Mereka yang mendukung mengatakan bahwa hak harus untuk semua, tanpa membedakan berdasarkan ras, agama, jenis kelamin atau pilihan seksual. Dengan alasan ini, menolak hak untuk menikah akan menjadi bagian dari diskriminasi.

Tetapi di sisi lain, para pencela yang berpegang teguh kepada doktrin keagamaan yang konservatif, dari sudut pandang agama, homoseksualitas dianggap sebagai pen-dosa. Dari sudut pandang hukum, dilihat sebagai (pen) jahat. Dari sudut pandang medis terkadang masih dianggap sebagai penyakit. Dan dari sudut pandang opini publik, dianggap sebagai penyimpangan sosial. Maka dari itu tidak sedikit masyarakat yang membenci, menolak, takut, merasa jijik, melakukan kekerasan fisik, bahkan mengucilkan, menjauhi orang-orang LGBT dan bentuk diskriminatif lainnya.

Berdasarkan dua argumen di atas fenomena ini membuktikan dengan jelas bahwa masyarakat Indonesia masih merasa terombang-ambing sudut pandangnya. Pihak pro mengatasnamakan hak dan pihak yang menolak keras menyebut pernikahan Gay (homoseksualitas) merupakan penyimpangan sosial yang tidak sesuai dengan nilai dan norma yang berlaku.

Menurut Youdics, bagaimana menurutmu? Apakah menentang pernikahan Gay termasuk tindakan diskriminasi?

3 Likes

Masalah utama dari LGBT di Indonesia sendiri adalah bagaimana itu diterima dalam budaya ketimuran kental masyarakat Indonesia yang menganggap jika LGBT adalah sebuah perbuatan menyimpang yang dilarang dalam norma sosial, norma agama, dan juga norma susila. Dan dari segi hukum yang berlaku di Indonesia sendiri, LGBT merupakan sebuah bentuk penyimpangan seksual yang diatur dalam Pasal 85 RUU Ketahanan Keluarga yang mengatur tentang Krisis dalam Keluarga. Akan Tetapi, LGBT sendiri bukan merupakan kasus pidana jika mengacu pada RUKUHP sehingga kaum LGBT tidak di kriminalisasikan di Indonesia yang hal ini juga membuat aktivitas sesama jenis menjadi legal – legal saja di Indonesia. Kendati demikian, Hukum Indonesia sendiri tidak melindungi kaum LGBT dari sasaran diskriminasi dan sentimen negatif dari masyarakat.

Dalam segi kesehatan sendiri, hubungan sesama jenis ternyata juga menjadi tempat penyebaran virus HIV/AIDS yang selama ini menjadi momok masyarakat. Penelitian yang dilakukan oleh Herlani et al (2016) yang memfokuskan kepada gambaran perilaku seksual beresiko HIV di Kota Semarang, menemukan bahwa terjadi peningkatan terhadap penyakit HIV/AIDS dalam kurun waktu 1987 – 2013 seiring peningkatan terhadap populasi gay dan lesbian di Indonesia. Hal ini menunjukan jika resiko penularan HIV/AIDS terlihat lebih besar terjadi di kaum dan komunitas LGBT ketimbang heteroseksual. Tetapi, dari segi psikologis, LGBT sendiri juga sudah dihapus dari daftar penyakit kejiwaan dari WHO per tahun 1990 dan juga Depkes RI melalui Buku Pedoman Penanganan dan Diagnosa Penyakit Kejiwaan di Indonesia Edisi II dan III yang diterbitkan tahun 1983 juga sudah menghapus LGBT dari penyakit kejiwaan dan menganggapnya sebagai bagian dari identitas.

Menyikapi fenonema di atas, maka saya dapat berkesimpulan jika saya sendiri, tanpa mengurangi rasa hormat, pertentangan terhadap pernikahan gay sebagai sesuatu yang bisa dibilang bisa disetujui dan bisa juga tidak. Bisa disetujui dalam artian, LGBT bukanlah sesuatu yang dapat diterima dengan mudah di budaya ketimuran yang kental seperti Indonesia dan akan terus menjadi bahan diskriminasi dan persekusi selama kehadirannya masih ditemukan di Indonesia. Dalam pandangan saya juga, LGBT itu sendiri sebetulnya juga kurang dapat diterima dengan logika dan hukum alam mengingat hubungan pernikahan dan seks seharusnya merupakan hubungan antara pria dan wanita.

Dalam sisi yang satunya, saya juga tidak setuju jika pernikahan LGBT mendapatkan persekusi dan stigmatisasi yang berlebihan mengingat kaum LGBT sendiri juga bagian dari masyarakat yang sebenarnya juga memiliki hak – hak hidup yang sama seperti kita, termasuk dalam hal pernikahan walaupun pada kenyataannya, hukum Indonesia pun juga tidak menerima pernikahan dari pasangan sesama jenis, sehingga kebanyakan dari mereka pada akhirnya menutup diri dari masyarakat atau berimigrasi ke negara yang toleran terhadap pernikahan sesama jenis. Jadi pertanyaan ini sebenarnya adalah dua titik mata pisau yang saling berlawanan.

Referensi :

  1. Herlani, R., Riyanti, E., & Widjanarko, B. (Juli, 2016). GAMBARAN PERILAKU SEKSUAL BERISIKO HIV AIDS PADA PASANGAN GAY (Studi Kualitatif di Kota Semarang). Jurnal Kesehatan Masyarakat. 4(3). 1059 – 1066.
  2. Adam, A. (2018). Nasib LGBT di Indonesia: Target Kebencian, Razia, dan Penjara RKUHP. Tirto. Retrived from Nasib LGBT di Indonesia: Target Kebencian, Razia, dan Penjara RKUHP
1 Like

Menanggapi pertanyaan diatas saya rasa cukup sulit karena banyak hal yang berlawanan antara Agama dan HAM. Indonesia adalah negara yang memegang teguh ajaran agama, sehingga perilaku seksual menyimpang tentu tidak dapat diterima begitu saja. Di sisi lain Indonesia merupakan negara yang mengakui HAM, di mana kaum LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender) merasa mengalami diskriminasi dan pelanggaran HAM karena orientasi seksual mereka yang menyimpang. Sementara itu, orientasi seksual sebenarnya tidak ditentukan dalam UDHR 1948 yang menjadi pandangan universal PBB terhadap HAM.

Mereka yang pro terhadap perilaku seksual yang menyimpang, kerap menjadikan HAM sebagai perisai untuk melindungi kepentingan kaum LGBT. Bahwasanya mereka adalah manusia yang juga memiliki hak dan kesempatan yang sama dan tidak boleh diperlakukan secara diskriminatif (mengkriminalisasi orientasi seksual mereka). Di sisi lain, Indonesia adalah negara yang berke-Tuhanan, sebagai negara yang mengakui adanya Tuhan, warga negaranya diberi kebebasan untuk melaksanakan perintah Tuhan sebagaimana yang termaktub dalam kitab suci dan ajaran agama masing-masing. Berdasarkan pada ajaran agama-agama yang diakui di Indonesia, tidak terdapat alasan pembenar yang dapat dijadikan dalil untuk membenarkan perilaku seksual menyimpang kaum LGBT.

Ringkasan

Yansyah, R., & Rahayu, R. (2018). Globalisasi Lesbian, Gay, Biseksual, Dan Transgender (Lgbt): Perspektif Ham Dan Agama Dalam Lingkup Hukum Di Indonesia. Law Reform , 14 (1), 132. GLOBALISASI LESBIAN, GAY, BISEKSUAL, DAN TRANSGENDER (LGBT): PERSPEKTIF HAM DAN AGAMA DALAM LINGKUP HUKUM DI INDONESIA | Yansyah | LAW REFORM

1 Like

PPDGJ III (Pedoman Penggolongan Diagnosis Gangguan Jiwa III)

Merupakan pedoman di Indonesia yang merujuk pada ICD 10 (International Classification Of Desease 10. Sedangkan ICD sendiri merupakan pedoman yang dikeluarkan oleh WHO (World Health Organization). Merujuk pada PPDGJ III halaman 288 poin F66 (Terlampir) tertulis “ORIENTASI SEKSUAL SENDIRI JANGAN DIANGGAP SEBAGAI SUATU GANGGUAN)

Berdasarkan penyataan tersebut, maka sudah jelas bahwa heteroseksualitas, homoseksualitas, dan biseksualitas bukan gangguan, karena merupakan orientasi seksual.

Bukan LQBT+ yang harus disembuhkan, karena itu bukan jenis penyakit, kelainan atau orang sakit jiwa. Maka yang diperlukan yang sebenarnya adalah edukasi. Masyarakat perlu aware dan tidak bersikap membenci terhadap golongan-golongan yang memiliki orientasi seksual yang berbeda.

Perjuangan LQBT+ merupakan penegakan keadilan hak asasi manusia yang mana setiap masyarakat memiliki hak atas hidupnya.

Tidak muluk-muluk terkait LQBT+ yang diterima oleh masyarakat atau tidak namun permasalahan utamanya adalah orientasi seksual orang lain diperdebatkan sampai membuat pertumbuhan individu bahkan jiwa menjadi terancam seolah mereka tidak berhak hidup atas kodrat mereka. Terbebas dari label agama atau hal lainnya, orang-orang yang tidak menyukai kelompok LGBT+ setidaknya dapat membuat ruang aman untuk mereka, beradaptasi, hidup dan mengekspresikan diri mereka yang apa adanya.

Dalam hal ini saya setuju bahwa pernikahan gay termasuk diskriminasi, karena sudah sampai pada ujaran kebencian, perundungan bahkan mengabaikan mereka seolah mereka bukan manusia yang sama seperti hetero. Sekalipun masih sangat sulit mengedukasi masyarakat yang terkadang salah kaprah dan juga belum adanya ruang yang aman bagi mereka yang minoritas. Tidak muluk mengenai administrasi, untuk dapat diterima dan dianggap sepert biasa saya pun masih sulit di tengah society yang sangat tidak akrab terhadap kelompok LQBT.

Saya percaya bahwa setiap manusia berhak untuk memiliki hidup yang layak untuk mereka, terlepas dari keadaan mereka, jalan hidup mereka karena mereka dan kita sama, yaitu seorang manusia yang telah lahir ke bumi dan menjalankan hidup yang telah digariskan. Karena tidak sepatutnya kita yang hetero menyakiti dan menghakimi mereka. Yang harus digarisbawahi adalah Support LQBT maksudnya mendukung hak-haknya bukan support jumlah populasi penambahannya. Ibaratnya kita menghargai keberadaan mereka karena mereka manusia bukan atas karena ‘GAY’ Or ‘Lesbi’. Kita semua setara sebagai manusia yang sudah lahir ke bumi.

Referensi

WHO.1993. Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa (PPDGJIII) di Indonesia III, Cetakan I. Departemen Kesehatan R.I., DirektoratJendral Pelayanan Medik. Hal 288

1 Like

menurutku ini tergantung dari budaya yang dianut dari suatu negara. kita tidak bisa menyamakan perilaku dengan budaya yang berbeda. untuk indonesia walaupun menganut paham demokrasi dimana keadilan dijunjung tinggi tidak menutup kemungkinan adanya ketidak adilan didalam penerapannya. ditambah agama yang dianut di indonesia didominasi oleh islam yang memiliki keyakinan bahwa homo ini merupakan perilaku menyimpang sehinggga timbullah diskriminasi terhadap kaum penyuka sesama jenis ini.

juga pernyataan dari penelitian yang telah dilakukan menambah perilaku diskriminasi terhadap kaum LGBT ini. dan didalam ilmu kesehatan bukankah perilaku ini termasuk penyakit mental?. sangat banyak ilmu yang menyatakan bahwa perilaku dari kaum LGBT ini merupakan perilaku menyimpang sehingga dalam menentang pernikahan gay ini tidak termasuk kedalam bentuk diskriminasi tapi bentuk kepedulian terhadap sesama manusia agar kembali kepada jalur yang seharusnya.

1 Like

Jujur sangat sulit menanggapi hal ini. Aku sendiri tidak mendukung ataupun berpendapat bahwa “LGBT” itu benar. Namun di lain sisi aku tetap menghargai apapun pilihan seseorang dalam hidupnya, karena setiap manusia pastinya memliki hak untuk memilih akan hidup yang dijalaninya. Jadi prinsip aku adalah tidak membenarkan LGBT namun aku tetap mau eksistensi mereka, karena we are all human being. Menurut aku, jika dilihat dari sisi kemanusiaan, menentang pernikahan gay termasuk diskriminasi. Ya walapun benar seperti yang sudah disebutkan oleh teman-teman di atas, bahwa LGBT menyimpang budaya, nilai, norma, dan agama. Namun menurutku kita harus menerima perbedaan itu dan kita tidak memiliki hak untuk menjudge seseorang hanya karena perbedaan yang dimiliki, karena orang memiliki pilihan hidupnya masing-masing.

Menurutku, LGBT merupakan orientasi seksual given dari Tuhan bukan melanggar hukum, penegakan hukum dilakukan jika orang tersebut melanggar hukum. Kebebasan kita bukan untuk orang2 tertentu, apakah dia religius/ LGBT tetapi universal jika untuk kelompok tertentu aja itu diskriminasi.

Menurut aku menentang pernikahan sesama jenis ini adalah diskriminasi. Sebagai sesama manusia, mereka juga harus mendapatkan hak dan perlakuan yang sama. Lagipula apa yang mereka lakukan tidak merugikan orang lain. Negara menentang, masyarakatnya juga masih banyak yang tidak memanusiakan satu sama lain. Aku setuju banget sama pendapat ini.

Banyak masyarakat yang membenci mereka dibalik benteng agama. Padahal nyatanya semua agama mengajarkan kedamaian kepada umatnya. Mereka berhak untuk dihargai dan menjalani hidup seperti kita, orang-orang yang dianggap “normal”. Dan untuk ini:

Awalnya homoseksual memang dianggap sebagai gangguan mental. Namun, tidak dengan saat ini. Tahun 1973 American Psychological Association (APA) dalam Diagnostic and Statistical Manual (DSM) volume II, mengeluarkan homoseksual dari kategori gangguan mental. Stigma bahwa homoseksual merupakan gangguan mental sudah dihapus agar kelompok mereka tidak menerima diskriminasi lagi.

Referensi

https://www.sehatq.com/artikel/apa-itu-lgbt-benarkah-termasuk-gangguan-kepribadian