Apakah Mantan Nara Pidana Koruptor Sebaiknya Tidak Menjabat Kembali?

Pengangkatan mantan narapidana kasus korupsi proyek pembangunan PLTU Tarahan, Emir Moeis, sebagai komisaris PT Pupuk Iskandar Muda (PIM) dipermasalahkan banyak pihak. Banyak pihak yang meragukan integritasnya sebagai mantan koruptor. Bahkan ada yang mempertanyakan juga keseriusan pemerintah dalam memberantas kasus korupsi.

Tapi di sisi lain, pengangkatan Emir Moeis ini tidak menyalahi hukum karena ia memenuhi syarat-syarat formal calon anggota dewan komisaris. Di dalam syarat formal memang ada ketentuan terkait track record calon yang berbunyi : tidak pernah dihukum karena melakukan tindak pidana yang merugikan keuangan negara atau yang berkaitan dengan sektor keuangan dalam waktu lima tahun sebelum pencalonan.

Nah, kasus Emir Moeis sendiri terjadi pada tahun 2014, dan ia diketahui sudah bebas dari penjara sejak 2016 silam. Lagipula besar kemungkinan Emir Moeis dipilih sebagai komisaris atas dasar kompetensinya di bidang industri tersebut. Jadi apa iya, mantan koruptor tidak boleh diberi jabatan lagi?

2 Likes

Korupsi menjadi salah satu permasalahan yang seakan tidak ada habisnya. Saya beranggapan bahwa jika UU tentang tindak pidana korupsi ini tidak direvisi, para koruptor tidak akan jera dan melahirkan calon koruptor lainnya karena hukuman bagi koruptor sangatlah ringan dibandingkan dengan kerugian yang ditimbulkannya terhadap negara. Apalagi jika koruptor diberikan kesempatan untuk mengisi jabatan sebagai komisaris, penunjukan mantan koruptor tersebut dinilai melanggar prinsip dasar pemerintahan yang berintegritas.

Saya sangat setuju apabila mantan napi koruptor tidak diberi jabatan lagi sebagai salah satu efek jera untuk pembelajaran bagi pejabat lainnya. Karena jika terus diberi kemudahan seperti ini, bibit koruptor di negara kita tidak akan berkurang dan akan terus menjamur. Negara kita memiliki SDM yang mencukupi, ada banyak orang yang lebih kompeten dan lebih jujur daripada harus merekrut komisaris (pengawas) dari latar belakang eks napi korupsi.

1 Like

download (12)

Dalam perjalanan hidup ini tidak selalu berjalan sesuai yang direncanakan, dalam mencapai sebuah tujuan kita pasti akan selalu dihadapkan dengan yang namanya ujian. Ujian di dunia ini berbagai macam, misalnya Emir Moeis yang diberi ujian berupa jabatan dan kekayaan. Ia akhirnya menghalalkan berbagai cara seperti korupsi, untuk dapat meraup keuntungan.

Seorang mantan narapidana kasus korupsi memang sangat diragukan jika kembali diberi jabatan. Tetapi tidak setiap orang yang sudah melakukan kesalahan tidak dapat mempunyai kesempatan untuk menjadi pribadi yang lebih baik. Apalagi jika tuntutan hukum sudah dijalani dan Emir Moeis menyesali perbuatannya. Kita memang tidak mengetahui apakan mantan napi tersebut benar-benar menyesali perbuatannya atau tidak sama sekali. Tetapi, menurut pendapat saya tidak salah jika memberi kesempatan kedua untuk mantan napi tersebut. Jika sesuai dengan kriteria yang berlaku boleh saja mantan napi koruptor diberi jabatan lagi. Karena orang yang pernah berbuat kesalahan dan menyesali kesalahannya justru akan menjadi seseorang yang lebih tangguh, berkembang dan tidak akan terjerumus pada kesalahan yang sama.

Jadikan kesalahan sebagai cara kita belajar, cara kita mengoreksi kesalahan tersebut, serta sebagai cara kita bangkit menjadi lebih baik.

1 Like

Menurut saya pribadi, untuk menduduki suatu jabatan apapun, seseorang yang mengajukan diri haruslah memantaskan diri dan memenuhi kualifikasi yang telah ditetapkan. Hal ini bertujuan agar apabila calon tersebut kemudian menduduki jabatan (terutama jabatan yang tinggi) dapat menjalankan tugas-tugasnya secara bertanggungjawab dan amanah, sehingga dapat bermanfaat bagi orang banyak. Apabila dikaitkan dengan kasus yang disebutkan diatas, saya pribadi merasa tidak setuju apabila seorang mantan napi koruptor diberikan jabatan lagi, meskipun di beberapa aspek ia memang memiliki kompetensi di industry tersebut. Hal ini dikarenakan korupsi merupakan tindak pidana yang sangat merugikan banyak orang dan negara, dan menurut saya melarang mantan koruptor menduduki suatu jabatan merupakan salah satu sanksi agar dapat menimbulkan efek jera.

Belum lagi pandangan masyarakat Indonesia terhadap korupsi sebagai extraordinary crime, yaitu korupsi merupakan tindak pidana yang sangat merugikan perekonomian negara, salah satu bentuk pelanggaran terhadap hak-hak sosial masyarakat, dan merupakan kasus yang tidak hanya menjadi masalah local tapi juga internasional (Amir dalam Nawawi et al., 2019). Oleh karenanya, jabatan tersebut mungkin dapat diisi dengan kandidat lain, mengingat SDM di suatu perusahaan pasti banyak tersedia.

Referensi

Nawawi, J., Amir, I., & Muljan, M. (2019). Problematika Gagasan Larangan Mantan Napi Korupsi Menjadi Calon Anggota Legislatif. Al-Adalah: Jurnal Hukum dan Politik Islam , 3 (2), 141-155.

Iya, sebaiknya tidak. Amanah yang dulu sudah pernah diberikan saja tidak dapat dijaga dengan baik, lalu apakah harus diberikan sekali lagi untuk membuktikannya? Bagi saya negara Indonesia sebenarnya tidak ‘miskin’ dalam sumber daya manusia, malahan negara Indonesia sebenarnya ‘miskin’ dalam nilai-nilai moral & kemanusiaan.

Memang sih yang namanya manusia pasti tidak akan pernah terluput dari yang namanya kesalahan (jadi memang masih bisa dimaafkan untuk kasus tertentu). Akan tetapi, khusus untuk kejahatan karena kasus korupsi tidak ada yang namanya toleransi sedikit pun dari saya mau dia berasal dari golongan manapun.

Menurut saya, iya tidak lagi diberikan jabatan. Karena yang berhak menduduki nya yaitu orang yang benar-benar terbaik dan cocok menepati jabatan tersebut. Masih banyak orang yang layak untuk duduk di kursi pemerintahan selain para koruptor yang sudah leha-leha menghabiskan uang rakyat. Bisa jadi para koruptor ini akan melakukan kembali aksinya. Dan pemerintah akan rugi kembali.

Ya bisa saja kata-kata ini menjadi acuan jika memang seorang koruptor diberi jabatan lagi

Berkaitan dengan tidak pemberian jabatan kepada napi koruptor, hal tersebut harus disesuaikan kembali dengan perbuatan serta jatuhan hukuman kepada napi koruptor dan pasal-pasal yang terdapat pada Undang-Undang.

Hukum sebagai sarana rekayasa sosial digunakan untuk mewujudkan cita-cita politik nasional dalam tuntutan politik yang harus dijalankan oleh penguasa politik, dalam hal ini dapat tergambarkan dalam hukum nasional sebagai produk politik, namun tidak semua produk politik dapat diterima masyarakat. Salah satu diantaranya yakni larangan pencalonan mantan narapidana kokrupsi pada pemilu legislatif serentak pada tahun 2019.

Pro-kontra terhadap larangan tersebut merupakan tahapan Peraturan Komisi Pemilihan Umum (Peraturan KPU) No.20 Tahun 2018 tentang Pencalonan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/ Kota, dan Peraturan KPU No.14 Tahun 2018 tentang Pencalonan Perseorangan Peserta Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Daerah yang sekarang sudah di ubah menjadi Peraturan KPU No.26 Tahun 2018 Tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan KPU No.14 Tahun 2018 tentang Pencalonan Perseorangan Peserta Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Daerah (aturan larangan), yang ada pokoknya aturan mengenai larangan mantan narapidana korupsi untuk mencalonkan diri sebgai calon legislatif pada pemilu serentak pada tahun 2019.

Mengenai kasus napi koruptor tidak diberi jabatan lagi ini pernah dibahas pada beberapa peraturan perundang-undangan, salah satu diantaranya sebagai berikut.

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah pada Pasal 58 huruf f Undang Undang yang mengatakan bahwa "*Calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah adalah warga negara Republik Indonesia yang memenuhi syarat… pada huruf f yang berbunyi "tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau lebih"emphasized text

Dari beberapa aturan larangan tersebut, terlihat bahwa aturan mengenai larangan ini sudah pernah ada namun dianggap melanggar konsititusi, maka Mahkamah Konstitusi membatalkan bebera[a aturan tersebut dalam beberapa Putusan Mahkamah Konstitusi (Putusan MK) No. 14-17/ PUU-V/2007, No. 004/PUU-VII/2009, No. 42/PUU-XII/2015, dan No. 71-PUU-XIV-2016.

Namun melihat dari sisi “hukum sebagai sarana rekayasa sosial”, terdapat keinginan menciptakan pemimpin hasil pemilu yang bersih dari korupsi, kolusi dan nepotisme dengan harapan terwujudnya penyelenggaraan pemerintahan yang bersih dan berintegriitas, karena pemimpin dalam suatu pemerintahan mempunyai pernan dan sangat menentukan eksistensi suatu negara.

Maka dari itu, saya sangat setuju jika mantan napi koruptor tidak diberikan jabatan lagi agar dapat memberikan efek jera kepada masyarakat terhadap dampak dari korupsi.

1 Like

Aku tidak setuju jika mantan koruptor tidak boleh atau tidak berhak untuk diberikan jabatan lagi. Menurutku apa salahnya memberikan kesempatan yang kedua?Apalagi jika beliau memiliki kompetensi di bidang industry tersebut dan juga sudah memenuhi kualifikasi dari jabatan tersebut.

Dan aku sangat setuju dengan pendapat kak @Dina_Maharani di atas, dan menurutku “Everyone makes mistakes and everyone deserves a second chance”. Orang melakukan satu kesalahan belum tentu akan melakukan kesalahan yang sama di lain waku. Hati dan pikiran seseorang dapat dibolakbalikkan, dan siapa tau beliau benar-benar berubah menjadi pribadi yang lebih baik lagi kedepannya. So, kita tidak memiliki hak untuk menjudge seseorang atas kesalahan yang diperbuat, karena kita berada di situasi dan kondisi yang berbeda dengan orang lain. “Don’t judge someone just because they sin differently than you”.

Jika dilihat dari sisi hukum, mantan koruptor sebenarnya masih bisa memiliki jabatan lagi. Berdasarkan Pasal 7 ayat (2) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016, yang tidak boleh mencalonkan diri adalah orang yang sudah pernah menjadi terpidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah bersifat tetap. Namun, jika mantan terpidana tersebut secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan adalah mantan terpidana, ia masih dapat mencalonkan diri. Tentunya juga dengan syarat utama yang wajib yaitu bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan setia kepada Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, cita-cita Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, dan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Jadi, dari sisi hukum di negara kita sendiri pun memperbolehkan seorang mantan koruptor untuk memiliki jabatan lagi, terlebih ia memiliki kompetensi dalam bidang industri tersebut yang sudah tidak diragukan lagi.

Summary

https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt5871b3b9db08b/bolehkah-mantan-terpidana-korupsi-menjabat-kembali-sebagai-kepala-daerah

Saya setuju dengan pendapat Kak Yuni Kartika. Politisi banyak melakukan tindakan korupsi karena hukum yang berlaku di Indonesia tumpul ke atas runcing ke bawah. Sehingga para politisi yang melakukan tindakan pidana hanya perlu membayar dan menyuap sejumlah petugas, kemudian masalah selesai begitu saja. Padahal, politisi dipilih oleh rakyat dan mendapatkan amanah sepenuhnya untuk menyejahterakan rakyat. Akan tetapi faktanya, politisi mengambil hak rakyat untuk kepentingan pribadi.

Saya sangat setuju apabila mantan napi koruptor tidak diberi jabatan lagi dan di blacklist dari jabatan lainnya. Hal ini dilakukan untuk mengurangi jumlah pelaku korupsi di Indonesia dan memberikan pembelajaran bagi para politisi lainnya untuk selalu bersikap adil dan jujur.

Mungkin bagi kalian, napi koruptor berbeda dengan napi biasa. Namun sering sekali masyarakat mengelu-elukan hak asasi dan keadilan bagi para napi untuk mencari pekerjaan. Pernyataan tersebut bertolak belakang dengan ricuhnya penolakan bagi Emir Moeis untuk mengejar karir.

Dalam prinsip penilaian saya, penilaian dibagi dua yaitu secara objektif dan subjektif. Objektif adalah penilaian yang terlihat jelas data-datanya, sementara subjektif adalah yang tidak bisa dilihat dan memiliki banyak persepsi.

Tampaknya secara objektif, Emir Moeis memiliki segudang prestasi dan kualifikasi yang diperlukan dalam pekerjaannya. Setelah lulus Sarjana Tenik Industri di Institut Teknologi Bandung (ITB) pada 1975 silam, Emir Moeis memulai kariernya sebagai dosen di Fakultas Teknik Universitas Indonesia. Pria yang lahir pada tanggal 27 Agustus 1950 ini juga akhirnya mendapatkan gelar magister di pasca sarjana MIPA Universitas Indonesia. Bahkan di saat yang sama, ia juga didapuk menjadi Manager Bisnis di PT Tirta Menggala. Ini membuktikan Emir Moeis memiliki manajemen yang baik dan juga cukup baik di akademik. Selain berkecipung di dunia bisnis dan teknik, Emir Moeis juga sempat berada di dunia politik. Sepanjang tahun 2000 hingga 2013 silam, ia adalah salah satu anggota DPR RI dari Fraksi PDIP. Dengan pengalaman seperti itu, tidak heran jika Emir Moeis termasuk salah satu kandidat yang kuat untuk pekerjaan itu.

Namun dari sisi subjektif, beliau adalah mantan napi koruptor. Tidak ada larangan karena aturan track recordnya adalah 5 tahun terakhir. Ia diangkat pada tahun 2021, sementara catatan korupsinya pada tahun 2010. Keputusan dan aturan yang sudah dibuat ini pasti penuh pertimbangan dan dipikirkan matang-matang, dan mereka juga memiliki teknik dan sanksi serta aturan sendiri untuk menghadapi masalah yang akan datang. Saya tidak berani mengomentari banyak-banyak sebelum tahu apa yang terjadi di balik layar, namun menurut saya jika mereka mempekerjakan mantan napi koruptor, mereka pasti sudah siap untuk menanggung semua konsekuensinya yang ada.

Sumber
Kekayaan Capai Rp11 M! Ini 5 Fakta Emir Moeis, Eks Napi Koruptor yang Jadi Komisaris BUMN (akurat.co)

1 Like

Variasi persepsi mengenai hal ini pasti banyak sekali. Maksud saya adalah tergantung kebijakan dan pola pikir perekrut saat itu. Saya setuju bahwa kita tidak bisa percaya 100% terhadap mantan napi koruptor, dan harus ada full pengawasan, namun saya juga agak tidak setuju jika mantan napi, secara umum, tidak diberikan kesempatan lagi.

Bagi beberapa orang, ini bukan masalah aspirasi, ini adalah masalah struktural yang melibatkan diskriminasi dan kurangnya kesempatan yang tersedia bagi orang-orang yang pernah ke penjara. Tetapi bagi sebagian orang, pasti kompetensi dan track record sangat penting. Kasus ini cukup menarik untuk dibahas.

Untuk menduduki suatu jabatan, memang harus melalui kompetensi dan kualifikasi, dan saya rasa Emir Moeis memenuhi penilaian objektif tersebut. Namun secara subjektif ia tidak terlalu bagus track recordnya.

Namun, saat ini mungkin BUMN sedang memikirkan apa yang terbaik untuk masa depannya, yaitu juga merekrut orang yang berpotensi untuk membawa BUMN ke arah yang baik dan pilihan jatuh kepada Emir Moeis. Keputusan ini pastilah tidak mudah untuk dibuat dan para pejabat lain pasti sudah memikirkan ke depan segala konsekuensinya.