Apakah Makna Islam Yang Berarti Berserah Diri?

3_19

“Al-Islam” pada ayat “Inna al-Din ‘IndaLlah al-Islam” terkadang ditakwilkan bermakna “berserah diri di hadapan Tuhan” dimana Islam di sini disebut dengan nama derivatnya (yang bermakna berserah diri)

Berserah diri (taslim) di hadapan Tuhan memiliki derajat dan tingkatan yang berbeda-beda:

  1. Berserah diri secara takwini seluruh eksisten dan entitas termasuk manusia, di hadapan Tuhan: Artinya makna penciptaan, pergantian dan perubahan takwini pada seluruh entitas tersebut, kualitas, jenisnya dan pada akhirnya kematiannya seluruhnya tidak diserahkan kepada mereka dan seluruhnya secara deterministik berserah diri (taslim) di hadapan takdir, penciptaan, pengaturan, penguasaan dan pengelolaan-Nya. Artinya bahwa bahkan orang-orang yang menentang dan kaum musyrikin, kuffar dan kaum munafik, dalam penyerahan diri secara tawkini ini, berserah diri secara totalitas di hadapan-Nya dan mereka tidak memiliki kekuasaan untuk membangkangnya.

  2. Islam bermakna bahwa fitrah manusia apabila tidak berada di bawah pelbagai pengajaran dan tarbiyah yang salah, ia adalah sosok yang senantiasa mencari Tuhan, tunduk dan berserah diri secara totalitas di hadapan Sang Pencipta, Pemberi Rezeki, Pengatur, Penguasa Mutlak. Dan tentu saja ia memiliki kecendrungan terhadap tauhid dan menjauh diri penyimpangan dan kemusyrikan. Islam ini adalah sebuah batin yang mengantarkan Ibrahim As kepada malakut langit-langit dan berseru dari kedalaman jiwa dan hati:

    “Sesungguhnya aku menghadapkan diriku kepada Tuhan yang menciptakan langit dan bumi, dengan keimanan yang murni dan tulus kepada-Nya, dan aku bukanlah termasuk orang-orang yang mempersekutukan Tuhan.” (Qs. Al-An’am [6]:79)

  3. Islam bermakna berserah diri di hadapan agama – yaitu titah dan larangan Ilahi dalam bidang pemikiran, pelbagai kondisi dan pelbagai perbuatan – tanpa reserved dan diskriminasi di antara ajaran-ajaran, maarif, amalan dan akhlak Ilahi, dengan mengerjakan sebagian dan meninggalkan sebagian lainnya.

    “Taslim” ini adalah keniscayaan klaim “keberagamaan”. Artinya apabila ada seseorang yang benar-benar memandang dirinya sebagai orang yang beragama dan committed terhadap agama Ilahi, maka ia harus berserah diri di hadapan segala titah dan larangan Ilahi, walau keduanya bertentangan dengan tabiat dan kecendrungannya.

Dengan demikian, apabila nabi yang menjadi kecintaannya menganjurkan bahwa setelah beberapa lama ia harus meninggalkan syariatnya, (ajaran lama nabi tersebut) mengamalkan syariat dan mengikuti nabi baru yang datang selepasnya, apabila ia merupakan pengikut sejati nabinya, maka dengan datangnya nabi setelahnya ia memiliki tugas dan kewajiban untuk melepaskan syariat yang lama tersebut dan mengamalkan syariat baru yang dibawa oleh nabi baru.
Sebagaimana apabila Yahudi benar-benar merupakan pengikut Musa As, maka ia harus menjadi pengikut Isa As setelah kedatangannya dan pada masa itu tidak lagi dijumpai agama Yahudi. Demikian juga apabila orang-orang Nasrani benar-benar merupakan pengikut Isa As, maka mereka harus menunaikan perintah Isa As untuk mengikuti nabi yang diutus setelahnya, yaitu Muhammad bin Abdillah Saw dan menarik diri dari agama yang menyimpang dan benar-benar menjadi seorang muslim (yang berserah diri).
4. “Islam” adalah syariat paling pamungkas, paling sempurna, dan syariat Ilahi paling lengkap yang menganulir seluruh syariat sebelumnnya dan setelahnya tidak akan ada syariat yang akan menganulirnya.[4] Dengan demikian, dengan diutusnya Rasulullah Saw dan disempurnakanya agama ini, maka tiada agama dan syariat yang akan diterima dari siapa pun, karena tidak akan syariat baru yang mendapatkan keridhaan Allah Swt.
Lantaran iman kepada Nabi Saw dan berserah diri di hadapan agama ini, meniscayakan iman dan pembenaran terhadap pelbagai syariat dan nabi yang lain dan juga iman dan pembenaran terhadap pelengkap dan penyempurna pelbagai syariat dan nabi tersebut (hukum-hukum, maarif baru dan terkini), akan tetapi iman terhadap syariat-syariat lainnya adalah iman terhadap agama yang tidak dapat menjawab seluruh kebutuhan dan tuntutan umat manusia untuk mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat secara sempurna dan tuntas. Oleh itu, agama dan syariat tersebut adalah agama yang tidak sempurna dan tidak benar. Agama-agama tersebut tidak dapat menjadi agama-agama yang mendapatkan keridhaan Tuhan dan diterima oleh-Nya dan pelbagai konsekuensinya untuk mendapatkan ganjaran dan hajaran! Khususnya agama-agama yang telah menyimpang dan telah menjauhkan dirinya dari rel kebenaran