Sabar secara etimologi berasal dari kata al-Man’û (menahan), al-Habsu (mencegah), al-Syiddah (kokoh), al-Quwwah (kekuatan), dan al-Dhammu (menghimpun). Jadi secara terminologi sabar adalah menahan dari jiwa yang lemah, lisan dari mengeluh, dan organ tubuh dari berbuat sesuatu yang tak layak untuk dilakukan.
Adapun hakikat sabar ialah salah satu akhlak yang mulia yang menghalangi munculnya tindakan yang tidak baik dan tidak memikat serta salah satu kekuatan jiwa dan dengannya segala urusan jiwa menjadi baik dan tuntas. Sabar juga merupakan sikap ketegaran hati ketika menghadapi goncangan, musibah ataupun cobaan.
Sabar termasuk salah satu budi pekerti yang dapat dibentuk oleh seseorang. Ia menahan nafsu dari putus asa, sedih, dan sentimentil. Ia menahan jiwa dari kemarahan, menahan lidah dari merintih kesakitan dan anggota badan dari melakukan sesuatu yang tidak pantas. Sabar merupakan ketegaran hati atas hukum takdir dan hukum-hukum syari’at.
Lawan kata dari sabar ialah berkeluh kesah. Berkeluh kesah adalah sahabat dekat dan saudara kandung dengan kelemahan, sedang sabar ialah sahabat intim dan pangkalnya kecerdasan.
“Jika keluh kesah ditanya, siapa ayahmu?” Pasti ia menjawab, “Ayahku adalah kelemahan.” “Jika kecerdasan ditanya, siapa ayahmu?”. Pasti ia menjawab, “ayahku adalah sabar.”
Sabar dalam Islam artinya sikap tahan menderita, hati-hati dalam bertindak, tahan uji dalam mengabdi dan mengemban perintah-perintah Allah serta tahan dari godaan dan cobaan duniawi, seperti yang sering ditunjukkan oleh para sufi.
Dalam pandangan kaum sufi, musuh terberat bagi orang-orang beriman ialah dorongan hawa nafsunya sendiri, yang setiap saat datang menggoyahkan iman. Kasabaran merupakan kunci keberhasilan dalam meraih karunia Allah yang lebih besar, mendekatkan diri kepada-Nya, mendapatkan cinta-Nya, mengenal-Nya secara mendalam melalui hati sanubari, bahkan merasa bersatu dengan-Nya, karena tanpa kesabaran keberhasilan tidak mungkin dicapai.
Dalam usaha mendekatkan diri kepada Allah sedekat-dekatnya ini, seorang hamba harus mensucikan jiwanya terlebih dahulu dari hal-hal keduniawiaan yang dapat menghalangi ibadahnya. Selain itu seorang yang menempuh jalan kesufian harus melalui beberapa fase dan tangga keruhanian yang disebut dengan maqâmât. Salah satu maqâm yang sangat penting adalah sabar.
Kesabaran adalah sisi yang penting dalam memperbaiki dan menghadapi kesulitan-kesulitan, baik yang bersifat mental maupun akal. Sabar merupakan sifat utama dalam kehidupan akhlak dan sabar adalah karakteristik esensial dari orang-orang tinggi dalam hal keimanan, spiritualitas dan dekat dengan Allah, dan merupakan suber kekuatan dari orang-orang ini menuju pemberhentian terakhir. Karena orang-orang yang istimewa dalam hal iman ini paling sering tertimpa ujian dan cobaan, maka mereka ini adalah perwujudan sempurna dari semua aspek atau jenis kesabaran.
Sabar Menurut Ahli
Jalaludin Rakhmat mengatakan bahwa orang yang sabar adalah orang yang paling tinggi dalam kecerdasan emosionalnya. Ia biasanya tabah dalam menghadapi kesulitan.
Ketika belajar, orang ini tekun, berhasil mengatasi berbagai gangguan dan tidak memperturutkan emosinya serta juga dapat mengendalikan emosinya. Emosi sangat mempengaruhi kehidupan manusia ketika dia mengambil keputusan. Tidak jarang suatu keputusan diambil melalui emosinya, tidak ada sama sekali keputusan yang diambil manusia murni dari pemikiran rasionya karena seluruh keputusan manusia memiliki warna emosional.
Jika kita memperhatikan keputusan-keputusan dalam kehidupan manusia ternyata keputusannya lebih banyak ditentukan oleh emosi dari pada akal sehat. Dan orang yang dapat mengendalikan emosinya serta dapat menahan diri, maka orang ini akan sukses dalam kehidupannya.
Nurcholish Madjid menekankan pengertian sabar pada kesanggupan untuk memikul penderitaan, karena berharap kepada Allah untuk meraih kemenangan di masa depan. Karena harapan itu ibarat pelampung yang mengambangkan kita dalam lautan dan gelombang kehidupan yang tidak menentu ini. Kita berani hidup karena ada harapan.
Sesuatu yang kita inginkan ternyata tidak terjadi hari ini maka kita masih harapkan terjadi besok atau lusa atau minggu depan atau bulan depan atau tahun depan dan seterusnya. Apabila yang kita inginkan tidak juga terwujud maka janganlah bersikap pesimis atau berpikiran negatif dan menuduh bahwa Tuhan tidak adil. Pikiran pesimis-negatif akan membuat kita mengalami kebangkrutan rohani, dan oleh sebab itu kita harus mengganti pandangan pesimistis-negatif dengan pandangan optimistis-positif, karena apapun yang terjadi pasti ada hikmahnya.
Merupakan kesombongan yang tidak masuk akal jika ingin mengetahui kehendak Tuhan. Tuhan Maha Kuasa dan Maha Besar sedang kita makhluk yang lemah dan tidak mungkin mengetahui segala sesuatu yang dikehendaki Allah.
Apabila kita mendapat suatu cobaan dari Tuhan, maka kita jangan berfikiran negative, melainkan kita harus sabar menerimanya sebab sikap sabar dapat membuat kita tidak kehilangan akal sehat.
Kesabaran itu ada beberapa macam,
-
Pertama ialah bersabar untuk menjauhi larangan Allah, seperti berzina, mabuk, berjudi, mencuri, dan korupsi.
-
Kedua ialah sabar dalam menjalankan ketaatan kepada Allah, memeliharanya terus-menerus, menjaganya dengan ikhlas dan memperbaikinya dengan pengetahuan.
-
Ketiga adalah sabar ketika mengalami musibah, seperti kematian, kecelakaan, usaha bangkrut, dipecat dari pekerjaan, difitnah dan sebagainya. Orang harus bersabar dalam menghadapi musibah, karena musibah itu merupakan cobaan dari Tuhan, apakah ia dapat menjalaninya dengan sabar atau berkeluh kesah. Kemudian perlu diingat bahwa nikmat yang diterima dari Tuhan masih jauh lebih besar dari pada musibah yang menimpanya.
Kesabaran itu sebenarnya ditentukan oleh dorongan hati. Hatilah yang kemudian harus dilatih dengan hal-hal yang positif agar selalu terdorong kepada perbuatan baik dan menghindari perbuatan buruk.
Yusuf Qardhawi dalam bukunya: Tafsir Tematik tentang Sabar, menulis bahwa sabar adalah menahan diri dari hal-hal yang tidak disukai. Sabar terhadap hal-hal yang tidak disukai memang lebih mudah karena pada dasarnya manusia memang tidak ingin melakukannya. Sedangkan sabar terhadap hal-hal yang disukai adalah lebih sulit karena pada dasarnya manusia selalu ingin melakukannya. Apa yang tidak disukai oleh manusia ada beraneka macam, karena itu ruang sabar sangat luas melampaui gambaran manusia bila mendengar kata ”sabar”.
Sasaran sabar ada dua macam yaitu
-
Pertama, sasaran fisik (badaniah) seperti menahan penderitaan badan dan tetap bertahan, seperti kerja berat dalam beribadat atau pekerjaan lainnya atau tahan terhadap pukulan keras, sakit yang berat dan luka yang parah. Hal itu dapat menjadi amal yang terpuji apabila sesuai dengan tuntutan syariat.
-
Kedua yaitu sabar mental (nafsu) menghadapi tuntutan adat kebiasaan dan dorongan nafsu syahwat.
Kahar Masyhur, sabar adalah tetap dalam cita-cita dalam melaksanakan agama Islam, karena dorongan agama dan menentang kemauan hawa nafsu.61 Berbeda dengan yang dikatakan
M. Quraish Shihab, memaknakan sabar pada tiga hal, pertama, menahan, kedua, ketinggian sesuatu dan ketiga sejenis batu. Dari makna menahan lahir makna konsisten atau bertahan, karena yang bertahan menahan pandangannya pada satu sikap, maka seseorang yang menahan gejolak hatinya itu dinamakan bersabar sedangkan yang ditahan di penjara sampai mati dinamakan mashbûrah.
Allah memerintahkan sabar dalam segala hal, menghadapi yang tidak disenangi, maupun yang disenangi. Hanya sekali Allah memberi manusia kebebasan untuk bersabar atau tidak bersabar, yakni ketika orang-orang durhaka dipersilahkan masuk ke neraka. Sabar selalu pahit awalnya tapi manis akhirnya.
Menurut Dzun-Nun al-Mishri, sabar adalah menjauhkan diri dari hal-hal yang bertentangan, tetap bersikap tenang ketika mengalami bencana yang menyakitkan dan menunjukkan bahwa dirinya tetap kaya padahal sedang tertimpa kefakiran. Namun tentu saja dengan merasa bahwa kehidupan yang dia jalani terasa lapang.
Mohammad Amin mengatakan bahwa tidak setiap orang yang menanggung penderitaan dan kesusahan dinamakan orang yang sabar dan memperoleh kesabaran. Orang yang sabar tidak lain hanyalah orang yang hatinya bersabar karena mengharap keridhaan Tuhannya. Beruntunglah orang yang berjihad di jalan Allah lalu bersabar, mengetahui nikmat-nikmat Allah lalu bersyukur, memerangi hawa nafsunya, menahan amarahnya sehingga selamat dari azab neraka dan memperoleh surga.
Al-Ghazali mengatakan bahwa sabar adalah sebagian dari agama. Sabar adalah ciri khas manusia bila dibanding dengan binatang dan malaikat. Binatang selalu dikuasai oleh hawa nafsu dan tunduk pada hawa nafsunya, sedangkan malaikat tidak dikuasai hawa nafsu sehingga tidak mengalami konflik dalam mendekatkan diri pada Allah dan semata-mata hanya rindu pada Allah dan merasa bahagia bila berdekatan dengan-Nya.
Berbeda dengan, binatang dan malaikat, manusia yang mempunyai dua sifat, yaitu sifat binatang yang cenderung kepada hawa nafsu dan sifat malaikat yang lepas dan tidak tunduk kepada hawa nafsu.
Dua sifat tersebut ada di dalam diri manusia, sehingga apabila manusia condong kepada hawa nafsu maka ia akan terjerumus kepada sifat-sifat binatang namun jika bisa mengatasi dorongan hawa nafsu itu maka ia bisa mencapai derajat tertinggi, yaitu derajat yang dimiliki oleh para malaikat. Untuk itulah diperlukan sifat sabar dalam diri manusia agar ia bisa menjalani kehidupannya sesuai dengan yang diinginkan Tuhan.
Jadi menurut al-Ghazali, sabar merupakan ciri yang membedakan manusia dengan binatang. Dengan sabar manusia dapat mengekang hawa nafsunya. Kemampuan mengekang ini muncul karena adanya dorongan dalam jiwa manusia untuk senantiasa berbuat baik dan melakukan hal-hal yang positif. Dorongan inilah yang dinamakan dengan iman. Iman cenderung menyuruh pada ketaatan sedangkan hawa nafsu cenderung menyuruh pada keburukan.
Syaikh ‘Abdus Samad al-Palimbani mengatakan bahwa sabar adalah menahan nafsu dari sifat marah atas sesuatu yang dibencinya yang menimpa dirinya dan menahan nafsu dari sifat marah atas sesuatu yang disukainya yang menjauhkannya dari Allah.
Syaikh Abdul Qadir al- Jailani mengatakan bahwa sabar adalah tidak mengeluh karena sakitnya musibah yang menimpanya kepada selain Allah, tetapi jika mengeluh kepada Allah tidak apa-apa dan tidak mengurangi kesabarannya.
Al-Junaid mengatakan bahwa sabar adalah meneguk sesuatu yang pahit tanpa mengerutkan muka. Telah diriwayatkan bahwa Sa’id bin ibn Jubair berkata, yang dimaksud dengan sabar adalah pengakuan seseorang hamba bahwa dia adalah milik Allah. Apalagi ketika sebuah musibah yang tengah ditimpakan pada dirinya. Dia akan merasa rela dan ikhlas di sisi Allah atas musibah yang terjadi dan mengharapkan bisa memetik hikmah darinya. Terkadang seorang hamba mengeluh sambil berusaha menahan sabar. Menurutnya, tidak ada cara lain kecuali hanya dengan bersabar.
Menurut al-Sarraj, sabar merupakan maqam yang mulia. Allah telah memuji orang-orang sabar dalam firman-Nya,
“Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas.” (QS. Al-Zumar: 10)
Kemuliaan maqâm sabar ini bukan tanpa alasan. Selain pernyataan dan kehebatan sabar para sufi seperti yang diterangkan di atas, Nabi juga menyebutkan bahwa seperempat agama adalah sabar.
Bersikap sabar yang paling baik ialah, tidak kelihatan apakah sedang mendapat musibah ataukah tidak. Akan tetapi bila menampakkan pengaduan semacam itu kepada Allah, tidaklah dilarang. Malah sikap kerendahan hati dan menangis serta mengeluh di hadapan Allah, sangat disenangi oleh-Nya. Para nabi dan wali-wali Allah sendiri, yang kuat sifat sabarnya, tak jemu-jemu menunjukkan kerendahan hati mereka yang direfleksikan lewat doa dan munajat kepada-Nya serta berserah diri (tawakal).
Klasifikasi Sabar
Ibn Qayyim menyebutkan bahwa sabar adalah wajib menurut ijmak ulama. Secara global hal ini benar. Akan tetapi secara rinci dan dari sisi kaitannya dengan hukum yang lima, sabar terbagi kepada sabar wajib, sabar sunnah, sabar mubah, sabar makruh, dan sabar haram.
1. Sabar yang wajib
Sabar yang wajib ada tiga macam: pertama, sabar dalam ketaatan kepada Allah; kedua, sabar dari kedurhakaan kepada Allah; ketiga, sabar dalam menghadapi ujian Allah. Dua macam yang pertama merupakan kesabaran yang berkaitan dengan tindakan yang dikehendaki dan yang ketiga tidak terkait dengan tindakan yang dikehendaki. Sabar dalam ketataan dan kedurhakaan kepada Allah adalah kesabaran yang berkaitan dengan tindakan yang dikehendaki.
Ketika seseorang diperintahkan oleh Allah untuk melakukan ‘amar ma’ruf nahi munkar (menyuruh kebaikan dan mencegah kejahatan) adalah tindakan yang dikehendaki, karena disitulah Allah menyimpan makna-makna yang menjadi aplikasi dalam kehidupan sehari-hari, seperti melakukan shalat, zakat, puasa, naik haji dan berbuat kebajikan karena di dalamnya banyak terkandung makna untuk mendekatkan diri kepada Allah.
Sabar dalam menghadapi ujian dari Allah merupakan kesabaran yang tidak berkaitan dengan apa yang dikehendaki, dalam arti hal ini lebih ke dalam fenomena sosial yang memancing kita untuk bertindak sebagaimana mestinya, ketika ada sesuatu hal yang menimpa diri kita atau menimpa seseorang yang kita sayangi dan kita cintai. Apakah kita mampu menghadapi hal tersebut ataukah kita berkeluh kesah dalam tindakan kita.
Misalnya: apabila salah satu dari keluarga kita atau seseorang yang benar-benar kita sayangi telah meninggalkan dunia ini, maka sewajarnyalah kita bersabar dengan menerima keadaan tersebut.
2. Sabar dari yang sunah
Sabar dari yang sunah juga ada tiga macam: pertama, sabar dalam menahan diri dari menghadapi perlakuan buruk dengan membalas keburukan pula. Contohnya adalah sebagaimana Firman Allah Swt:
“Dan jika kamu memberikan balasan, maka balaslah dengan balasan yang sama dengan siksaan yang ditimpakan kepadamu. Akan tetapi jika kamu bersabar, sesungguhnya itulah yang baik bagi orang-orang yang sabar." (QS. An-Nahl: 126)
Jiwa manusia tidak menyukai hak-haknya dilanggar. Apalagi, Syari’at Rabbani membolehkan manusia untuk membela diri dari penganiayaan, menghadapi keburukan dengan keburukan pula namun dengan syarat tidak melebihi atau berlaku zhalim baik dalam ketentuan jumlah maupun caranya. Tetapi yang paling wajar dilakukan adalah menahan amarahnya, sabar terhadap penderitaan, menutup kejelekan dan memaafkan pelakunya agar mendapat pahala di sisi Allah dan memperoleh ganjaran yang banyak serta pujian yang baik atas perbuatan-perbuatannya yang terpuji.
Kedua, sabar dalam hal-hal yang disunnahkan. Contohnya adalah niat untuk qiyâm al-lail dan menghidupkannya dengan shalat, do’a, zikir tasbih dan tahlil. Terkadang ia menemui kesulitan pada awalnya, disebabkan meninggalkan nikmatnya tidur dan indahnya mimpi. Oleh karenanya ia harus sabar dan menahan hal itu hingga menjadi ringan dan terbiasa melakukannya.
Ketiga, sabar dalam menahan diri dari yang makruh. Contohnya adalah menahan diri dari memakan bawang putih dan bawang merah ketika hendak pergi ke masjid. Walaupun memakan bawang putih dan bawang merah baik untuk dirinya.
3. Sabar dari yang mubah
Sabar yang mubah adalah menahan diri dari semua perbuatan yang kedua duanya sama-sama baik, antara melakukan dan meninggalkannya dan bersabar atasnya. Di antara contohnya adalah suka mengadakan darmawisata atau sabar darinya, atau suka memakan jenis makanan tertentu atau menahan diri darinya.
4. Sabar dari yang makruh
Ada beberapa contoh sabar yang makruh yang dapat memperjelasnya: Pertama, seseorang bersabar dari makanan, minuman, pakaian dan hubungan suami-istri, sehingga hal itu membahayakan kesehatannya. Kedua, melihat seseorang yang menyembunyikan jari-jari tangannya dalam shalat, sedang dia membiarkannya dan tidak melarangnya, padahal dia tahu hal itu sebagian dari hal- hal yang dimakruhkan dalam shalat.
5. Sabar dari yang haram.
Sabar yang diharamkan itu bermacam-macam. Salah satunya ialah bersabar diri dari makan dan minum hingga mati.83 Contohnya, sekelompok mahasiswa yang berdemonstrasi melakukan mogok makan dengan menjahit mulutnya yang diakibatkan karena kenaikan BBM adalah suatu tindakan yang tidak dibenarkan karena hal itu merugikan diri sendiri, sehingga dikategorikan sebagai sabar dari yang haram.
Sabar juga dibagi ke dalam dua jenis, yaitu sabar fisik dan sabar jiwa. Masing-masing dari keduanya terbagi ke dalam dua jenis yaitu suka rela dan terpaksa. Jadi total jenis sabar ada empat jenis, yaitu: pertama, sabar fisik yang suka rela contohnya, melakukan pekerjaan berat dengan suka rela dan berdasarkan keinginannya sendiri; kedua, sabar fisik yang terpaksa contohnya sabar terhadap sakitnya pukulan, sakit, luka-luka, kedinginan, kepanasan dan lain sebagainya; ketiga, sabar jiwa yang suka rela, contohnya kesabaran jiwa dari melakukan tindakan yang tidak baik untuk dikerjakan menurut syari’at dan akal manusia; keempat, sabar jiwa yang terpaksa contohnya kesabaran jiwa berpisah dari kekasihnya karena terpaksa dijauhkan darinya.
Semua jenis kesabaran di atas hanya diperuntukkan bagi manusia dan tidak kepada hewan. Hewan hanya memiliki dua bentuk sabar yaitu: sabar fisik yang terpaksa dan sabar jiwa yang terpaksa.
Sabar yang terpuji ialah kesabaran jiwa secara suka rela dan tidak memenuhi ajakan hawa nafsu yang tercela, maka tingkatan-tingkatan sabar dan nama-namanya itu sesuai dengan variabelnya.
Jika sabar dari syahwat kemaluan yang diharamkan, maka dinamakan ‘iffah (suci), dan kebalikannya ialah orang bejat, pezina dan pelacur. Jika bersabar dari syahwat perut, tidak terburu-buru makan atau tidak memakan apa yang tidak baik baginya, maka dinamakan kemuliaan jiwa dan kekenyangan diri dan kebalikannya ialah rakus, hina dan jiwa kerdil.
Jika bersabar dari menampakkan apa yang tidak baik untuk ditampakkan seperti misalnya pembicaraan, maka dinamakan zuhud dan kebalikannya adalah ambisius (rakus).
Jika bersabar dengan sesuatu yang mencukupi dirinya, maka dinamakan qana’ah dan kebalikannya juga ambisius (rakus). Jika bersabar dari memenuhi dorongan emosi, maka dinamakan lembut dan kebalikannya adalah pemarah.
Jika bersabar dari memenuhi dorongan melarikan diri dari medan perang, maka dinamakan pemberani, maka jika lari dari peperangan dinamakan pengecut. Jika bersabar dari dorongan dendam, maka dinamakan pemaaf dan bertoleran dan kebalikannya ialah pembalas dendam dan penyiksa. Jika bersabar dari menahan kekayaan dan pelit maka dinamakan dermawan dan kebalikannya adalah pelit. Jika bersabar dari dorongan lemah dan malas maka dinamakan pandai (sigap), dan sebaliknya dinamakan pemalas.
Jika bersabar dari dorongan memberikan beban kepada orang lain dari dorongan tidak menanggung beban mereka, maka dinamakan jantan. Jadi sabar mempunyai nama-nama tersendiri dari setiap tindakan yang telah menjadi ketetapan dan takdir yang telah diberikan kepada manusia. Hal tersebut juga mengantarkan kepada semua rangkuman mengenai terbentuknya sebuah perilaku atau akhlak dalam menghadapi fenomena yang terjadi dalam keseharian kita.
Sedangkan tentang orang-orang yang bersabar, Ibn Qayyim membaginya ke dalam kelompok shabar, tashabbur, isthibar, mushabarah dan murabahtah. Perbedaan antara istilah-istilah tersebut ditinjau dari kondisi seseorang dengan dirinya sendiri dan dengan sesama manusia.
-
Disebut shabar apabila ia bisa menahan diri dari bujukan hawa nafsu untuk melakukan perbuatan yang tidak layak dan hal itu telah menjadi perilaku, mentalitas dan jatidirinya.
-
Disebut tashabbur, apabila kesabaran itu dilakukan dengan rasa berat hati atau dilakukan sebagai ajang melatih diri agar bisa bersabar atau bersabar dengan menahan rasa pahit.
-
Disebut isthibar, memiliki makna yang lebih kuat dari pada tashabbur sesuai dengan pengertiannya, yaitu mencari dan berusaha. Kedudukan tashabbur disini sebagai permulaan menuju isthibar. Proses mengupayakan diri untuk bersabar (tashabbur) akan terus berlangsung hingga seseorang dapat melakukan penyabaran diri (isthibar).
-
Mempertaruhkan kesabaran atau mushabarah mengandung makna perlawanan terhadap rintangan yang menjadi penghalang seseorang untuk bersabar atau disebut juga dengan keteguhan hati dalam menghadapi musuh di medan kesabaran. Sedangkan murabatah adalah keteguhan hati, ketegaran dan berada pada kesabaran dan mushâbarah.
-
Adakalanya orang bisa bersabar tetapi tidak mampu mempertahankan kesabaran (mushâbarah) atau hanya bisa mempertahankan kesabaran tetapi tidak teguh memegang kesabaran (murâbathah) atau orang bisa saja bersabar, mempertahankan kesabaran dan teguh bersabar tetapi tidak dalam konteks beribadah berdasarkan takwa. Oleh karena itu, Allah menegaskan bahwa inti kesabaran adalah takwa dan kemenangan sangat bergantung pada takwa.
Referensi
- Ibn Qayyim al-Jauziyyah, Sabar; Perisai Seorang Mukmin, terj. Fadli,.L.C., (Jakarta: Pustaka azzam, 1999)
- Ibn Qayyim al-Jauziyyah, Etika Kesucian; Wacana Penyucian Jiwa Entitas Sikap Hidup Muslim, terj. Abu Ahmad Najieh, (Surabaya: Risalah Gusti,1998)
- Tim Akhlak, Etika Islam; dari Kesalehan Individu menuju Kesalihan Sosial, terj. Ilyas Abu Haidar, (Jakarta: al-Huda, 2003)
- Save M. Dagun, Kamus Besar Ilmu Pengetahuan, (Jakarta: Lembaga Pengkajian dan Kebudayaan, 1997)
- Media Zainul Bahri, Menembus Tirai Kesandirian-Nya; Mengurai Maqamat dan Ahwal Dalam Tradisi Sufi, (Jakarta: Prenada Media, 2005)
- Al-Ghazali, Ihya Ulum al-Din, terj. Moh. Zuhdi et.al., (Semarang: Cv. As-Syifa, 1994)
- Amir an-Najar, Ilmu Jiwa dalam Tasawuf; Studi Komparatif dengan Ilmu Jiwa Kontemporer, terj. Hasan Abrori, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2001)
- Jalaluddin Rakhmat, Meraih Cinta Ilahi; Pencerahan Sufistik, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 1999)
- Sudirman Tebba, Hidup Bahagia Cara Sufi, (Jakarta: Gugus Lintas Wacana, 2005)
- Yusuf Qardhawi, Sabar Sifat Orang Beriman; Kajian Tafsir Tematik al-Quran, (Jakarta: Robbani Press, 2003)
- Yusuf Qardhawi, Al-Qur’an Menyuruh Kita Sabar, terj. Aziz Salim Basyarahil, (Jakarta: Gema Insani Press, 1989)
- Kahar Masyhur, Membina Moral dan Akhlak, (Jakarta: Kalam Mulia, 1987)
- M. Quraish Shihab, Menyingkap Tabir Ilahi; Al-Asma’ Al-Husna dalam Prospektif al- Qur’an, (Jakarta: Lentera Hati, 1998)
- Ibn Qayyim; Ibn Rajab, Abu Hamid, al-Ghazali, Kiat Menjadi Hamba Pilihan menurut Ulama Salafus Shalih, terj. Wawan Djunaedi Soffandi, (Jakarta: pustaka Azzam, 2001)
- Moh. Amin, 10 Induk Akhlak Terpuji: Kiat Membina dan Mengembangkan Sumber
- Daya Manusia, (Jakarta: Kalam Mulia, 1997)
- Chatib Quzwain, Mengenal Allah: Suatu Studi Mengenai Ajaran Tasawuf Syaik Abdus-
- Samad al-Palimbani Ulama Palembang Abad ke-18 Masehi, (Jakarta: Bulan Bintang, 1985)
- Said bin Musfir al-Qahthani, Asy-Syaikh Abdul Qâdir al-Jailânî wa Ârâ’uh al- I’tiqadiyah wa ash-Shufiyah; Buku Putih Syaikh Abdul Qadir al-Jailani, terj. Munirul Abidin, (Jakarta: Darul Falah, 2003)